Buku Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa (3): 44 Quotes Badan Hukum BUM Desa
Pemesanan Buku: Tokopedia Buku LKiS Yogyakarta
MediaVanua.com ~ Polemik tentang status badan hukum dari Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) berada dalam rentang praktik hukum. Praktik hukum yang diwarnai dengan cara berhukum tentang badan hukum yang mengikuti paradigma positivisme hukum. Selalu menunggu aturan tentang badan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah maupun parlemen. Tak terhitung lagi keraguan di kalangan praktisi hukum tentang status badan hukum BUM Desa.
Tahun 2021 terjadi praktik cara berhukum yang bersifat positivistik yakni mengubah definisi BUM Desa sebagai badan hukum. Buku Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa: Menjelajahi Badan Hukum BUM Desa terbit pada tahun 2020 tepat di masa pandemi Covid-19. Ditulis dengan paradigma penelitian sosiologi hukum yang ko-eksistensi dengan ilmu hukum yang bersifat normatif-dogmatik.
Kini BUM Desa masuk ke pusaran badan hukum model baru yakni perpaduan antara kewenangan Desa dan kewenangan pemerintah supra-Desa. Simak kutipan (quotes) dari buku yang menelusuri jejak badan hukum Desa dan BUM Desa ini sambil rebahan.
Judul Buku: Ponggok, Inspirasi Kemandirian Desa: Menjelajahi Badan Hukum BUM Desa
Penulis: Anom Surya Putra
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Tahun Terbit: 2020
ISBN: 978-623-7177-33-3
Tebal Buku: xviii + 334 halaman
Ukuran: 14,5 x 21 cm
Harga: Rp 120.000
Pemesanan Buku: Tokopedia Buku LKiS Yogyakarta
- Pasca keberlakuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta penjelasannya, BUM Desa mengalami restorasi (pemulihan, pengakuan, dan penghormatan) melalui diskursus rekognisi dan subsdiaritas. Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal-usul Desa, sedangkan subsidiaritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.
- BUM Desa dibentuk melalui diskursus pengakuan terhadap hak asal usul Desa yang sarat dengan tradisi, kultur, dan personalitas-kolektif maupun pengambilan keputusan yang berlangsung pada skala lokal Desa. Karena itu pula buku ini fokus pada bentuk badan hukum BUM Desa sebagai aksi konkret rekognisi dan subsidiaritas pada skala lokal Desa daripada penetapan status badan hukum BUM Desa melalui tindakan strategis pemerintah supra Desa.
- Pada buku ini fenomena masalah badan hukum itu dipengaruhi kondisi pemengaruh yaitu ketika BUM Desa akan mengadakan kerjasama bisnis dengan mitra kerja dari luar Desa, maka muncul isu keabsahan status badan hukum BUM Desa. Pengelola organisasi dari Unit usaha BUM Desa yang berstatus badan hukum perseroan terbatas lebih dipercaya menyelenggarakan kerjasama bisnis dengan mitra kerja dari luar Desa daripada pelaksana operasional BUM Desa yang dilegitimasi Peraturan Desa.
- Pengetahuan teoritis badan hukum amat beragam. Fenomena BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok (hidup-untuk-menghidupi puluhan pekerja dan pendapatan fantastis) mendorong peneliti melakukan Kajian teoritisasi berdasar kondisi empiris. Karena teori badan hukum yang ada mengalami keterbatasan ketika diterapkan terhadap kasus yang dihadapi oleh BUM Desa Tirta Mandiri.
- Fenomena BUM Desa Tirta Mandiri yang telah melakukan berbagai jenis usaha nyata pada skala lokal Desa telah mengalami kesenjangan (gap) dengan teori badan hukum. Teori fiksi dan positivisme hukum tidak bisa menjelaskan dinamika yang dihadapi oleh BUM Desa Tirta Mandiri karena daya analitis positivisme hukum terlalu bertumpu pada personalitas individual daripada personalitas kolektif di Desa. Kesulitan-kesulitan BUM Desa Tirta Mandiri mendefinisikan dirinya sebagai badan hukum tidak terjawab semata melalui teori- teori hukum itu yang telah berubah menjadi doktrin semata: “BUM Desa dipastikan sebagai badan hukum bila dinyatakan tegas oleh kekuasaan negara melalui hukum tertulis atau urus saja ke notaris untuk diabsahkan sebagai badan hukum.
