Desa di Masa Pandemi Covid-19 (15): Analisis Hukum Berbasis Bukti, Agenda Setting dan Opsi Kebijakan
MediaVanua.com ~ Semua bukti-bukti pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa dari lokasi penilaian kebijakan sepanjang akhir 2022 dianalisis dari perspektif ilmu sosial hukum, analisa kebijakan publik dan diskursus tradisi Berdesa (bermasyarakat, berpemerintahan dan bernegara di Desa). Desa dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang utuh. Desa merupakan pemerintahan dan masyarakat Desa, yang satu sama lain tidak terpisah dan tidak dibenturkan, punya kekuasaan, kewenangan, teritorial, hak dan kewajiban.
Perspektif mendasar dalam ilmu sosial hukum, khususnya sosiologi hukum, telah mengajarkan cara pandang bahwa awalnya hukum merupakan institusi. Hukum bermula, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam penilaian kebijakan ini hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa diposisikan lebih awal sebagai institusi. Hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa eksis di dalam institusi Desa. Desa dipahami sebagai Dunia-Kehidupan sehari-hari yang berisi adat, tradisi, kebiasaan, dan kultur yang beragam.
Perspektif berikutnya adalah hukum sebagai sistem. Cara pandang ini mengajarkan bahwa kekuasaan negara membuat hukum melalui rasionalisasi atas nilai-nilai yang eksis di dalam Dunia-Kehidupan masyarakat. Rasionalisasi itu secara sederhana berupa pembentukan aturan hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan nilai-nilai dalam Dunia-Kehidupan Desa.
Dalam pengertian ini Sistem “hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa” membentuk aturan hukum seperti Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo dan Permendagri No. 114/2014 a quo bersumberkan dari “hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa” sebagai institusi, tetapi bisa pula Sistem membentuk aturan hukum itu dengan menggunakan medium pengarah berupa uang dan kekuasaan.
Medium pengarah berupa Uang contohnya adalah Dana Desa yang diatur rumusnya dan penggunaannya secara sentralistik oleh kekuasaan negara di masa pandemi Covid-19. Ini merupakan contoh mengenai Sistem hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam interaksi antara negara dan Desa, hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa sebagai institusi berpotensi mengalami kolonisasi/penjajahan oleh Sistem pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang beroperasi dengan medium pengarah berupa uang dan kekuasaan.
Berbeda halnya ketika dalam interaksi antara kekuasaan negara dan Desa terdapat hukum sebagai medium integrasi sosial. Hukum sebagai medium integrasi sosial berfungsi untuk mengatasi konflik antara negara dan Desa. Rasionalisasi atas hukum berjalan dengan rasionalitas komunikatif. Negara bertindak komunikatif terhadap Desa dan bukan bertindak melalui tindakan strategis yang selalu bangga dengan intervensi terhadap Desa.
Di lain pihak metode EBP/RIA yang digunakan di dalam penilaian kebijakan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa mensyaratkan penempatan bukti-bukti ke dalam siklus kebijakan agenda setting (penentuan masalah) dan opsi-opsi kebijakan. Bagian analisis ini akan menginformasikan secara empiris berdasarkan bukti-bukti di lokasi penilaian kebijakan terhadap pengertian normatif dalam Sistem Hukum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berikut ini:
- Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa. Subjek utama pembangunan Desa adalah pemerintah Desa, kepala Desa dan unsur-unsur masyarakat Desa yang merepresentasikan kepentingan Desa secara utuh, barulah kemudian subjek dari luar Desa ikut serta bermain di arena pembangunan Desa.
- Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Subjek utama pemberdayaan masyarakat Desa adalah Desa, barulah kemudian pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, atau pihak lain dari luar Desa ikut bermain di arena pemberdayaan masyarakat Desa.
Setelah analisis penentuan masalah (agenda setting)dan opsi-opsi kebijakan selesai dirumuskan, maka pembaca dapat melanjutkan pada bagian rekomendasi yang berisi rangkaian agenda implementasi kebijakan.
ANALISIS AGENDA SETTING
Masalah Ke-1: Perbedaan Arah kebijakan Pembangunan Desa
Kontradiksi regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa dalam konteks institusi Desa terletak pada arah kebijakan baru pada pembangunan Desa, yakni SDGs Desa. Seluruh partisipan dari Desa dan supra-Desa yang hadir di dalam FGD maupun proses wawancara menyatakan bahwa SDGs Desa merupakan hal yang baru. Selama ini perencanaan pembangunan Desa tidak pernah ditambah atau dibebani dengan arah kebijakan SDGs Desa. Hampir semua Desa di lokasi penilaian kebijakan lebih mengenal tahapan dalam Permendagri No. 114/2014 a quo daripada tahap pendataan SDGs Desa yang mendahului tahap perencanaan pembangunan Desa menurut Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo.
