Buku Ponggok Inspirasi Kemandirian Desa (6): Ulasan Buku di Kanal YouTube
Pemesanan Buku: Tokopedia Buku LKiS Yogyakarta
MediaVanua.com ~ Kadatuan Sriwijaya melakukan rekognisi atas Vanua dan Deça. Warga Vanua dan Deça terbuka diakui sebagai datu dan ikut serta mengurus negara Sriwijaya. Kekuasaan Vanua dan Deça tetap berlangsung mandiri dalam wilayah mandala dan tidak bisa diperintah oleh huluntuhan secara hegemonik. Dengan cara berhukum dari sejarah Sriwijaya maka diperoleh diskursus pemerintahan: huluntuhan atau provinsi dan kabupaten/kota tidak bisa memerintah secara hegemonik terhadap Desa pada masa ratusan tahun lalu.
Tipe masyarakat Banua merupakan masyarakat-hidrolik yang bertumpu pada irigasi, sawah, dan budaya tanam padi. Banua berubah setelah Majapahit melakukan ekspansi ke Bali sekitar abad ke-14. Geertz menghindari spekulasi perdebatan tentang Banua berdasar prasasti masa kerajaan. Keduanya meletakkan Banua sebagai konsep dan institusi hasil penelitian etnografi, kritis atas riset Republik Desa (sebelumnya dilakukan oleh Korn), dan meneliti Banua secara tematik berkenaan dengan Pura dan Subak. Dengan cara berhukum dari sejarah Banua, Pura, dan Subak maka asal usul Desa komunitas-organik yang mandiri ditemukan secara nyata pada Desa-desa di Bali.
Wanua bisa juga disebut desa inti (the nuclear village). Desa inti tersebut terdiri dari kelompok warga yang memiliki sawah dan rumah, kelompok warga yang hanya punya rumah dan tegal tapi tidak punya sawah, dan kelompok warga yang belum punya properti dan hak milik seperti anak yang belum nikah.
Van Naerssen dan De Iongh menyebut Wanua sebagai komunitas agraris dan individu-individu (persons) yang berproduksi dengan sawah dan sistem pengairan. Organ kuno di Desa (Wanua) adalah Rama. Hipotesis arkeologis Van Naerssen dan De Iongh menilai Rama sebagai pengatur irigasi kuno yang mengalir ke Wanua-wanua. Pengaturan irigasi kuno pada Wanua Mataram Kuno dikontrol kepengaturannya oleh regulasi-politik dari Rama. Berbeda dengan kepengaturan irigasi Banua Bali Kuno yang berkelanjutan melalui spiritualitas organ Subak. Perbedaan antara Banua (Bali Kuno) dan Wanua di Mataram Kuno terletak pada Sistem irigasi yang mengairi sawah. Irigasi di Bali Kuno dikontrol oleh institusi Subak, sedangkan irigasi Wanua di Mataram Kuno dikontrol melalui regulasi Desa dari Rama. Dengan cara berhukum dari sejarah Wanua di Mataram Kuno terdapat komunitas-organik Rama dan Subak yang menentukan kemandirian Desa.
Dari cara berhukum melalui historisitas Desa dalam Deśawarṇana dan ekonomi Desa skala lokal pada masa Majapahit terdapat keragaman Desa di Nusantara. Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Diskursus Deça mendekati fenomena Desa sebagai komunitas-organik di wilayah administratif yang mandiri, sedangkan diskursus Thani dan Dhapur mendekati fenomena komunitas-organik pada Desa Adat. Keduanya menyatu dalam skala yang lebih luas di wilayah kerajaan Majapahit. Poros komunikasi antara Negara dan masyarakat secara etis dirumuskan melalui Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa. Menjelang surutnya kekuasaan pemerintahan, negara-Majapahit menyusun hukum tertulis antara lain Gajamada, Adhigama (pidana), dan Kutaramanawa.
