Dedy Ramanta, Misi Nasionalis-Demokratik di Wonogiri, Karanganyar dan Sragen
Mediavanua.com ~ Dedy Ramanta lahir pada tahun 1977 lalu. Antara angka-usia dan semangatnya sama yakni spirit ’45. Layaknya manusia nusantara lainnya, memasuki siklus usia 42-48 tahun, perjalanan hidup akan berubah. Perubahan itu niscaya, pasti, terjadi begitu saja, tidak jelas penyebabnya, meski bisa dideteksi pencetus perubahan situasinya. Pencalonan diri sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) 2024 di Dapil Jawa Tengah IV (Wonogiri, Karanganyar, Sragen) secara nyata menjadi pencetus perubahan situasi hidupnya.
Situasi hidup Dedy Ramanta yang puluhan tahun lalu tumbuh dan besar di lingkungan keluarga petani dan buruh yang sederhana, kini berubah menjadi pejuang nasionalis-demokratik yang mengusung perubahan kehidupan petani, buruh dan pekerja rumah tangga.
Paras Selebritis-Komedian
Gestur paras Dedy Ramanta mirip dengan Jarwo Kuat, seorang komedian yang kerap kali menirukan gestur Jusuf Kalla. Pada awal abad XXI Dedy Ramanta mendampingi Jarwo Kuat dalam 5 (lima) episode tayangan acara televisi “Republik Mimpi” di ANTV dan Metro TV.
Acara komedian “Republik Mimpi” mengusung kritik yang disajikan secara jenaka. Penonton dibuat tertawa, menertawakan nasibnya sendiri, dan menertawakan pikiran dan tindakan para pejabat publik. Nyaris tak ada yang tersinggung. Bila aktor dan penonton tersinggung, sungguh mereka tak tahu bahwa salah satu puncak dari kritik yaitu humor politik. Humor politik mendorong transformasi kesadaran: dari sadar-diri menjadi sadar sebagai warga negara Republik.
Memasuki Pemilu 2024 Dedy Ramanta mengubah gaya kritik dari “Republik Mimpi” menjadi gaya dialog dengan masyarakat calon pemilihnya. Ia mengkritik gaya politisi yang hampir menjurus priyayi, merasa ningrat, atau merasa sebagai klas ongkang-ongkang yang kerap kali kita tonton di sinetron.
Seolah sebagian besar politisi itu terkena “pre-power syndrome” atau gejala kejiwaan: “bertindak sebagai klas ongkang-ongkang (leisure class) yang berkuasa tapi senyatanya tak punya kuasa mengalirkan aspirasi politik dan kehendak rakyat”. Penyakit jiwa ini penting untuk disadari sejak dini. Jika gagal mengenalinya maka penyakit jiwa itu berubah bentuk menjadi nafsu berkuasa yang liar. Bukan liberal dan bukan republikan tapi justru terjebak menjadi premanisme politik yang sibuk mengutip uang daripada mengutip kata-kata dan perasaan rakyat.
Setidaknya “Republik Mimpi” menyusun lapisan-lapisan kekuasaan baru. Mengutip amatan Nancy K Florida tentang “Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri dan Pujangga Jawa” (2021:75), Naskah Babad Jaka Tingkir mengguratkan sejenis masa depan yang berbeda. Sejenis pendirian kuasa yang unik dengan disertai gaya kekuasaan yang berbeda juga. Naskah ini membuka kemungkinan untuk lahirnya “Jaka Tingkir” baru.
Sosok Joko Tingkir (disingkat “JK) mungkin tidak serta merta menunjuk pada Jusuf Kalla dan Jarwo Kuat, melainkan tipe-tipe kuasa baru yang merepresentasikan kuasa petani, kuasa marhaen, buruh, pekerja rumah tangga, dan reprensentasi masyarakat kewargaan (civil society) lainnya. Aksi komunikatif yang dilakukan oleh Dedy Ramanta seperti mimpi di dalam “Republik Mimpi” karena menghindarkan diri dari apa yang disebutnya sebagai fenomena “NPWP” (Nomer Piro, Wani Piro).
