Cerita: Kerumunan adalah Neraka (5)

BISIKAN DARI KEGELAPAN
Desa Gayam kini terasa seperti kota yang dilanda teror, namun bukan teror dari invasi alien atau serangan robot canggih seperti yang dihadapi para pahlawan super dalam film-film. Teror yang mencengkeram desa ini jauh lebih kuno, lebih dalam, dan lebih merasuk ke dalam hati serta pikiran penghuninya. Ketakutan mereka bukan datang dari luar, melainkan dari bayang-bayang di dalam diri sendiri.
Bisik-bisik tentang dedemit semakin menjadi-jadi. Kuntilanak, dengan tawa melengkingnya, bukan sekadar sosok hantu perempuan biasa. Ia menjadi perwujudan dari ketakutan mendalam akan kehilangan dan penyesalan. Pocong, dengan kain kafannya yang membalut tubuh, bukan sekadar simbol kematian yang menakutkan, tetapi juga representasi dari masa lalu yang belum selesai. Genderuwo, dengan tubuhnya yang raksasa, melambangkan kekuatan liar yang tak terkendali, sementara Wewe Gombel menjadi personifikasi dari naluri keibuan yang terdistorsi.
Bagi sebagian warga desa, makhluk-makhluk ini bukan hanya cerita turun-temurun, tetapi kenyataan yang semakin nyata di tengah pandemi. Mereka percaya bahwa yang terjadi di desa bukan hanya wabah penyakit, tetapi juga kutukan yang menguji keimanan dan keberanian mereka.
Vanua, dengan pikiran rasionalnya, melihat fenomena ini sebagai manifestasi dari ketakutan yang berkembang liar. Baginya, ini bukan soal keberadaan makhluk halus, melainkan tentang bagaimana ketakutan menguasai dan membentuk persepsi manusia. Desa ini, seperti kota-kota yang telah ditinggalkannya, sedang menghadapi musuh yang sama—kepanikan dan kehilangan akal sehat.
Ia ingin membuktikan bahwa semua ini hanyalah hasil dari ketidakpastian dan desas-desus yang semakin membesar. Namun, berbeda dengan di kota, yang mana informasi tersebar dengan cepat melalui media sosial dan berita, di desa, ketakutan itu berkembang melalui bisikan, dari mulut ke mulut, dari mimpi yang diceritakan sebelum subuh hingga bayangan yang terlihat di sudut mata.
Sementara itu, Mudra, yang lebih memahami cara berpikir warga desa, melihat fenomena ini dari sudut yang berbeda. Ia tidak ingin membantah kepercayaan mereka secara langsung. Baginya, ketakutan itu harus dikelola, bukan disangkal. Ia memahami bahwa dalam situasi seperti ini, menolak keyakinan warga desa hanya akan membuat mereka semakin defensif dan semakin dalam terperangkap dalam ketakutan mereka sendiri.
Mudra percaya bahwa ketakutan harus dihadapi bersama. Jika dedemit adalah bagian dari cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, maka mereka juga bisa menjadi alat untuk membangun kembali solidaritas yang mulai pudar. Ia ingin menunjukkan bahwa mereka tidak harus takut sendirian, bahwa gotong royong bisa menjadi kekuatan untuk melawan ketakutan, baik itu nyata maupun yang lahir dari pikiran mereka sendiri.
Suatu pagi, di warung Bu Minah, ketegangan mulai terasa. Percakapan yang dulu dipenuhi canda dan obrolan ringan kini berubah menjadi diskusi tentang kejadian-kejadian aneh yang semakin sering terjadi.
“Kamu lihat sendiri, kan? Tadi malam ada yang terbang di atas genteng rumahku!” seru Pak Karto kepada Vanua, matanya membelalak.
“Pak Karto, mungkin itu burung hantu,” jawab Vanua tenang, sambil menyeruput kopinya.
“Burung hantu? Yang sebesar itu? Dengan mata merah menyala?” Pak Karto menggeleng. “Itu kuntilanak, Nak! Saya tahu betul!”
Vanua menghela napas. “Pak Karto, sejauh ini belum ada bukti ilmiah tentang keberadaan kuntilanak atau makhluk halus lainnya. Apa Bapak melihatnya sendiri?”
Pak Karto terdiam sejenak, lalu berkata, “Saya tidak melihat langsung, tapi anak saya yang melihat. Dia sampai pingsan!”
“Mungkin anak Bapak terlalu lelah, atau terpengaruh cerita-cerita yang beredar,” kata Vanua dengan nada hati-hati. Ia tahu bahwa menyangkal langsung hanya akan memperkeruh suasana.
“Ilmiah, ilmiah… Sekarang ini, logika sudah tidak mempan! Ini zaman kegelapan!” Pak Karto menggebrak meja, membuat cangkir kopi Vanua bergetar.
Bu Minah yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Pak Karto, jangan begitu. Nanti malah dedemitnya marah.”
“Marah? Biar saja marah! Saya sudah tidak takut!” Pak Karto beranjak dari duduknya, wajahnya merah padam. “Saya akan buktikan, dedemit itu ada!”
Vanua menghela napas panjang, merasa prihatin dengan ketakutan yang mencengkeram warga desa. Bayang-bayang ketakutan itu telah meracuni pikiran mereka, mengubah mereka menjadi sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak kenali.
“Kamu tidak percaya, Nak?” tanya Bu Minah, menatap Vanua dengan tatapan curiga.
“Saya percaya pada apa yang saya lihat,” jawab Vanua tenang, berusaha menjaga nada suaranya tetap ramah. “Dan sejujurnya, saya belum melihat bukti keberadaan makhluk halus yang kalian bicarakan.”
Bu Minah tersenyum kecut. “Nanti juga kamu percaya,” katanya pelan. “Di desa ini, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ada kekuatan lain yang bekerja di sini.”
Tiba-tiba, suara teriakan memekik memecah keheningan warung. Teriakan itu datang dari luar, membuat semua orang terlonjak kaget. Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga—Vanua, Bu Minah, dan Pak Karto—berlari keluar dan mendapati kerumunan warga telah berkumpul di depan rumah Pak RT. Suasana panik dan tegang menyelimuti mereka.
“Ada apa ini?” tanya Vanua, suaranya meninggi berusaha mengalahkan kebisingan.
“Anak Pak RT melihat kuntilanak lagi!” jawab salah seorang warga dengan suara gemetar, matanya membulat penuh ketakutan. “Dia sampai pingsan lagi!”
Vanua menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar cerita serupa.
Mudra tiba di lokasi, menatap Vanua dengan penuh arti. “Sepertinya kita punya pekerjaan besar di depan kita,” katanya.
Vanua menatap kerumunan, lalu beralih menatap Mudra. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekadar tentang membuktikan atau membantah keberadaan dedemit. Ini adalah tentang bagaimana mereka bisa menghadapi ketakutan bersama. Dan mungkin, hanya mungkin, di sinilah letak harapan yang selama ini ia cari.
***