Pancasila telah ratusan tahun lebih eksis pada Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) Desa. Pancasila bersumber dari Desa dan diakui pada Sistem kekuasaan negara-Majapahit maupun norma fundamental NKRI. Melalui Deśawarṇana kita mengetahui Pancasila dipegang teguh oleh elit (datu) Majapahit (yatnagegwan i pancaçila krtasaskarabhisekakrama) untuk menghadapi situasi bergolak (zaman kali) di kerajaan (kedatuan). Elit Majapahit menekuni filsafat, ilmu bahasa, agama Shiwa-Buddha, laku utama, dan upacara suci (Pupuh 43 Deśawarṇana).
Selain itu terdapat teks Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang menguatkan sinyalemen tentang situasi yang bergolak di Majapahit. Mpu Tantular menulis kakawin untuk menyatukan masyarakat pengikut Buddha (Hyāng Buddha) dan Shiwa Rajadewa (Çiva rajādeva). Frasa “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” merepresentasikan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt): solidaritas antara masyarakat pengikut Buddha dan Shiwa di Desa teritorial Majapahit. Frasa tersebut merupakan frasa penutup untuk menyatukan keduanya (Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā), sehingga tidak mungkin terpisah satu sama lain (Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal).
Sutasoma merupakan tokoh simbolik elit kraton dan titisan Buddha yang pergi ke hutan untuk menemukan jati dirinya. Sutasoma bertarung mengatasi raksasa berbentuk gajah dan naga maupun harimau yang akan memakan anaknya sendiri. Hutan adalah simbol bagi Deśa (wilayah dan komunitas-organik) dalam Kakawin Deśawarnana, sedangkan hutan dalam Kakawin merupakan simbol dari tempat pertarungan antara pengikut Shiwa dan Buddha di Desa. Setiap tindakan yang dilakukan raja berujung pada perbaikan nilai-nilai kepemimpinan moral bagi dirinya sendiri dan memancar ke Desa.
Metafor dalam Kakawin Sutasoma menunjukkan upaya integrasi sosial masyarakat Majapahit pada lingkup Etis. Orientasinya adalah mencapai kebaikan bersama (common good) antara pengikut Shiwa dan Buddha demi menguatkan kerajaan Majapahit. Teks Sutasoma setidaknya mengenalkan filsafat komunitarian sebagaimana digagas oleh Aristotle. Masyarakat era Majapahit rawan mengalami konflik antar pengikut agama dan sekaligus berkapasitas untuk melakukan konsensus demi kebaikan bersama. Fenomena konflik antar pengikut agama terus berulang pada era kerajaan Demak dan sampai sekarang. Konflik pengikut agama di Deśa diwarnai persaingan sesama penguasa (Raka atau Rakryan) untuk membangun bangunan suci di Desa.
Singkat kata, pada masa Majapahit terdapat keragaman Desa di Nusantara. Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Diskursus Deça mendekati fenomena Desa sebagai komunitas-organik di wilayah administratif yang mandiri. Sedangkan diskursus Thani dan Dhapur mendekati fenomena komunitas-organik pada Desa Adat. Keduanya menyatu dalam skala yang lebih luas di wilayah kerajaan Majapahit. Poros komunikasi antara Negara dan masyarakat secara etis dirumuskan melalui Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.
Diskursus Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika turut mewarnai perdebatan ideologis pada masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Meskipun demikian nilai-nilai Pancasila dari Desa tetap hidup dalam batin warga Desa dengan segala hiruk pikuk perdebatan kritik ideologi di kalangan intelektual dan aktivis.
Dari cara berhukum dengan sejarah Desa-desa di Jawa, terdapat pemahaman konseptual bahwa Desa mandiri pada masa Majapahit disebut Dhapur. Bertolak dari Teori Diskursus Hukum, Dhapur berada di Dunia- Kehidupan Desa dan posisinya lebih kuat daripada kekuasaan negara-kraton. Dalam perspektif sosiologi Desa (Dhapur) bukan lagi komunitas (Gemeinschaft; Jerman) tetapi komunitas-organik (Genossenschaft; Jerman) yang mempunyai kedaulatan (Obrigkeit; Jerman).