Aksi pemilih yang hanya mengandalkan “terima uang” dari Caleg dalam jumlah fantastis sudah barang tentu menjadi aksi yang merendahkan jiwa nasionalisme, demokrasi dan kerakyatan. Menarik ungkapan dari “Pawukon (Ilmu Menghitung Hari)” bahwa rotasi waktu mingguan (wuku) Julungwangi pada tanggal 14 Februari 2024 (Wuku Julungwangi, Rabu Legi) memberikan ungkapan puitis: “kekuasaan yang kokoh, bisa lumpuh karena tak bisa diberdayakan“. Pemberdayaan itu aksi politik kaum republikan, menyadarkan orang per orang menjadi warga negara, dan bukan menciptakan karakter orang per orang yang lima tahun sekali hanya menerima amplop tipis.
Keluarga Tani dan Buruh
Misi politik Dedy Ramanta pada arena kehidupan petani dan buruh beririsan dengan jejak hidupnya. Ia lahir dan tumbuh kembang di kota tahu, Kediri, Jawa Timur. Kediri dikenal sebagai wilayah pertanian sekaligus perburuhan. Lingkungan keluarganya kurang lebih bercorak keluarga tani dan buruh sekaligus. Keluarga tradisional yang mengajarkan nilai-nilai keagamaan, nasionalisme dan kepedulian terhadap rakyat.
Sejak ibu kandung wafat, Dedy tinggal dan bersekolah di Solo mulai kelas 6 (enam) SD dan menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Batik Surakarta. Solo merupakan kota yang bersejarah bagi Dedy Ramanta. Kota yang memicu arena pendidikan dan arena perjuangan yang sangat berarti dalam perjalanan hidupnya. Pendidikan politik advokasi meresap dalam kesadarannya dan terus menerus membayangi ide politik pergerakannya.
Menjadi buruh bukan “bunuh diri klas” bagi Dedy Ramanta. Jejak kehidupan keluarganya bersifat alamiah mendorong Dedy bertahan hidup hingga menjadi buruh sampai akhir tahun 1996 di Karawang. Sepulang dari bekerja di Karawang, Dedy Ramanta kembali pulang kampung dan terlibat dalam gerakan mahasiswa dan gerakan buruh dalam memperjuangkan kepentingan kolektif: kesejahteraan dan demokrasi. Kesadarannya terus menerus mengalami perubahan hingga di Solo ia membentuk organsiasi buruh Forum Solidaritas Buruh Surakarta (FSBS) yang kemudian menjadi Federasi Serikat Buruh Setia Kawan.
Setahun kemudian Dedy Ramanta bersama dengan aktivis mahasiswa aktif terlibat dalam aksi kritik terhadap kebijakan Orde Baru di berbagai kampus di Solo dan Yogyakarta. Pergulatan hidupnya unik. Kesadaran kritis diawali dari keluarga, bekerja di pabrik, berorganisasi gerakan buruh dan lanjut ke gerakan mahasiswa. Kelak pada perjalanan hidup kepartaian, posisinya berada pada arena ideologi, organisasi dan kaderisasi. Hampir separuh hidupnya bergelimang dengan keluh kesah rakyat, tuntutan masyarakat dan hiruk pikuk konsolidasi anggota partai NasDem. Jalan ninja Dedy Ramanta tak jauh beringsut dari ideologi, organisasi dan kaderisasi.
Awal abad XXI tepatnya tahun 2003 Dedy mengembara ke Jakarta untuk membangun serikat buruh bernama Kongres Aliansi Serikat Buruh Independen (KASBI). Kembali Dedy menjalani jalan ninja hidup bersama dengan buruh di sekretariat KASBI Cikupa dan Cimone Tangerang. Isu PHK, UMR dan kehidupan buruh yang tertindas kapitalisme menjadi isu sehari-hari.
