Cerita: Kerumunan adalah Neraka (7)

BAYANG-BAYANG MAUT
Desa Gayam, yang sudah dilanda ketakutan dan misteri, kini diguncang oleh peristiwa yang lebih mengerikan: kematian. Pak Slamet, salah satu warga desa yang aktif dalam ronda malam, ditemukan tewas di pematang sawah. Kematian itu terasa ganjil—tidak ada tanda-tanda penyakit atau serangan binatang buas, tetapi wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang mengerikan.
“Saya menemukannya pagi ini, saat hendak ke sawah,” cerita Pak Karto kepada Mudra dan Vanua, suaranya bergetar. “Dia tergeletak di pematang, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi.”
“Apakah ada tanda-tanda kekerasan?” tanya Vanua sambil memeriksa jenazah Pak Slamet.
Pak Karto menggeleng. “Tidak ada, Nak. Tapi… wajahnya tampak seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum mati.”
Kematian Pak Slamet membuat warga desa semakin panik. Mereka yakin bahwa desa mereka telah dikutuk, bahwa makhluk halus kini mulai mengambil nyawa mereka satu per satu.
“Ini pasti ulah kuntilanak!” seru seorang ibu dengan suara histeris. “Dia marah karena kita mengusik sarangnya di pohon beringin!”
“Atau mungkin genderuwo dari hutan!” timpal seorang pemuda. “Dia tidak suka kita mengganggu wilayahnya!”
Desas-desus tentang kutukan dan pembalasan dendam semakin santer. Warga desa tidak lagi merasa aman, bahkan di siang hari. Ketakutan mengakar begitu dalam hingga mereka enggan keluar rumah setelah matahari terbenam.
Vanua, yang tetap berpegang pada logika, mencoba mencari penjelasan rasional atas kematian ini. “Bisa saja ini serangan jantung atau stroke,” ujarnya kepada Mudra. “Atau mungkin ada racun dalam tubuhnya. Kita perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
“Tapi bagaimana? Kita tidak punya dokter di desa ini,” balas Mudra.
“Saya bisa melakukannya,” kata Vanua. “Saya punya sedikit pengalaman dalam forensik. Setidaknya kita bisa mencari petunjuk lebih jelas.”
Dengan izin keluarga, Vanua melakukan pemeriksaan sederhana terhadap jenazah Pak Slamet. Hasilnya mengejutkan: tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada luka, tidak ada racun yang terlihat jelas.
“Ini aneh,” gumam Vanua. “Tidak ada penyebab yang jelas. Tidak ada tanda penyakit jantung atau tekanan darah tinggi. Tapi dia meninggal dengan ekspresi ketakutan yang sangat intens.”
Mudra berpikir sejenak. “Mungkin dia melihat sesuatu yang membuatnya sangat ketakutan, hingga jantungnya berhenti.”
“Ketakutan bisa memicu gagal jantung pada orang yang memiliki riwayat penyakit, tapi sejauh ini kita tidak menemukan bukti bahwa Pak Slamet memiliki kondisi seperti itu,” kata Vanua.
Kematian Pak Slamet semakin mengentalkan suasana mencekam di Desa Gayam. Warga semakin yakin bahwa makhluk gaib benar-benar telah mengusik keseimbangan desa mereka. Rasa curiga dan paranoia menyebar dengan cepat.
Mudra merasa bertanggung jawab. Ia tahu bahwa jika ketakutan ini tidak segera diatasi, desa mereka akan semakin terpuruk dalam kegelapan. “Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” katanya kepada Vanua. “Kita tidak bisa membiarkan ketakutan ini merajalela tanpa bukti yang jelas.”
“Aku setuju,” sahut Vanua. “Tapi kita butuh lebih dari sekadar keyakinan. Kita perlu bukti yang bisa menjelaskan misteri ini.”
Mereka mulai menyelidiki tempat kejadian, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Mereka berbicara dengan warga yang ikut ronda malam, mencatat semua kejanggalan yang mereka temukan.
Di tengah penyelidikan, sebuah fakta mengejutkan terungkap: ini bukan pertama kalinya seseorang meninggal dengan cara yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa warga yang meninggal secara misterius, tetapi kematian mereka selalu dianggap sebagai kejadian alami atau hukuman dari leluhur yang marah.
“Dulu ada Pak Jaya,” cerita seorang tetua desa. “Dia ditemukan tewas di rumahnya, tanpa sebab yang jelas. Padahal, sehari sebelumnya, dia masih sehat dan bugar.”
“Lalu ada Bu Lastri, pemilik warung,” timpal seorang ibu. “Dia meninggal saat tidur. Tidak ada tanda-tanda sakit. Kami menganggapnya ajal biasa, tapi sekarang aku mulai berpikir ulang.”
“Dan beberapa tahun lalu, ada beberapa pemuda yang jatuh di sawah dan meninggal mendadak. Seperti ada sesuatu yang mencabut nyawa mereka tanpa peringatan,” tambah seorang pemuda.
Kematian-kematian itu tidak pernah diselidiki lebih lanjut. Warga hanya menerimanya sebagai bagian dari nasib, takut mencari tahu lebih jauh.
Mudra dan Vanua merasakan firasat buruk. Pola ini bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang sedang terjadi di desa ini, sesuatu yang lebih besar dari sekadar mitos atau kebetulan belaka.
Mereka mulai menggali lebih dalam sejarah desa, bertanya kepada para sesepuh tentang kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi di masa lalu.
“Dulu, hutan di sebelah barat desa dianggap keramat,” ujar seorang kakek dengan suara lirih. “Orang-orang dulu percaya bahwa ada sesuatu yang tinggal di sana. Mereka yang masuk ke dalamnya jarang kembali.”
“Apa ada yang pernah mencoba masuk ke hutan itu?” tanya Vanua.
“Tidak ada yang cukup bodoh untuk melakukannya,” jawab sang kakek. “Hutan itu penuh dengan misteri. Beberapa orang yang hilang di sana tidak pernah ditemukan.”
Mudra dan Vanua saling pandang. Hutan itu bisa menjadi kunci dari semua misteri ini.
“Aku rasa kita harus masuk ke hutan itu,” kata Mudra dengan suara mantap.
Vanua menghela napas. “Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di sana. Jika kita masuk tanpa persiapan, kita mungkin tidak akan kembali.”
“Tapi kita tidak bisa hanya duduk diam sementara desa ini semakin terjerumus dalam ketakutan,” jawab Mudra. “Jika ada sesuatu yang mengancam kita, kita harus mencari tahu apa itu.”
Vanua terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi kita harus berhati-hati. Kita harus memastikan bahwa kita siap menghadapi apapun yang menunggu di dalam sana.”
Mereka tahu bahwa ini bukan hanya tentang mengungkap misteri. Ini adalah pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara mitos dan kenyataan. Dan mereka harus berani menghadapi apa pun yang menanti mereka di dalam kegelapan hutan keramat Desa Gayam.
***