Desa di Masa Pandemi Covid-19 (11): Sigi Sulteng, Regulasi Desa Menciderai Kewenangan Desa
MediaVanua.com ~ Diskusi terfokus kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di Sigi diselenggarakan pada Rabu, 26 Oktober 2022 bertempat di Ruang Pertemuan Desa Watubula, Dolo. Diskusi terfokus itu dihadiri oleh perangkat kecamatan, Kades Tinggede kecamatan Marawola, Kades Sibowi kecamatan Tanambulava, Kades Kabobona kecamatan Dolo, Direktur BUM Desa Kalukubula, BPD dari 3 (tiga) Desa, Direktur BUM Desa Kalukubula, Direktur BUM Desa Sibowi, Direktur BUM Desa Tinggede, Tenaga Ahli Kabupaten (Rasmadi, Fahrudin, Sarifudin dan Wahida), Pendamping Desa (M. Ramadan PD kecamatan Dolo, Herowati PD kecamatan Dolo, Masfa PD kecamatan Tanambulava, Fauzi PD kecamatan Marawol) dan Pendamping Lokal Desa (Ismawati PLD Tanambulava, Sarpan PLD di wilayah kecamatan Dolo), Biro Hukum Kementerian Desa PDTT (Shinta Ayu Wulandari, S.H), TA P3PD (Akhmad Khoirul Anam, Frada Visca Alvin, Iden Robert Ulum, Tomy Ariyanto, Dayu Avinatoro), dan tim LPPM UB dihadiri oleh Kokoh Prio Utomo.
Wawancara mendalam dilakukan di Desa Watubula dan Desa Kalukubula, pada Kamis, 27 Oktober 2022 bertempat di Kantor Desa. Diskusi terfokus dihadiri oleh Kades dan perangkat desa, BPD, Tenaga Ahli Kabupaten (Rasmadi), Pendamping Desa (Masfa) dan Pendamping Lokal Desa (Ismawati), Biro Hukum Kementerian Desa PDT, TA P3PD dan tim LPPM Universitas Brawijaya.
Dampak Bencana atas Sumber Air
Kondisi geografis Sigi dikelilingi oleh gunung perbukitan dan kawasan hutan yang memiliki kawasan hutan lebih dari 70% luas wilayah, baik berupa kawasan hutan produksi, hutan lindung, maupun taman nasional. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Desa yang di dalamnya terdapat hutan. Hutan bagi warga Desa merupakan sumber penghidupan tetapi belum tentu Desa secara utuh berwenang mengelola hutan. Ini menjadi catatan kebijakan tersendiri bahwa kewenangan Desa saatnya dibuka seluas-luasnya untuk memperjuangkan hutan sebagai bagian dari kewenangan Desa.
Pada tahun 2018 terjadi bencana alam gempa dan tsunami di Kota Palu dan Sigi. Dampaknya masih terasa sampai dengan sekarang khususnya kerusakan infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) berupa bendungan Gumbasa sampai dengan saluran irigasinya. Akibat dari kerusakan tersebut terjadi kekurangan air bahkan kekeringan. Hampir 8.000 hektar sawah hilang dan lahan mati sekitar 5.000 hektar. Pemerintah Sigi sudah menciptakan kebijakan agar masyarakat menanam varian komoditi hortikultura sambil menunggu rampungnya pembangunan kembali Bendungan Gumbasa. Bendungan ini ditargetkan selesai pada 2022 namun terpaksa mundur menjadi 2024 karena ada kendala pandemi Covid-19 yang mengharuskan rasionalisasi dan refocusing anggaran pusat dan provinsi.
Stunting atau Sanitasi?
Isu dampak kesehatan yang sedang mengemuka adalah penanganan stunting. Program penanganan stunting menjadi kebijakan mainstreaming mulai dari pusat sampai dengan Desa. Desa wajib mengalokasikan dalam APBDesa untuk penanganan stunting. Desa-desa peserta FGD sudah mengalokasikan anggaran stunting di dalam APB Desa mulai dari sosialisasi pencegahan sampai dengan penanganan berupa pemberian makanan tambahan.
