Desa di Masa Pandemi Covid-19 (1): Praksis Dana Desa Tidak Sedang Baik-baik Saja?
MediaVanua.com ~ Serial tulisan ini merupakan ringkasan dan penyusunan ulang dari penelitian terapan berupa penilaian kebijakan. Penilaian kebijakan dilakukan oleh tim Universitas Brawijaya bekerjasama dengan salah satu organisasi pemerintahan di lingkungan Kementerian Desa PDTT. Pembaca akan menjumpai pertautan antara hukum dan konteks yang lebih luas di Desa. Praktik hukum di Desa tidak sedang baik-baik saja. Aspek normatif dari segala aturan hukum tentang Desa sedapat mungkin diinformasikan secara sosiologi hukum. Mungkin pembaca yang menyukai riset lapangan akan menemukan hipotesis baru yang dikembangkan dalam kerangka keilmuan yang progresif atau aksi politik yang deliberatif. Setelah membaca serial ini, pembaca mungkin tidak lagi menilai dan menganalisis Desa secara “kritis” atau bahkan “instruktif”, tapi melampaui cara pandang itu: “tindakan komunikatif”. Hukum di Desa bukanlah soal aturan melainkan legitimasi/keabsahan.
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA
Pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa merupakan bagian dari asas hukum rekognisi-subsidiaritas, Kewenangan Desa berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dalam UU No. 6/2014 tentang Desa. Jargon “Satu Desa, Satu Rencana dan Satu Anggaran” merupakan spirit hukum yang menonjol dalam UU Desa. Desa mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan perencanaan dan penganggaran sesuai dengan kepentingan dan konteks masyarakat Desa setempat. Desa sekaligus membentengi diri dari perintah-perintah proyek masuk ke Desa yang bertubi-tubi datang ke Desa tetapi proyek itu hanya tertuju kepada kelompok masyarakat daripada Desa secara utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum.
Diskursus pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang menegaskan village self-planning itu menghadapi tantangan di arena Desa. Ruh dari UU Desa yakni Dana Desa sebagai hak, kewenangan dan kewajiban Desa untuk membiayai “Satu Desa, Satu Rencana dan Satu Anggaran” harus menghadapi berbagai densifikasi atau pemadatan berbagai aturan kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga. Densifikasi kebijakan itu satu sama lain mengandung konflik normatif. Desa dihadapkan pada pilihan antara melakukan perencanaan pembangunan Desa melalui proses teknokratik dan partisipatif dalam penyusunan RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa, atau di lain pihak, Desa melaksanakan pembangunan Desa didahului pendataan SDGs (Sustainability Development Goals) Desa dan barulah menyusun dokumen perencanaan yang berorientasi pencapaian tujuan SDGs Desa.
Di masa pandemi Covid-19 kebijakan yang mengandung konflik normatif tersebut tumpang tindih dengan sentralisasi atas Dana Desa melalui aturan perundang-undangan tentang penanganan Covid-19. Dampaknya adalah Desa mengalami salah kaprah pemahaman bahwa Dana Desa adalah dana yang diusulkan kepada supra-Desa untuk membiayai pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa setempat. Desa gagal berdaulat melakukan pengambilan keputusan lokal. Kemandirian Desa semakin keropos. Kemandirian Desa pun dipahami keliru bahwa semakin status statistika Desa itu “Desa mandiri” maka Desa tidak perlu lagi Dana Desa. Salah kaprah pemahaman ini semakin memberi sinyal dampak kepengaturan yang memprihatinkan di masa pandemi Covid-19. Dana Desa berubah bentuk menjadi proyek sentralisasi Dana Desa sehingga Desa semakin kurang bertenaga dalam melakukan seluruh tahapan pembangunan Desa dan aktivitas pemberdayaan masyarakat Desa di masa pandemi Covid-19.
Di masa pandemi Covid-19 Pemerintah menerbitkan kebijakan penanggulangan Covid-19 pada tanggal 16 Mei 2020 melalui aturan hukum yang berdampak terhadap Dana Desa, dengan judul pengaturan yang amat panjang, yaitu UU No. 2/2020 tentang Penetapan PERPPU No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-undang.
