Desa di Masa Pandemi Covid-19 (3): Dana Desa di Bangkalan, Serba Instruksi dan BUM Desa Bermodal Nekad Tanpa Dana Desa
MediaVanua.com ~ Tim penilai kebijakan memulai perjalanan ke Bangkalan. Kisah menarik dari tim penilai kebijakan diperoleh dari FGD dan wawancara di ruangan gedung Dinas PMD, Desa Aeng Tabar, Tanjung Bumi, dan Desa Arok, Burneh, Bangkalan.
PENDATAAN DESA YANG TERBATAS
Pemerintah Desa melaksanakan pendataan Desa berbasis SDGs Desa tetapi pelibatan unsur masyarakat Desa dan institusi Desa lainnya relatif terbatas pada relawan pendataan.
Pemerintah supra-Desa menilai bahwa pendataan Desa berbasis SDGs Desa kurang tersosialiasi di daerah dan Desa. Sumber daya manusia tim pendataan SDGs Desa kurang terampil dalam mengoperasikan aplikasi digital SDGs Desa atau situs SDGs Desa.
Mayoritas masyarakat Desa secara kultural percaya bahwa Kepala Desa (klebun) mampu mengurus pendataan di Desa, sehingga partisipasi dalam urusan pendataan SDGs Desa tidak terlalu mengemuka.
PERENCANAAN BELUM BERORIENTASI SDGs DESA
Kondisi umum perencanaan pembangunan Desa di Bangkalan berlangsung minim prakarsa dari Desa, didominasi sikap pasif masyarakat Desa, dan menunggu instruksi dari pemerintah pusat.
Arah kebijakan pemerintah kabupaten mengenai pembangunan Desa tidak terkomunikasikan dengan Desa. Perencanaan pembangunan Desa di Bangkalan berorientasi pada legitimasi sosial Kepala Desa (Klebun) dan tidak selalu sinkron dengan arah kebijakan pembangunan Desa dari pemerintah kabupaten Bangkalan.
Pemerintah supra-Desa kurang memahami kegunaan pendataan SDGs Desa dan hasil pendataan SDGs Desa. Pemerintah supra-Desa dan Desa tidak tahu cara melakukan interpretasi data SDGs Desa dan tidak paham cara menggunakan hasil pendataan SDGs Desa untuk dirumuskan ke dalam APB Desa.
Penggunaan data SDGs Desa belum dipertimbangkan sebagai basis data untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan Desa. Penggunaan data SDGs Desa dipersepsikan oleh partisipan dari unsur Kepala Desa akan berhadapan dengan visi, misi dan janji kampanye Kepala Desa sebelumnya, sehingga data SDGs Desa cenderung tidak dipergunakan. Keterlibatan masyarakat Desa dalam pendataan dan penggunaan data SDGs Desa untuk pengambilan keputusan masih berjalan minim.
Kerumitan dalam praktik perencanaan pembangunan Desa bertambah karena adanya keterlambatan kebijakan pagu anggaran Dana Desa dari pemerintah pusat (Kementerian Keuangan) yang selalu terbit setelah Desa selesai melaksanakan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang membahas dan menyepakati RKP Desa. Kesepakatan permusyawaratan itu diubah karena perencanaan anggaran Desa harus disesuaikan dengan pagu yang ditentukan belakangan dari pusat.
RUTINITAS PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DESA
Pelaksanaan pembangunan Desa secara umum berlangsung melalui swakelola. Kebijakan pemerintah pusat yang mendadak terbit dan membawa pesan-pesan kebijakan baru untuk dilembagakan ke dalam tahap pelaksanaan pembangunan Desa justru merupakan beban bagi Desa.
Fenomena pelaksanaan pembangunan Desa di Bangkalan cenderung regresif, hanya menjalankan program rutin seperti mengulang program pada tahun anggaran sebelumnya, sehingga jarang dijumpai Desa yang duduk sebagai subjek inovasi pada skala lokal Desa. Peran dan fungsi Kasi dan Kaur sebagai pelaksana pembangunan skala lokal Desa masih terbatas. Proses pengadaan barang dan jasa di Desa belum dijalankan semestinya sehingga berakibat hasil audit yang cenderung negatif.