- Pada skala yang lebih luas buku ini bermanfaat bagi Desa, terutama Desa Ponggok, dan kementerian/lembaga yang berwenang untuk menciptakan kebijakan hukum (legal policy) yang memberikan usaha yang didirikan oleh BUM DESA. Pada konteks demikian paradigma kesadaran hukum yang diwarnai hiruk-pikuk tuntutan bagi Desa untuk lebih “sadar hukum”, bergeser pada kesadaran timbal-balik antara Sistem (kekuasaan negara dan pasar) dengan Desa. Istilah “kadarkum” hanya istilah masa lalu yang mengandung penyakit psikis: “kadang sadar, kadang kumat”.
- Di tengah perdebatan status badan hukum BUM Desa, buku ini mengambil posisi mengembangkan Teori Organik dari Otto von Gierke. Salah satu jenis teori badan hukum yang mendekati karakteristik Desa. Otto von Gierke merupakan lawan debat dari Karl Friedrich von Savigny. Posisi teoritis Gierke terletak pada penelusuran hukum Genossenschaft (kekerabatan, kekeluargaan, organik, dan sebutan lainnya) melalui penulisan sejarah hukum Genossenschaft Jerman sejak tahun 800. Gierke tidak mengambil posisi teoritis hukum Romawi antik seperti yang dilakukan oleh Savigny.
- Bagaimana Restorasi Republik Desa bekerja? Buku ini mengembangkan Restorasi Republik Desa ala Sutoro Eko. Investigasi atas diskursus Republik Desa (dorpsrepubliek) dalam studi hukum adat (Adatrecht) masa kolonial, pengetahuan tentang Desa yang bersifat normatif dalam UU Desa, dan tindakan komunikatif (yang berlangsung antara Pemerintah Desa, BUM Desa, BPD dan warga Desa) di lokasi penelitian. Hasil investigasi teoritis dari lokasi penelitian difungsikan sebagai alat analisis pengakuan negara terhadap status badan hukum BUM Desa.
- Diskursus Restorasi Republik Desa disana-sini menunjukkan keterbatasannya. Peneliti mengenalkan gagasan badan hukum organik Otto von Gierke yang meneliti desa-desa kuno pada masa Jerman abad ke-19. Dan melahap sebagian pemikiran hukum kontemporer yang digagas oleh Habermas dan Deflem. Hubungan antara Pusat (kekuasaan negara dan pasar) dengan Pinggiran (kedaulatan Desa). Hubungan antara Sistem (kekuasaan negara dan pasar) dan Dunia-Kehidupan (Desa). Posisi Desa dalam Negara Hukum Deliberatif.
- Lucien Adam menulis dampak Inlandsche Gemeente Ordonnantie terhadap otonomi Desa (Dorpsautonomie) Indonesia. Hampir selama 20 (duapuluh) tahun pemerintah kolonial mengarahkan otonomi Desa di Indonesia dari berbasis adat menjadi otonomi bercorak Barat (westersche autonomie; Belanda). Kewenangan penugasan (medebewind; Belanda) merupakan otonomi Desa dengan cita rasa budaya Eropa masa kolonial, sekaligus medebewind mengganggu otonomi Desa karena memposisikan kepala Desa sebagai kaki tangan industri swasta kolonial Belanda.
- Cara berhukum dari Desa pada masa pasca-kemerdekaan masih berjalan dengan cara yang kurang lebih sama. Campur tangan atas nama rekognisi-formal. Rekognisi-formal berarti negara mengakui Desa hanya sebagai institusi administrasi pemerintahan. Berlanjut pada Negara-Konstitusional. Pemerintahan pusat dan daerah mengatur penyeragaman Desa melalui UU No. 5/1979 tentang Desa. Dampaknya, dikotomi antara Desa sebagai unit administratif pemerintahan (desa dinas) dan Desa Adat.
