Cerita: Kerumunan adalah Neraka (9)

BU LASTRI
Setelah keluar dari hutan keramat dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, Mudra dan Vanua mendapati Desa Gayam terperosok dalam kekacauan yang lebih dalam. Kematian Pak Slamet telah menyulut gelombang ketakutan baru, seperti api yang menjalar di ladang kering. Penampakan-penampakan aneh semakin sering dilaporkan, seolah makhluk-makhluk gaib sengaja menampakkan diri untuk menebar teror.
Di pasar desa, seorang ibu bercerita dengan suara bergetar kepada tetangga-tetangganya, “Tadi malam, saya melihat sosok putih melayang di atas rumah Pak RT! Suaranya mengerikan, seperti tertawa mengejek!”
Seorang pemuda menimpali dengan wajah pucat, “Saya juga mendengar suara gemuruh dari hutan. Seperti langkah kaki sesuatu yang sangat besar.”
Penampakan-penampakan ini, ditambah dengan kematian misterius Pak Slamet, membuat warga semakin yakin bahwa kutukan telah menimpa desa mereka. Rasa aman lenyap, bahkan di siang hari sekalipun ketakutan tetap mencengkeram. Tidak ada lagi suasana desa yang akrab, tidak ada lagi gelak tawa anak-anak di lapangan, tidak ada lagi obrolan ringan di warung Bu Minah. Kini, yang tersisa hanyalah wajah-wajah tegang, mata-mata yang selalu waspada, dan bisikan ketakutan di setiap sudut desa.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah perpecahan yang mulai tumbuh. Ketakutan merobek kebersamaan warga. Kecurigaan berkembang, saling menyalahkan menjadi kebiasaan, dan gotong royong yang dulu menjadi kekuatan desa kini berganti dengan ketidakpercayaan.
“Ini semua gara-gara kalian!” seorang pria menunjuk ke arah Mudra dan Vanua, matanya menyala oleh ketakutan yang berubah menjadi amarah. “Sejak kalian kembali dari hutan, semuanya semakin buruk! Kalian membawa sial ke desa ini!”
Mudra mengangkat tangan, mencoba menenangkan kerumunan yang mulai gelisah. “Kami tidak membawa sial. Kami ingin mencari tahu kebenaran, untuk membantu desa ini. Percayalah, kami ada di pihak kalian.”
“Kebenaran?” bentak pria itu. “Kebenaran adalah desa kita dikutuk! Dan kalian penyebabnya!”
Suasana menjadi semakin tegang. Warga yang tadinya hanya berbisik, kini mulai bersuara lantang. Ketakutan telah membutakan mereka, membuat mereka lebih mudah mencari kambing hitam daripada menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
“Mereka takut,” kata Vanua pelan kepada Mudra. “Mereka berpikir kalau mereka membantu kita, mereka akan ikut menjadi sasaran.”
Mudra menghela napas panjang. “Kita tidak bisa menyerah. Kita harus menemukan jawaban, sebelum semuanya semakin terlambat.”
Mereka memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan secara diam-diam, berbicara dengan warga yang masih percaya pada mereka, mencari petunjuk dari setiap sudut desa. Dan malam itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Saat berjalan melewati pohon beringin tua di ujung desa, mereka melihat cahaya aneh berkedip-kedip di antara dedaunan yang lebat. Mereka mendekat, mencoba mencari sumbernya.
Lalu mereka melihatnya.
Sosok putih bergentayangan di antara pepohonan. Perlahan, sosok itu berbalik, memperlihatkan wajahnya.
Wajah yang mereka kenali.
“Itu… Bu Lastri!” seru Mudra, napasnya tercekat.
Bu Lastri, pemilik warung yang meninggal beberapa tahun lalu dalam keadaan misterius. Bagaimana mungkin dia muncul di sini, dalam wujud yang menyerupai kuntilanak?
Sebelum mereka bisa bergerak, sosok itu lenyap, seolah tersapu angin.
“Ini bukan kebetulan,” kata Vanua, suaranya nyaris berbisik. “Ada sesuatu di sini yang ingin kita ketahui.”
Mereka segera menuju rumah Bu Lastri yang telah lama kosong. Rumah itu tampak seperti ditinggalkan begitu saja—pintu reyot, jendela berdebu, dan tanaman liar menjalar di sekelilingnya. Namun, saat mereka masuk, mereka menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar rumah kosong.
Di dalam lemari tua yang hampir runtuh, tersembunyi di balik lipatan kain lusuh, mereka menemukan sebuah buku harian. Halaman-halamannya sudah menguning, tinta di beberapa bagian mulai memudar, tetapi isinya masih bisa terbaca.
Mereka membuka halaman pertama yang terasa penting.
“Bu Lastri punya hubungan dengan hutan keramat,” gumam Vanua, membaca salah satu entri dalam buku itu. “Dia sering pergi ke sana, melakukan ritual-ritual tertentu.”
“Ritual? Untuk apa?” tanya Mudra, matanya menelusuri tulisan yang hampir kabur.
“Tidak dijelaskan secara rinci,” jawab Vanua. “Tapi ada sesuatu yang ia cari… sesuatu yang ia anggap bisa mengubah nasibnya.”
Mereka membaca lebih jauh. Dalam catatan itu, Bu Lastri menulis tentang rasa kecewanya terhadap warga desa. Ia merasa diabaikan, ditinggalkan, dan dikhianati. Ada luka mendalam di hatinya, luka yang perlahan berubah menjadi kebencian.
“Dia merasa bahwa desa ini merampas kebahagiaannya,” kata Mudra lirih. “Dia ingin membalas dendam.”
“Mungkin ini alasan dia kembali sebagai kuntilanak,” kata Vanua. “Mungkin dia belum selesai dengan apa yang ingin dia lakukan.”
Mereka terus membaca, hingga menemukan catatan yang lebih mengerikan. Di halaman-halaman terakhir, Bu Lastri menulis tentang pertemuannya dengan seseorang—seorang dukun yang tinggal jauh di dalam hutan.
“Dukun ini mengajarkan sesuatu padanya,” kata Vanua, suaranya bergetar. “Sesuatu yang berhubungan dengan kematian dan arwah.”
Sebelum mereka bisa mencerna informasi itu, teriakan dari luar memecah kesunyian.
Mereka berlari keluar, mengikuti suara panik warga yang berkumpul di depan pohon beringin.
“Lihat!” seru seorang pria, tangannya menunjuk ke puncak pohon.
Di atas sana, dalam bayang-bayang malam, berdiri sesosok makhluk besar, tubuhnya ditutupi bulu hitam tebal, matanya menyala merah seperti bara.
“Genderuwo,” bisik Mudra, tubuhnya menegang.
Warga desa berteriak ketakutan, sebagian berlari menyelamatkan diri, sebagian lain hanya bisa menatap dengan ngeri.
“Kita harus lakukan sesuatu,” kata Mudra.
“Tapi apa?” tanya Vanua. “Kita tidak punya senjata.”
“Kita punya keberanian,” jawab Mudra mantap.
Ini belum berakhir. Bahkan mungkin, baru saja dimulai.
***