Cerita: Kerumunan adalah Neraka (4)

KEDATANGAN VANUA
Vanua tiba di Desa Gayam dengan ransel besar di punggung dan trauma mendalam yang masih menghantuinya. Desa ini, dengan kesunyian dan ketenteramannya, adalah kebalikan total dari kota-kota yang baru saja ia tinggalkan—Yogyakarta, Surabaya, Depok—kota-kota yang menyisakan kenangan pahit tentang pandemi. Rumah sakit yang penuh sesak hingga lorong-lorong, suara tangisan pilu, jeritan kehilangan, serta kematian yang terasa begitu dekat, seolah bisa diraih dengan tangan.
Sebagai sukarelawan medis, Vanua telah menyaksikan bagaimana pandemi merenggut nyawa tanpa pandang bulu. Ia melihat bagaimana kerumunan yang dulu dianggap sebagai kekuatan, berubah menjadi sumber ketakutan dan bencana. Ia melihat orang-orang kehilangan rasionalitas mereka, terjerumus dalam kepanikan yang membutakan dan keputusasaan yang melumpuhkan.
Trauma itu masih segar membekas, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Malam-malamnya sering diisi oleh mimpi buruk—ruang gawat darurat yang penuh sesak, suara mesin ventilator yang berisik, langkah kaki para petugas medis yang terburu-buru, dan panggilan darurat yang tiada henti. Setiap kali terjaga, jantungnya berdegup kencang, seolah ia masih terperangkap di dalam pusaran pandemi yang tak berujung.
Desa Gayam adalah pelarian yang ia cari. Ia berharap, di desa ini, ia bisa menemukan ketenangan yang selama ini menghindar darinya. Namun, harapannya segera pudar saat ia menyadari bahwa ketakutan juga telah mencengkeram desa ini. Ketakutan yang berbeda, tetapi sama mengakar. Warga desa saling menjauh, bukan hanya karena virus, tetapi juga karena ketakutan yang dibangun oleh desas-desus dan kepercayaan lama.
Ia mendengar bisik-bisik tentang makhluk halus, kutukan, dan hukuman dari leluhur yang marah. Ketakutan di desa ini bukan hanya tentang pandemi, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. Ia merasa seolah-olah desa ini sedang mengalami mimpi buruk yang sama dengan kota-kota yang ditinggalkannya, hanya dalam bentuk yang berbeda.
“Ini bukan desa, ini neraka,” gumam Vanua suatu malam, saat ia berjalan-jalan di sekitar desa. Ia mengingat kata-kata Sartre, “Neraka adalah orang lain.” Baginya, bukan makhluk halus yang menciptakan penderitaan, melainkan manusia sendiri—dengan ketakutan, prasangka, dan kehilangan akal sehat mereka.
Vanua adalah seorang skeptis. Ia tidak percaya pada takhayul atau kekuatan gaib. Ia percaya pada rasionalitas, pada ilmu pengetahuan, pada fakta. Baginya, setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis. Namun, ia heran melihat bagaimana warga desa begitu mudah terpengaruh oleh desas-desus. Ia merasa kasihan, melihat bagaimana ketakutan telah menguasai mereka.
“Mereka seperti kerumunan di kota,” pikirnya. “Mudah panik, mudah kehilangan kendali.”
Ia teringat pada teori Gustave Le Bon tentang psikologi kerumunan. Le Bon menjelaskan bagaimana individu dalam kerumunan cenderung kehilangan identitas pribadi mereka dan lebih mudah terpengaruh oleh emosi kolektif yang kuat. Vanua merasa bahwa warga desa sedang mengalami fenomena yang serupa, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Namun, ia juga melihat sesuatu yang berbeda. Di kota, kerumunan terbentuk secara spontan, tanpa ikatan yang kuat. Di desa, mereka terikat oleh hubungan kekeluargaan dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Di tengah keputusasaan, satu sosok menarik perhatiannya, Mudra. Ia melihat bagaimana pemuda desa itu berusaha keras membangkitkan kembali semangat gotong royong dan kebersamaan yang mulai pudar. Mudra tampaknya percaya bahwa kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tetapi juga kekuatan yang, jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi sumber harapan.