Berpijak dari aturan UU No. 2/2020 a quo bahwa selama masa pandemi Covid-19 belum dinyatakan berakhir oleh Presiden, ketentuan Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasan UU No. 6/2014 tentang Desa yang mengatur tentang Dana Desa itu, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19. Sebelumnya telah dinyatakan dalam bagian pembuka bahwa diskursus pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa secara ideal-normatif dilandasi asas hukum rekognisi-subsidiaritas dan Kewenangan Desa berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Demikian pula halnya Dana Desa yang dilandasi oleh spirit yang sama dan dilegitimasi secara legal dalam Pasal 72 ayat (2) UU No. 6/2014 tentang Desa. Aturan UU No. 2/2020 a quo menyatakan hal sebaliknya. Ini menarik untuk dikaji dalam konteks pencarian bukti dan dampak kepengaturannya terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di masa pandemi Covid-19.
Naskah penjelasan atas UU No. 2/2020 a quo salah satunya mengatur wewenang pemerintah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dengan kriteria tertentu. Makna dari pengutamaan penggunaan Dana Desa untuk kegiatan tertentu (refocusing) adalah Dana Desa dipergunakan untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di Desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19. Pembaca akan menjumpai beberapa bukti berupa data, informasi dan aspirasi tentang bantuan langsung tunai di skala lokal Desa. Pro dan kontra tentang bantuan langsung tunai yang menggunakan Dana Desa akan diuraikan di dalam bagian selanjutnya.
Di lain pihak sistem hukum yang mengatur dan memerintah Desa di masa pandemi Covid-19 semakin menguatkan kekuasaan negara daripada kewenangan Desa. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada bulan Oktober 2021 telah menegaskan batas waktu normatif atas keberlakuan UU No. 2/2020 a quo bahwa UU a quo harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3, UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Konsekuensinya, penggunaan Dana Desa untuk program/kegiatan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa bergantung pada persetujuan DPR dan pertimbangan DPD berdasar alasan-alasan penanganan Covid-19, sebelum didistribusikan oleh pemerintah pusat. Alokasi dan penggunaannya berpotensi ditentukan secara sentralistik oleh kekuasaan negara dan tentu dapat menyimpangi Kewenangan Desa berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Di tengah pesismisme praktik Kewenangan Desa di masa pandemi Covid-19, Kementerian Desa PDTT menerbitkan kebijakan baru yaitu Permendesa PDTT No. 21/2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa yang diundangkan 28 Desember 2020. Substansi hukum peraturan menteri ini mengatur pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa lebih rinci, sebagaimana diamanatkan Pasal 131 ayat (1) PP No. 47/2015 tentang Perubahan atas PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa. Peraturan menteri ini memberikan alasan-alasan programatis bagi prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa (yang dilegitimasi secara legal dengan peraturan Menteri Desa PDTT yang terbit setiap tahun).
Arah kebijakan baru berupa SDGs Desa diperkenalkan di dalam peraturan menteri Desa, termasuk menambahkan tahap pendataan SDGs Desa sebelum tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pembangunan Desa. Diskursus arah kebijakan yang normatif ini bertambah kompleks karena peraturan menteri sebelumnya yaitu Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa tidak mengatur tentang arah kebijakan SDGs Desa. Ditambah lagi PP No. 47/2015 a quo yang mendelegasikan pembentuan peraturan menteri yang baru tidak mencabut berbagai peraturan menteri yang lama (khususnya Permendagri No. 114/2014 a quo), sehingga muncul pertanyaan normatif: apakah Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa masih berlaku setelah terbitnya Permendesa PDTT No. 21/2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa?
