Desa di Masa Pandemi Covid-19 (12): Konawe Sultra, Kontradiksi PDT (Partisipasi, Datakrasi dan Teknokrasi)
MediaVanua.com ~ Penilaian kebijakan berbasis bukti dilakukan melalui rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara di Konawe sekitar akhir 2022. Partisipan FGD meliputi perwakilan dari beberapa Desa, kecamatan, Dinas PMD, perwakilan Biro Hukum Kementerian Desa PDTT, Tenaga Ahli Program P3PD, Tenaga Ahli Pendamping Profesional Pusat dan Konawe, Tenaga Ahli Transformasi UPK menjadi BUM Desa Bersama yang dikontrak oleh Pemerintah Konawe, dan tim LPPM Universitas Brawijaya.
FGD di Desa Cialam Jaya yang diikuti oleh beberapa perwakilan dari Desa lain. Wawancara mendalam dilakukan dengan Pemerintah Desa, BPD, BUM Desa dan pendamping Desa di Desa Cialam Jaya. Desa Cialam Jaya merupakan Desa eks-transmigrasi yang dibentuk sekitar tahun 1970an. Kultur penduduknya bersifat multi-kultur dan aktif dalam menggerakkan potensi hortikultur.
Pelaksanaan FGD mendapat respons positif karena selama ini jarang sekali terdapat forum yang bebas tekanan, bebas dominasi, bebas dari permintaan data untuk kepentingan audit dan evaluasi, dan bebas mengutarakan masalah dan solusi. Suasana diskusi kelompok dan pleno di FGD juga diwarnai saling memberi saran untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Partisipasi, Datakrasi dan Teknokrasi
Isu kontradiksi Permendagri No. 114/2014 a quo dan Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo menjadi tema pembuka untuk memperoleh informasi dari partisipan FGD. Tahap pendataan, pelaksanaan dan seterusnya diolah masing-masing koordinator diskusi kelompok di dalam FGD agar partisipan bebas menyampaikan pendapatnya.
Partisipan FGD dari unsur Desa kurang begitu mengenali aspek normatif dari judul pengaturan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Mereka tidak memasalahkan judul pengaturan yang bersifat normatif itu. Ketika tim penilai kebijakan memperdalam isu-isu tahapan pembangunan Desa barulah terdapat informasi bahwa selama ini seluruh Desa melaksanakan pendataan SDGs Desa sebagaimana diatur di dalam Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo tetapi hasil pendataan SDGs Desa itu tidak dipergunakan di dalam seluruh dokumen RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa.
Partisipan FGD menyatakan bahwa pendataan SDGs Desa tidak dipergunakan di dalam perencanaan pembangunan Desa karena sistem SDGs Desa dari pusat mengalami kerusakan. Rekomendasi kebijakan yang dijanjikan akan muncul bersamaan di dalam sistem SDGs Desa senyatanya tidak ada. Persepsi dari sebagian partisipan FGD kurang memahami data Indeks Desa Membangun (IDM) dipergunakan sebagai alat utama perencanaan pembangunan Desa, namun mereka mengetahui status Desa masing-masing yang sebenarnya diperoleh dari kategorisasi data IDM dan data supra-Desa lainnya yang diolah oleh Kementerian Keuangan menjadi rumus pengalokasian Dana Desa di Indonesia.
Kepala Desa dan BPD menginformasikan bahwa selama ini mereka berawal dari aspirasi warga Desa yang menyampaikan usulan-usulan di dalam proses permusyawaratan di Desa. Aspirasi itu di satu sisi bersifat partisipatif dan juga politik karena Kepala Desa menimbang aspirasi itu untuk dirasionalisasi sesuai dengan janji-janji kampanye Pilkades. Kepala Desa yang dekat dengan warga Desa cenderung memihak pada aspirasi dan tuntutan warga, sedangkan SDGs Desa masih kurang dibayangkan relevansinya dengan aspirasi tersebut. Datakrasi dan teknokrasi tidak bergaung di kalangan Desa tetapi politik partisipasi yang lebih mengemuka sebagai diskursus pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pendamping Desa telah melakukan sosialisasi SDGs Desa tetapi dalam FGD terjumpai bahwa kepala Desa, perangkat Desa, BPD dan BUM Desa tidak ada yang memahami SDGs Desa. Tim penilai kebijakan langsung mengkonfirmasi perihal ketidakpahaman ini dan direspons oleh pendamping Desa bahwa mereka selama ini telah melakukan sosialisasi tentang SDGs Desa tetapi Pemerintah Desa kurang memperhatikan hal itu. Persoalan kerusakan aplikasi SDGs Desa sebagai faktor tidak terpakainya arah kebijakan SDGs Desa dikonfirmasi pula kepada Pendamping Desa dan responsnya adalah hal itu menghambat pesan-pesan sosialisasi SDGs Desa untuk dilaksanakan di Desa. Fenomena ini memperjelas kontradiksi regulasi pembangunan Desa bahwa tindakan sosialisasi merupakan tindakan yang sia-sia karena sosialisasi dipahami sebagai tindakan untuk memindahkan pikiran dari pendamping Desa kepada Desa. Pemahaman timbal-balik tidak menjadi alas komunikasi sehingga Desa tidak merasa berkepentingan terhadap arah kebijakan SDGs Desa.