Kemunculan isu badan hukum pada pusat kekuasaan segera memicu masalah pada skala lokal Desa yaitu status badan hukum dari BUM Desa Tirta Mandiri dan unit usaha BUM Desa Tirta mandiri. Unit usaha BUM Desa Tirta Mandiri diakui sebagai badan hukum privat, sedangkan BUM Desa sebagai badan usaha bercirikan Desa yang nyata di realitas sosial diragukan statusnya sebagai badan hukum.
Fenomena BUM Desa Tirta Mandiri yang telah melakukan berbagai jenis usaha nyata pada skala lokal Desa telah mengalami kesenjangan (gap) dengan teori badan hukum. Teori fiksi dan positivisme hukum tidak bisa menjelaskan dinamika yang dihadapi oleh BUM Desa Tirta Mandiri karena daya analitis positivisme hukum terlalu bertumpu pada personalitas individual daripada personalitas kolektif di Desa.
Kesulitan-kesulitan BUM Desa Tirta Mandiri mendefinisikan dirinya sebagai badan hukum tidak terjawab semata melalui teori- teori hukum itu yang telah berubah menjadi doktrin semata: “BUM Desa dipastikan sebagai badan hukum bila dinyatakan tegas oleh kekuasaan negara melalui hukum tertulis atau urus saja ke notaris untuk diabsahkan sebagai badan hukum”.
Peneliti dalam buku dan video ini menjawab kesenjangan (gap) antara teori dan kenyataan yang dialami oleh BUM Desa beranjak dari 2 (dua) masalah:
- Dampak keberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terhadap status badan hukum BUM Desa Tirta Mandiri.
- Kebijakan hukum (legal policy) yang memberikan pengakuan (recognition) terhadap status badan hukum dari unit usaha BUM Desa Tirta Mandiri.
Video ini membahas bagaimana cara BUM Desa mendirikan Unit Usaha berbentuk Perseroan Terbatas. Saya mengungkapkan juga pengalaman menjumpai transformasi laporan keuangan BUM Desa dengan menggunakan Standar Akuntansi Keuangan ETAP (Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik).
Unik pula, studi di lapangan ini menemukan perdebatan yang belum tuntas, antara penyertaan modal dan investasi dari warga yang akhirnya berujung pada utang investasi. Padahal idealnya penyertaan modal ke BUM Desa merupakan representasi kolektif antara Pemerintah Desa dan masyarakat Desa, sehingga terbalik bila dipahami penyertaan modal masyarakat Desa itu sebagai investasi.
Investor sebaiknya dimaknai sebagai orang dari luar Desa dan bukan masyarakat Desa setempat. Inilah pentingnya membahas badan hukum BUM Desa dan badan hukum Unit Usaha BUM Desa sampai detail pada problem modal, laporan keuangan, dan fenomena ketidakpahaman di pusat kekuasaan bahwa kedua badan hukum itu berbeda organisasi namun tetap melibatkan masyarakat Desa setempat.
Ada 3 (tiga) kelompok teori badan hukum dalam perspektif sosiologi hukum.
Pertama, cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum inkorporasi. Cara berhukum dari Jerman dan Anglo-American ini direpresentasikan oleh teori personalitas fiksi (the fictitious personality theory), teori personalitas buatan (the artificial personality theory), teori konsesi (the concession theory) atau teori hirarki (hierarchical theory).
- Hukum inkorporasi bermakna bahwa personalitas otomatis menyandang status badan hukum bila terdapat rekognisi-formal melalui hukum publik. Negara memonopoli rekognisi formal atas status personalitas menjadi badan hukum (Rechtspersoon; Belanda) melalui hukum publik (public law) yang memuat hak dan kewajibannya.