Setelah kepemimpinan KASBI terbentuk melalui Kongres, Dedy memutuskan untuk beralih jalan ninja dengan mengembara di arena Rakyat Miskin Kota di Jakarta melalui “Urban Poor Consortium” (UPC). Organ UPC menciptakan arena baru yang mengusung isu kemiskinan dan perkotaan, tempat Dedy aktif selama dua tahun. Bersama dengan rakyat miskin kota Dedy memperoleh pengetahuan dan transformasi kesadaran. Rakyat miskin kota dalam posisi ketertindasan yang sama dengan petani dan buruh. Salah besar bila rakyat miskin kota itu dipersepsikan rapuh. Mereka punya daya tahan, kekuatan dan keuletan yang tak terpikirkan kalangan elit politik, elit pemerintahan, elit korporasi dan elit masyarakat.
Selepas dari UPC, awal tahun 2008-2009 Dedy Ramanta aktif di Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta. Masalah lingkungan hidup, wilayah pesisir, ekologi laut dan perkotaan menambah perubahan kesadarannya untuk fokus pada advokasi kebijakan tata kelola lingkungan hidup pemerintah. Pengorganisasian kembali ia lakukan dengan membentuk organ nelayan yang kelak dikenal dengan nama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
Sekolah Demokrasi, Ormas Nasdem, dan Partai Nasdem
Akumulasi pengetahuan Dedy Ramanta semakin lancip pada arena kanalisasi aspirasi rakyat melalui sistem demokrasi. Ia terlibat aktif mengelola Sekolah Demokrasi Tangerang. Arena pendidikan yang didirikan untuk melakukan transformasi kesadaran mengenai demokrasi kepada “civil society organization“, partai politik, organ bisnis dan birokrasi. “Sekolah Demokrasi” ini gratis, bergerak di pinggiran, lokal. Ratusan warga Tangerang dan sekitarnya telah terdidik sebagai agen demokrasi untuk menjadi pemimpin di masa sekarang dan masa depan.
Seusai beraktivitas di Sekolah Demokrasi, Dedy Ramanta aktif dalam merintis organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrasi (2008) yang kemudian berubah bentuk menjadi Partai Nasdem (sejak Kongres I 2013). Ia aktif sebagai pengurus partai dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Suami dari Linarti, aktivis gerakan perempuan dan gerakan buruh, dan ayah dari Nala Sakti Wirabumi ini, secara simbolik bergerak dengan memegang dua “pisang raja”. Masing-masing pisang menyimbolkan keluarga dan partai. Keduanya merupakan raja yang diutamakan dalam gerak kehidupannya.
Setidaknya, pengetahuan menjaga keseimbangan hidup ia refleksikan dari kuliah pascasarjana Magister Hukum di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, konsentrasi Hukum Pidana, setelah sebelumnya pernah menjalani kuliah pascasarjana Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta konsentrasi Hukum Tata Negara (tidak selesai). Kuliah pascasarjana konsentrasi Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana setidaknya merefleksikan aktivitas Dedy Ramanta dalam Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR 2019-2024. Komisi yang fokus mengkaji hak-hak fundamental warga negara dalam berbagai aturan perundang-undangan dan kebijakan publik di Indonesia.
Dedy Ramanta menguraikan alasannya aktif dalam arena partai Nasdem. “Saya bertanggungjawab secara moral sebagai warga negara untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai aktivis Reformasi ’98 yang turut serta aktif dalam gerakan mahasiswa dan buruh, sehingga sulit rasanya hanya berpangku tangan melihat situasi demokrasi Indonesia yang tak kunjung membaik substansinya. Ikhtiar harus terus dicoba. Rahasia untuk maju adalah memulainya.”