Kesalahan tentu tidak ditanggung oleh pendamping Desa karena kerusakan aplikasi SDGs Desa yang berdampak pada kegagalan internalisasi arah kebijakan SDGs Desa pada perencanaan pembangunan Desa itu disebabkan oleh pengelola aplikasi digital SDGs Desa di Kementerian Desa PDTT. Pendamping Desa hanya melaksanakan mandat sosialisasi SDGs Desa tetapi tanggung jawab aplikasi tetap berada pada pejabat Kementerian Desa PDTT yang menangani aplikasi.
Sistem situs SDGs Desa sebagai ganti dari aplikasi SDGs Desa cenderung menambah beban bagi Desa dan Pendamping Desa karena mereka harus mengulang kembali pengunggahan data. Hingga FGD berlangsung, semua data teks belum selesai diunggah lagi ke dalam situs SDGs Desa. Misi untuk melembagakan arah kebijakan SDGs Desa menjadi terlambat satu tahun anggaran. Praktik datakrasi SDGs Desa mengalami gangguan teknologi yang berdampak pada teknokrasi perencanaan pembangunan Desa tetapi Desa punya cara tersendiri untuk melakukan perencanaan, yaitu melalui partisipasi warga Desa.
Kecemasan lain yang ditemukan adalah apakah kegagalan aplikasi SDGs Desa itu akan menjadi temuan inspektorat? Pertanyaan ini sulit dijawab karena inspektorat mempunyai tolok ukur yang khas. Desa telah mempunyai keluaran (output) data teks kuisioner yang telah diisi dengan hasil wawancara. Kerusakan aplikasi belum tentu menjadi temuan mal-administrasi kecuali terdapat manipulasi anggaran yang berhubungan dengan pendataan SDGs Desa. Selama percakapan di dalam FGD tidak terdapat manipulasi anggaran untuk peralatan pengisian kuisioner SDGs Desa.
Peta Jalan SDGs Desa disangka “Peta Jalan Desa yang Baru”
Dalam salah satu sesi diskusi kelompok, seorang Kepala Desa merespons pertanyaan tim penilai kebijakan tentang pembuatan Jalan SDGs Desa. Kepala Desa meminta kepada perangkat Desa untuk menunjukkan data tentang “peta jalan Desa”. Kepala Desa kurang mengetahui bahwa selama sejak setahun dirinya dilantik, peta jalan SDGs Desa bukanlah “peta jalan Desa” yang baru. Peta Jalan SDGs Desa tidak pernah dibuat oleh Kepala Desa sehingga dokumen perencanaan pembangunan Desa tidak berorientasi pada SDGs Desa.
Kaidah hukum di dalam Permendesa No. 21/2020 a quo yang mengatur tentang tanggung jawab Kepala Desa untuk menyusun peta jalan SDGs Desa senyatanya tidak berjalan lancar. Kepala Desa tidak memperoleh informasi seperti apa hasil pendataan SDGs Desa, sehingga mereka tidak tahu cara menyusun peta jalan SDGs Desa dengan 18 (delapan) tujuan itu.
Tim penilai kebijakan mengambil jalan lain yakni mengajak dialog tentang tema-tema yang diusung oleh SDGs Desa, yakni Desa tanpa kemiskinan, Desa tanpa kelaparan, Desa sehat dan sejahtera, Desa yang pertumbuhan ekonominya merata dan seterusnya. Diskursus SDGs Desa dalam FGD ini telah dikritik karena kegagalan teknologi aplikasinya. Diskursus SDGs Desa yang telah menyempit menjadi isu aplkasi itu kemudian dibuka kembali dengan dialog tentang “Desa tanpa kemiskinan” yang diinformasikan sesuai dengan cara Desa menentukan masalah pembangunan Desa.
