Cerita: Kerumunan adalah Neraka (3)

MUDRA, PENJAGA HARAPAN
Mudra lahir dan besar di Desa Gayam, menyerap setiap nilai dan tradisi yang diwariskan oleh leluhur. Desa ini bukan sekadar tempat tinggal baginya, melainkan bagian dari jiwanya. Setiap jalan setapak, setiap rumah, dan setiap wajah warga desa memiliki makna yang mendalam baginya. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa gotong royong adalah napas kehidupan desa, perekat yang menyatukan mereka dalam suka maupun duka.
Mudra dikenal sebagai pemuda yang bijaksana dan penuh semangat. Ia tak hanya berpartisipasi dalam kegiatan desa, tetapi juga berusaha menjaga semangat kebersamaan. Baginya, kebahagiaan sejati adalah melihat senyum di wajah sesama. Ia percaya bahwa desa bukan sekadar kumpulan rumah dan ladang, melainkan sebuah komunitas yang saling mendukung. Satu orang jatuh, yang lain akan membantu bangkit.
Namun, pandemi COVID-19 telah mengubah segalanya. Desa Gayam yang dulu damai dan penuh kehangatan kini sunyi dan mencekam. Ketakutan merayap masuk ke setiap sudut desa, perlahan menggerogoti kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan mereka. Warga yang dulu saling menyapa kini menjaga jarak, bahkan enggan menatap mata satu sama lain. Gotong royong yang menjadi ciri khas desa perlahan memudar, digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan.
Mudra merasa perih melihat perubahan ini. Ia tak pernah membayangkan desa yang ia cintai bisa terpecah seperti ini. Ia melihat sendiri bagaimana warung Bu Minah, yang dulunya ramai oleh obrolan santai, kini hanya menjadi tempat singgah yang sepi. Ia mendengar keluhan para pedagang pasar yang kehilangan pembeli, menyaksikan anak-anak yang tak lagi berlarian di lapangan desa, dan merasakan atmosfer yang penuh kecemasan.
Namun, Mudra tidak ingin menyerah pada keadaan. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Jika ia membiarkan desa ini tenggelam dalam ketakutan, maka yang akan tersisa hanyalah kehancuran. Dengan tekad bulat, ia mulai berkeliling desa, berbicara dengan warga, mencoba mengembalikan semangat yang telah lama pudar.
“Pak Mudra, bagaimana ini?” tanya Bu Karti, bendahara BUM Desa, dengan wajah cemas. “Modal kita sudah menipis, pemasukan hampir tidak ada.”
“Tenang, Bu Karti,” jawab Mudra dengan senyum yang mencoba menenangkan. “Kita harus mencari cara lain. Mungkin kita bisa fokus pada produksi masker atau hand sanitizer, kebutuhan yang sekarang sangat tinggi.”
“Tapi, siapa yang mau beli?” sahut Pak Darmo, pengurus BUM Desa lainnya. “Orang-orang sekarang lebih khawatir soal makan daripada soal kesehatan.”
“Justru itu, Pak Darmo,” kata Mudra. “Kita buat produk yang terjangkau, yang bisa membantu warga menjaga kesehatan tanpa memberatkan ekonomi mereka. Kita juga bisa mencari cara agar produksi ini bisa membantu mereka yang kehilangan penghasilan.”
Mudra kemudian berjalan keluar kantor, menatap jalanan desa yang sepi. Ia melihat beberapa warga duduk di teras rumah, wajah mereka tampak lesu dan putus asa.
“Pak Mudra, bagaimana dengan bantuan sembako?” tanya Pak Karto, yang sedang duduk di depan rumahnya. “Kita sudah lama tidak dapat bantuan.”
“Sedang diusahakan, Pak Karto,” jawab Mudra. “Tapi, kita juga harus mandiri. Kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan.”
“Mandiri bagaimana, Pak Mudra?” tanya Pak Karto dengan nada getir. “Semua usaha sudah tutup, tidak ada penghasilan.”
“Kita cari solusi bersama, Pak Karto,” kata Mudra. “Kita punya lahan kosong, kita bisa tanam sayuran atau buah-buahan. Kita punya keahlian, kita bisa buat kerajinan tangan. Kita punya semangat, kita pasti bisa melewati ini.”
Mudra kemudian pergi ke rumah Kepala Desa. Ia melihat Kepala Desa sedang duduk termenung di ruang tamu, wajahnya tampak lelah dan khawatir.
“Kepala Desa, kita harus segera ambil tindakan,” kata Mudra. “Warga semakin putus asa, kita harus berikan mereka harapan.”
“Harapan apa, Mudra?” tanya Kepala Desa dengan suara lesu. “Kita sendiri sudah kehilangan harapan.”
“Kita punya BUM Desa, Kepala Desa,” kata Mudra. “Kita punya sumber daya, kita punya warga yang kuat. Kita bisa bangkit bersama-sama.”
“Tapi, bagaimana caranya?” tanya Kepala Desa. “Semua orang takut keluar rumah, semua usaha sudah tutup.”
“Kita buat strategi baru, Kepala Desa,” kata Mudra. “Kita manfaatkan teknologi, kita jual produk secara online. Kita buat program pelatihan online, kita berikan warga keterampilan baru.”
Kepala Desa terdiam sejenak, menatap Mudra dengan pandangan penuh harapan.
“Kamu benar, Mudra,” katanya akhirnya. “Kita tidak boleh menyerah. Kita harus bangkit kembali.”
Mudra tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, ia yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa melewati masa sulit ini. Ia percaya pada kekuatan komunitas, pada semangat gotong royong yang telah mengalir dalam darah mereka.
Mudra kembali ke kantor BUM Desa, kali ini ditemani oleh beberapa pemuda desa yang masih memiliki semangat untuk membantu. Di ruangan kecil yang pengap itu, mereka berkumpul, merancang strategi untuk membangkitkan kembali ekonomi desa.
“Kita bisa mulai dengan memanfaatkan lahan kosong di belakang balai desa,” kata Roni, salah seorang pemuda yang mahir bertani. “Kita tanam sayuran yang cepat panen, seperti kangkung atau bayam.”
“Ide bagus, Roni,” timpal Siti, seorang gadis yang pandai memasak. “Hasil panennya bisa kita olah menjadi makanan siap saji, lalu kita jual secara daring.”
“Tapi, bagaimana dengan modalnya?” tanya Budi, pemuda yang memiliki usaha kerajinan tangan. “Kita kan sudah kehabisan uang.”
Mudra tersenyum. “Kita bisa ajukan rencana program kerja BUM Desa kepada pemerintah desa untuk mendapatkan dana bantuan. Kita juga bisa mengajak warga untuk berinvestasi, dengan sistem bagi hasil. Tidak harus penyertaan modal dalam jumlah besar.”
Mereka pun mulai bekerja, merencanakan setiap detail usaha mereka. Mereka tidak lagi merasa takut atau putus asa. Semangat gotong royong yang dulu pernah hilang kini kembali membara dalam diri mereka.
Di luar kantor BUM Desa, desa masih tampak sepi dan sunyi. Namun, di dalam hati Mudra, harapan mulai tumbuh kembali. Ia percaya bahwa setiap usaha kecil yang mereka lakukan akan membawa perubahan besar bagi desa. Ia akan terus berjuang, menjadi penjaga harapan bagi desanya.
***