Setelah terbit PP No. 47/2015 a quo terjadi perubahan wewenang bahwa Menteri Desa PDTT berwenang menangani pembangunan Desa dan pemberdayaan Desa dan materi itu bukan lagi wewenang Menteri Dalam Negeri. Dalam pertimbangan asas hukum lex posterior derogat legi priori (hukum yang baru mengesampingkan aturan yang lama), aturan Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa sudah tidak berlaku dan juga sudah surut kesahihannya, dibandingkan dengan Permendesa No. 21/2020 a quo yang terbit sesudahnya. Peraturan tentang pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang diterbitkan oleh Menteri Desa PDTT memberikan norma hukum transisional dalam Pasal 97 Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo bahwa pada saat peraturan menteri ini mulai berlaku, pendataan Desa dan perencanaan Pembangunan Desa harus menyesuaikan dengan ketentuan peraturan menteri ini paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak peraturan menteri ini diundangkan. Interpretasi hukum atas ketentuan ini membentuk pandangan baru bahwa paling lambat pada 2021 semua praktik pembangunan Desa di skala lokal Desa harus disesuaikan dengan arah kebijakan SDGs Desa.
Implementasi kebijakan pembangunan di Desa secara faktual sejak tahun 2015 lebih banyak menggunakan standar perencanaan sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 114/2014 a quo. Desa mengalami internalisasi, pelembagaan, kebiasaan teknokratik, dan partisipasi dalam menyusun perencanaan pembangunan Desa. Kebiasaan ini tanpa dibebani arah kebijakan SDGs Desa sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo yang terbit bertepatan di masa pandemi Covid-19. Pembaca dapat mengandaikan kesulitan yang dihadapi ketika praktik pembangunan Desa pada tahun 2021 sudah harus melembagakan arah kebijakan SDGs Desa. Ini tidak mudah dilakukan di masa pandemi Covid-19 yang diwarnai segala bentuk pembatasan pertemuan fisik dan interaksi tatap muka di Desa. Pelaksanaan arah kebijakan SDGs Desa secara fenomenal diawali dengan sosialisasi masif SDGs Desa dan penggunaan aplikasi digital pendataan SDGs Desa sepanjang 2020-2021. Hasilnya cukup mengejutkan. Aplikasi digital pendataan SDGs Desa mengalami kerusakan sekitar pada tahun 2021 dan beralih pengelolaan menjadi situs SDGs Desa. Pada 2022 masih sedikit Desa yang menggunakan hasil pendataan SDGs Desa untuk perencanaan pembangunannya. Pertanyaan hukum kemudian muncul: Apakah seluruh perencanaan pembangunan Desa yang belum menggunakan hasil pendataan SDGs Desa pada tahun 2022 itu tetap legitim (absah) dan sahih (legal) berdasar Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo?
Penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa ini semakin menarik karena di satu sisi Desa terbiasa melakukan perencanaan teknokratik, dan di sisi lain Desa mulai diatur agar melembagakan datakrasi SDGs Desa dalam seluruh tahapan pembangunan Desa. Diskursus pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa mengalami ketegangan antara teknokrasi, datakrasi dan demokrasi lokal. Ini belum lagi ditimpa dengan keterlambatan regulasi pagu alokasi anggaran Dana Desa yang selalu diterima oleh pemerintah Daerah dan Desa menjelang akhir tahun. Hasil teknokrasi awal dan permusyawaratan pupus setelah terbit alokasi penggunaan Dana Desa oleh Kementerian Keuangan. Di masa pandemi Covid-19 nyaris seluruh mata di Desa terfokus pada penyaluran BLT-Dana Desa pasca terbitnya pagu Dana Desa –yang selalu terbit di akhir tahun. Urusan keputusan lokal yang telah merencanakan dan menganggarkan pembangunan infrastruktur dan rangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa menjadi surut langkah. Informasi penggunaan hasil pendataan SDGs Desa yang terlembagakan di dalam dokumen RPJM Desa, RKP Desa, APB Desa dan seterusnya, hampir nyaris lenyap ditelan pusaran angin. Desa belum memperoleh rekomendasi program hasil datakrasi SDGs Desa, apalagi internalisasi ke dalam dokumen perencanaannya.
Penilaian kebijakan berbasis bukti ini tidak berjalan dengan mudah tetapi bukan berarti sulit. Desa tidak semua memahami arah kebijakan SDGs Desa karena muncul persepsi bahwa SDGs Desa bukan kepentingan Desa dan kewenangan Desa itu sendiri, sedangkan nalar hukum pada institusi kekuasaan negara cenderung mempertentangkan kesahihan pembangunan Desa versi Permendagri No. 114/2014 a quo dan Permendesa No. 21/2020 a quo.