Perbedaan arah kebijakan pembangunan Desa secara spesifik terdapat pada Permendagri No. 114/2014 a quo yang menghubungkan kesesuaian antara pembangunan Desa dan arah kebijakan pembangunan Daerah, sedangkan Permendesa No. 21/2020 a quo yang secara total memberikan arah kebijakan SDGs Desa terhadap pembangunan Desa yang dituntut selaras pula dengan arah kebijakan pembangunan Daerah. Arah kebijakan yang berbeda ini kemudian merupakan bagian dari masalah pembangunan Desa di dalam Dunia-Kehidupan Desa. Desa di Bangkalan, Jawa Timur, telah melaksanakan pendataan SDGs Desa tetapi warga Desa kurang antusias membahas internalisasi SDGs Desa di dalam perencanaan. Selama ini perihal pendataan dipersepsikan oleh warga Desa sebagai urusan Kepala Desa (klebun). Desa di Wonogiri, Jawa Tengah, terbiasa melakukan permusyawaratan dalam perencanaan pembangunan Desa tanpa harus membahas 18 (delapan belas) tujuan SDGs Desa. Dalam skala lebih luas pemerintah supra-Desa di Pandeglang, Banten, berpendapat bahwa semua regulasi pembangunan Desa akhir-akhir ini sudah ditentukan oleh pusat. Tak ada lagi otonomi daerah. Pemerintah kabupaten tinggal melaksanakan saja. Ketika terjadi perbedaan regulasi maka pemerintah kabupaten menyusun aturan hukum teknis penyusunan RPJM Desa dengan mengutip Permendagri No. 114/2014 a quo dan Permendesa No. 21/2020 a quo.
Arah kebijakan SDGs Desa ditentukan oleh Kementerian Desa PDTT setelah mengadaptasi isu global tentang SDGs, meskipun kategori-kategori di dalam SDGs Desa amat berbeda dengan kategorisasi dalam SDGs Global karena menginterpreasi situasi di Desa. Salah satu partisipan dari Desa di Deli Serdang, Sumatera Utara, merasa SDGs Desa bukan bagian dari Desa, bukan milik Desa, atau lebih tepatnya bukan kewenangan Desa. Desa di Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, belum memahami arah kebijakan SDGs Desa dikaitkan dengan kewenangannya mengelola sumber daya pesisir, hutan dan tambang timah. Desa di Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang tebal sekali adatnya juga belum melembagakan arah kebijakan SDGs Desa dihubungkan dengan institusi adat “Lokatua Matapi”. Keunikan terjadi di Bulungan, Kalimantan Utara, dan Banjar, Kalimantan Selatan. Regulasi musyawarah Desa digunakan sebagai medium penengah atas dualisme regulasi pembangunan Desa di Bulungan, sedangkan arah kebijakan SDGs Desa diafirmasi sebagai diskursus pembangunan Desa meskipun Desa belum menerima hasil pendataan.
Dampak kepengaturan (regulatory impact) dari arah kebijakan SDGs Desa terasa di Sigi, Sulawesi Tengah. Partisipan menyatakan terdapat “Satu RPJM Desa, Dua Aturan”. Pendapat ini bersifat kritis karena regulasi tentang Desa, selain UU Desa, dirasa telah menciderai kewenangan Desa. Desa di Konawe, Sulawesi Tenggara mayoritas pernah mendengar SDGs Desa yang disosialisasikan kepada Desa tetapi bentuk konkret dari rekomendasi kebijakan SDGs Desa belum diterima. Desa masih meraba bentuk nyata dari arah kebijakan SDGs Desa, sehingga Desa di Halmahera Barat, Maluku Utara, dan Desa di Manokwari Selatan, Papua Barat, sama-sama kurang mengenal arah kebijakan SDGs Desa kaitannya dengan Dunia-Kehidupan mereka di pesisir Halmahera Barat maupun di Kampung berbasis adat Manokwari Selatan.
Masalah Ke-2: Kerusakan Aplikasi SDGs Desa menghambat Internalisasi SDGs Desa
Subjek perencanaan pembangunan Desa adalah Pemerintah Desa. Pemerintah Desa melakukan perencanana pembangunan Desa sesuai dengan Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, sekaliugs mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten.
Tahap pendataan SDGs Desa menjadi masalah bagi Desa setelah terjadi kerusakan aplikasi digital SDGs Desa di seluruh lokasi penilaian kebijakan. Data SDGs Desa yang idealnya memuat data objektif kewilayahan dan kewargaan Desa tersebut gagal diperoleh Desa sebagai bahan rekomendasi penyusunan program dan kegiatan Pembangunan Desa.