- Status badan hukum BUM Desa dalam kelompok teori ini diperoleh melalui hukum inkorporasi (incorporation law).
- BUM Desa secara hipotesis menyandang status sebagai badan hukum bila hak dan kewajibannya ditentukan negara melalui hukum publik.
- Kelemahannya, rekognisi- formal melalui cara berhukum inkorporasi bisa bersifat fiksi dan hirarki dengan memposisikan BUM Desa sebagai badan hukum yang dibentuk oleh negara daripada badan hukum yang diakui oleh negara berdasar kondisinya yang nyata.
Kedua, cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum pasar. Cara berhukum ini direpresentasikan oleh kelompok teori kontrak, agregat atau kemitraan (partnership).
- Hukum pasar atau hukum kontraktual bermakna bahwa personalitas otomatis menyandang status badan hukum bila terdapat kesepakatan/konsensualitas antar anggotanya. Konsekuensi dari kesepakatan kontraktual itu adalah entitas hukum yang baru (the new legal entity).
- Status badan hukum BUM Desa dalam kelompok teori ini diperoleh melalui kesukarelaan dan konsensual yang disepakati antar anggotanya.
- BUM Desa secara hipotesis menyandang status badan hukum melalui hukum kontraktual bila BUM Desa atau unit usahanya yang berbadan hukum ditentukan oleh hukum privat daripada hukum publik.
- Kelemahannya, hukum kontraktual membentuk personalitas-individual atau kelompok pada BUM Desa sebagai badan hukum privat sehingga kekuatan modal berupa uang yang akan menguasai BUM Desa.
Ketiga, cara berhukum dengan badan hukum melalui hukum rekognisi. Cara berhukum dari Jerman dan berkembang ke Inggris dan Amerika ini direpresentasikan oleh teori entitas nyata (the real entity). Otto von Gierke adalah teoritisi real entity dan teorinya dikenal dalam literatur badan hukum di Indonesia sebagai teori organ.
- Hukum rekognisi bermakna bahwa personalitas otomatis menyandang status badan hukum bila terdapat eksistensinya secara sosial dan nyata.
- Status badan hukum BUM Desa dalam kelompok teori ini ditentukan oleh eksistensinya secara sosial dan nyata di Desa. Hukum tidak membentuknya secara formal. Hukum melakukan rekognisi dan menghormati eksistensinya.
- Hukum rekognisi menjadi sabuk pengikat (integrasi) yang dilakukan oleh Sistem (negara dan pasar) dan BUM Desa, sekaligus mengakui keseimbangan hak dan kewajiban antara mayoritas dan minoritas dari shareholder BUM Desa yaitu pemerintah Desa dan warga Desa.
Dari ketiga cara berhukum dengan badan hukum diatas peneliti mengunggah kembali teori sosiologis badan hukum dalam penelitian yaitu teori entitas nyata (real entity) atau teori organik. Teori entitas nyata atau teori organik dipengaruhi oleh pemikiran Teori Genosssenschaft dari Otto von Gierke. Teori Genossenschaft Otto von Gierke merupakan teori yang dilandasi moral dan hukum dalam membahas personalitas kelompok nyata (the real group personality) baik kelompok nyata yang terbentuk di perkotaan, asosiasi buruh, dan masyarakat perdesaan.
Buku ini memperkenalkan pembahasan tentang badan hukum BUM Desa Tirta Mandiri melalui diskursus Restorasi Republik Desa. Pada bagian ini peneliti menyusun pokok-pokok pemikiran Restorasi Republik Desa dilihat dari sisi grand theory.
Sebenarnya penggunaan grand theory tidaklah lazim dalam penelitian hukum normatif karena karakter sosiologis dari grand theory harus memantul dalam setiap langkah-langkah analitisnya. Penelitian hukum doktrinal tidak perlu meletakkan grand theory secara serampangan dalam praktik penelitiannya karena penelitian hukum doktrinal lebih tertuju pada pembahasan mengenai asas hukum, kewenangan, prosedur hukum, dan hal-hal yuridis-normatif yang melepaskan diri dari subsistem sosial lainnya.