Program atau kegiatan pemberdayaan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan Desa terkendala pemasaran dan teknologi, sehingga Desa di Bangkalan terisolasi secara ekonomi. Pada masa pandemi Covid-19 institusi ekonomi Desa seperti BUM Desa mengalami stagnasi. Fenomena ini ditambah dengan standar laporan keuangan BUM Desa yang belum mengadaptasi substansi pelaporan keuangan dalam PP No. 11/2021 tentang BUM Desa dan peraturan pelaksanaan lainnya.
PERTANGGUNGJAWABAN KLEBUN
Transparansi pertanggungjawaban pembangunan Desa masih dinilai minim oleh sebagian partisipan. Kepercayaan masyarakat terhadap Kepala Desa (Klebun) merosot dalam hal transparansi keuangan Desa meskipun Kepala Desa tetap dihormati atau ditakuti karena wibawa kulturalnya.
Operator Desa memang sudah mampu menjalankan tugas perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban pembangunan Desa, karena praktik regulasi pertanggungjawaban memerlukan kapasitas teknis pengoprasian aplikasi keuangan Desa. Kepala Desa tidak mempunyai kapasitas teknis atau lebih tepatnya tidak memerlukan kapasitas teknis pertanggungjawaban keuangan Desa melalui aplikasi keuangan Desa. Legitimasi sosial Kepala Desa itu tidak diperoleh dari kemampuannya mengoperasikan aplikasi sistem keuangan Desa, tetapi bersumber dari cara Kepala Desa mempertanggungjawaban keuangan Desa yang telah memakmurkan Desa atau sebaliknya, di dalam Musyawarah Desa.
BUDAYA DESA TERGERUS HONOR PKTD
Desa di Bangkalan telah melaksanakan pelaksanaan pembangunan Desa melalui padat karya ekonomi produktif dan padat karya infrastruktur melalui skema program Padat Karya Tunai di Desa (PKTD). Skema ini pada intinya adalah pelaksanaan kegiatan yang bersifat padat karya (cash for work) yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya dan tenaga kerja lokal untuk menambah pendapatan masyarakat Desa.
Skema ini berdampak pada tergerusnya budaya gotong royong di Desa. Masyarakat Desa ikut serta dalam PKTD untuk memperoleh upah atau honor dan bukan karena spirit gotong royong dalam artian tolong menolong di antara sesama warga Desa.
Kasus di Desa Aeng Tabar, Bangkalan, memberikan contoh tergerusnya spirit gotong royong di skala lokal Desa dalam pembangunan drainase untuk pengendalian banjir. Pembangunan drainase itu harus melewati halaman rumah dari salah satu warga Desa. Konflik terjadi di Desa karena warga tersebut tidak bersedia tanahnya dijadikan lokasi pembangunan drainase, kecuali Pemerintah Desa membayar ganti rugi atas alih fungsi tanah pribadinya.
DELIBERASI POLITIS ANAK PUTUS SEKOLAH
Pemerintah Desa belum mempergunakan data SDGs Desa sebagai basis data dalam pengambilan keputusan untuk program/kegiatan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Data SDGs Desa dipersepsikan sebagai data teknokratik yang belum tentu sinkron dengan visi, misi dan janji-janji kampanye Kepala Desa sebelumnya. Ini mengulang kembali kasus serupa bahwa tidak semua visi, misi dan janji kampanye Kepala Desa bisa dianggarkan dalam RKP Desa dan APB Desa.
Kepala Desa Arok memberikan contoh bahwa visi, misi dan janji kampanyenya sebagai Kepala Desa terpilih adalah pemberian bantuan pendidikan terhadap anak putus sekolah. Mekanisme perencanaan dan penganggarannya di dalam proses penyusunan RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa terkendala data By Name By Address (BNBA) tentang data anak siswa miskin, anak terancam putus sekolah dan anak putus sekolah.