- Sutoro Eko memberikan pendasaran diskursus teoritis Restorasi Republik Desa. Buku ini mengembangkannya sebagai cara berhukum dari Desa melalui: Rekognisi, Subsidiaritas dan Tradisi Berdesa. Rekognisi (pengakuan atas hak asal usul Desa). Subsidiaritas (kewenangan lokal skala Desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan masyarakat Desa setempat). Tradisi Berdesa (menggunakan Desa sebagai arena bermasyarakat dan berpemerintahan di Desa).
- Restorasi Republik Desa membutuhkan investigasi pengetahuan hukum yang diinterpretasi secara historis. Konsep normatif tentang masyarakat hukum adat, masyarakat adat, dan kesatuan masyarakat hukum adat memerlukan interpretasi historis-empiris. Lebih komunikatif dan memberikan kerangka teoritis bagi status badan hukum BUM Desa.
- Hukum adat dalam UU Desa kurang tepat dipahami dalam positivisme hukum. Penyebutan hukum adat di masa kolonial dan pasca kemerdekaan hanya untuk memudahkan kategorisasi pengetahuan. Interpretasi hukum atas hukum adat dalam UU Desa diradikalisasi melalui interaksi antara PENGETAHUAN, KEHIDUPAN SEHARI-HARI, dan KONSEP NORMATIF. Pengetahuan (etnografi, demografi politik, sosiologi hukum dan antropologi hukum). Kehidupan sehari-hari di Desa. Dan Konsep Normatif tentang masyarakat adat, persekutuan-hukum, masyarakat hukum adat, Desa Adat, dan lainnya).
- Term Adat-Hukum (Rechtsadat) dalam Teori Hukum Kritis disebut sebagai hukum interaksional (interactional law). Hukum interaksional dihasilkan dari analisis etnografi, sosiologi, dan antropologi hukum. Hukum interaksional rawan dipatahkan oleh hukum birokratis. Cara berhukum dari hukum birokratis adalah berhukum dari teks perundang-undangan dan kekuasaan badan politis, bukan berhukum melalui kehidupan masyarakat komunikatif.
- Penelusuran formasi pembentukan diskursus Desa sejak masa Negara-Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Bali Kuno, dan Majapahit menunjukkan tipologi Desa Adat dan Desa administratif berlangsung dengan kemandiriannya masing-masing. Adat-Hukum (Rechtsadat) tidak identik dengan Desa Adat saja. Tetapi menyebar ke Desa administratif. Meskipun takaran Adat-Hukum tidak sekuat Adat di Desa administratif.
- Hukum Subsidiaritas secara sosiologis meerupakan cara berhukum dari Desa. Meletakkan kebiasaan dan hukum tertulis secara terpisah. Berlanjut pada tindakan komunikatif antara Desa dan Pemerintah kabupaten/kota. Hasilnya adalah Daftar Inventarisais Kewenangan Lokal Berskala Desa. Isi Kewenangan Lokal Berskala Desa akan menentukan penggunaan Dana Desa oleh Pemerintah Desa bersama institusi Desa lainnya.
- Pernahkan Anda jumpai Hukum Inkorporasi? Cara berhukum dari Jerman dan Anglo-American ini direpresentasikan oleh teori personalitas fiksi, teori personalitas buatan, teori konsesi, atau teori hirarki. Status badan hukum BUM Desa dalam kelompok teori ini diperoleh melalui hukum inkorporasi (incorporation law). Rekognisi-Formal melalui hukum publik. Negara memonopoli rekognisi-formal. BUM Desa secara hipotesis menyandang status sebagai badan hukum bila hak dan kewajibannya ditentukan melalui hukum publik. Kelemahannya, rekognisi-formal memosisikan BUM Desa yang dibentuk oleh negara. Daripada sebagai badan hukum yang diakui oleh negara berdasar kondisinya yang nyata.
