Cerita: Kerumunan adalah Neraka (8)

MASUK KE HUTAN BARAT KERAMAT
Mudra dan Vanua mulai mempersiapkan diri untuk memasuki hutan keramat yang menyimpan sejuta misteri. Mereka membawa senter dengan cahaya paling terang, kompas untuk menavigasi belantara yang bisa menyesatkan, serta beberapa peralatan sederhana yang sekiranya bisa membantu jika terjadi hal-hal tak terduga. Sebelum berangkat, mereka menghadap Kepala Desa, meminta izin dan restu.
“Hati-hati, Mudra, Vanua,” pesan Kepala Desa dengan nada berat. “Hutan itu bukan tempat biasa. Sudah terlalu banyak orang yang masuk dan tidak pernah kembali. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari cerita seram berikutnya.”
Mudra dan Vanua saling bertukar pandang, membaca tekad di mata masing-masing. Mereka memahami betul risiko yang akan mereka hadapi, tetapi kebenaran harus diungkap. Dengan langkah mantap, mereka melangkah ke dalam hutan keramat, memasuki dunia yang bagi warga desa adalah wilayah terlarang.
Langkah pertama mereka disambut oleh kesunyian yang pekat. Udara di dalam hutan terasa lebih dingin, lebih berat, seolah menekan tubuh mereka dari segala arah. Ranting-ranting yang saling berkelindan menutup sebagian besar langit, membuat sinar matahari hanya menyelinap dalam garis-garis tipis di antara pepohonan raksasa. Semak belukar liar menghalangi jalan, tetapi mereka terus melangkah, mengikuti insting dan jejak samar di tanah yang mereka yakini sebagai petunjuk.
“Aku merasa kita sedang diawasi,” gumam Vanua, tangannya mencengkeram erat senter.
“Saya juga merasakannya,” jawab Mudra, nada suaranya lebih rendah dari biasanya. “Tapi kita tidak boleh takut. Kita harus terus maju.”
Jejak kaki aneh yang sama seperti yang ditemukan di sawah Pak Karto muncul di beberapa titik. Mereka mengikuti pola itu, semakin dalam masuk ke jantung hutan. Di satu titik, mereka menemukan pohon besar yang tumbang di tengah jalur, batangnya penuh dengan bekas cakaran.
“Lihat ini,” kata Vanua, menyentuhkan jemarinya ke lekukan tajam di kulit kayu. “Cakaran ini dalam, dan lebarnya tidak masuk akal untuk hewan biasa.”
“Kalau ini bukan hewan, lalu apa?” tanya Mudra.
Tidak ada jawaban. Hanya suara gemerisik dari semak-semak yang tiba-tiba bergerak di sebelah mereka. Mereka langsung siaga.
“Siapa itu?” bisik Vanua, senter di tangannya diarahkan ke semak-semak. Cahaya putih menembus dedaunan, tetapi tidak ada apa pun di sana. Hanya angin yang mengusap ranting-ranting kering.
Tiba-tiba, seekor kijang melesat keluar dari persembunyiannya, matanya penuh ketakutan. Hewan itu berhenti sejenak, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam kegelapan hutan.
“Kijang itu sangat ketakutan,” kata Mudra. “Tapi bukan karena kita.”
“Seperti ada sesuatu yang mengejarnya,” timpal Vanua.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih hati-hati. Tak lama kemudian, udara di sekitar mereka berubah. Aroma anyir mulai tercium, makin lama makin kuat. Mereka menutup hidung, mencoba mencari sumber bau itu. Tak jauh di depan, tersembunyi di balik rimbunnya vegetasi, sebuah pondok tua berdiri. Dindingnya berlumut, atapnya nyaris roboh, dan pintunya bergoyang pelan ditiup angin.
“Pondok siapa ini?” tanya Vanua, nyaris berbisik.
“Saya tidak tahu,” jawab Mudra. “Tapi bau anyir ini pasti berasal dari dalam.”
Dengan hati-hati, mereka mendorong pintu kayu yang lapuk. Engselnya berderit nyaring, memecah kesunyian. Begitu mereka masuk, pemandangan di dalam pondok membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Tengkorak hewan-hewan kecil berserakan di lantai, jimat-jimat kuno dengan ukiran aneh tergantung di dinding, dan botol-botol kaca berisi cairan merah pekat berjajar rapi di rak kayu yang lapuk. Di sudut ruangan, ada lingkaran hitam yang terbakar di lantai, seolah tempat itu pernah digunakan untuk ritual yang tidak mereka pahami.
“Ini tempat ritual,” kata Vanua pelan.
“Tapi ritual apa? Dan untuk apa?” tanya Mudra, matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada.
Sebelum Vanua sempat menjawab, langkah berat terdengar dari luar. Sesuatu bergerak mendekat. Mereka membeku di tempat.
“Seseorang datang,” bisik Vanua, wajahnya tegang.
Langkah itu semakin dekat. Bayangan besar muncul di ambang pintu. Sosok itu tinggi, lebih besar dari manusia biasa. Matanya merah berpendar dalam kegelapan.
Mudra menyalakan senter dan mengarahkannya ke sosok itu. Cahaya putih menyapu wajah gelap tanpa bentuk.
Makhluk itu diam, hanya tatapan kebenciannya yang menjawab.
Syuuut.
Dalam sekejap, sosok itu menghilang, lenyap dalam kegelapan.
Mudra dan Vanua terdiam, jantung mereka berdetak kencang.
“Apa itu tadi?” tanya Mudra, suaranya bergetar.
“Entah,” jawab Vanua, matanya masih menatap ke arah hutan. “Tapi bukan manusia.”
“Jadi… desas-desus itu benar?”
Vanua mengangguk pelan. “Lebih dari sekadar benar.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus keluar dari sini. Sekarang.”
Mereka berlari keluar dari pondok, kembali ke jalur setapak yang mereka lalui sebelumnya. Namun, hutan terasa berbeda. Jalur yang mereka lewati tampak berubah, seperti menolak membiarkan mereka keluar.
“Hutan ini mencoba menyesatkan kita,” kata Mudra, matanya menelusuri bayangan pepohonan yang tampak bergerak meskipun angin tak berembus.
“Kita tetap tenang. Jangan panik,” ujar Vanua, meskipun suaranya mengandung ketegangan.
Dua hari berlalu sejak mereka masuk ke hutan. Mereka kehilangan arah. Ransum makanan menipis. Malam-malam terasa lebih panjang, lebih dingin, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan.
Pada malam ketiga, suara langkah itu kembali terdengar.
Kali ini, lebih dekat. Tanpa kejelasan.
***
Cerita: Kerumunan adalah Neraka (7) – Media Vanua
April 9, 2023 @ 1:40 pm
[…] Cerita Kerumunan adalah Neraka (8) Post Views: 3 Cerita: Kerumunan adalah Neraka (6) Cerita Metamorfosa Senja […]