Desa Tanpa Kemiskinan: Desa Lokasi Bantuan Sosial
Perencanaan pembangunan Desa dekat dengan isu penanggulangan kemiskinan. Desa dinilai dekat dengan kemiskinan tetapi belum tentu regulasi kebijakan pembangunan tidak mengawetkan kemiskinan di Desa. Masalah klasik yang muncul adalah persepsi tentang kemiskinan di Desa. Kekuasaan statistika negara mempunyai tolok ukur tentang kemiskinan yang didasarkan pada ketidakmampuan warga Desa melakukan konsumsi. Di lain pihak warga Desa mempersepsikan kemiskinan bertolak dari pengalaman kehidupan sehari-hari dan dunia-kehidupannya yang historis di Desa.
Diskursus SDGs Desa tentang “Desa Tanpa Kemiskinan” menyempit pada bantuan sosial. Partisipan FGD menyatakan telah menyalurkan BLT-DD sebagai salah satu bentuk bantuan sosial. Selama masa pandemi Covid-19 urusan bantuan sosial dipahami dalam beragam cara pandang yang saling dikotomis:
- Kriteria “miskin” dalam kebijakan bantuan sosial terinformasikan secara empiris bahwa kelompok pemanfaat yang miskin itu masih punya aset tanah,mobil dan rumah, atau setidaknya dinilai “kaya” oleh warga Desa setempat.
- Persepsi tentang “miskin” di Desa itu adalah orang tua lanjut usia yang tidak punya aset tanah, bekerja tetapi hasilnya tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, buruh tani yang punya uang dan langsung habis pada hari yang sama, janda/cucu leluhur Desa, penjual sayur dan semacamnya.
- Program PKH hanya mencakup jumlah kelompok pemanfaat yang relatif kecil, bahkan terdapat kasus data DTKS-PKH yang tetap mencantumkan “warga yang telah meninggal” sebagai penerima bantuan sosial. Pemerintahan Desa memutuskan utuk membagikan kepada ahli warisnya. Masalah data bantuan sosial ini tidak pernah tuntas.
- Kebijakan BLT-DD di masa pandemi Covid-19 telah diumumkan transparan di Desa melalui baliho dan media serupa, dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Desa secara demokratis, mudah diubah setiap saat melalui permusyawaratan, tetapi tetap memunculkan kecemburuan di antara warga Desa, sehingga akhirnya BLT-DD dibagi rata.
Desa Tanpa Kemiskinan yang mewujud di dalam program bantuan sosial baik ala DTKS-PKH maupun BLT-DD disederhanakan sebagai program “bagi-bagi uang” di masa pandemi Covid-19. Di satu sisi negara dan pemerintah Desa hadir untuk mengulurkan tangan bagi warga miskin tetapi dampak kepengaturannya adalah kecemburuan dan strategi “bagi rata” di Desa. Desa sejatinya tahu siapa yang miskin tetapi parameter program bantuan sosial atas nama “penanggulangan kemiskinan” itu berdampak pada pembagian yang tidak merata.
Diskusus Desa Tanpa Kemiskinan bermakna sebagai Desa Lokasi Bantuan Sosial dan belum melangkah pada keberpihakan supra-Desa terhadap Kewenangan Desa agar Desa berwenang data dan uang Desa untuk program pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang menanggulangi kemiskinan di Desa.
Desa Sehat: Desa Melayani Kesehatan Warga
Diskusus Desa Sehat dan Sejahtera dekat dengan Desa sebagai Desa yang melayani warganya. Partispan FGD menyampaikan koordinasi dengan tenaga kesehatan yang intens. Setiap bulan dokter datang ke Desa. Bidan Desa berdomisili tak jauh dari arena tugasnya.
Penyakit populer seperti diabetes, tensi tinggi, kolesterol dan lainnya telah diatasi melalui pelayanan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan selalu berkomunikasi dengan pemerintahan Desa. Pemerintah Desa juga melayani aktivasi BPJS. Kaur Perencanaan bertugas untuk memudahkan akses layanan BPJS bila warga Desa mengalami kesulitan.
Masalah klasik dan mengancam kesehatan warga adalah kebiasaan buruk dari sebagian warga yang membuang sampah di sungai. Perilaku ini diprotes oleh petani karena kualitas air untuk mengairi sawah dan lainnya menjadi buruk. Pemerintah Desa telah mengusulkan kepada Pemerintah Konawe Selatan agar tempat pembuangan sampah segera dibangun tapi hingga saat ini belum realisasi.