- Otto von Gierke adalah teoritisi real entity dan teorinya dikenal dalam literatur badan hukum di Indonesia sebagai teori organ. Personalitas badan hukum BUM Desa ditentukan oleh eksistensinya secara sosial dan nyata. Hukum tidak membentuk badan hukum secara formal. Hukum melakukan rekognisi dan menghormati eksistensi badan hukum. Hukum rekognisi itu menjadi sabuk pengikat (integrasi) antara kekuasaan Sistem (negara dan pasar) dan BUM Desa. Sekaligus, hukum rekognisi mengakui keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, antara mayoritas dan minoritas dari shareholder BUM Desa yaitu pemerintah Desa dan warga Desa.
- Buku ini mengenalkan Genossenschaft dari Otto von Gierke daripada Gemeinschaft dan Gesellschaft. Istilah Genossenschaft identik dengan Spirit Kekeluargaan yang menunjukkan satu kesatuan organik dalam negara kekeluargaan. Istilah Genossenschaft identik dengan Desa sebagai masyarakat adat yang otonom dan sekaligus menjadi pilar negara konstitusional. Negara integralistik identik dengan gagasan personalitas “satu bagian dari semua” daripada gagasan “entitas selain negara adalah bawahan negara despotik”. Istilah Genossenschaft identik dengan usaha bersama yang digagas oleh Bung Hatta dan gotong royong dari Soekarno dalam diskursus ekonomi dan politik.
- Tudingan Fasisme terhadap negara kekeluargaan yang ditulis oleh Soepomo juga dialami oleh Otto von Gierke (teoritisi Badan Hukum yang meneliti berbagai Desa kuno di Jerman). Karena keduanya sama-sama mengambil posisi berdekatan dengan pihak penguasa. Soepomo dekat dengan birokrasi kolonial Belanda dan Jepang, sedangkan Gierke dekat dengan Partai Nasional-Sosialis Jerman.
- Ideal hukumnya adalah BUM Desa digerakkan oleh Organ (representasi dari Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa) yang dilegitimasi dalam sistem Musyawarah Desa dan Peraturan Desa. Dan keputusan Kepala Desa yang menetapkan AD/ART BUM Desa. Setelah PP No. 11/2021 BUM Desa terbit, aturan hukum berubah yakni Peraturan Desa tentang AD BUM Desa dan Peraturan Kepala Desa tentang ART BUM Desa. Unit Usaha BUM Desa (berbentuk PT) yang didirikan dengan modal-saham terbesar dimiliki oleh BUM DESA, menjadi bagian dari satu kesatuan Organik. Mengemban misi kehidupan bersama Desa. Saat ini BUM Desa Tirta Mandiri Desa Ponggok pasang kuda-kuda melakukan Restorasi model ini.
- Terkadang, kekuasaan badan politis dan kekuasaan pasar tidak percaya atas legitimasi legalitas BUM Desa melalui berbagai peraturan di Desa. Buku ini menyisir habis argumentasi positivisme hukum itu. Legitimasi dari legalitas peraturan perundang-undangan bercirikan Desa bukan terletak pada hirarki peraturan perundang-undangan secara aboslut. Tetapi legitim pula berdasar tindakan komunikatif di Desa dan tindakan strategis supra Desa.
- Badan Hukum BUM Desa beresiko digerakkan oleh AGENT (Perorangan dan Kelompok), yang digaransi melalui dokumen akta penegasan dan akta pendirian. Ideal hukumnya, BUM Desa digerakkan oleh Organ (representasi dari Pemerintah Desa dan Masyarakat Desa). Dilegitimasi pula oleh Musyawarah Desa dan Peraturan Desa. Unit Usaha berstatus Perseroan Terbatas yang didirikan oleh BUM Desa menjadi bagian dari satu kesatuan organik untuk mengemban misi kehidupan bersama Desa Ponggok. Terpilah tetapi tetap menyatu, bukan terbagi dan terpisah selamanya.