Untuk kepentingan analisis sosiologi hukum peneliti melakukan penelusuran atas grand theory untuk memastikan hukum dalam masyarakat komunikatif. Penelitian hukum doktrinal berlangsung ko-eksistensi dengan analisa sosiologis dengan mengandaikan hukum berada dalam keseluruhan masyarakat komunikatif.
Penelitian ini mengembangkan rekonstruksi sosiologis hukum tersebut agar Grand Theory tidak menghasilkan pola analisis instruktif dan teknokratis terhadap Desa sehingga peneliti harus peka terhadap tradisi, kultur dan personalitas-kolektif di Desa sembari mengamati keberlakuan aturan-aturan hukum yang ada. Grand Theory Restorasi Republik Desa merupakan salah satu cara berhukum dari Desa. Berhukum dari Desa bermakna menggunakan Desa sebagai sumber pengetahuan hukum dan responsif terhadap tindakan komunikatif yang berlangsung di Desa.
Grand Theory Restorasi Republik Desa melakukan investigasi atas diskursus Republik Desa (dorpsrepubliek; Belanda) dalam studi hukum adat (Adatrecht; Belanda) masa kolonial, pengetahuan tentang Desa yang bersifat normatif dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan tindakan komunikatif yang berlangsung antara Pemerintah Desa, BUM Desa, BPD, dan warga Desa di lokasi penelitian. Hasil investigasi teoritis dari lokasi penelitian difungsikan sebagai alat analisis pengakuan negara terhadap status badan hukum BUM Desa.
Penelitian ini mempunyai kerangka pikir tersendiri terkait badan hukum BUM Desa baik melalui cara berhukum dari Desa maupun cara berhukum di Desa, agar terbentuk peraturan di Desa yang baru dan legitim bagi BUM Desa sebagai badan hukum. Kerangka berpikir penelitian bersifat hirarki. Masing- masing hirarki mempunyai fokus dan penggunaan teori.
Grand Theory Restorasi Republik Desa terdiri atas studi hukum adat dan perubahan orientasi pada Republik Desa. Fokus teori adalah investigasi cara berhukum dari Desa dan cara berhukum di Desa. Penggunaan teori ditujukan untuk menemukan badan hukum BUM Desa sebagai entitas nyata dengan pertimbangan kemandirian Desa sebagai Badan Hukum Organik (dari sisi Desa) atau Badan Hukum Publik (dari sisi kekuasaan negara dan kekuasaan modal).
Teori sosiologis pada middle-range theory adalah teori personalitas yang melandasi keragaman teori badan hukum. Pilihan teoritis yang lebih didalami adalah teori badan hukum organik (Otto von Gierke). Fokus teori yaitu investigasi atas diskursus hukum rekognisi, hukum kontraktual, dan hukum inkorporasi yang sebelumnya dikonstruksi oleh aliran atau kelompok teori badan hukum. Penggunaan teoritis ditujukan untuk menemukan personalitas badan hukum dari BUM Desa dan unit usahanya.
Panduan praktis penelitian dibantu dengan teori terapan (applied theory) Analisis Dampak Pengaturan (Regulatory Impact Analysis). Teori terapan Analisis Dampak Pengaturan dipadukan secara ko-eksistensi dengan teknikalitas legislative drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Fokus teori terapan adalah melakukan kategorisasi (fenomena) terhadap dampak keberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terhadap kedudukan BUM Desa sebagai badan hukum dan merancang kebijakan hukum yang relevan pada skala lokal Desa dan nasional. Penggunaan teoritis ditujukan untuk merancang peraturan di Desa yang relevan untuk mendorong konsensus tentang BUM Desa sebagai badan hukum publik bercirikan Desa pada skala nasional.(*)