Perbedaan tajam memang terdapat pada muatan masing-masing peraturan menteri. Kebijakan pembangunan Desa terpilah menjadi (i) pembangunan Desa teknokratik-partisipatif dan (ii) pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang berorientasi datakrasi (datacracy; pemerintahan berbasis data) SDGs Desa. Konflik normatif ini tidak bisa surut apabila dibahas secara dogmatika hukum karena hanya akan dimengerti oleh aktor kebijakan di lingkungan kekuasaan negara daripada di skala lokal Desa. Legitimasi aturan kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa bukan terletak pada kesahihan normatif masing-masing aturan saja, melainkan justru terletak pada cara Desa melaksanakan kewenangannya dalam pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di masa pandemi Covid-19.
Dalam konteks penilaian kebijakan berbasis bukti, cara Desa melaksanakan kewenangannya menjadi pintu masuk untuk memperoleh bukti-bukti, opsi-opsi kebijakan dan rekomendasi kebijakan yang membela kewenangan Desa. Penilaian kebijakan berbasis bukti mengambil posisi analitis-kritis ketika Desa menjadi arena kontestasi kewenangan Desa terutama kontestasi antara dua kewenangan utama (Kewenangan Desa berdasar Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa) dan kewenangan penugasan supra-Desa maupun kewenangan penugasan lain yang bersifat sektoral.
Pembaca akan memperoleh pandangan lain dalam penilaian kebijakan berikut ini bahwa pertentangan atau konflik regulasi antar dua aturan pembangunan Desa telah membentang ke berbagai aturan sektoral, misalnya, sejauhmana Desa berdaulat mengatur dan mengurus pencemaran lingkungan, pengelolaan sungai, pengelolaan hutan, paralegal, keadilan restoratif, teknologi informasi dan digital, hingga transformasi dana bergulir eks-PNPM Mandiri Perdeaan di skala lokal Desa dan perdesaan.
Opsi-opsi kebijakan dalam penilaian kebijakan berbasis bukti akan membuka jalan bagi banyak perubahan kebijakan di tengah rimba densifikasi kebijakan pada level tengah (peraturan menteri). Laporan penilaian kebijakan ini membuka pandangan tentang opsi-opsi kebijakan yang melampaui ketegangan antara kebijakan teknokratis-partisipatif (Permendagri No. 114/2014 a quo), kebijakan datakrasi (Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo), dan kebijakan sektoral yang masuk ke Desa.
TUJUAN PENILAIAN KEBIJAKAN
- Menyediakan bukti-bukti (fakta, data, aspirasi) tentang kontradiksi regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
- Mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi konflik wewenang, disharmoni dan kontradiksi kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
METODE PENILAIAN KEBIJAKAN
Kontradiksi atau konflik normatif antara aturan kebijakan sektoral dan aturan yang diamanatkan oleh rangkaian regulasi kebijakan UU Desa dibahas tidak dalam keadaan nir-realitas (hanya berbasis opini asas hukum, namun miskin bukti). Penilaian kebijakan berbasis bukti tidak semata mengumpulkan bukti-bukti objektif yang cenderung memperlakukan Desa sebagai objek penilaian kebijakan, tetapi berupaya membangun tindakan komunikatif untuk membicarakan secara terbuka perihal kontradiksi normatif aturan kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang diciptakan pemerintah supra-Desa. Opsi-opsi kebijakan diandaikan muncul dari percakapan, dialog dan analisa di bawah tajuk metodologi evidence-based policymaking.
Penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa mempergunakan pendekatan Evidence-Based Policymaking (EBP) yang dikombinasikan dengan pendekatan Regulatory Impact Assessment (RIA).
Pendekatan Metode Penilaian Kebijakan. Pendekatan EBP merupakan pendekatan/metode yang menginformasikan proses pengambilan keputusan berbasis bukti (berupa aspirasi, usulan, data, dan fakta) tentang kebijakan aturan perundang-undangan maupun aturan kebijakan yang tidak terkategori dalam aturan perundang-undangan. Tema utama dalam penilaian kebijakan adalah kontradiksi atau konflik normatif antara kebijakan baru yang mengatur datakrasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana diatur di dalam Permendesa No. 21/2020 a quo dan kebijakan lama tentang partisipasi dan teknokrasi pembangunan Desa yang diatur di dalam Permendagri No. 114/2014 a quo.