- Peraturan di Desa merupakan opini publik yang melegitimasikan diskursus praktis dan teoritis tentang status badan hukum BUM Desa. Utamanya, berkaitan dengan masalah status badan hukum yang dialami oleh BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten. Bertolak dari diskursus peraturan perundang-undangan bercirikan Desa, perubahan atas peraturan di Desa Ponggok mengenai BUM Desa, didasarkan pada kondisi BUM Desa sebagai entitas nyata. Dan berorientasi pada norma-norma hukum dalam UU No. 6/2014 tentang Desa.
- Tindakan Komunikatif berlangsung antara Pemerintah Desa, BPD dan warga Desa melalui Musyawarah Desa. Tindakan strategis pemerintah kabupaten/kota tertuju pada fasilitasi rancangan dan pelaksanaan peraturan di Desa. Tindakan strategis itu tentu dihasilkan dari pemahaman total terhadap jenis-jenis peraturan di Desa sebagai peraturan perundang-undangan bercirikan Desa.
- Unsur-unsur gagasan komunikatif pada Negara Hukum Deliberatif dan Teori Diskursus Huukm membuka pemahaman baru. Desa dituntut lebih mandiri dan komunikatif untuk menyampaikan opini-opini publik kepada sistem kekuasaan negara dan kekuasaan modal melalui Peraturan Desa. Pada konteks diskursus teoritis, hukum perundang-undangan dituntut mengkonsolidasikan Sistem dan Dunia-Kehidupan masyarakat Desa, serta tidak terhenti pada sistem logika tertutup dan hirarki norma hukum. Peraturan di Desa sebagai peraturan perundang-undangan bercirikan Desa disusun untuk mengukuhkan kekuatan-kekuatan organisatoris dari Pusat (kekuasaan negara dan modal) dan Pinggiran (Desa) dalam diskursus teoritis Negara Hukum Deliberatif.
- Negara Hukum Deliberatif menempatkan Desa pada posisi Pinggiran. Bukan Pusat maupun bawahan. Posisi Desa tepatnya berada di Pinggiran. Kedudukannya diakui sebagai entitas nyata di ruang publik oleh Sistem Kekuasaan Negara. Tanpa membongkar hirarki norma hukum yang sudah berakar-mendalam pada nalar hukum Positivisme, maka validitas Peraturan Desa terletak pada kaidah pengakuan (recognition) atas jenis peraturan di Desa seperti Perdes, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa. Kaidah hukum rekognisinya ialah Pasal 69 ayat (1) UU Desa jo. pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. BPD tidak perlu ragu melaksanakan wewenang untuk mengusulkan rancangan Perdes yang inovatif. Hanya PEMALAS yang berdalih, kami menunggu regulasi untuk berbuat inovatif.
- Bagi penyuka riset hukum yang memadukan filsafat dan sosiologi hukum, buku ini menawarkan pendekatan tanpa menabrak tembok akademis. Grand Theory Restorasi Republik Desa terdiri atas studi hukum adat dan perubahan orientasi pada Republik Desa. Penggunaan teori ditujukan untuk menemukan badan hukum BUM Desa sebagai entitas nyata dengan pertimbangan kemandirian Desa sebagai Badan Hukum Organik (dari sisi Desa) atau Badan Hukum Publik (dari sisi kekuasaan negara dan kekuasaan modal).
- Teori sosiologis pada middle-range theory adalah teori personalitas yang melandasi keragaman teori badan hukum. Penggunaan teoritis ditujukan untuk menemukan personalitas badan hukum dari BUM Desa dan Unit Usahanya (berbentuk Perseroan Terbatas). Panduan praktis penelitian ini dibantu dengan teori terapan (applied theory) Analisis Dampak Pengaturan (Regulatory Impact Analysis). Teori terapan Analisis Dampak Pengaturan dipadukan secara ko-eksistensi dengan teknikalitas legislative drafting. Penggunaan teoritis ditujukan untuk merancang peraturan di Desa yang relevan untuk mendorong konsensus tentang BUM Desa sebagai badan hukum publik bercirikan Desa pada skala nasional.
