Cerita: Kerumunan adalah Neraka (12)
ULAR PENUNGGU PEPUNDEN
Di malam hari, Mudra tidur nyenyak. Mimpi basah. Basah keringat. Kembali ia mendengar suara batin itu.
“Terima kasih sudah mendoakanku. Selama 150 tahun aku disebut Ular Penunggu Pepunden. Namaku bisa saja berganti panggilan: Ni Grenjeng. Lebih tua desa ini daripada diriku. Dulu aku punya utang kepada Volkscredietbanken. Simpan pinjam zaman Belanda. Karena tidak bisa bayar, aku difitnah, dikucilkan oleh pendukung bank itu, mati karena gangguan, jiwa. Aku memilih gila daripada menerima fitnah.”
Setelah mendengar audio batin itu, kerongkongan Mudra tercekat, antara mau bangun tidur atau melanjutkan mimpi.
Mudra memutuskan bangun dari kasur dan menikmati sensasi merinding sesaat di malam hari. Bukan takut yang menyerang dirinya. Bukan cemas dan marah menyergapnya.
Senyap.
Mudra merinding karena mendapat pesan audio batin lanjutan:
“Tatap mata pembayar cicilan dengan keheningan, banyak kejutan yang kau dapat.”
“Yang Telah Dilakukan Leluhur, Sempurnakanlah, Nak…”
Wong tuwa sing tapa (Orang tua yang bertapa)
Anak sing nrima (Anak yang menerima berkahnya)
Putu sing nemu (Cucu akan kembali menemukan berkah itu)
Buyut katut (Orang tua dari kakek-nenekmu ikut serta menikmati keberkahan)
Canggah kesrambah (Orang tua dari buyutmu terimbas keberkahan jua)
Wareng kagandheng (Orang tua dari canggah tergandeng pula)
Udeg-udeg siwur misuwur (Orang tua dari Wareng akan termuliakan)
Mudra bersila hanya beberapa jengkal dari pintu rumah di ruang tamu.
“Utang memang pelik. Segala upaya harus dicoba untuk melunakkan hati yang panas. Arwah gagal masuk ke alam cahaya tanpa batas, alam Yang Tak Dikenali, hanya karena utang di masa kolonial.”
Hujan angin menyerbu tanah kering. Atap rumah berderit. Seng-seng berkerit memerahkan telinga.
Mudra memeriksa pintu. Menguncinya. Masuk ke kamar. Memejamkan mata tanpa mengelak dari pesan arwah Ni Grenjeng.
Pada malam ini, ya, malam ini.
(Bersambung)