Isu kesehatan yang krusial yaitu sanitasi sebagai salah satu faktor penyebab stunting, meskipun korelasinya tidak dekat secara dalam kebijakan kesehatan, kecuali sanitasi merupakan bagian dari pola kehidupan bersih dan sehat. Sanitasi menjadi program yang tidak diimplementasikan dengan baik. Bencana gempa yang melanda kota Palu dan Sigi berdampak pada ketersediaan air bersih dan kesehatan lingkungan menjadi terganggu.
Sanitasi atau stunting memang sama-sama kebijakan kesehatan tetapi prakarsa Desa untuk memperbaiki pola kehidupan kesehatannya sangat penting untuk dihubungkan satu sama lain. Penyampaian pentingnya kebijakan stunting tidak perlu terpisah dari denyut prakarsa Desa melayani kesehatan skala lokalnya.
Variasi Desa Digital dan Desa Tertinggal
Di kabupaten Sigi terdapat 3 (tiga) Desa yang berstatus sangat tertinggal tetapi terdapat 19 (sembilan belas) kategori Desa Digital. Kategorisasi Desa Digital ini mewakili upaya teknologisasi administrasi pemerintahan Desa sehingga aparatur Desa lebih adaptif memberikan layanan administrasi secara daring, mudah dan cepat.
Fenomena Desa Digital masih terfokus pada branding kemudahan layanan administrasi pemerintahan, paling tidak, sebagai kelanjutan dari sistem informasi Desa, tetapi belum terhubung langsung dengan penggunaan aplikasi Desa Digital yang terhubung dengan pola penghidupan masyarakat Desa.
Satu RPJM Desa, Dua Kerangka Pengaturan
Dialog dalam FGD yang berlangsung di Desa Watubula turut serta mengundang partisipan dari Desa Tinggede kecamatan Marawola, Desa Sibowi kecamatan Tanambulava, Desa Kabobona kecamatan Dolo, Selama dialog berlangsung memang ditemukan persepsi bahwa terjadi disharmoni antara Permendagri No. 114/2014 a quo dan Permendesa PDTT No. 21/2020 yang mana keduanya sama-sama mengatur tentang penyusunan RPJM Desa. Partisipan Desa secara psikologis merasa bingung mana yang harus diikuti tahapannya, meskipun secara normatif Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo merupakan aturan hukum terbaru yang menggantikan Permendagri No. 114/2014 a quo.
Kepala Desa menyatakan bahwa penyusunan RPJM Desa selama ini dimulai dari dusun, melibatkan tokoh masyarakat, yang mana Desa mengikuti substansi hukum Permendagri No. 114/2014 a quo yang lama itu, tetapi kemudian hasil penyusunan tersebut dikaji kembali dengan SDGs Desa sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo.
Data perencanaan pembangunan Desa selalu berawal dari aspirasi dari warga dusun dan selalu diperbarui. Masalahnya terletak pada intervensi atau titipan dari pemerintah supra-Desa. Misalnya, Dinas Kesehatan meminta agar Desa memprioritaskan anggaran untuk stunting, Kemenkominfo meminta untuk Desa Digital, BNPB meminta untuk Desa Tangguh Bencana, yang semuanya itu membingungkan Desa karena tidak relevan dengan kepentingan dan kebutuhan Desa. Akibatnya Desa tidak maksimal dalam menyusun RPJM Desa dan prioritas penggunaan Dana Desa. Intervensi berlangsung tanpa pembiayaan dari pemerintah supra Desa, tetapi mereka justru titip pembiayaan melalui Dana Desa.
Proses perencanaan dan penganggaran desa melalui Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo yaitu penggunaan data SDG’s Desa sebagai basis data dalam pengambilan keputusan sudah digunakan sebagai dasar perencanaan pembangunan Desa. Ketika dihadapkan dengan visi misi dan janji kampanye Kepala Desa terpilih, yang dalam pelaksanaannya dokumen RPJM Desa dan RKP Desa dilakukan revisi disinkronkan dengan hasil pendataan SDGs Desa.
