Cerita: Kerumunan adalah Neraka (12)

DUA SISI KERUMUNAN
Setelah serangkaian kejadian mengerikan dan terungkapnya kebenaran di balik semua misteri yang menghantui Desa Gayam, Mudra dan Vanua mendapati diri mereka di persimpangan jalan. Mereka memiliki tujuan yang sama: mengembalikan kedamaian dan kesejahteraan di desa mereka. Namun, cara yang mereka lihat untuk mencapai tujuan itu tampak berlawanan, bagai dua jalur yang menuju arah berbeda.
Mudra, dengan keyakinannya pada kekuatan komunitas, melihat solusi dalam persatuan. Ia percaya bahwa warga desa harus kembali merajut kebersamaan, saling mendukung, dan bahu-membahu membangun kembali desa mereka. Tradisi gotong royong, kearifan lokal yang diwariskan leluhur, adalah pilar-pilar yang ia yakini mampu menopang desa ini kembali berdiri tegak. Baginya, kerumunan adalah perwujudan dari kekuatan masyarakat. Setiap individu merasa memiliki tanggung jawab atas kemajuan bersama.
Sebaliknya, Vanua, yang membawa pengalaman pahit dari kota-kota besar saat pandemi, melihat kerumunan sebagai ancaman. Ia menyaksikan bagaimana kerumunan bisa berubah menjadi monster yang kehilangan akal sehat, dikuasai kepanikan dan emosi tak terkendali. Baginya, teori Gustave Le Bon tentang psikologi massa bukan sekadar teori; ia telah melihat sendiri bagaimana individu dalam kerumunan mudah tersulut, kehilangan rasionalitas, dan bertindak di luar batas kewajaran.
“Kita harus menghindari kerumunan,” kata Vanua dengan nada serius. “Kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tapi juga sarang kebodohan dan bencana. Kita sudah melihat sendiri bagaimana warga desa terperangkap dalam kepanikan dan desas-desus yang tak masuk akal.”
“Tapi, kita tidak bisa membangun kembali desa ini tanpa kerumunan,” balas Mudra. “Gotong royong adalah nafas desa ini. Tanpa kebersamaan, bagaimana kita akan membangun rumah, menanam padi, atau mengadakan musyawarah?”
“Kita bisa melakukannya dengan cara yang lebih terstruktur,” kata Vanua, mencoba mencari jalan tengah. “Kita bisa memanfaatkan teknologi, kita bisa berbagi informasi tanpa harus berkumpul secara fisik, kita bisa mencari metode baru yang lebih aman.”
“Itu bukan cara kita,” ujar Mudra, menggelengkan kepala. “Kita adalah masyarakat yang hidup dalam kebersamaan. Kita butuh kehadiran satu sama lain, kita butuh sentuhan, interaksi nyata. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut menjauhkan kita dari akar budaya kita.”
Perdebatan ini merambat ke warga desa. Mereka terpecah menjadi dua kubu: satu pihak mendukung Mudra, ingin kembali ke kehidupan tradisional berbasis gotong royong, sementara pihak lain setuju dengan Vanua, percaya bahwa kehati-hatian dan perubahan pola hidup diperlukan agar kejadian kelam tidak terulang.
“Mudra benar,” kata seorang warga dengan lantang. “Kita harus bersatu, saling membantu, seperti yang diajarkan leluhur kita. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan menguasai kita.”
“Vanua juga benar,” timpal warga lain. “Kita harus berhati-hati. Ini bukan sekadar soal tradisi, ini soal keselamatan kita. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang pernah terjadi.”
Dalam benak Vanua, bayangan pemikiran Le Bon semakin menghantuinya. Ia melihat bagaimana warga desa begitu mudah terbawa arus ketakutan, seperti halnya massa yang kehilangan kendali di kota-kota besar. Ia mulai bertanya-tanya, apakah manusia memang ditakdirkan untuk selalu jatuh dalam siklus yang sama—mengikuti kerumunan tanpa berpikir panjang, larut dalam emosi kolektif tanpa mempertimbangkan akibatnya?
“Mudra, kamu terlalu idealis,” kata Vanua dengan frustrasi. “Aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kerumunan bisa berubah menjadi kekacauan. Orang-orang kehilangan akal sehatnya dalam sekejap. Ini sudah terjadi di kota-kota besar, dan sekarang, aku melihatnya terjadi di sini.”
Mudra terdiam. Sebagai seseorang yang tumbuh dalam komunitas yang erat, ia melihat betapa besar dampak dari ketakutan yang melanda warganya. Ia tahu bahwa Vanua tidak sepenuhnya salah. Ada saat-saat ketika ketakutan kolektif mengubah manusia menjadi sesuatu yang tidak lagi rasional. Namun, ia juga percaya bahwa bukan kerumunannya yang salah, melainkan bagaimana kerumunan itu diarahkan.
“Vanua,” katanya pelan, “Aku percaya bahwa ada perbedaan antara kerumunan yang buruk dan kerumunan yang baik. Kerumunan yang baik adalah yang memiliki tujuan jelas, yang saling mendukung, yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kebijaksanaan dan hati nurani. Jika kita membiarkan ketakutan menguasai kita, kita akan kehilangan segalanya—bukan hanya tradisi, tapi juga jati diri kita sebagai sebuah komunitas.”
Vanua menghela napas, matanya menerawang ke kejauhan. Ia ingin percaya pada kata-kata Mudra, tapi bayangan kekacauan yang pernah ia lihat di kota masih melekat kuat dalam ingatannya.
“Aku hanya tidak ingin melihat desa ini jatuh ke dalam siklus yang sama,” katanya akhirnya. “Aku tidak ingin ketakutan berubah menjadi kehancuran.”
“Maka kita harus mencari keseimbangan,” kata Mudra. “Kita harus membangun kembali desa ini tanpa mengorbankan akal sehat, tetapi juga tanpa kehilangan semangat kebersamaan yang telah menjadi identitas kita. Kita tidak boleh membiarkan ketakutan mengendalikan kita, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap pelajaran yang telah kita dapatkan.”
Perdebatan mereka tidak berakhir begitu saja. Mudra dan Vanua masih belum sepenuhnya sepakat.
***