Seluruh partisipan dari Desa tidak ada yang menyusun atau menunjukkan peta jalan SDGs Desa. Bahkan seorang Kepala Desa di Konawe, Sulawesi Tenggara, menyangka peta jalan SDGs Desa adalah peta jalan di Desa yang belum ia ketahui. Penyusunan RPJM Desa dan dokumen perencanaan yang idealnya didukung dengan peta jalan SDGs Desa, tidak dilakukan, dan Pemerintah Desa bersama BPD melakukan tahap perencanaan berbasis aspirasi warga Desa. Kerusakan aplikasi SDGs Desa berdampak pada Pemerintah Desa tidak mengetahui pasti hasil dari pendataan yang masif dilakukan selama pandemi Covid-19.
Selain itu terdapat persepsi yang terlanjur menubuh bahwa pendataan di masa pandemi Covid-19 dilakukan untuk pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat Desa, sehingga pendataan SDGs Desa tidak dipahami sebagai data untuk kepentingan Desa secara utuh. Partisipan dari Desa di Wonogiri, Jawa Tengah, menyampaikan hal ini secara lugas.
Aspirasi warga Desa terputus dengan datakrasi SDGs Desa. Aspirasi Desa lebih menjadi pilihan utama dalam tahap perencanaan, meskipun di beberapa Desa di Bangkalan, Jawa Timur, memilih rutinitas pembangunan Desa tanpa perlu menunggu hasil dari perbaikan data SDGs Desa melalui situs SDGs Desa. Kemacetan aplikasi SDGs Desa memang sudah bergeser pada penggunaan situs SDGs Desa. Pendamping Desa kembali melakukan asistensi terhadap pengunggahan data teks SDGs Desa di semua Desa lokasi penilaian kebijakan.
Wawancara dengan pendamping Desa di Pandeglang, Banten, menarik pengungkapannya bahwa data Indeks Desa Membangun (IDM) lebih stabil dan bermanfaat dalam pendampingan. Desa mudah diajak dialog tentang status Desa dan rancangan programnya daripada data SDGs Desa yang berlangsung masif pendataannya tetapi di tengah jalan mengalami kerusakan sehingga pendamping Desa mengalami kesulitan untuk menggunakannya sebagai bahan informasi pendampingan.
Kerusakan aplikasi SDGs Desa senyatanya membuat pendamping Desa dan Pemerintah Desa gagal memenuhi kaidah hukum di dalam Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo bahwa pada 2021-2022 seluruh pembangunan Desa sudah melakukan adaptasi SDGs Desa. Laju pembangunan Desa yang diklaim untuk memenuhi 18 (delapan belas) tujuan/kategorisasi SDGs Desa juga tidak berjalan. Masalah kontradiksi regulasi semakin rumit. Kaidah hukum Permendagri No. 114/2014 a quo secara empiris telah menjadi kebiasaan teknokratik-partisipatif meskipun aturan ini secara normatif sudah tidak berlaku. Di lain pihak Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo lebih sahih tetapi keabsahan/legitimasinya berkurang drastis karena kerusakan aplikasi, perubahan manajemen datakrasi ke situs, pengunggahan ulang data teks hasil pengisian kuisioner, dan hasil rekomendasi program yang tak segera dihasilkan karena data yang terunggah masih minim (tertulis “N/A” atau Not Available).
Masalah Ke-3: Tarik Menarik antara Datakrasi SDGs Desa, Partisipasi Warga, dan Kewenangan Desa
Pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban pembangunan Desa terdapat masalah hukum dalam dimensi sosiologis. Permendesa No. 21/2020 a quo telah mengenalkan pelaksanaan pembangunan Desa yang berlangsung secara datakrasi. Pemerintah Desa di Indonesia diminta untuk melakukan pendataan SDGs Desa dan hasilnya dipergunakan untuk merasionalisasi seluruh program berbasis SDGs Desa. Informasi dari lokasi penilaian kebijakan menunjukkan bahwa pendataan SDGs Desa ini kewenangan Desa yang mana? Bukankah negara telah menetapkan daftar kewenangan Desa secara utuh di dalam UU No. 6/2014 tentang Desa? Apakah SDGs Desa bagian dari Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul, Kewenangan Lokal Berskala Desa, Kewenangan Penugasan atau Kewenangan Penugasan Lain?
Pertama, tahap pendataan SDGs Desa jelas bukan Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul karena SDGs Desa tidak berasal dari tradisi, adat, kebiasaan dan kultur di Desa. Diskursus SDGs Desa berasal dari isu pembangunan skala global yang diadaptasi oleh Kementerian Desa PDTT dengan menambahkan pemikiran-kebijakan tentang Desa.
Kedua, tahap pendataan SDGs Desa jelas bukan Kewenangan Lokal Berskala Desa karena pendataan itu tidak pernah dibicarakan awal, dibahas, dan diputuskan atas dasar prakarsa lokal di Desa.