Regulasi tentang Desa Menciderai Kewenangan Desa
Partisipan FGD mengkritik tindakan intervensi dari pihak kecamatan dan kabupaten. Dari pihak kecamatan berupa seringnya kecamatan memohon dukungan anggaran dari Pemdes untuk mendukung kegiatan-kegiatan di kecamatan seperti kegiatan perayaan hari jadi kabupaten atau peringatan hari raya keagamaan. Ini tentunya membebani desa karena anggaran desa terbatas dan tidak ada dalam akun belanja desa pengeluaran untuk kegiatan semacam itu sehingga secara langsung mengarahkan pada tindakan koruptif di desa.
Intervensi di kabupaten yaitu ada program asistensi terhadap APB Desa, yang dilakukan oleh Dinas PMD. APB Desa yang tidak sinkron dengan perencanaan kabupaten tidak disetuju, bahkan terdapat ancaman seperti dampak penyaluran Dana Desa dan Alokasi Dana Desa itu akan berkurang. Ini mengakibatkan dokumen perencanaan dan penganggaran desa menjadi berantakan dan tidak sesuai dengan hasil musyawarah desa. Terhadap hal ini pendamping Desa (TPP TA Kabupaten) tidak bisa berbuat banyak karena tidak dilibatkan oleh Dinas PMD dalam mendampingi asistensi APB Desa tersebut.
Desa meminta regulasi yang mengunci anggaran Desa sehingga aman dan tidak dijadikan sasaran empuk oleh lembaga, kecamatan, dan kementerian lain. Perwakilan dari Desa Tinggede menyatakan bahwa kecamatan yang anggarannya sedikit itu juga selalu minta tolong kepada Desa sehingga APB Desa berbelok arah karena terpengaruh arahan kecamatan itu.
Ini disambut dengan respons oleh Kasi PMD kecamatan Tanambulava bahwa memang benar anggaran kecamatan itu sedikit maka usulannya bahwa ada penambahan anggaran untuk kecamatan agar tidak selalu mengganggu anggaran Desa. Uniknya bahwa “tindakan mengganggu” atau “intervensi” disebabkan oleh anggaran yang terbatas, dan bukan mempertimbangkan Kewenangan Desa serta biaya dan manfaat dari suatu pembelokan APB Desa bagi Rakyat Desa.
Tradisi Berdesa mengajarkan bahwa keputusan dalam musyawarah itu secara langsung mempengaruhi pengambilan keputusan tertinggi di desa. Musyawarah desa dilakukan sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan desa. Kaur Desa mengkritik bahwa regulasi saat ini banyak yang mencederai kewenangan Desa. Kewenangan Desa banyak yang hilang, bahkan yang tersisa tinggal 32%. Hasil keputusan Musdes seringkali dicoret dan dimentahkan dalam proses asistensi. Regulasi Musdes perlu diperkuat agar Desa secara demokrasi permusyawaratan amat legitim/absah untuk menolak intervensi yang tidak masuk akal, menangkal asistensi yang mengalahkan deliberasi, dan hasil asistensi tidak boleh mengganggu kewenangan lokal berskala Desa.
Perubahan RPJM Desa dan Titipan Pemerintah Supra-Desa
Dokumen RPJM Desa dipahami sebagai dokumen yang hanya boleh satu kali mengalami perubahan, dalam satu periode jabatan Kepala Desa, sebagaimana mengikuti aturan Permendagri No. 114/2014 a quo. Faktanya, arus aspirasi masyarakat Desa mudah berubah sesuai perkembangan kehidupannya di Desa, ditambah lagi titipan program dari pemerintah pusat seperti ketahanan pangan, penanganan Covid-19 dan stunting, atau ada kejadian bencana alam, sehingga RPJM Desa konsekuensinya bisa berubah beberapa kali. Desa memerlukan substansi hukum yang sahih untuk melegitimasi tindakannya dalam memperlakukan RPJM Desa sebagai living document dan berbasis kewenangannya sendiri.
