Cerita: Kerumunan adalah Neraka (1)

DESA GAYAM DI KAKI TIMUR MERAPI
Desa Gayam, sebuah permata tersembunyi di kaki timur Gunung Merapi yang perkasa, memancarkan ketenangan dan harmoni. Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan, berkilauan diterpa mentari yang baru saja menyingsing. Ayam jantan berkokok lantang, menyambut fajar dengan semangat membara. Udara desa yang segar dan sejuk membawa serta aroma tanah basah dan wangi bunga liar yang bermekaran di sepanjang jalan setapak.
“Ya ampun, si Jalu ini, setiap pagi berkoar seolah hendak memimpin demonstrasi,” gerutu Marni, tetangga Mudra, sambil menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi. “Padahal, ayam-ayam lain masih setengah tertidur.”
Mudra tertawa kecil mendengar keluhan Marni. “Namanya juga ayam, Bu. Sudah kodratnya membangunkan warga desa.”
“Ya, tapi tidak perlu pakai pengeras suara juga, kan?” balas Marni, ikut tertawa.
Kehidupan di Desa Gayam berjalan sederhana dan damai. Warganya menggantungkan hidup pada pertanian dan hasil bumi. Hamparan sawah hijau membentang luas, tempat para petani bekerja keras menanam padi, jagung, dan aneka sayuran. Sungai kecil yang membelah desa mengalir jernih, menjadi sumber kehidupan bagi tanaman dan ternak, serta memberikan kesejukan di tengah hari yang terik.
Gotong royong merupakan inti dari kehidupan Desa Gayam. Setiap kali ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih, seperti membangun rumah, memperbaiki jalan, atau memanen hasil bumi, warga desa selalu bahu-membahu. Mereka bekerja bersama, berbagi suka dan duka, tanpa mengharapkan imbalan materi.
Di samping balai desa, warung Bu Minah menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu setiap pagi. Aroma kopi dan gorengan memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan akrab. Percakapan di warung menjadi denyut kehidupan sosial. Kabar dan cerita beredar dari mulut ke mulut di warung itu.
Setiap sore, anak-anak berkumpul di lapangan desa untuk bermain sepak bola atau layang-layang. Tawa dan teriakan mereka memecah kesunyian sore, menghidupkan suasana desa. Para orang tua duduk di pinggir lapangan, mengawasi anak-anak mereka sambil bercengkerama.
“Lihat tuh, si Budi, larinya kencang banget,” seru Pak Karto sambil menunjuk ke arah seorang anak laki-laki yang sedang menggiring bola. “Kayak dikejar setan saja.”
“Bukan kayak dikejar setan, Pak Karto,” sahut Kepala Desa sambil tertawa. “Itu namanya semangat anak muda. Dulu waktu kita masih muda, juga begitu, kan?”
“Ya, Kepala Desa. Tapi kita dulu mainnya bukan sepak bola, tapi main kelereng,” kenang Pak Karto sambil tersenyum. “Yang kalah kelerengnya dicoret pakai kapur.”
Obrolan pun berlanjut, membawa mereka hanyut dalam kenangan masa lalu, masa-masa indah yang penuh cerita. Desa Gayam menyimpan khazanah kisah, tentang kebersamaan, persahabatan, dan cinta. Kisah-kisah itu diwariskan turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan jati diri warga desa.
Namun, perlahan-lahan, keseharian yang akrab dan penuh kehangatan itu mulai berubah. Bayang-bayang badai mulai tampak, mengancam merenggut harmoni yang telah lama mereka rajut. Badai itu bernama pandemi COVID-19, penyakit misterius yang menyebar bagai api liar ke seluruh penjuru dunia, mengubah tatanan hidup manusia secara drastis.
Ketika berita tentang pandemi mulai menyebar, warga Desa Gayam awalnya tidak terlalu khawatir. Mereka merasa bahwa desa mereka aman dan terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. Namun, seiring waktu berlalu, dampak pandemi mulai merayap masuk ke kehidupan mereka. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi, roda ekonomi desa tersendat, dan rasa takut mulai menyelimuti benak mereka. Orang-orang mulai menghindari kontak langsung, warung Bu Minah tak seramai dulu, dan lapangan desa perlahan kehilangan gelak tawa anak-anak.
“Ya ampun, harga cabai rawit kok jadi mahal begini,” keluh Bu Minah di warung kelontongnya. “Padahal, baru kemarin beli sekilo, sekarang harganya sudah naik dua kali lipat.”
“Inilah yang namanya pandemi, Bu Minah,” sahut Mudra dengan senyum getir. “Semuanya jadi serba mahal, termasuk rasa takut.”
Pemerintah desa mengeluarkan imbauan untuk menjaga jarak, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan. Kegiatan-kegiatan desa yang biasanya ramai dan meriah mulai ditiadakan. Balai desa yang dulunya menjadi jantung aktivitas masyarakat, kini terasa sepi dan sunyi. Rasa curiga mulai menyusup di antara warga, gotong royong yang selama ini menjadi jiwa desa perlahan-lahan memudar.
Warga Desa Gayam dilanda kebingungan dan ketakutan. Mereka tak tahu pasti langkah apa yang harus diambil untuk melindungi diri dan keluarga. Mereka merasa terisolasi dan sendirian, tanpa kepastian kapan badai ini akan berlalu.
Mudra, yang selalu menjadi penopang bagi masyarakat desa, merasa sedih dan prihatin melihat kondisi ini. Ia berusaha untuk tetap optimis dan mengajak warga desa untuk tetap bersatu dan saling membantu. Namun, ia juga merasakan ketakutan dan ketidakpastian yang sama dengan warga lainnya.
Pandemi COVID-19 telah mengubah Desa Gayam yang damai menjadi sarang ketakutan dan saling curiga. Gotong royong yang menjadi ciri khas desa mulai luntur, digantikan oleh isolasi dan ketidakpercayaan. Akankah Desa Gayam mampu bertahan menghadapi badai ini? Akankah mereka mampu menemukan kembali kebersamaan dan harapan di tengah kegelapan?
***