Cerita: Kerumunan adalah Neraka (13)

KONFRONTASI EKSISTENSI
Desa Gayam, meskipun telah terbebas dari ancaman dedemit dan dukun yang menghantui, masih dilanda ketegangan yang kental. Perbedaan pandangan antara Mudra dan Vanua semakin tajam, menciptakan atmosfer yang penuh dengan ketidakpercayaan dan konflik yang tersembunyi di balik senyum dan sapaan.
Vanua, yang semakin terobsesi dengan gagasan eksistensialisme Sartre, terutama konsep “neraka adalah orang lain,” melihat setiap interaksi dengan warga desa sebagai sumber penderitaan dan penghalang bagi kebebasannya. Ia merasa terjebak dalam “neraka” yang diciptakan oleh kehadiran orang lain, oleh tatapan dan penilaian mereka yang seolah tak pernah lepas darinya, mengikatnya dalam jaring ekspektasi dan norma sosial.
“Lihat mereka,” kata Vanua kepada Mudra, dengan nada getir yang menyiratkan kepahitan, menunjuk ke arah sekelompok warga desa yang sedang bergotong royong membangun kembali rumah yang rusak. “Mereka selalu mengawasi, menilai, dan mencoba mengontrol kita. Mereka ingin kita menjadi seperti mereka, mengikuti tradisi mereka, hidup dalam kerumunan mereka yang menyesakkan.”
“Mereka hanya ingin membantu, Vanua,” jawab Mudra, mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak begitu gelisah dan tertekan. “Mereka peduli pada kita, pada desa ini, pada masa depan kita bersama.”
“Peduli?” Vanua tertawa sinis, tawa yang terdengar pahit dan tanpa harapan. “Itu hanya ilusi, Mudra. Mereka peduli pada diri mereka sendiri, citra mereka di mata orang lain, dan tradisi yang mereka anggap suci. Mereka tidak peduli pada kebebasan kita, individualitas kita, dan apa yang benar-benar kita inginkan.”
Vanua merasa seperti karakter dalam drama “Tiada Jalan Keluar” karya Sartre, terjebak dalam sebuah kamar yang membosankan dan menyesakkan bersama dengan orang-orang yang membuatnya menderita. Ia melihat warga desa sebagai “orang lain” yang mengobjektifkan dan membatasi kebebasannya, merampas otonominya, dan membuatnya merasa terasing di tengah keramaian.
“Aku merasa seperti terperangkap di sini, Mudra,” kata Vanua, suaranya bergetar, nyaris putus asa. “Aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri, identitasku, esensi keberadaanku. Aku merasa seperti menjadi bayangan dari apa yang orang lain inginkan aku menjadi.”
Mudra melihat bagaimana sahabatnya tersiksa oleh pemikirannya sendiri, oleh ketakutannya yang mendalam terhadap orang lain, terhadap kerumunan. Ia merasa bahwa ia harus membantu Vanua untuk keluar dari “neraka” yang diciptakannya sendiri, untuk menemukan kembali kebebasan dan kedamaian dalam dirinya.
“Vanua,” kata Mudra, dengan suara lembut. “Kamu tidak sendirian. Kita semua mengalami penderitaan. Tapi, kita bisa memilih untuk keluar dari penderitaan itu. Kita bisa memilih untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, untuk saling menghormati kebebasan masing-masing.”
“Hubungan?” Vanua mencibir. “Hubungan hanya menciptakan ketergantungan, konflik, dan penderitaan.”
“Tidak semua hubungan seperti itu,” jawab Mudra. “Ada hubungan yang saling mendukung, yang saling menguatkan, yang saling menghargai. Kita bisa menciptakan hubungan seperti itu di desa ini.”
“Bagaimana caranya?” tanya Vanua, dengan nada skeptis.
“Dengan berdialog, dengan saling memahami, dengan saling menghormati,” jawab Mudra. “Kita tidak harus setuju pada semua hal, tapi kita harus bisa menghargai perbedaan.”
Namun, semakin lama, pemikiran Vanua semakin menjauhkannya dari warga desa. Ia mulai menghindari kegiatan gotong royong, semakin sering menyendiri, dan memandang warga dengan penuh curiga. Sampai akhirnya, kata-katanya sendiri menjeratnya dalam konflik besar.
Suatu hari, dalam perdebatan panas dengan Mudra di depan beberapa warga desa, Vanua dengan lantang berkata, “Kalian semua adalah boneka yang tak berakal, hidup dalam kerumunan tanpa berpikir! Aku tidak ingin menjadi bagian dari kalian!”
Ucapan itu menyulut api kemarahan. Warga desa yang mendengarnya merasa terhina. Desas-desus menyebar cepat, dan dalam hitungan jam, kerumunan warga berkumpul di depan rumah Kepala Desa, menuntut kejelasan.
“Vanua telah menghina kita!” seru seorang warga dengan suara lantang. “Jika dia tidak ingin menjadi bagian dari desa ini, sebaiknya dia pergi!”
Mudra mencoba menenangkan mereka, tapi suasana sudah terlalu panas. Vanua sendiri tidak membela diri, hanya berdiri diam dengan wajah kosong, seolah semua ini sudah ia prediksi sejak lama.
“Vanua,” kata Mudra, dengan suara sedih dan penuh kekecewaan. “Kamu telah menyakiti mereka. Kamu juga telah menyakitiku.”
Vanua menatap Mudra, lalu mengalihkan pandangannya ke kerumunan warga yang marah. Dia merasa terisolasi, benar-benar sendirian di dunia yang tiba-tiba terasa dipenuhi dengan “neraka” yang ia ciptakan dalam pikirannya.
“Aku… aku akan pergi,” katanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan desa yang pernah ia sebut rumah, meninggalkan Mudra, dan meninggalkan semua yang ia kenal.
Mudra terpaku, menatap kepergian Vanua, merasakan campuran kesedihan dan kekecewaan yang menyesakkan dadanya. Ia tahu bahwa Vanua telah membuat kesalahan besar, bahwa kata-katanya telah melukai banyak hati. Namun, ia juga tahu bahwa Vanua adalah orang yang baik, orang yang sedang berjuang dengan pemikirannya sendiri, dengan ketakutan dan keraguan yang menghantuinya.
Dia berharap dalam hati, semoga Vanua akan menemukan kedamaian yang ia cari, menemukan kebebasan yang ia idam-idamkan. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Mudra menilai bahwa jalan yang Vanua pilih adalah jalan yang sangat sepi, jalan yang mungkin akan membawa Vanua pada kesengsaraan yang lebih dalam.
***
Ingin baca kelanjutannya? Sudah tersedia di aplikasi KaryaKarsa, klik tautan ini gaesss….
Ingin beri dukungan, klik ini: DUKUNGAN UNTUK PENGARANG DI KARYAKARSA