Cerita: Kerumunan adalah Neraka (10)

DUKUN
“Dukun itu pasti memiliki kekuatan gaib yang sangat besar,” kata Vanua. “Dia mungkin dalang di balik semua kejadian aneh dan kematian misterius di desa ini.”
“Kita harus menemukan dukun itu,” kata Mudra. “Kita harus menghentikannya sebelum dia melakukan lebih banyak kerusakan.”
Mereka pun mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat sekali lagi, kali ini dengan tujuan untuk menemukan gua dukun. Mereka membawa senter, jimat pelindung, dan tekad yang lebih kuat. Aura hutan terasa berbeda dari sebelumnya—lebih pekat, lebih menekan, seakan menyadari kehadiran mereka dan tidak menginginkannya.
Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya Mudra dan Vanua menemukan gua yang tersembunyi di balik air terjun deras. Tebing curam mengapit pintu masuk gua, seolah alam sendiri enggan membiarkan siapa pun masuk tanpa izin. Mereka melangkah masuk, disambut udara lembab dan bau dupa yang menyengat.
Di dalam gua, mereka melihatnya—dukun itu. Seorang pria tua dengan jubah kumal, duduk bersila di atas tikar usang, dikelilingi tengkorak hewan dan jimat kuno yang memancarkan aura mistis.
“Kalian datang mencari jawaban,” kata dukun itu, suaranya berat dan bergetar seperti angin malam. “Tapi jawaban itu hanya akan membawa kesedihan bagi kalian.”
“Kami tidak takut,” jawab Mudra mantap. “Kami ingin menghentikan teror yang kau sebarkan di desa kami.”
Dukun itu tertawa sinis. “Kalian tidak akan bisa menghentikanku. Aku adalah penguasa hutan ini. Desa kalian telah melupakan tradisi, melupakan leluhur. Kalian pantas mendapatkan hukuman.”
“Kamu salah,” kata Vanua. “Kami tidak melupakan tradisi. Kami hanya berusaha hidup berdampingan dengan alam dan kekuatan gaib dengan cara yang lebih baik.”
“Kalian tidak mengerti,” ujar dukun itu dingin. “Kekuatan gaib tidak bisa dijinakkan. Kekuatan itu harus dihormati dan ditakuti.”
Percakapan itu terhenti ketika dukun itu mengangkat tangannya. Batu-batu mulai beterbangan, api berkobar di udara, dan suara-suara mengerikan menggema di dalam gua. Pertarungan pun dimulai.
Dukun itu mengendalikan elemen-elemen di dalam gua, menciptakan ilusi yang mengerikan. Vanua menyadari bahwa kekuatan dukun itu berasal dari jimat-jimat yang tergantung di dinding. Dengan cepat, dia mulai menghancurkannya satu per satu.
Dukun itu berteriak marah, kekuatannya mulai melemah. Melihat kesempatan itu, Mudra menyerang dengan obor yang menyala terang. Dukun itu terhuyung ke belakang, kehilangan kendali atas sihirnya, hingga akhirnya jatuh ke dalam jurang dalam yang ada di ujung gua. Suaranya menggema, lalu menghilang dalam kegelapan.
Mudra dan Vanua menghela napas lega. Mereka telah mengalahkan dukun itu, tetapi mereka tahu ini bukan sekadar pertarungan fisik—ini adalah pertempuran untuk masa depan desa mereka.
Mereka kembali ke pondok ritual dukun, mencari petunjuk lebih lanjut. Mereka menemukan sebuah buku kuno berisi catatan ritual dan mantra gaib.
“Dukun ini keturunan dari leluhur yang dulu dihormati di desa ini,” kata Vanua. “Tapi dia memilih jalan balas dendam karena merasa diabaikan.”
“Dia menciptakan teror ini untuk menakut-nakuti warga desa agar kembali tunduk padanya,” kata Mudra. “Dia ingin dihormati dengan cara yang salah.”
Mereka memutuskan untuk membawa buku kuno itu kembali ke desa, bukan hanya sebagai bukti atas apa yang telah terjadi, tetapi juga sebagai pelajaran bagi seluruh warga. Mereka ingin menghidupkan kembali tradisi gotong royong dan kebersamaan yang sempat pudar.
Saat mereka kembali ke desa, mereka disambut dengan kelegaan dan rasa syukur. Kepala Desa memeluk mereka erat-erat, dan warga mulai memahami bahwa mereka harus bersatu, menjaga tradisi tanpa terjebak dalam ketakutan buta.
“Kalian telah mengingatkan kami akan arti kebersamaan,” kata Kepala Desa, suaranya bergetar. “Dan bahwa tradisi harus dijaga dengan akal sehat dan hati nurani.”
Mudra dan Vanua tersenyum.
***