Jalan baru yang kini dijalani adalah melakukan perubahan situasi melalui pencalonan diri sebagai anggota legislatif Partai NasDem dari Daerah Pemilihan DPR RI Jawa Tengah IV (Sragen, Karanganyar, Wonogiri). Pertautan antara Hukum dan Demokrasi menegaskan kesadaran baru yang mesti diuji. Arena demokratisasi dunia-kehidupan tani, buruh dan rakyat miskin kota memerlukan kanalisasi aspirasi politis menuju parlemen dan institusi kekuasaan negara lainnya.
Seandainya Organisasi Non-Pemerintah dan Partai NasDem konsisten menyalurkan aspirasi politis rakyat, masyarakat dan komunitas, maka celah antara kekuasaan negara dan dunia-kehidupan masyarakat tidak dimanfaatkan oleh elit broker politik. Elit sejenis ini seolah berpolitik untuk rakyat tapi sebenarnya mereka melubangi aspirasi itu dengan cara manipulasi. Manipulasi melalui politik uang (money politics) tercetus dari aktor broker politik semacam ini.
Tiga Misi Politik
Ada tiga misi politik Dedy Ramanta. Misi politiknya melakukan restorasi (pemuliaan, pemulihan dan perbaikan) dunia kehidupan petani, buruh dan pekerja rumah tangga. Hampir selama dua tahun ia melakukan aksi komunikatif bersama masyarakat politik yang diandaikan mempunyai kesadaran sebagai warga negara yang nasionalis-demokratik.
Posisinya yang merangkap sebagai Ketua DPD Partai NasDem Wonogiri memungkinkan Dedy Ramanta seolah kembali pulang untuk melakukan aksi komunikatif. Tak heran bila dijumpai pengurus baru dan relawan partai NasDem di Wonogiri, Karanganyar dan Sragen yang sebelumnya aktif dalam serikat buruh dan berinteraksi dengan Dedy pada masa reformasi. Aksi komunikatif dilandasi oleh pembicara (kader, anggota, dan relawan) yang kompeten dan pemahaman timbal-balik.
Aksi sejenis ini berbeda dengan sosialisasi yang berjalan satu arah, dari Caleg kepada masyarakat calon pemilih, sehingga aksi komunikatif mengandaikan Dedy Ramanta mendengar dan mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan masyarakat calon pemilih, dan sebaliknya (masyarakat pemilih mendengar dan mengetahui apa yang dibicarakan oleh Dedy Ramanta). Konsensus menjadi andalannya. Tak pelak, masyarakat calon pemilih akan ikhlas mempergunakan hak pilihnya untuk memilih Dedy Ramanta dan sekaligus Partai NasDem.
Isu atau masalah dunia kehidupan petani paling mudah ditemui selama dialog berlangsung di tiga daerah ini. Perubahan iklim yang memanaskan daerah hingga 40 derajat celcius beriringan dengan kondisi kekeringan. Darurat air. Darurat pupuk. “Program pemberdayaan untuk mengatasi air penting diubah agar responsif terhadap perubahan iklim yang ekstrem,” kata Dedy Ramanta. Perubahan iklim yang ekstrem ini dikhawatirkan berdampak pada kemiskinan ekstrem. Petani paling terdampak cuaca ekstrem karena kelangkaan air. Fenomena ini berisiko memunculkan klas prekariat yang lebih melarat daripada proletariat.
Petani tak bisa mencapai kemakmuran meskipun sudah bekerja tanpa henti. Berbagai Undang-undang yang merugikan petani harus dicabut. Ini mensyaratkan perjuangan politik penambahan kursi Partai NasDem di DPR-RI. Tanpa peningkatan perolehan kursi Partai NasDem itu sulit tercapainya restorasi kehidupan petani melalui pencabutan Undang-Undang yang selama ini praktiknya memihak agroindustri daripada manusia petani.