- Desa sebagai badan hukum (Rechtspersoon; atau Legal Personality) dikaji dengan cara berhukum rekognisi dalam buku ini. Hukum rekognisi dibangun dari pengetahuan filsafat yakni personalitas (personlichkeit). Personalitas bermakna sebagai manusia yang berkemampuan dari dalam untuk menentukan dirinya sendiri. Personalitas Desa dimaksudkan sebagai kemampuan manusia di Desa untuk menentukan dirinya sendiri.
- Penyebutan Desa kuno bernama Vanua (tertera pada prasasti era Sriwijaya), Banua (prasasti era Bali Kuno), atau Wanua (prasasti era Mataram kuno) menempatkan Desa sebagai bagian penting dalam sejarah formasi negara. Mulai negara maritim di Asia Tenggara, negara agraris Majapahit, sampai dengan hubungan negara konstitusional dan Desa dalam UU Desa. Desa masa pra-sejarah merupakan entitas nyata. Teritorial bagi tumbuhnya kraton (palace), kerajaan (empire), negara-kolonial, dan negara konstitusional.
- Pemerintah kolonial memutuskan Desa berkedudukan sebagai badan hukum berkarakter Anstalt (kesatuan arfisial antara tuan tanah dan kekuasaan despotik kolonial). Praktik diskursif negara-administratif kolonial mengakui Desa sebagai badan hukum berbasis Anstalt, tanpa menghormati kedudukan Desa itu sendiri. Desa dipahami sebatas personalitas kelompok dan individual.
- Kontestasi antara Genossenschaft dan Volksgeist mendorong Otto von Gierke menyusun personalitas-kolektif dari badan hukum (legal corporate personality). Kontestasi pada akhir abad ke-19 itu bergema ke Hindia Belanda. Puncaknya adalah Desa di Indonesia pada akhir abad ke-19 menjadi arena pertarungan diskursus badan hukum.
- Praktik diskursif Desa sebagai pemerintahan bawahan (Negara Hukum Adat) dari Muhammad Yamin itu tidak tuntas dibahas dan disepakati oleh penyusun UUD NRI 1945. Konsensus yang terjadi pada persidangan waktu itu ialah Desa (volksgemeinschaften) diakui dan dihormati sebagai komunitas yang memiliki keistimewaan berdasar hak asal usul, berdampingan dengan keistimewaan kerajaan (zelfsbetuurende atau Kooti).
- Desa mengalami masalah yang kompleks sebagai badan hukum (Korporation; Anstalt), ketika Desa dihadapkan pada kekuasaan pemerintahan militerisme Jepang. Kolonial Jepang menggunakan Desa sebagai basis logistik perang Asia Timur Raya. Desa secara absolut merupakan korban rezin militer-fasisme. Jawa sebagai daerah penghasil padi terbesar di Indonesia dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan padi, kacang, gaplek dan lainnya bagi kepentingan militer Jepang.
- Kilas balik ke masa kolonial. Kepala Desa dalam teori badan hukum disebut ORGAN. Tetapi pada masa kolonial, Kepala Desa sebagai ORGAN itu dipisahkan dari komunitas organiknya. Dan Kepala Desa dipandang sebagai individu yang dikendalikan total oleh pemerintahan administratif kolonial. Desa di Jawa dan Madura akhirnay dikerdilkan sebatas teritorial belaka. Dampaknya, Desa mengalami penghisapan atas tenaga dan sumber daya alam secara masif.
- Pada tahun 1950-an dibentuk Kabinet Kerdja dengan Menteri Pembangunan Chaerul Saleh. Misinya, mengawasi Departemen Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa yang dijabat oleh Achmadi. Kinerja departemen ini tidak begitu terlihat dibandingkan kekuasaan Kementerian Dalam Negeri. Akankah sejarah ini akan terus berulang?
- Peraturan perundang-undangan yang terbit pada tahun 1948 dan tahun 1957 merupakan kemenangan pengikuti desentralisasi administrasi. Para perancang aturan hukum pemerintahan daerah tidak menghitung dampaknya bagi Desa-desa di Indonesia yang dikolonisasi untuk meninggalkan kultur, tradisi dan personalitas kolektifnya.