Konsepsi Metode Penilaian Kebijakan. Konsep yang mendasari penggunaan pendekatan EBP di dalam penilaian kebijakan adalah:
- ilmu sosial hukum yang fokus pada aspek eskternal hukum, yaitu analisa sosiologi hukum yang menginformasikan secara empiris berbagai pemahaman hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di lokasi penilaian, termasuk tapi tidak terbatas pada pemahaman partisipan tentang kaidah kewenangan (kewenangan Desa dan kewenangan supra-Desa) dan kaidah perilaku (larangan, perintah, izin, dispensasi); dan
- ilmu analisa kebijakan publik yang fokus pada aspek empiris, yaitu analisa kebijakan terhadap program pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di lokasi penilaian kebijakan, dengan cara pandang Desa Membangun dan Membangun Desa. Program pembangunan Desa yang dilakukan berdasar Kewenangan Berdasarkan Hak Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa dianalisis dalam analisa kebijakan publik yang menggunakan cara pandang Desa Membangun, sedangkan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat untuk Desa dan Perdesaan dianalisis dalam cara pandang Membangun Desa. Kedua cara pandang ini dikembangkan setelah menginterpretasi UU No. 6/2014 tentang Desa yang membagi skala dan lokus dari pembangunan Desa (village development), pemberdayaan masyarakat Desa (village community empowernment) dan pembangunan perdesaan (rural development).
- pendekatan analisa/penilaian dampak kepengaturan (Regulatory Impact Assessment/Analysis; RIA) digunakan sebagai pelengkap dari bukti-bukti yang telah ditulis oleh tim penilai kebijakan. Bukti-bukti tersebut dianalisis dari sisi manfaat dan biaya (cost and benefit). Analisis atau penilaian terhadap bukti-bukti dari lokasi penilaian tidak bersifat kaku seperti halnya pendekatan RIA yang menghitung antara biaya dan manfaat, karena praktik penelitian terapan ini tergantung pada data/bukti yang diperoleh.
Karakteristik Metode Penilaian. Penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang menggunakan pendekatan/metode EBP dan RIA ini merupakan penelitian terapan. Disain penelitian bersifat praktis namun tetap berorientasi pada pengembangan keilmuan tentang Desa. Hasil penelitian terapan ini akan disajikan dengan bahasa yang populer, tidak terlalu akademis-ilmiah, sehingga pembaca dari kalangan pengambil keputusan di Desa maupun supra-Desa dapat menggunakannya sebagai cara pandang perubahan regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Tahapan Metode Penilaian Kebijakan. Langkah awal metode penilaian kebijakan adalah mencari buktI-bukti di lokasi penilaian kebijakan. Cara yang digunakan adalah melaksanakan kunjungan, wawancara dan diskusi terfokus (FGD) di lokasi penilaian kebijakan. Bukti-bukti tersebut diletakkan di dalam siklus kebijakan (policy cycle) yang dimulai dari tahap agenda setting (penentuan/pendefinisian masalah), merumuskan opsi-opsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Kegiatan penilaian kebijakan baru pada tahap agenda setting dan membangun alternatif-alternatif kebijakan.
Pihak Kementerian Desa PDTT dapat melakukan berbagai alternatif kebijakan tersebut pada tahap implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan berbasis bukti. Proses koreksi terhadap bukti-bukti dari lokasi penilaian kebijakan akan terus terjadi selama siklus tahapan metode penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa ini berlangsung.
Situasi konflik normatif aturan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di masa pandemi Covid-19 memerlukan penilaian kebijakan berbasis bukti yang bersifat faktual, empiris, dan aspiratif dari kalangan Desa dan daerah. Penilaian kebijakan berbasis bukti memosisikan legitimasi hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa tidak terletak pada perdebatan normatif antar isi aturan kebijakan. Ini justru mengarah pada disensus antara kekuasaan negara dan Desa karena di dalam perdebatan normatif dipastikan mensyaratkan keahlian teknis-yuridis yang cenderung membelakangi kepentingan Desa secara empiris dan deliberatif.