Ketiga, tahap pendataan SDGs Desa merupakan kewenangan penugasan. Kewenangan penugasan adalah suatu kewenangan yang ada pada Kementerian Desa PDTT agar mempunyai basis data SDGs Desa untuk mengatur dan mengurus pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Kementerian Desa PDTT memberi tugas kepada Desa untuk mengurus dan membantu tugas yang diberikan, yakni tugas pendataan SDGs Desa. Kementerian Desa PDTT berwenang dan bertanggungjawab terhadap data SDGs Desa. Kepala Desa diberi penugasan karena alasan (a) Kementerian Desa PDTT menghadapi keterbatasan sumber daya untuk menyelenggarakan tugas pendataan SDGs Desa di seluruh Desa di Indonesia; (b) Desa lebih dekat, lebih tahu dan mampu melaksanakan pendataan SDGs Desa kepada masyarakat dan pemerintah Desa; dan (c) pelaksanaan pendataan SDGs Desa akan lebih efisien (biaya) dan efektif (tepat sasaran) bila dilakukan oleh Desa daripada dilakukan sendiri oleh Kementerian Desa PDTT.
Keempat, tahap pendataan SDGs Desa bukan bagian dari kewenangan penugasan lain. Kewenangan penugasan lain adalah kewenangan dari kementerian/lembaga sektoral lain yang tidak mengatur dan mengurusi Desa, tetapi memberikan penugasan kepada Desa. Misalnya, UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin yang menugaskan kepada Desa untuk melakukan pendataan fakir miskin. Ini berarti Desa membantu kementerian yang menangani fakir miskin di Indonesia melalui pendataan dan penanganan fakir miskin di Desa.
Ditambah dengan daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa, maka pendataan SDGs Desa jelas tidak masuk dalam kategori daftar kewenangan yang operasional di Desa. Uraian hukum kewenangan sebelumnya diungkapkan untuk membuka cara pandang yang konsisten dengan UU Desa bahwa tanggung jawab atas kegagalan dan keberhasilan SDGs Desa berada di Kementerian Desa PDTT dan bukan pada Desa atau bahkan pendamping Desa. Argumen ini untuk membenarkan pendapat dari partisipan Desa di Deli Serdang, Sumatera Utara, bahwa pendataan SDGs Desa tetap dilakukan Desa tapi tanpa rasa memiliki.
Datakrasi atau pemerintahan berbasis data SDGs Desa mengalami tarik menarik dengan partisipasi warga. Partisipasi warga berlangsung terbatas pada enumerator data SDGs Desa. Gagasan utama dari datakrasi adalah “dari data, oleh data, dan untuk data”. Di lain pihak partisipasi warga Desa mengutamakan “dari warga, oleh warga dan untuk warga”. Pemerintah Desa dihadapkan pada pilihan untuk mendahulukan data atau partisipasi? Masalah pelaksanaan pembangunan Desa yang ditemukan selama proses pengumpulan bukti menunjukkan bahwa hampir semua Desa mengalami dampak dari datakrasi, yaitu minimnya ruang bagi tindakan koreksi melalui partisipasi.
Salah satu tema yang selalu dibicarakan di dalam FGD adalah bantuan sosial. Desa di Pandeglang, Banten, menyatakan kritik bahwa selama ini data DTKS-PKH selalu tidak diperbaharui. Orang yang sudah meninggal tetap saja tertera di dalam data penerima bantuan. Berkali-kali para Kepala Desa sudah mendatangi Dinas Sosial agar mereka mengubah datanya tetapi dijawab bahwa sistem data sedang rusak sehingga tidak ada perubahan data dari pusat. Hampir semua Desa yang melaksanakan bantuan sosial termasuk BLT-DD mengkritik akurasi pendataan. Pelaksanaan BLT-DD relatif mudah karena menutup sisa dari warga Desa yang tidak memperoleh bantuan sosial dari program bantuan sosial lainnya di masa pandemi Covid-19. Apabila terjadi kasus kecemburuan sosial, maka pemerintah Desa dengan sigap membagi rata kepada warga yang terkategori kelompok pemanfaat bantuan itu.
Bantuan sosial seperti BLT-DD dan lainnya dikritik oleh partisipan FGD bahwa kegiatan ini cenderung hanya bagi-bagi uang. Ini merupakan dilema dalam “yuridifikasi”. Dalam sosiologi hukum, yuridifikasi merupakan peluasan hukum dari kesejahteraan sosial warga ke dalam berbagai regulasi. Kesejahteraan sosial bagi warga Desa dipenuhi oleh negara. Berbeda dengan awal gelombang yuridifikasi yang menekankan bahwa urusan kesejahteraan sosial itu urusan perjanjian perdata antar warga, pemerintah memberi bantuan tetapi warga penerima bantuan dilarang ikut berpartisipasi dalam politik pemerintahan, dan kritik dari kalangan liberal bahwa pemberian bantuan sosial merupakan tindakan yang tidak efisien sehingga kesejahteraan sosial lebih tepat mengikuti hukum pasar.