- Pemikiran liberal klasik atau liberal konservatif seperti ditulis oleh Montesquieu dan lainnya mempengaruhi Muhammad Yamin, tetapi pemikiran liberal itu tidak mendapat tempat dalam UUD NRI 1945. Teori integralistik Seopomo, pihak lawan dari Yamin, sebenarnya tidak utuh mengikuti dinamika pemikiran hukum di Jerman abad ke-19 seperti pemikiran Otto von Gierke yang karyanya sangat tebal (ribuan halaman). Pemikiran Yamin dan Soepomo belum meluaskan Desa sebagai Genossenschaft (komunitas organik) pada konteks identitas, bangsa, negara dan warga negara.
- Buku ini kritis terhadap pandangan Yamin karena Desa sebagai Pemerintahan Bawahan itu nampak pasif dalam bernegara. Di dalam aturan hukum DESAPRAJA terdapat sebagian gagasan Yamin tentang Daerah-Atasan atau Pemerintahan-Atasan. Baik yang ditulis oleh Yamin dalam Tata Negara Majapahit (1962) atau “Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”. Pemahaman Desa sebagai pemerintahan bawahan didasari TRIAS POLITICA: Sapta-perabu, sapta-manteri dan sapta-upapati. Sapta-perabu membuat perintah atau aturan. Sapta-manteri menjalan perintah, dan sapta-upapati mengadili perselisihan. Buku yang hadir di tangan pembaca ini keluar dari pandangan Yamin yang dipengaruhi Trias Politica dan mengunggulkan pemerintahan atasan.
- Tindakan Pemerintah Desa Ponggok dan BUM Desa Tirta Mandiri untuk mendaftarkan BUM Desa dan UNIT-UNIT Usahanya ke notaris merupakan siasat untuk memperoleh legalitas badan hukum.
- Buku ini mengemban 6 (enam) agenda Restorasi BUM Desa. Pertama, menegaskan fungsi BUM Desa sebagai Organ Usaha Bersama. Kedua, Restorasi Modal BUM Desa dan Unit Usahanya (PT yang didirikan oleh BUM Desa). Ketiga, BUM Desa mengelola Aset Desa dan Aset BUM Desa sendiri. Keempat, BUM Desa mengelola beragam jenis usaha bersama. Kelima, Penggunaan Hasil Usaha BUM Desa untuk Laba Ditahan dan Pendapatan Asli Desa (PADESA, bukan PAD). Keenam, pembedaan alasan pembubaran yaitu pembubaran BUM Desa karena kerugian yang dialami oleh BUM Desa itu sendiri, dan alasan pembubaran Unit Usaha BUM Desa karena kepailitan yang dialami Unit Usaha BUM Desa.
- Pemahaman seutuhnya akan hadir dalam pikiran dan praksis setelah Anda membeli buku ini di TOKOPEDIA BUKU LKiS Yogyakarta.(*)
Agus Purwadi
April 25, 2023 @ 7:44 am
Akan dibawa kemanakah Bumdes berlayar dalam membantu pergerakan ekonomi desa. Sementara pemahaman peraturan dari pemerintah yang dikeluarkan , kami hanya bisa membaca dan menafsirkan . Kemungkinan menafsirkan juga tidak sama bahkan melenceng tidak sesuai dengan harapan pemerintah. … Kapan pemerintah hadir ditengah tengah kami / Bumdes sebagai pendamping kami ?
mediavanua
April 25, 2023 @ 7:51 am
Pendamping berada di samping, bukan di depan, dan bukan di dalam Desa. Pemerintah bukan berada di atas Desa. BUM Desa saatnya menyadari posisi, kedudukan, hakikat, dan kewenangannya. Bagaimana bergerak bila tak pernah menafsir? Bagaimana menafsir bila tak pernah komunikasi? Tindakan komunikasi merupakan inti pergerakan ekonomi BUM Desa. Dilandasi pemahaman timbal-balik. Mengandaikan selalu ada KONSENSUS. Dan tak pernah mengeluh walaupun banyak utang.