Cerpen: Anak-Anak Geragih
ANAK-ANAK GERAGIH
KARYA: ANI ISTIKHAROH
Ceritakan kepadaku, tentang apa saja. Paling tidak, aku ingin tahu mengapa purnama di Jakarta tidak lagi seperti di sini. Keperakan dan perawan. Aku sebenarnya benci untuk menanyakan di mana semuanya kamu simpan. Barangkali di kantong baju, di lipatan sarung atau di dalam celana kolormu. Seharusnya kamu terbuka kepadaku. Dan berhentilah mengirimiku segala rupa cacing, belatung busuk juga kencing kuda.
Pernah kamu bilang semua itu adalah vitamin yang harus aku telan agar geragih di tubuhku segera bertunas. Lalu tumbuhlah anak-anak. Aku sesungguhnya tidak mengerti tentang kemungkinan bahwa anak-anak akan muncul. Apalagi dari segala rupa cacing, belatung busuk juga air kencing kuda. Taik kucing!
“Bagaimana kalau besok kita nonton opera saja, barangkali bisa menjawab mengapa bulan di kotamu kini merah jingga.”
“Apa yang tengah kamu pikirkan? Bagiku sama saja, merah jingga atau keperakan,” barangkali udara yang semakin mengeras di Jakarta telah menumpulkan kepekaanmu. Atau kamu sebenarnya buta warna?
“Atau kita ikut pemilihan itu, katanya satu suara bisa untuk membeli mainan.” Sebab sebentar lagi pemilihan Bupati di kota ini akan dimulai. “Ah..kalau saja kita mempunyai anak-anak.”
“Akhirnya anak-anak pula yang kita rindukan.”
“Apalagi yang akan kita perbincangkan selain anak-anak saat kita sedang menjadi batu. Kaku dan kesepian.”
Anak-anak membuat hidup kita ada. Celotehnya seperti derit gerimis. Tangisan mereka mengingatkan kita pada keramaian thongperet di sela batang-batang bambu di atas pereng Sungai Serayu, mungkin seperti itu anak-anak bagi kita. Mereka membawa pesan alam agar laki-laki benar-benar menjadi laki-laki dan perempuan menjadi sebenar-benar perempuan. Begitulah engkau bicara sewaktu itu dalam sendu batu Malakit di Hermitage.
“Alasan bahwa anak-anak akan menyempurnakan kelamin kita yang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan mungkin akan membuat kita tetap bertahan.” Udara di sekitarmu ketika itu telah mati muda. Tinggal kepingan karbon monoksida masih melayang-layang mengejar paru-paru.
***
Sejak senja tinggal sebagian, gerbang petaka mulai disibukkan oleh karpet-karpet sialan, carut-marut berita televisi, dan kesiur seputar peledakan. Mereka adalah saksi mata orang lalu-lalang di atasnya. Awas! Ada pecahan kaca terkapar di sekujur tubuh jalan raya. Bercampur dengan puluhan doa, sekarung umpatan, berbagai keluhan dan serapah. Siaran berita bertubi dihitung dari banyaknya bisul di pantat atau bekas koreng di kaki. Begitu banyak manusia yang kurang memperhatikan kesehatannya. Kita tidak henti disibukkan oleh makanan yang semakin sulit diperoleh di antara timbunan harga-harga. Semakin banyak manusia kurang gizi di kota ini. Sebuah kota yang kini ramai di televisi pemerintah maupun swasta.
“Mengapa tindakan evakuasi itu harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara padahal sudah ada proses negosiasi sebelumnya?” Mata perempuan pembaca berita itu berwarna ungu, demikian pula mata seorang perwira polisi yang tengah diwawancarai olehnya. Semua itu mengingatkan aku kepadamu yang juga bermata ungu.
“Mengapa keinginan itu harus memaksa kita bertahan padahal sebenarnya kita sedang sakit?” Kancing kimono terlepas, menjepit semangkuk nafas penuh busa sabun. Mataku perlahan merayapi tubuhmu yang mulai bergaris-garis ungu.
Aku masih memanggang bola mata di layar tivi. Mencari tidak hanya mite tong sampah. Berita dari serpihan serbuk gergaji dengan apa pun rekayasa juga sandiwara tikus got. Televisi memang selalu dipenuhi orang-orang yang bersandiwara. Apakah kamu juga begitu? Seperti mereka yang kulihat di layar 14 inchi ketika tontonan hitam putih dipersaksikan pada bola mata tanpa hitungan. Menggusur siaran radio yang dianggap sudah kampungan. “Lelakiku, apakah anak-anak yang akan tumbuh dari mata tunas geragih di tubuhku pun demikian nantinya?”
“Sudahlah, kamu telan saja ramuan itu. Pasti sedikit lagi waktu, kita akan memiliki ratusan anak-anak.”
“Dari keratan segala rupa cacing?”