Desa Sejahtera: Ekonomi Subsisten Hortikultur, Pasar Desa dan BUM Desa
Warga Desa partisipan FGD mayoritas merupakan Desa eks-transmigrasi. Desa eks-transmigrasi mempunyai masalah aset yang terkait dengan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Kementerian Desa PDTT diminta di dalam forum untuk menyelesaikan status aset transmigrasi terdahulu yang belum diserahterimakan menjadi Aset Desa. Aset berupa bangunan, jalan, dan lainnya perlu didata ulang dan segera diserahkan sebagai bagian dari kewenangan Desa untuk mengatur dan mengurusnya. Selama ini Desa eks-transmigrasi masih ragu-ragu untuk menggunakan aset transmigrasi karena pasti menciptakan konflik di antara warga sendiri maupun konflik antara Desa eks-transmigrasi dengan supra-Desa. Masalah ini masih luput dari pantauan Kementerian Desa PDTT agar terjadi ketepatan transformasi aset dan apalagi bila dihubungkan dengan SDGs Desa. Diskursus SDGs Desa belum menyentuh kehidupan warga Desa eks-transmigrasi yang mengalami ketidakjelasan asetnya secara kolektif sehingga pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa lebih cenderung dikelola warga Desa dengan menggunakan aset yang terbatas.
Masyarakat Desa eks-transmigrasi mayoritas mempunyai pola nafkah sebagai petani. Lingkungan alamnya dibentuk dengan kultur yang memanfaatkan lahan untuk hortikultur. Desa Cialam Jaya aktif memroduksi kangkung, seledri, bayam, cabe, kelapa dan lainnya. Perempuan Desa terwadahi di dalam “dasa wisma PKK” dan aktif di pasar Desa yang didirikan tak jauh dari kantor/balai Desa. Pemerintah Desa mengembangkan pula fasilitas di dekat pasar, antara lain yaitu kolam ikan, kolam renang ukuran kecil, dan rintisan bangunan lain untuk wisata. Tak kurang pula pemerintah Desa menyiapkan lahan untuk parkir para pengunjung dan pedagang pasar. Dalam konteks pasar Desa maka istilah “pasar tradisional” tidak tepat digunakan, oleh karena itu tim penilai kebijakan menyarankan agar pasar yang didirikan dengan APB Desa itu tidak disebarluaskan dengan istilah “pasar tradisional”, tetapi lebih tepat menggunakan istilah “pasar Desa”. Kewenangan Desa akan menjadi faktor pembeda antara pasar tradisional dan dan pasar Desa.
Kepala Desa Cialam Jaya berlatarbelakang sekolah manajemen, sehingga ia berprakarsa membangun pasar Desa yang potensi ramai dikunjungi oleh pedagang pasar. Potensi pasar Desa ini berada di jalur perjalanan menuju pusat kota. Kepala Desa dan BUM Desa mengandaikan bahwa pasar Desa ini akan membuat efisien para warga dari berbagai Desa yang ingin berbelanja kebutuhan sehari-hari. Desa Cialam Jaya terbuka untuk saling bekerjasama dengan warga Desa lain untuk pengembangan jenis-jenis usaha pasar Desa.
Kondisi BUM Desa secara regulasi memang belum tertib. Masih banyak rumusan aturan hukum Perdes dan Perkades yang secara perancangan aturan terdapat kejanggalan bahwa Perdes yang tebit pada tahun 2021 masih mencantumkan aturan yang sudah tidak berlaku pada bagian konsiderannya. BUM Desa, pemerintah Desa, BPD dan pendamping Desa memang senyatanya memerlukan coaching clinic untuk perancangan hukum BUM Desa, termasuk logika akuntansi berpasangan dalam manajemen keuangannya.
Laporan keuangan BUM Desa masih mencatat uang keluar-masuk. Belum ada cara mencatat atau cara perlakuan akuntansi keuangan yang dilakukan oleh BUM Desa. Salah seorang pendamping Desa ada yang berkemampuan akuntansi keuangan. Ini potensi untuk terus belajar mendampingi akuntansi keuangan BUM Desa bertolak dari jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh BUM Desa. BUM Desa perlu dilatih bertahap untuk menyusun perlakuan akuntansi keuangan yang disinkronisasi dengan UU Desa dan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian BUM Desa tidak takut rugi. Informasi hukum tentang cara mengatasi kerugian BUM Desa masih nol. Desa tidak tahu tentang cara mengatasi kerugian itu melalui perubahan jenis usaha, penambahan modal dari Dana Desa dan perubahan pengurus. Pembagian laba juga masih kurang memahami seperti berapa bagian dari Pemerintah Desa dan BUM Desa setelah laba dicatat. Kesulitan ini bertambah mendalam karena “pembagian laba” dilakukan hanya berdasarkan arus kas. Uang masuk dikurangi uang keluar, lalu hasilnya dibagi begitu saja antara Pemerintah Desa dan BUM Desa. Kekeliruan cara pandang ini membutuhkan pendampingan coaching clinic dan bukan pendampingan yang bersifat ceramah, sosialisasi, bimtek dengan ceramah yang panjang slide presentasinya, tapi semuanya hasilnya nol. Nihil. Tak ada perkembangan kapasitas BUM Desa dalam manajemen usahanya.