Pendamping Desa bersikap rasional dalam menyikapi fenomena kegiatan yang diusulkan oleh Desa namun tidak sejalan lagi dengan RPJM Desa. Musyawarah Desa merupakan alternatif institusional untuk melakukan perubahan. Diskresi kegiatan, asal tidak menyimpang dari norma hukum di Indonesia. Argumen ini rasional tapi masih normatif dan mengambang, karena diskresi melekat pada sosok jabatan dan bukan pada institusi Musyawarah Desa.
Jalan tengahnya adalah Musyawarah Desa menjadi institusi kolektif yang melegitimasi usulan program yang berbeda jalan dengan RPJM Desa, tetapi perbedaan usulan itu hanya perlu dirasionalisasi dalam keadaan darurat nasional seperti Covid-19 atau kewenangan penugasan dari pemerintah pusat/daerah yang harus mengutamakan Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Dampak Pendataan di Desa: Multi-Tafsir Implementasi
Dalam hal meningkatkan kualitas dan kuantitas pendataan Desa, Desa yang ada di kabupaten Sigi melibatkan Kadus dan RT sehingga penentu kualitas data ada di RT masing-masing. Seringkali data yang disajikan dari skala lokal Desa menuai kontroversi. Misalnya, data penerima BLT Desa hanya mendapat laporan dari RT dan Kadus untuk verifikasi kesesuaiannya dengan regulasi.
Setiap Desa terjadi penafsiran regulasi. Misalnya, penafsiran bahwa yang menerima BLT Covid adalah orang yang mengalami kehilangan pekerjaan. Di Desa X setiap orang yang mengalami kehilangan pekerjaan meskipun yang bersangkutan masih memiliki aset berupa rumah atau kendaraan pribadi tetap diberikan bantuan oleh Desa. Di desa Y menafsirkan lain bahwa karena orang itu masih punya aset sekalipun kehilangan pekerjaan, maka tidak diberikan BLT.
Dualisme pemaknaan aturan regulasi yang ada membuat setiap desa mengambil kebijakan yang lain. Pemerintah pusat harus menyatukan penjelasan yang lebih detail agar tidak menimbulkan kegaduhan sosial dan kesenjangan antar Desa.
Rasa Cemburu: Dampak Kepengaturan BLT-DD
Ada fenomena menarik dari hasil FGD mengenai pembagian dana BLT-DD sesuai Perpres No. 104/2021 tentang APBN 2020 (40% dari Dana Desa) terhadap kelompok penerima. Sebagaimana diatur bahwa syarat penerima BLP-DD adalah Kelompok Penerima Manfaat (KPM). Warga yang menerima BLT-DD disyaratkan tidak masuk dalam data DTKS Kemensos sebagai penerima PKH, BST, dan BPNT, dan lainnya. Desa harus mencari KPM yang memang belum pernah menerima bantuan dari pemerintah sama sekali. Dalam perjalanan pendataan, pemerintah desa mendapat tekanan agar memasukan KPM diluar kriteria yang dipersyaratkan. Ini menjadi problem dilematis Pemdes yang dikritik dengan isu pemilihan KPM yang tidak tepat sasaran, pilih kasih, dan lainnya.
Menghadapi situasi seperti ini, berbagai cara sosialisasi dilakukan oleh Pemdes dengan melibatkan BPD dan tokoh masyarakat mengenai tata cara dan persyaratan kriteria penerima BLT-DD agar tidak terjadi konflik di masyarakat. Pembagian uang di masa pandemi Covid-19 senyatanya membangkitkan rasa kecemburuan sosial. Modal sosial Desa pun pudar sesaat.
Dilema Memilih Pengurus BUM Desa Asal Tunjuk
Pemberdayaan BUM Desa dimulai dari manajemen kepengurusan. Pola rekrutmen pengurus BUM Desa Kalukubula dilakukan melalui pemapran terhadap visi misi dan rencana bisnis serta kemampuan pengelolanya. Rekrutmen pengurus BUM Desa di desa lain belum menerapkan sistem seleksi yang terbuka. Mayoritas pengurus BUM Desa di desa lain dipilih berdasarkan hasil musyawarah tanpa didahului identifikasi potensi subjek yang akan melakukan pengelolaan terhadap BUM Desa.
