Belajar Pekerjaan Sosial (Social Work) di India dan Refleksi untuk Negeri
Penulis: Rajendra Negara Kertagama
Mahasiswa Department of Social Work, Delhi University (2023)
MediaVanua.com ~ Pengalaman magang saya di Sofia Educational and Welfare Society (SOFIA), sebuah NGO di Delhi, India, adalah sebuah perjalanan yang membuka mata dan memperkaya wawasan. Sebagai mahasiswa jurusan Department of Social Work di Delhi University, saya diwajibkan mengikuti program magang pada semester pertama (2023), dan kampus merekomendasikan SOFIA sebagai salah satu pilihan.
Ketika pertama kali bergabung dengan SOFIA, saya langsung dihadapkan pada realitas keberagaman India yang luar biasa. Meskipun bahasa Hindi dominan di Delhi, India tidak memiliki bahasa persatuan. Di dalam tim SOFIA sendiri, terdapat anggota yang berasal dari Kerala, yang bahasa ibunya berbeda dengan bahasa Hindi. Sebagai orang yang bukan asli India, saya seringkali merasa bingung dan kewalahan dengan perbedaan bahasa dan budaya yang begitu mencolok.
Namun, saya belajar untuk beradaptasi dan merangkul keberagaman tersebut. Ketika mengajar anak-anak yang tidak bisa bersekolah, saya berusaha menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami, dibantu oleh rekan tim yang menerjemahkan ke bahasa Hindi, Urdu, atau bahasa daerah lainnya. Saya juga belajar menggunakan bahasa tubuh dan ekspresi wajah untuk berkomunikasi dan membangun hubungan dengan mereka.
Interaksi dengan tim SOFIA juga menjadi pembelajaran tersendiri. Ketika komunikasi verbal terhambat, saya mengandalkan bahasa tubuh dan intuisi untuk memahami maksud mereka. Saya belajar bahwa komunikasi non-verbal bisa sama efektifnya, bahkan terkadang lebih efektif, daripada kata-kata.
SOFIA tidak hanya berfokus pada pendidikan, tetapi juga memberikan bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan, termasuk menyediakan tempat berlindung bagi mereka yang tidak memiliki rumah. Kehadiran saya sebagai orang dari luar India di tempat penampungan tersebut menarik perhatian banyak orang, dan saya belajar untuk menghargai perbedaan dan melihat kemanusiaan di balik setiap individu.
Pengalaman mengajar di SOFIA juga memberikan saya kesempatan untuk menerapkan ilmu psikologi yang saya pelajari di kampus. Saya belajar tentang pentingnya memahami psikologi anak dan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan mereka. Saya juga belajar tentang teori-teori psikologi seperti eksperimen Pavlov, yang membahas tentang pengkondisian, serta tahapan perkembangan manusia dari bayi hingga dewasa.
Pengalaman di SOFIA menyadarkan saya akan banyaknya orang yang membutuhkan bantuan, baik secara fisik maupun mental sesuai tahap perkembangannya. Saya juga melihat kemiskinan, keterbatasan akses terhadap pendidikan, dan masalah sosial lainnya dapat membuat seseorang merasa putus asa dan kehilangan harapan. Hal ini mengingatkan saya pada situasi di Indonesia, masih banyak orang yang hidup dalam kesulitan dan membutuhkan uluran tangan.
Saya merasa bahwa terkadang masyarakat Indonesia kurang memiliki kepedulian terhadap sesama. Kita seringkali terlalu fokus pada diri sendiri dan ambisi pribadi, sehingga lupa untuk memperhatikan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan. Padahal, dengan saling membantu dan bekerja sama, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Menyaksikan keberagaman di India membuat saya merenungkan kondisi di Indonesia. Meskipun Indonesia kaya akan budaya, saya merasa bahwa semangat menghargai keberagaman ini semakin luntur. Banyak yang menganggap budaya tradisional sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman. Padahal, budaya adalah perekat yang mempersatukan kita sebagai bangsa.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang dulu menjadi landasan persatuan Indonesia, seolah mulai terkikis. Sikap apatis dan individualisme semakin marak, bahkan terkadang muncul ujaran kebencian terhadap sesama anak bangsa yang berbeda suku, agama, atau ras. Contohnya, ketika seorang atlet Indonesia kalah dalam pertandingan, bukannya mendapat dukungan, ia justru dihujat dan dianggap sebagai “aib negara”.
Indonesia membutuhkan perubahan besar, tidak hanya dari segi pembangunan fisik, tetapi juga dari segi mentalitas masyarakatnya. Kita harus berhenti menormalisasi perundungan dan ujaran kebencian, baik yang berkaitan dengan warna kulit, agama, suku, maupun perbedaan lainnya. Terlalu sering kita melihat “candaan” di media sosial yang sebenarnya menyakitkan dan memecah belah.
Mentalitas masyarakat juga perlu diperbaiki. Kita harus belajar untuk menghargai perbedaan dan menerima kritik dengan lapang dada. Fenomena seperti merendahkan orang Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris, atau membenarkan kesalahan idola hanya karena penampilan fisiknya (ganteng atau cantik), menunjukkan betapa lemahnya mentalitas sebagian masyarakat kita. Kita harus belajar untuk berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh opini orang lain.
Indonesia tidak hanya membutuhkan pemerintah yang berkembang, tetapi juga masyarakat yang siap untuk maju. Kita harus bersama-sama membangun bangsa yang lebih toleran, inklusif, dan berdaya saing. Kita harus belajar dari keberagaman India, yang meskipun memiliki banyak tantangan, tetap mampu bersatu dan menghargai perbedaan.
Banyak sekali orang di lingkungan masyarakat yang masih terjebak dalam perilaku destruktif, seperti merusak fasilitas umum atau bahkan terlibat dalam perjudian. Perilaku seperti ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merusak tatanan sosial dan menghambat kemajuan bangsa.
Kita harus menyadari bahwa kemajuan Indonesia tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif masyarakat. Kita harus menjadi masyarakat yang berpendidikan, bermoral, dan berbudaya, yang mampu menghargai perbedaan, berpikir kritis, dan berkontribusi positif bagi bangsa dan negara. Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa benar-benar maju dan sejahtera.*
Editor: anom surya putra