Struktur organisasi BUM Desa juga masih keliru. Organ tertinggi BUM Desa adalah Musyawarah Desa, bukan Kepala Desa. Dampak dari gambaran struktur organisasi semacam ini adalah BUM Desa seolah-olah milik Kepala Desa dan bukan milik bersama seluruh warga Desa yang dilembagakan di dalam Musyawarah Desa. Ibarat perusahaan yang struktur tertingginya adalah Rapat Umum Pemegang Saham, sehingga Musdes adalah struktur organ yang tertinggi untuk menjaga pengambilan keputusan berlangsung kolektif.
Bias-bias pemahaman tentang BUM Desa ini memerlukan kecermatan untuk mengubah gambar struktur organisasi BUM Desa. Di lain pihak pengurus BUM Desa ada yang masih merangkap sebagai ketua dari salah satu organ proyek kementerian sektoral seperti PAM Desa/PAM Simas. Seandainya terjadi kerjasama usaha antara BUM Desa dan organisasi proyek tersebut maka tidak mungkin Direktur BUM Desa membuat perjanjian atas nama dirinya sendiri yang juga ketua organisasi PAM Desa/PAM Simas. Istilah “kerjasama usaha” masih belum populer sehingga semua organisasi proyek sektoral harus dimasukkan sebagai “unit usaha BUM Desa”. Salah kaprah ini semakin mendalam:
- Organisasi proyek sektoral mempunyai aturan sendiri sebagaimana diatur di dalam petunjuk teknis keproyekan, sedangkan BUM Desa mempunyai AD/ART tersendiri, sehingga organisasi proyek itu lebih tepat untuk menjadi mitra usaha BUM Desa melalui skema “kerjasama usaha”.
- “Unit usaha” adalah badan usaha (semisal PT) yang didirikan oleh BUM Desa dan modal awalnya dikuasai oleh BUM Desa (sekitar 51% lebih), sehingga tidak semua usaha warga Desa atau bahkan organisasi proyek sektoral itu dijadikan sebagai “unit usaha BUM Desa”. Pendirian “unit usaha BUM Desa” dimungkinkan bila masing-masing pihak mendirikan perseroan terbatas yang jenis usahanya khusus untuk pengembangan usaha BUM Desa.
Pemerintah supra-Desa masih cenderung menerbitkan aturan peraturan bupati tentang BUM Desa tetapi isinya mirip dengan peraturan menteri. Ini berdampak pada Desa yang selalu berpendapat “menunggu perbup”. Pendirian BUM Desa merupakan bagian dari kewenangan lokal berskala Desa yang tidak memerlukan acuan kebijakan berupa peraturan bupati, kecuali peraturan bupati itu mengatur dan mengurus BUM Desa agar memperoleh pendidikan dan pendampingan manajemen, penambahan modal dalam bentuk hibah, dan akses pemasaran. Jarang sekali dijumpai aturan peraturan bupati yang spesifik mengatur dan mengurus ketiga hal tersebut. Mayoritas bentuk aturannya adalah peraturan bupati yang mengatur pendirian BUM Desa, padahal urusan pengaturan semacam ini cukup menjadi urusan Desa yang diatur di dalam Peraturan Desa.
Pemahaman hukum tentang UU Desa dan peraturan pelaksanaan tentang BUM Desa masih berjalan hirarkis. Ini mirip model “Desa lama” bahwa Desa hanya bisa mendirikan BUM Desa bila sudah ada perbup, dan itu berarti jarang sekali Desa berdebat dan dialog tentang norma hukum UU Desa daripada peraturan bupati. Program pemberdayaan masyarakat Desa akhirnya bersifat hirarkis yang kurang dijiwai kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa.