“Mungkin ada sesuatu yang berharga yang bisa kupelajari dari desa ini,” pikir Vanua. “Mungkin ada cara untuk mengubah ketakutan menjadi kekuatan.”
Ia memutuskan untuk menetap sementara di desa ini, bukan hanya untuk membantu warga, tetapi juga untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti mereka. Ia merasa memiliki panggilan untuk mengembalikan rasionalitas di tengah ketakutan, untuk membimbing warga desa keluar dari labirin kecemasan yang semakin mencekik.
Malam pertama Vanua di Desa Gayam dilaluinya dengan gelisah. Bayang-bayang masa lalunya kembali menghantui, berputar seperti film kelam yang tak mau berhenti. Ia kembali melihat wajah-wajah pasien yang pucat pasi, mendengar suara napas tersengal-sengal, dan merasakan dinginnya lantai rumah sakit di bawah kakinya. Seolah ia masih berada di tengah pandemi yang tak berkesudahan.
Pagi harinya, ia memutuskan untuk keluar dan menjelajahi desa. Ia ingin melihat sendiri bagaimana warga menjalani hari-hari mereka, bagaimana mereka berjuang menghadapi ketakutan dan ketidakpastian. Jalanan desa tampak lengang. Rumah-rumah tertutup rapat, seperti cangkang yang melindungi penghuninya dari ancaman yang tak kasatmata. Beberapa warga tampak keluar rumah, tetapi mereka berjalan dengan tergesa-gesa, menghindari kontak mata.
Ia berhenti di depan warung Bu Minah, satu-satunya tempat yang tampak masih memiliki denyut kehidupan. Aroma kopi dan gorengan menyambutnya, membangkitkan selera makannya yang sempat hilang.
“Selamat pagi, Bu Minah,” sapanya ramah.
“Selamat pagi, Nak,” jawab Bu Minah, menatapnya dengan pandangan penuh selidik. “Anak baru di sini, ya?”
“Ya, Bu,” jawab Vanua, mencoba tersenyum. “Saya sukarelawan medis, baru tiba kemarin.”
“Oh, sukarelawan,” kata Bu Minah, ekspresinya sedikit melunak. “Syukurlah, desa kami memang butuh bantuan.”
Vanua memesan kopi dan pisang goreng. Ia mengamati Bu Minah yang tampak lelah dan khawatir. “Bagaimana keadaan desa ini, Bu?” tanyanya.
“Ya, begitulah, Nak,” Bu Minah menghela napas. “Sejak pandemi, semua berubah. Warga takut keluar rumah, usaha sepi, desas-desus tentang makhluk halus pun makin menjadi.”
“Desas-desus makhluk halus?” tanya Vanua, alisnya terangkat penasaran.
“Ya, Nak,” kata Bu Minah, matanya menerawang. “Ada yang bilang melihat kuntilanak, ada yang dengar suara-suara aneh. Kami jadi takut keluar malam.”
Saat itu, Mudra datang ke warung. Mereka saling memperkenalkan diri dengan singkat.
“Kamu sukarelawan medis?” tanya Mudra penuh harapan. “Syukurlah, kami butuh bantuan.”
“Saya juga tertarik dengan desas-desus yang beredar di desa ini,” kata Vanua, langsung ke intinya. “Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kamu percaya pada makhluk halus?” tanya Mudra.
“Tidak,” jawab Vanua tegas. “Saya percaya pada rasionalitas. Saya percaya bahwa setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis.”
Mudra tersenyum tipis. Ia melihat secercah harapan dalam diri Vanua. Jika mereka bisa bekerja sama, mungkin mereka bisa menemukan cara untuk menghadapi ketakutan yang melanda desa ini—baik yang nyata maupun yang lahir dari pikiran sendiri. Vanua pun merasa bahwa mungkin, di desa ini, ia bisa menemukan sesuatu yang selama ini hilang: makna di balik ketakutan, dan kedamaian di tengah kekacauan.
***