Isu atau masalah dunia kehidupan buruh sudah mengemuka bersamaan dengan pensahihan UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Putusan Mahkamah Konstitusi menarik dicermati. Ringkasnya, UU Cipta Kerja secara formil tidak konstitusional karena tidak melibatkan dialog yang luas, mendalam, sehingga legitimasinya (baca: keabsahannya) rendah. Ini misi bagi Dedy Ramanta untuk melakukan aksi komunikatif dengan buruh yang tinggal di Desa dan perkotaan.
Hukum “outsourcing” berdampak pada minimnya perlindungan buruh. Buruh mudah masuk dan keluar kerja. Buruh belum memperoleh fasilitas yang layak belum diperoleh secara absah-dan-legal dalam perjanjian kerja, apalagi praktik perlindungan buruh “outsourcing” di tempat kerja. Substansi hukum klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja niscaya harus diubah secara mendasar di parlemen.
Isu dan masalah pekerja rumah tangga telah diperjuangkan oleh Fraksi NasDem di DPR-RI. Ironisnya, usulan Undang-undang yang melindungi hak pekerja rumah tangga tidak disetujui oleh mayoritas anggota parlemen dan pimpinan DPR-RI. Bisa anda bayangkan, bila ada suatu partai politik yang diandaikan membela kepentingan rakyat dan mengubah kehidupan pekerja rumah tangga, pada ujung pengambilan keputusan ternyata berbelok arah. Pekerja rumah tangga yang perlu dijamin pemenuhan hak gajinya dan perlindungan dari kekerasan seks, sementara gagal disahkan oleh DPR-RI, setelah kekuatan politik terbesar di parlemen tidak menyetujuinya. Lantas, seandainya pekerja rumah tangga yang bekerja di kalangan keluarga elit pemerintah dan elit oligark bereaksi melakukan mogok kerja, apa yang anda bayangkan?
Dialog Komunikatif
Setiap forum dialog komunikatif di beberapa Desa di Wonogiri, Karanganyar dan Sragen, Dedy Ramanta mengajak Kak Komang (Tenaga Kesehatan Perawat dari Wonogiri, aktif sebagai pengurus DPD Partai NasDem Wonogiri). Tensi darah masyarakat calon pemilih cenderung tinggi. Cuaca panas, kurangnya air, kurang pupuk cair, kurang tidur, dan kurangnya akses utuk kehidupan sosial-ekonomi setidaknya berpengaruh pada tingginya tensi. Komunikasi, Informasi dan Edukasi kesehatan dijalankan secara praktis dalam berbagai forum dialog. “Semua pemilih akan berkesadaran untuk memeriksa kesehatannya, sehat sampai Pemilu 14 Februari 2024, sehat memilih Caleg yang berakal sehat,” tandas Dedy Ramanta.
Politisi partai dan Caleg menghadapi realitas bahwa demokrasi dan oligarki hidup berdampingan. Berbagai harapan yang disampaikan kepada masyarakat politik dan masyarakat pemilih akan sia-sia. Berbagai bantuan skala kecil memang menyenangkan pemilih tapi hal itu tidak cukup. Elit politik mudah bermunculan setiap Pemilu diselenggarakan. Oligark fokus mempertahankan kekayaannya baik secara langsung atau tidak langsung di panggung politik. Bagaimana cara untuk bersiasat keluar dari jebakan elit politik dan oligark?
Cara lain untuk keluar dari jebakan elit politis dan elit oligark adalah penggunaan aplikasi digital yang sederhana. Ini kelanjutan dari aksi dialog komunikatif di Wonogiri, Karanganyar dan Sragen. Teknologi aplikasi digital dipergunakan Dedy Ramanta untuk mempermudah komunikasi politik antara pemilih dan dirinya. Program yang membumi untuk petani, buruh dan pekerja rumah tangga dibicarakan dan disalurkan melalui aplikasi digital dan aksi komunikatif (forum dialog terfokus) di Wonogiri, Karanganyar dan Sragen.
“Saya hanya orang biasa yang akan melakukan hal luar biasa untuk rakyat,” kata Dedy Ramanta.*
Penulis: Anom Surya Putra