Desa di Masa Pandemi Covid-19 (13): Halmahera Barat Maluku Utara, Dominasi Demokrasi Prosedural
MediaVanua.com ~ Penilaian kebijakan berbasis bukti dilakukan melalui rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara di Halmahara Barat menjelang akhir 2022. Partisipan FGD meliputi perwakilan dari beberapa Desa, perwakilan Kementerian Desa PDTT Program P3PD, Tenaga Ahli Pendamping Profesional Pusat dan Halmahera Barat, dan tim LPPM Universitas Brawijaya.
Desa Pesisir Minus SDGs Desa
Desa Guaimaadu memiliki potesi wisata pantai dan mangrove tetapi desa merasa tidak berwenang untuk mengelola dan mengambil manfaat dari wisata ini karena semua dikelola oleh pemerintah provinsi. Desa merasa dirugikan karena mereka yang terdekat dan terdepan untuk mengelola potensi wisata menjadi terpinggirkan di wilayah pesisir.
Desa Guaimaadu, Desa Bobanehena, dan Desa Gamtala mengalami kendala dalam pendataan SDGs Desa pada saat upload data ke server atau situs Kementerian Desa PDTT. Macet. Lambat. Data hanya terkumpul dan disimpan di dalam komputer. Imbasnya data yang ada di situs SDGs Desa bukan data terbaru yang menunjukkan kondisi Desa yang secara faktual jauh lebih baik.
Masalah Pendataan Desa berbasis SDGs Desa adalah kendala teknologi, input data yang lama karena SDM yang minim memahami kemacetan teknologi aplikasi dan situs SDGs Desa. Ditambah lagi beban kurangnya pemahaman atas kemanfaatan SDGs Desa karena belum muncul data rekomendasi program dari sistem pendataan SDGs Desa. Hasil pendataan Desa berbasis SDGs Desa belum sama sekali digunakan sebagai dasar perencanaan pembangunan Desa.
Dominasi Demokrasi Prosedural
Pelibatan unsur masyarakat dan Kelembagaan Desa masih terbatas meski demikian BPD ikut serta dalam melakukan perencanaan desa dengan melibatkan masyarakat. Kendala politik di skala lokal Desa adalah kesinambungan perencanaan antar periode jabatan Kepala Desa. Cara pandang teknokratik perencanaan pembangunan Desa mengandaikan keberlangsungan yang berlangsung tetap tetapi abai terhadap dinamika politik lokal.
Pelaksanaan Pembangunan Desa mayoritas berlangsung secara swakelola. Pemerintah Desa disibukkan dengan pemeriksaan atas kualitas hasil kegiatan. Belum lagi ditambah kebijakan pemerintah yang terbit mendadak sehingga menyulitkan Desa untuk melayani dengan cepat.
Peran dan fungsi Kaur sebagai pelaksana kegiatan masih terbatas karena belum memungkinkan melayani warga Desa sambil melayani permintaan dari supra-Desa dalam waktu bersamaan. Proses pengadaan barang/jasa belum sepenuhnya dijalankan.
Jenis Usaha Ketahanan Pangan di Desa
Pemberdayaan masyarakat Desa melalui BUM Desa menghadapi masalah klasik yaitu pemasaran dan teknologi. Apalagi di masa pandemi Covid-19 penggunaan teknologi pemasaran telah menggeser pemasaran yang berlangsung tatap muka dan pertemuan fisik.
Fasilitas WiFI telah digunakan di sekitar kantor pemerintah Desa sedangkan mayoritas warga Desa memanfaatkan akses internet melalui HP android.
BUM Desa di Desa Guaimaadu mengelola warung kopi Desa (sejenis kafe) yang selalu rame dengan anak-anak muda. Jenis usaha yang dekat dengan sumber penghidupan Desa adalah pertanian hidroponik sayuran. Produknya sudah berhasil mensuplai supermarket di kota Ternate. Jenis usaha lain yang konservatif adalah jenis usaha Simpan Pinjam dengan tingkat pengembalian dana 100% karena untuk peminjaman dana diharuskan ada agunan. Partisipan FGD mengusulkan sinkronisasi Permendesa No. 21/2020 a quo dengan Permendagri No. 114/2014 a quo. Menurut partisipan FGD, seharusnya yang mengatur desa hanya 1 (satu) aturan saja yaitu Permendesa a quo agar Desa tidak bingung. Apalagi memang kewenangan langsung yang menangani Desa adalah Kementerian Desa PDTT dan selama ini Desa merasa sangat terbantu.
Bersambung ke penilaian berbasis bukti di Manokwari Selatan, Papua Barat.(*)