Pengelolaan BUM Desa membutuhkan dukungan dari kepala Desa, tidak hanya dukungan berupa modal uang melalui APB Desa saja, namun dukungan terkait eksistensi BUM Desa dengan cara mengundang BUM Desa dalam setiap kegiatan desa. Kepala Desa dan perangkat Desa perlu menginformasikan keberadaan BUM Desa saat pertemuan-pertemuan dengan stakeholder, melakukan branding BUM Desa, membantu BUM Desa dalam menjalin Kerjasama dengan pihak ketiga dari luar Desa. Pengurus BUM Desa masih belum mengetahui cara melakukan kerjasama usaha BUM Desa dan pihak investor atau pihak ketiga lainnya dari luar Desa sehingga Direktur BUM Desa Kalukubula mengusulkan bahwa setiap Desa perlu adanya peraturan desa yang mengatur tentang Kerjasama Desa yang di dalamnya melibatkan BUM Desa sebagai salah satu pelaksana kerjasama.
Direktur BUM Desa Kalukubula menyatakan bahwa Pemerintah Desa butuh diyakinkan agar mau melakukan penyertaan modal. Penyertaan modal itu didahulu dengan demokrasi lokal untuk pemilihan pengurus. Regulasi UU Desa jo. PP No. 11/2021 tentang BUM Desa kurang dipahami bersama secara demokratis bahwa meskipun aturannya jelas menyatakan direktur, sekretaris, bendahara, dan pengawas dipilih dalam Musdes, tetap muncul persepsi bahwa semuanya itu bisa ditunjuk tanpa Musdes. Begitu pula tentang kerjasama usaha BUM Desa dengan organisasi usaha lain yang sudah tercantum dalam regulasi dan bahkan diadaptasi di dalam perdes dan perkades masing-masing BUM Desa, senyatanya masih dijumpai fenomena bahwa pesan-pesan normatif tentang kerjasama usaha, investasi dan lainnya belum diatur dalam suatu regulasi tentang BUM Desa.
Direktur BUM Desa Kalukubula menyatakan bahwa selama ini Pendapatan Asli Desa belum sepenuhnya terorganisir. Misalnya, hasil objek wisata Desa belum diatur cara pembagiannya antara BUM Desa dan Pendapatan Asli Desa. Masalah ini sering dijumpai selama FGD karena pemahaman satu sama lain tentang pembagian hasil usaha BUM Desa, atau laba dalam istilah akuntansi keuangan, tidak koheren dengan PP No. 11/2021 tentang BUM Desa. Ini tidak dirumuskan secara tepat dalam Perdes tentang pendirian BUM Desa dan lampiran Anggaran Dasar BUM Desa, yang secara normatif mencantumkan kesepakatan untuk mengatur bagi hasil sebagai bagian dari akun beban dalam laporan laba/rugi, dan barulah kemudian pembagian hasil usaha antara BUM Desa, masyarakat penyerta modal, PADesa, dan laba ditahan.
Pendamping Desa menambahkan pola kerjasama atau transformasi organisasi pengelola teknologi tepat guna ketika berkaitan dengan BUM Desa. Ini usulan penting agar posisi organisasi pengelola teknologi tepat guna itu setidaknya mengalami pengakuan seperti halnya BKAD-UPK dana bergulir menjadi BUM Desa Bersama. Transformasi BKAD-UPK Dana Bergulir menjadi BUM Desa Bersama belum berjalan dengan baik karena resistensi pengurus UPK terhadap proses transformasi dengan berbagai alasan seperti kekhawatiran tidak bekerja lagi di dalam BUM Desa Bersama dan uang dana bergulir dipakai oleh BUM Desa Bersama yang belum tentu ada modal dari masing-masing Desa. Kekhawatiran ini masif diungkapkan sebagai alasan untuk mempertahankan kenyamanan BKAD-UPK selama belasan tahun terakhir.
Bersambung ke penilaian berbasis bukti di Konawe Sultra.(*)