“Ya, tentu saja,”
“Dari belatung busuk yang tidak sempat berevolusi?”
“Ya, tentu saja,”
“Dan juga dari remah air kencing kuda?”
“Ya, tentu saja,”
Huek! Anak-anak keparat. Keinginan yang keparat. Sudah sekarung penuh ramuan brengsek itu aku telan. Kurang lebih sejak november mulai basah di pertengahan tahun kambing.
“Tindakan yang kami lakukan sudah sesuai prosedur, apabila negosiasi dikabulkan justru akan menghambat proses selanjutnya,” suara laki-laki berdasi di televisi itu menyentakku dari angan-angan percakapan masa lalu kita.
“Kita harus seperti ini meski kita tahu pada akhirnya,” tiba-tiba es batu berhamburan dari mulutmu. Menggulungku semakin dalam.
Aku semakin larut dalam keputusasaan. Apa mungkin kita bisa leluasa hidup, tanpa dibayangi kata harus sehingga dari tangan kita bisa lahir perubahan. Mengapa ada rekayasa, mengapa ada prosedur bahkan mengapa ada kata harus dari mulutmu?
***
Aku belum selesai memanggang bola mata di layar tivi. Katanya orang-orang di luar sudah seperti plastik bahkan lima belas menit lagi akan benar-benar menjadi plastik karena ketakutan. Kini sembako bermula dari baahn kekerasan serta kekacauan, nyaris teror. Aku seperti orang-orang itu, kamu pun seperti aku ; seperti plastik. Lalu, bagaimana anak-anak kita?
Ajaran apalagi yang akan dinasehatkan kepada anak-anak kita kelak? Sedangkan setiap hati pelan-pelan menjadi jumawa. Beranikah kamu dan aku menghadapi anak-anak bila berbeda dari kita? Pasti entahlah, sebab kita pun tidak pernah bisa meyakini bahwa anak-anak kita akan selalu terjaga dalam keinginan budaya adiluhung juga rasa bakti yang tinggi kepada Hyang Widi. Kekasihku, aku takut dia akan menjadi mata pedang yang menebas nafas kita, sebab telah kulihat pedang-pedang tumbuh seperti pohonan.
”Aduh! Segala rupa cacing telah menggorok pankreasku!”
Harusnya anak-anak dilahirkan dari kerikil saja agar bisa kita ambil di mana pun dan kapanku. Sesekali dapat dilempar ke jalan, ke sungai atau dilupakan kembali jika kita sudah bosan memainkannya. Atau anak-anak dicipta dari daunan agar bisa kit apetik sesuak hati. Sewaktu-waktu dapat diperam dalam lubang derita jika kita ingin mendewasakannya. Aku tidak mengerti siapa anak-anak itu. Barangkali wajahnya mirip potongan rembulan, berkelebat dalam baju malam, di antara tubuh pohon pisang ; di Ciampea.
“Aduh! Belatung-belatung busuk telah bermigrasi ke ginjalku!”
“Aduh! Air kencing kuda sudah menyumbat darahku sedemikian rupa!”
Aku tengah kesakitan, juga otakmu. Sungguh biadab! Seperti itu pula aku dan dirimu, sebatang teki dengan sepotong geragih yang dipaksa menumbuhkan anak-anak. Ah, demikianlah kita begitu biadab. Betapa kita masih menginginkan ratusan anak-anak keluar dari geragih yang tidak ingin lagi bertunas meskipun segala rupa cacing telah menggorok pankreasku, belatung busuk bermigrasi ke ginjalku bahkan kencing kuda menyumbat darahku. Dan kita menjadi begitu biadab hanya karena agar dapat membuktikan bahwa kamu adalah benar-benar laki-laki dan aku menjadi perempuan sebenar-benar perempuan.
Tetapi kau bilang, bukankah inilah hidup yang sesungguhnya? Sejak dahulu pun kita telah dikenalkan dengan tata hidup kebiadaban bahkan kalau perlu dengan membunuh. Membunuh atau dibunuh. Sungguh pilihan yang sulit untuk dipilih. Barangkali kita – kamu dan aku – pun seperti itu, membunuh demi terciptanya keinginan-keinginan kita. Dan demi tumbuhnya ratusan anak-anak keparat, bukankah telah bunuh segala rupa cacing dan belatung?
***
Sebaiknya lupakan saja tentang anak-anak yang tidak akan pernah ada untuk kita. Agar kebiadaban tidak menjamur lama dalam kehidupan kita. Bukankah kamu sudah mengerti sedari dulu.
“Bagaimana mungkin anak-anak akan lahir bila kita tidak pernah bercinta?” Tubuhku mulai berevolusi menjadi plastik. Tiba-tiba butiran es berhamburan, menyisakan garis ungu seperti di Hermitage.(*)
Sepotong Kenangan Buat Teater T Solo
Perjalanan Ciampea – Solo – Wonosobo,
24 Oktober – 17 November 2002