Badan Kerjasama Antar Desa untuk Proyek Masuk Ke Desa
Warga Desa yang menjadi partisipan FGD mempunyai kebiasaan atau adat yang beragam. Kuda lumping merupakan salah satu pertunjukan kesenian yang dibawa oleh warga sub-kultur jawa. Sedekah bumi di bulan suro dengan sesajen yang mewarisi sebagian kultur Jawa. Wayang kulit dengan dalang dari Desa. Kebiasaan atau adat tersebut berdekatan dengan modal sosial warga Desa, rekonsiliasi konflik dan melebar menjadi kerjasama antar-Desa.
Sekitar 5 (lima) Desa di sekitar Desa Cialam Jaya rawan konflik. Identitas sosial yang menguat secara eksklusif di Desa eks-transmigrasi belum sepenuhnya menjadi jembatan sosial (social bridging) untuk membicarakan kepentingan bersama dan mempublik. Pembatasan pesta merupakan salah satu cara kerjasama antar-Desa yang alamiah untuk mencegah konflik.
Di lain pihak Pemerintah Desa Cialam Jaya berprakarsa untuk membentuk majlis pengajian Jum’at Kliwon. Identitas sosial-relijius ini kemudian maju selangkah untuk membicarakan ketahanan pangan dari warga Desa yang menanam kangkung, cabe, sawi, dan lainnya. Rumput diolah menjadi tikar meskipun sebagian besar warga sudah tidak aktif lagi bergerak dalam kerajinan tikar. Pelaksanaan PKTD dilakukan sederhana untuk membangu kolam ikan lele dan mujair dengan sumber biaya dari APB Desa sekitar 16 juta rupiah yang hasilnya bisa menambah perangkat Desa. Dalam skala kerjasama antar Desa, pemerintah Desa bekerjasama untuk pengelolaan sumber daya air. Ketika Desa menghadapi masalah sumber daya bersama maka Desa bergerak secara natural/alamiah untuk bekerjasama. Begitu pula kerjasama antar Desa yang alamiah untuk mengatur dan mengurus tanah makam yang terletak di lokasi antar-Desa. Kerjasama antar Desa yang alamiah ini mampu mencegah konflik dan sekaligus menjadi medium integrasi sosial pasca konflik.
Pelembagaan kerjasama antar Desa tidak harus membentuk organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Organisasi ini awalnya dibentuk sebelum masa keberlakuan UU Desa yang mana banyak proyek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dititipkan dan dikelola oleh BKAD. Sebagian partisipan FGD menyatakan bahwa BKAD dibentuk agar pemerintah Konawe Selatan mudah melakukan koordinasi untuk pelaksanaan pembangunan di kawasan perdesaan, semisal program membangun jalan antar Desa di masa program PNPM-PISEW. Struktur organisasinya terdiri dari Kepala Desa, perangkat Desa dan camat. Begitu pula BKAD yang dibentuk untuk mewadahi UPK DAPM di kecamatan Konda.
Kebijakan kerjasama antar Desa yang diinformasikan secara empiris ini memberi pembelajaran/bukti bahwa BKAD lebih banyak digunakan proyek-proyek pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di lingkup kecamatan. Nalar kerjasama antar Desa ini berbeda dengan kerjasama antar Desa yang berlangsung alamiah berbasis adat, tradisi, dan bahkan multi-kultur yang bisa kita saksikan di Desa eks-transmigrasi. Regulasi tentang kerjasama antar Desa dan pembangunan perdesaan perlu untuk memperhatikan skala dan lokus. Skala kerjasama antar Desa dan lokus perdesaan itu harus diperiksa ulang dengan Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Spirit UU Desa jelas menyampaikan bahwa kerjasama antar Desa dan pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk memilah mana yang tidak mampu dilakukan oleh Desa, yang dibuktikan dengan Daftar Kewenangan tersebut, barulah pemerintah supra-Desa dan kekuatan pasar masuk untuk menguatkan pembangunan antar-Desa. Pembangunan jalan antar-Desa dan UPK-DAPM di kecamatan Konda misalnya, apakah sudah memperhatikan Daftar Kewenangan Desa itu secara serius? Proyek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di masa lalu masih memposisikan “kelompok masyarakat” sebagai penerima proyek di lokus perdesaan sehingga Pemerintah Desa sekedar sebagai petugas cap keabsahan proyek. Perbaikan regulasi yang memilah mana urusan kewenangan Desa (paradigma Desa Membangun) sudah saatnya berlanjut dengan perbaikan regulasi yang mengatur program-program penugasan yang bersifat sektoral dan program yang mengklaim judulnya sebagai program pembangunan di kawasan perdesaan (paradigma Membangun Desa).