Hukum pembangunan Desa dalam pengertian hukum sebagai institusi telah menghadapi masalah teknokrasi yang sentralistik. Informasi yang mengemuka adalah fenomena Perpres No. 104/2021 tentang APBN 2022. Penggunaan Dana Desa secara mengejutkan ditentukan minimal 40% untuk BLT-DD dan seterusnya. Desa yang baru selesai melakukan pendataan SDGs Desa atau melakukan permusyawaratan atas RKP Desa langsung terkena dampaknya. Peraturan menteri keuangan yang mengatur hal itu semakin ketat mengatur Dana Desa sehingga semua Desa mengubah rencana anggarannya.
Kontradiksi regulasi pembangunan Desa secara empirik justru meluas hingga aspek-aspek yang selama ini tidak diperhitungkan. Desa menerima tekanan pengaturan Dana Desa hingga program-program titipan dari supra-Desa. Program-program titipan tersebut cenderung bersifat sementara dan tidak berhubungan langsung dengan kewenangan Desa untuk mengelola sumber daya bersama seperti hutan, pesisir, kebun, dan tambang. Padahal Desa dekat dengan sumber daya bersama itu sebagai sumber kehidupan dan penghidupan, tetapi regulasi pembangunan Desa dan prioritas penggunaan Dana Desa belum menyentuh Kewenangan Penugasan lain yang berasal dari kepentingan sektoral.
Masalah Ke-4: Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Miskin Biaya Di Masa Pandemi Covid-19
Aspirasi disampaikan oleh partisipan dari Desa Arok di Bangkalan, Jawa Timur bahwa selama ini ia mempunyai janji politik untuk memberdayakan anak yang terancam putus sekolah. Praktik perencanaan yang regresif membuatnya tidak punya alokasi biaya untuk anak tersebut. Kepala Desa memutuskan untuk menggunakan uang pribadi agar anak tersebut tetap bisa menempuh jalur pendidikan sampai tuntas. Pemberdayaan masyarakat sekitar sungai terkendala oleh ketakjelasan kewenangan dan komunikasinya dengan pemerintah Bangkalan dan pemerintah pusat. BUM Desa didirikan dengan modal nekad tanpa modal dari Dana Desa, dan hanya diberikan semacam pemanfaatan aset Desa. Hak pengurus untuk memperoleh gaji juga tak terurus.
Keuangan Desa sejatinya merupakan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Desa di Wonogiri, Jawa Tengah, telah aktif memberdayakan warga Desa dengan teknologi informasi (Wi-Fi) tetapi kemajuan teknologi ini bersamaan dengan perubahan iklim yang ekstrem. Pemerintah Desa telah menyediakan anggaran untuk pompa air. Ini merupakan contoh Desa yang melayani warga Desa. Serangan monyet yang merusak tanaman dan warga Desa masih belum dibiayai APB Desa karena masih menimbang-nimbang serangan monyet termasuk kategori bencana atau tidak. Berbeda halnya dengan kasus pencemaran udara dan sampah alas bayi (pampers), Pemerintah Desa berinisiatif melembagakan sanksi moral di dalam peraturan di Desa, yakni sanksi kepada pelakunya: “tidak dilayani secara administrasi pemerintahan”. Selain konflik dengan monyet, pemerintah Desa berprakarsa lebih jauh dengan membuat upaya penanganan masalah melalui rekonsiliasi konflik. Penting sekali untuk dibahas lebih lanjut bahwa hal ini merupakan bagian dari program mediasi konflik yang dapat dibiayai dengan APB Desa. Program pemberdayaan BUM Desa yang telah tumbuh-kembang menjadi badan hukum saat ini menghadapi kendala biaya membayar pajak yang relatif tinggi karena disetarakan dengan pajak untuk perseroan terbatas.
Mirip dengan masalah ekologis di Wonogiri, informasi tentang pencemaran lingkungan dijumpai pula di Desa Kadilimus, Pandeglang, Banten. Program pemberdayaan yang mengutamakan pemulihan kondisi lingkungan ini belum dilembagakan dalam suatu aturan di Desa, termasuk biayanya. Musuh abadi tapi juga kawan dalam situasi kesempitan adalah rentenir yang disebut “bank emok”. Program pemberdayaan anti-rentenir melalui jenis usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh BUM Desa cenderung mati suri. Program pemberdayaan lain yang menarik dan memerlukan biaya besar adalah jenis usaha jaringan internet Desa yang dihubungkan dengan perdagangan sabun dan ikan produksi lokal. Rumah keadilan restoratif telah ada di Desa Bandung. Langkah konkret untuk melakukan rekonsiliasi konflik meskipun biaya dari APB Desa baru digunakan untuk pelatihan dan belum untuk pelayanan mediasi konflik. Urusan transformasi BKAD-UPK masih jauh dari konsensus agar BUM Desa Bersama menjadi rumah bersama yang menjamin nasib pengurus UPK dan para Kepala Desa berkomitmen melakukan penyertaan modal.