Legitimasi hukum terletak pada tindakan komunikatif pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat yang berlangsung di skala lokal Desa –yang diandaikan menghasilkan konsensus antara Desa dan kekuasaan negara. Para pengambil keputusan di lingkungan kekuasaan negara diandaikan memandang Desa tidak berbasis opini hukum yang normatif tetapi alasan-alasan argumentatif yang mempertimbangkan bukti-bukti (data, aspirasi, dan fakta). Bukti-bukti itu kemudian dianalisis dalam perspektif cara Desa menggunakan Dana Desa untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa (terutama di masa pandemi Covid-19), baik ketika Desa menggunakan skema teknokratis atau skema datakrasi pada praktik pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Kontradiksi normatif antar regulasi yang mengatur pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa sebenarnya mudah diselesaikan dalam diskursus dogmatika-yuridis bahwa hukum yang baru akan mengesampingkan aturan yang lama. Permendesa No. 21/2020 tentang Panduan Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa lebih sahih daripada Permendagri No. 114/2014 tentang Pembangunan Desa. Penilaian kebijakan berbasis bukti tetap mempertimbangkan kesahihan Permendesa a quo berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori tersebut tetapi peraturan Menteri Desa dan peraturan Menteri Dalam Negeri itu belum tentu legitim (absah) di skala lokal Desa. Berbagai substansi hukum yang ada di dalam aturan kebijakan tersebut mungkin sama sekali tidak terlaksana atau justru memunculkan tuntutan/aspirasi baru dari Desa dan daerah, terutama dari lokasi penilaian kebijakan sebagai berikut:
- Bangkalan, Jawa Timur
- Wonogiri, Jawa Tengah
- Pandeglang, Banten
- Deli Serdang, Sumatera Utara
- Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung
- Ngada, Nusa Tenggara Timur
- Bulungan, Kalimantan Utara
- Banjar, Kalimantan Selatan
- Sigi, Sulawesi Tengah
- Konawe, Sulawesi Tenggara
- Halmahera Barat, Maluku Utara
- Manokwari Selatan, Papua Barat
Penentuan Agenda Setting Kebijakan Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Di masa pandemi Covid-19 pemerintah pusat dituntut bersikap cermat dalam mengolah tuntutan atau aspirasi dari Desa. Penilaian kebijakan berbasis bukti tidak menutup diri terhadap praktik kebijakan Dana Desa yang berpotensi menyimpangi asas hukum rekognisi-subsidiaritas dan Kewenangan Desa berdasar Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, utamanya atas nama klaim penanganan pandemi Covid-19.
Posisi penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa adalah membuka ruang pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang praktik-praktik di skala lokal Desa termasuk tapi tidak terbatas pada:
- praktik pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasar pedoman umum yang diatur oleh Menteri Desa terhitung sejak bulan Desember 2020
- praktik pembangunan Desa berdasar mekanisme yang diatur oleh Menteri Dalam Negeri sejak bulan Desember 2014
- dampak kepengaturan (regulatory impact) penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang kemungkinan mengalami konflik dengan aturan kebijakan sektoral yang diterbitkan selain dari Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Dalam Negeri.
- praktik pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang melampaui teks aturan yang ada tanpa meninggalkan aspek internal hukumnya.
Regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di dalam realitas skala lokal Desa di masa pandemi Covid-19 terhubung dengan kewenangan Desa, program/kegiatan skala lokal Desa, program/kegiatan sektoral, atau program titipan dari berbagai organisasi pemerintah supra-Desa dan korporasi. Penilaian kebijakan berbasis bukti yang dilakukan dalam kegiatan ini berada di dalam posisi kritis terhadap pemadatan regulasi (densification) pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Hasil analisa berupaya merekomendasikan:
- opsi-opsi kebijakan di lingkungan Kementerian Desa PDTT maupun kementerian/lembaga lainnya yang mengatur dan mengurus Desa.
- sistem pembentukan aturan kebijakan berbasis bukti yang dibangun dengan kesadaran berhukum bahwa hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa hanya memungkinkan dibentuk dalam proses deliberatif, dan bukan bersumber dari hasil kajian hukum yang dogmatis.