Transformasi UPK-DAPM Setengah Hati
Transformasi BKAD-UPK menjadi BUM Desma tidak berjalan lancar. Tim penilai berkunjung ke salah satu kantor UPK-DAPM yang belum transformasi. Alasan-alasan utama yang mendasari kendala transformasi adalah kepastian nasib BKAD dan UPK-DAPM. Kepastian nasib tersebut berkaitan dengan masa transisi pengakhiran program PNPM Mandiri Perdesaan yang mana nasib UPK tidak jelas diatur dan diurus oleh kementerian/lembaga tertentu.
Pengurus BKAD-UPK DAPM memutuskan untuk mengelola uang dana bergulir secara mandiri karena mereka merasa tidak ada kementerian/lembaga yang jelas untuk mengatur dan mengurusnya. Alasan ini perlu diuji karena pada masa pengakhiran PNPM Mandiri Perdesaan sekitar tahun 2014-2015, BKAD-UPK DAPM menggunakan surat edaran dari Menkokesra bahwa mereka bisa memilih untuk menjadi Perkumpulan Berbadan Hukum (PBH). Saat ini kementerian tersebut sudah tidak ada tetapi surat tersebut masih dipergunakan oleh mereka sebagai dasar kebijakan yang melegalkan eksistensinya.
Ketika Kementerian Desa PDTT terbentuk pada akhir 2014 dan beberapa kali menyusun aturan tentang pengakuan dan perlindungan terhadap BKAD-UPK DAPM, justru penolakan yang terjadi, dengan alasan yang sama bahwa mereka terlanjur menjadi PBH. Karakteristik badan hukum PBH adalah perkumpulan berbasis kelompok dan bukan berbasis Desa-desa secara utuh. Dampak kepengaturan menkokesra adalah BKAD-UPK DAPM mengatasnamakan “Desa” tetapi sebenarnya “Desa” dalam artian sebagian warga Desa. Itu pun berarti bahwa “Pemerintah Desa” dihadapkan dengan “masyarakat Desa”, yang sebenarnya sudah dihentikan oleh para pembentuk UU Desa bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang utuh dan tidak perlu membedakan antara “masyarakat” dan “pemerintahan” Desa.
Pemahaman yang tidak utuh atas dasar UU Desa dalam dialog dengan BKAD-UPK DAPM memang sedari awal sudah berbeda paradigma. Paradigma community driven development lebih fokus pada kelompok-kelompok, dalam konteks dana bergulir, berarti kelompok pemanfaat Simpan Pinjam Perempuan dan layanan jasa keuangan lainnya. Para pelaku BKAD-UPK DAPM akan memandang Desa hanya sebatas “Kepala Desa”, “perangkat Desa” atau “kelompok masyarakat di Desa”. Upaya transformasi tidak mungkin dilakukan bila mereka tidak menggunakan paradigma village driven development yakni paradigma yang menekankan tradisi bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara di Desa. Desa secara utuh adalah penggerak pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa, apalagi pemberdayaan masyarakat yang mengklaim “Desa” sebagai basisnya.
Konsekuensinya, BKAD versi PNPM harus dikembalikan pada ruh UU Desa (paradigma village driven development) yakni berbasis kepentingan Desa untuk melakukan kerjasama antar Desa, dan bukan organisasi PBH yang berbasis perorangan dan kelompok yang mengatasnamakan Desa. Organisasi UPK-DAPM diakui dan diposisikan sebagai bagian dari organisasi manajemen BUM Desa Bersama mengingat skala dan lokus UPK-DAPM sebagian besar berada di wilayah administratif kecamatan.
Perbedaan cara pandang atau paradigma community driven development dan village driven development ini merembes ke berbagai perdebatan tanpa ujung:
- BKAD-UPK DAPM biarkan saja menjadi PBH yang sukses mengatur dirinya sendiri, karena belum ada BUM Desa dan BUM Desa Bersama yang sukses. Argumen ini tidak beralasan karena modal BKAD-UPK DAPM dimulai dengan dana milyaran rupiah dan bertahun-tahun diasuh oleh progam PNPM-MPd, sedangkan BUM Desa dan BUM Desa Bersama tidak ada yang modal awalnya milyaran rupiah dan alokasi biayanya murni menggunakan APB Desa yang nilainya jauh di bawah nilai hibah PNPM-MPd.
- BKAD-UPK DAPM merasa mengenal aktor-aktor di Desa yang kurang punya kapasitas mengelola keuangan. Argumen ini tidak cukup alasan karena awalnya para pengelola BKAD-UPK DAPM bertahun-tahun lalu juga tidak punya kapasitas. Setelah mereka dilatih dan bekerja konsisten maka kapasitasnya tumbuh-kembang.