Desa di Deli Serdang ideal sebagai contoh kepentingan Desa untuk membiayai program pemberdayaan masyarakat Desa di pesisir dan persawahan. Wisata mangrove membutuhkan biaya besar sedangkan kredit untuk petani yang sudah berjalan harus dipastikan mampu menghambat akses rentenir atau penghisap uang rakyat Desa. BUM Desa sudah tepat menjadi pilihan institusional untuk mengelola wisata di pesisir maupun memberi akses kepada petani melalui jenis usaha perkreditan.
Daerah pesisir di Desa Tukak, Bangka Selatan, penting untuk dipertimbangkan sebagai aspirasi. Kontradiksi regulasi pembangunan Desa telah melebar pada kebijakan pengelolaan hutan mangrove di pesisir. Begitu pula regulasi yang menghutankan Desa sebaiknya segera diatasi melalui “mendesakan hutan di dalam Desa” agar Desa tidak hanya menerima Kewenangan Penugasan Lain, tetapi utuh sebagai subjek untuk mengelola hutan yang berada di dalam Desa. Desa juga perlu dipertegas kewenangannya untuk mengatasi pertambangan timah ilegal di wilayah Desa. Program pemberdayaan masyarakat Desa hanya terpikirkan untuk mengatasi banjir akibat pertambangan timah ilegal, tetapi Desa perlu dipertimbangkan kewenangannya untuk mengatur dan mengurus pertambangan timah.
Program pemberdayaan berbasis adat di Ngada, Nusa Tenggara Timur, merupakan jenis program yang lebih bertahan lama. Permusyawaratan adat di Desa menjamin keberlangsungan usaha ekonomi yang dilakukan. Jenis usaha yang dilakukan adalah pengelolaan mata air di hutan dengan tetap menjaga keseimbangan ekologis. Ini penting bagi Desa agar mata air tidak menjadi air mata kesedihan bagi warga karena sumber airnya mungkin akan dijual dan dieksploitasi oleh korporasi dari luar Desa.
Ekspansi usaha telah dilakukan oleh BUM Desa di Bulungan, Kalimantan Utara. BUM Desa Suka Maju memiliki jenis usaha perkebunan sawit, produksi beras lokal, penggemukan kambing dan sparepart. Jenis usaha kebun sawit dan produksi beras lokal menjadi 2 (dua) komoditas usaha utama yang dikembangkan. BUM Desa Suka Maju telah mendapat persetujuan registrasi untuk produksi beras lokalnya sebagai Pangan Segar Asal Tumbuhan Produksi Dalam Negeri Usaha Kecil (PSAT PUDK). Kerjasama usaha telah dilakukan oleh BUM Desa dengan koperasi konsumen dan perusahaan dari luar desa untuk pengambilan hasil produksi beras.
Desa lokasi penilaian kebijakan yang paling banyak terdapat wilayah tambang di dalamnya adalah partisipan Desa dari Banjar, Kalimantan Selatan. Tambang batu gunung memang menguntungkan Desa semisal BUM Desa memberikan truk sewa tetapi bila perusahaan ilegal yang berkuasa maka Desa tidak memperoleh manfaat dan keuntungan. Program pemberdayaan masyarakat Desa tertuju pada cara mengatasi limbah beracun dari perusahaan ilegal. Pemerintah Desa dan masyarakat Desa perlu kompak untuk menyusun aturan di Desa tentang pungutan Desa dan sekaligus tidak ragu untuk memberi modal kepada BUM Desa agar menyusun jenis usaha yang memperoleh pendapatan sambil tetap menjaga keseimbangan penambangan batu gunung.
Program pemberdayaan masyarakat Desa sangat inovatif dibicarakan oleh partisipan FGD di Sigi, Sulawesi Tengah. Desa melakukan pemberdayaan masyarakat penanam komoditi hortikultura sambil menunggu proses bendungan selesai dibangun. Selain itu Desa Digital yang masih hanya branding aplikasi layanan pemerintahan sudah saatnya berkembang dengan jenis-jenis usaha lainnya. Beberapa BUM Desa mengalami dilema karena pengurusnya ditunjuk oleh Kepala Desa sehingga legitimasinya tipis ketika mereka mengelola teknologi tepat guna. Organisasi pengelola teknologi tepat guna masih diatur dalam peraturan menteri Desa yang sifatnya hirarkis, mirip bentukan organisasi korporatis, sehingga perlu diubah agar kompatibel dengan eksistensi BUM Desa sebagai badan hukum yang kelak bisa mengurus hak atas kekayaan intelektual.
Pasar Desa menjadi salah satu arena pemberdayaan ekonomi Desa. Partisipan FGD di Konawe Selatan mempunyai rintinsan pasar Desa di dekat kantor/balai Desa. Posisi pasar Desa yang strategis di pinggir jalan menuju kota akan memotong jalur belanja warga Desa di sekitarnya. Jenis usaha hortikultur ditopang oleh partisipasi perempuan di Desa. Selain itu terdapat masalah klasik yaitu transformasi organisasi proyek yang menangani air di skala lokal Desa. Organisasi ini tidak perlu menjadi unit usaha BUM Desa tetapi cukup menjadi mitra BUM Desa. Transformasi BKAD-UPK DAPM menghadapi kendala yang sama seperti daerah lain. Mereka merasa tidak jelas nasibnya ketika bergabung menjadi BUM Desa Bersama dan kurang yakin para Kepala Desa akan menyertakan modal yang bersumber dari APB Desa masing-masing. Regulasi transformasi ini mendapat sikap penolakan yang cukup kuat. Sumbernya adalah asosiasi UPK NKRI yang aktif melakukan protes di berbagai jalur kekuasaan negara. Meskipun transformasi bukan merupakan paksaan tetapi UPK tetap menghadapi ancaman baru yakni tindak pidana korupsi karena menggunakan dana bergulir untuk kegiatan lain, kecuali regulasi pemerintah yang terbaru telah mengatur hal itu. BKAD-UPK juga pernah diputuskan dalam judicial review bahwa mereka tidak diakui lagi sebagai badan hukum yang didirikan oleh Desa. BKAD memang rentan menjadi arena penitipan proyek pembangunan perdesaan sedangkan di sisi lain sistem hukum kerjasama antar Desa dalam UU Desa mengalami reduksi menjadi kerjasama antara Desa bidang pemerintahan (Permendagri) dan pembangunan kawasan perdesaan (Pemendesa) yang menambahkan Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan di luar BKAD.
Fenomena Desa pesisir tampak mengemuka dalam bukti-bukti yang diperoleh selama FGD seperti yang dibicarakan di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Desa Guaimaadu memiliki potesi wisata pantai dan mangrove tetapi desa merasa tidak berwenang untuk mengelola dan mengambil manfaat dari wisata ini karena semua dikelola oleh pemerintah provinsi. Desa merasa dirugikan karena mereka yang terdekat dan terdepan untuk mengelola potensi wisata menjadi terpinggirkan di wilayah pesisir. BUM Desa di Desa Guaimaadu mengelola warung kopi Desa (sejenis kafe) yang selalu rame dengan anak-anak muda. Jenis usaha yang dekat dengan sumber penghidupan Desa adalah pertanian hidroponik sayuran. Produknya sudah berhasil mensuplai supermarket di kota Ternate. Jenis usaha lain yang konservatif adalah jenis usaha Simpan Pinjam dengan tingkat pengembalian dana 100% karena untuk peminjaman dana diharuskan ada agunan.
Kampung Muari adalah Desa/Kampung di Manokwari Selatan, Papua Barat, yang berkarakteristik desa lokal (asli papua) sehingga masih melibatkan insitusi adat dalam penetapan berbagai keputusan-keputusan yang terkait dengan pengelolaan hutan dan lingkungan alam sekitarnya. Pengelolaan hutan ini berada dalam lingkup kehidupan sehari-hari warga Kampung tetapi pelaksanaan tata kelola administrasi pemerintahan masih belum terhubung sepenuhnya dengan pola nafkah warga Kampung yang mengandalkan hutan. Regulasi daftar kewenangan berdasarkan hak asal usul perlu memasukkan hutan adat. BUM Desa dan pemerintah Desa bisa berpeluang untuk mengelola hutan adat, terutama aspek kelestarian lingkungan dan sumber kehidupan warga Desa yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
OPSI KEBIJAKAN
Opsi-opsi kebijakan memberikan pilihan tindakan komunikatif yang bisa dilakukan di lingkungan Kementerian Desa PDTT maupun kementerian/lembaga lainnya yang mengatur dan mengurus Desa.
Opsi Kebijakan I: Perubahan Total
Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kemenko PMK melakukan pembahasan bersama dengan Desa, khususnya dengan partisipan Desa di lokasi penilaian kebijakan untuk memastikan kinerja sistem SDGs Desa harmoni dengan kebijakan keuangan Desa di level nasional, daerah dan Desa.
Rekomendasi program dari sistem SDGs Desa tersebut tidak bersifat mutlak karena pendataan dan penggunaan data SDGs Desa terkategori Kewenangan Penugasan. Desa lebih berwenang untuk membahas dan memutuskan program yang tepat berdasar proses deliberasi di dalam Musyawarah Desa. Pendamping Desa tidak akan kesulitan lagi untuk menginterpretasi data SDGs Desa dan aktif melakukan dialog dengan Desa di arena Musyawarah Desa. Pembahasan ini juga memastikan kinerja situs SDGs Desa dan tanggung jawab dari pengelolanya.