- BKAD-UPK DAPM merasa tidak perlu menyerahkan laporan keuangannya untuk diaudit oleh inspektorat karena mereka punya struktur organisasi tersendiri yang mengawasi kinerjanya. Selain itu mereka tergabung di dalam organisasi asosiasi yang legal. Organisasi asosiasi UPK NKRI itu aktif mengorganisir massa demonstrasi menolak regulasi Kementerian Desa PDTT tentang transformasi UPK menjadi BUM Desa Bersama, mengajukan “judicial review” kepada Mahkamah Agung dan putusannya dikalahkan oleh Mahkamah Agung, serta melakukan lobi-lobi ke DPR-RI agar tidak ada paksaan untuk melakukan transformasi. Konsekuensinya, ketika BKAD-UPK DAPM tidak menjalankan sama sekali semua kaidah hukum laporan terbuka aset, audit oleh pemerintahan, dan masuk melebur bersama Desa-desa untuk menjadi BUM Desa Bersama, maka BKAD-UPK DAPM bukan lagi menjadi urusan pemerintah c.q. Kementerian Desa PDTT. Urusan BKAD-UPK beralih menjadi urusan perorangan dan kelompok. Desa pun tidak bertanggungjawab meskipun sebagian warganya secara kelompok/perorangan menjadi pemanfaat layanan jasa keuangan mereka.
- Sebagian BKAD-UPK menyarankan ada peluang kerjasama usaha antara BUM Desa/BUM Desa Bersama dengan mereka. Masing-masing tetap independen dan menjadi mitra yang kuat. Putusan pidana di Mahkamah Agung sekitar pada tahun 2022 telah menghukum pengurus UPK-DAPM karena menyalurkan uang simpan pinjam dan dana bergulir untuk jenis usaha yang dilakukan oleh BUM Desa dan BUM Desa Bersama. Argumen ini sudah tidak relevan dan bahkan melawan hukum. Selain itu putusan pidana dari Mahkamah Agung yang banyak dijumpai di situs Mahkamah Agung sudah bukan lagi hanya kategori pidana penggelapan tetapi mengarah pada pidana korupsi. Pengurus UPK-DAPM menghadapi potensi masalah pidana korupsi justru ketika membuat usaha lain dan bekerjasama dengan BUM Desa dan BUM Desa Bersama.
- Kecemasan yang paling nampak adalah pengurus BKAD-UPK DAPM merasa akan diganti setelah BUM Desa Bersama terbentuk. Mereka tidak percaya para Kepala Desa dan warga Desa yang aktif di BUM Desa Bersama nanti tidak akan mengganti mereka. Padahal mereka sudah bertahun-tahun bekerja mulai awal. Kecemasan itu bertambah bila para Kepala Desa meminta uang yang mereka kelola untuk kepentingan individual, tetapi para Kepala Desa itu tidak melakukan penyertaan modal kepada BUM Desa Bersama yang bersumber dari APB Desa masing-masing.
- Pengurus BKAD-UPK DAPM tidak mempunyai imajinasi sosial bahwa ketika laporan keuangan BUM Desma transformasi itu stabil maka mereka akan terlibat di dalam “Unit Usaha BUM Desma”. Unit usaha ini bersifat ekspansi untuk melakukan jenis usaha Lembaga Keuangan Desa dan bisa pula dibentuk untuk Unit Usaha berbentuk PT untuk menjalankan jenis usaha lainnya.
Bukti-bukti ini bersifat psikologis, politis dan finansial. Para pelaku transformasi dituntut untuk mampu menjawab secara nyata atas aspirasi, kritik dan keinginan terdalam dari BKAD-UPK DAPM. Peluang telah dibuka oleh regulasi dari Kementerian Desa PDTT namun isu yang berkembang justru sebaliknya: transformasi hanya untuk memperkaya para Kepala Desa.
Pandangan ini memang lazim di dalam paradigma community driven development bahwa Kepala Desa itu hanya tukang stempel program dan jangan dilibatkan lebih jauh karena pasti korup. Padahal sebagian besar pengurus UPK sudah dipenjara karena kasus penggelapan dan pidana korupsi. Pandangan usang ini tampak menjadi persoalan utama yang mengganjal transformasi BKAD-UPK DAPM menjadi BUM Desma.
Berlanjut ke penilaian berbasis bukti di Halmahera Barat Maluku Utara.(*)