Perubahan total regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa berdampak pada pengaturan tentang pengelolaan sumber daya bersama (common pool resources) yang secara empiris menjadi masalah di Desa lokasi penilaian kebijakan, antara lain regulasi yang mengatur tentang:
- Perhutanan (terutama skema perhutanan sosial dan Hutan Adat dipastikan berada di dalam Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul)
- Pesisir (wisata di pantai, hak nelayan di Desa, jenis usaha di dekat garis pantai, dan lainnya)
- Pertambangan (timah, batu gunung, dan lainnya)
- Perkebunan (sawit dan tanaman lainnya)
Pemberdayaan masyarakat Desa memerlukan perubahan total yang memposisikan Desa sebagai subjek pemberdaya, antara lain regulasi yang mengatur tentang:
- Paralegal Desa (tidak membatasi pada klien warga miskin karena sebagian besar kasus justru melibatkan orang miskin dan bukan orang miskin)
- Mediasi-Konsiliasi dan Keadilan Restoratif
- Lembaga Kemasyarakatan Desa untuk melegitimasi organisasi bentukan proyek sektoral
- Status Desa Adat
- Lembaga Adat Desa
- Organisasi Teknologi Tepat Guna yang masih bersifat hirarkis dan belum menjadi bagian dari Desa
- Desa Digital
- Kerjasama Antar Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan untuk memosisikan BKAD dalam kerjasama antar Desa dan kawasan perdesan
- Transformasi BKAD-UPK agar terdapat kepastian jumlah penyertaan modal dari Desa
- Aset eks-transmigrasi menjadi Aset Desa
- Aset Desa yang masih mengatur penyertaan modal Desa kepada BUM Desa berupa tanah dan bangunan sedangkan PP No. 11/2021 tentang BUM Desa telah mengatur agar aset Desa tersebut dikembalikan menjadi Aset Pemerintah Desa
- Kemudahan BUM Desa mengurus Hak Atas Kekayaan Intelektual
Opsi Kebijakan II: Perubahan Pada Skala Desa dan Daerah
Kementerian Desa PDTT bersama Kementerian/Lembaga lainnya tidak melakukan perubahan pada level peraturan menteri tetapi aktif melakukan tindakan komunikatif melakukan perubahan regulasi pada skala lokal.
Pada opsi kebijakan yang moderat ini Kementerian Desa PDTT fokus pada pembuatan regulasi berbasis bukti di lingkungan Biro Hukum dan Bagian Hukum masing-masing Direktorat Jenderal. Misi kedua organisasi ini adalah:
- menyusun risalah kebijakan lanjutan tentang konflik regulasi pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa di Desa dan Daerah, termasuk tapi tidak terbatas di lokasi penilaian kebijakan ini
- memfaslitasi proses pembuatan aturan kebijakan yang baru di skala lokal
- membuat rancangan aturan peraturan menteri Desa berbasis bukti, termasuk tapi tidak terbatas pada tema Kewenangan Desa mengelola sumber daya bersama (common pool resources)
Rekomendasi Agenda Implementasi
Ada dua jalur untuk melakukan implementasi perubahan hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa berbasis bukti. Pertama, sistem pembentukan hukum berbasis bukti yang berada di lingkungan pemerintahan. Kedua, praksis deliberatif pada skala lokal Desa dan daerah.
SISTEM PEMBENTUKAN HUKUM BERBASIS BUKTI
Opsi kebijakan perubahan hukum pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa memerlukan sistem pembentukan hukum yang legitim. Selama ini Biro Hukum Kementerian Desa PDTT dan Bagian Hukum di tiap Direktorat Jenderal menyusun aturan hukum hanya berdasar pertimbangan normatif. Ini mengakibatkan aturan hukum menimbulkan multi-tafsir di lapangan. Fenomena ini juga ditemukan ketika kementerian/lembaga sektoral lain membentuk aturan hukum yang memberikan penugasan kepada Desa.
Biro Hukum dapat menambahkan fungsi situs JDIH sebagai kanal untuk mengekspos bukti-bukti dan rancangan aturan kebijakan. Situs JDIH Biro Hukum ini bisa dirancang untuk terhubung dengan Kementerian/Lembaga lain yang sedang merancang aturan kebijakan yang memberikan penugasan kepada Desa. Catatan penting dalam kontekse Kewenangan Penugasan Lain adalah penugasan kepada Desa disertai pembiayaan dari Kementerian/Lembaga dan bukan menitipkan agenda kebijakannya melalui Dana Desa.
FORUM DIALOG DAN COACHING CLINIC
Biro Hukum Kementerian Desa PDTT dan Bagian Hukum di setiap Direktorat Jenderal mempunyai analis/pejabat fungsional yang berpotensi untuk menjadi aktor penilaian kebijakan berbasis bukti. Hasil analisis terhadap bukti selanjutnya direncanakan untuk masuk sebagai agenda implementasi, terutama di 12 (dua belas) kabupaten lokasi penilaian kebijakan ini.
Desa lebih membutuhkan coaching clinic yang memposisikan Kementerian Desa PDTT bersama Kementerian/Lembaga lainnya untuk memberikan asistensi pada dokumen perencanaan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa, yang terhubung dengan program-program sektoral yang masuk ke Desa.(*)