Kepala Desa Arok akhirnya melaksanakan visi, misi dan janji kampanyenya melalui program pemberian bantuan pendidikan yang bersumber dari uang pribadi Kepala Desa. Uang tersebut diberikan kepada orang tua yang datang langsung ke Kantor/Balai Desa yang meminta bantuan pemberian bantuan sekolah. Aspirasi politik dari warga pendukungnya tertinggal di belakang tahap pendataan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
MATI PERLAHAN DI LUMBUNG PANGAN
Di dalam wilayah Desa Arok terdapat sungai yang berfungsi sebagai saluran irigasi primer. Balai Besar Wilayah Sungai atau organisasi birokratis dari Kementerian PUPR berwenang mengelola sungai itu. Kondisi sungai mengalami pendangkalan karena sudah lama tidak pernah dilakukan normalisasi. Debit air yang mengalir ke sawah semakin berkurang padahal Desa Arok merupakan lumbung pangan di Bangkalan.
Pemerintah Desa Arok berinisiatif untuk melakukan normalisasi sungai namun terkendala dengan masalah kewenangan dan komunikasi dengan pemerintah Bangkalan dan pemerintah pusat. Kelambanan penanganan masalah kedangkalan sungai berakibat pada pola penghidupan masyarakat Desa ibarat “mati perlahan di lumbung pangan”.
BUM DESA MODAL NEKAD, TANPA DANA DESA
Partisipan FGD menyatakan bahwa APB Desa di Bangkalan masih tergantung pada Dana Desa sedangkan Pendapatan Asli Desa (PADesa) masih nol. Upaya Desa untuk menghasilkan PADesa melalui program pemberdayaan masyarakat Desa dengan penyertaan modal dari Pemerintah Desa kepada BUM Desa masih belum optimal. Pelaksana operasional BUM Desa masih belum menghasilkan hasil usaha atau laba yang sebagian dapat dibagikan kepada Pemerintah Desa.
Fenomena ini semakin terkunci akibat dari keberlakuan Perpres No. 104/2021 tentang APBN Tahun Anggaran 2022 yang mengatur keharusan penggunaan Dana Desa sebesar 40% untuk BLT Dana Desa, 20% untuk ketahanan pangan dan 8% untuk penanganan Covid-19, sehingga Dana Desa yang diatur ketat oleh pemerintah pusat hanya menyisakan 32% yang peruntukannya boleh dialokasikan untuk kegiatan sesuai kewenangan Desa. Prosentase yang minim ini berdampak pada Pemerintah Desa mengalami keterbatasan untuk melakukan penyertaan modal kepada BUM Desa. Penyertaan modal kepada BUM Desa menjadi terhenti.
Kasus di Desa Aeng Tabar merupakan contoh dampak kepengaturan dari kebijakan Dana Desa yang diatur oleh pemerintah pusat secara sentralistisk. Pelaksana operasional BUM Desa telah membangun rest area sebagai program kerja yang mendukung jenis usahanya, tetapi pembangunan rest area terpaksa dihentikan karena tidak ada anggaran tambahan untuk pembangunannya.
Fenomena salah kaprah dalam pemberdayaan masyarakat Desa terjadi pula ketika BUM Desa telah berdiri namun tidak ada penyertaan modal yang bersumber dari Dana Desa kepada BUM Desa. Pelaksana operasional BUM Desa di wilayah Kamal, Bangkalan, telah mengelola kafe sejak 2017 dengan memanfaatkan aset Desa berupa tanah dan bangunan, tetapi pelaksana operasional BUM Desa belum menerima penyertaan modal yang bersumber dari Dana Desa. Pelaksana operasional dan karyawan BUM Desa gigih berjuang dan rela mengelola kafe itu tanpa memperoleh gaji. Setelah berjalan 2 (dua) tahun tepatnya pada 2018 kafe tersebut terinformasikan telah mencapai Break Even Point (BEP) sehingga pelaksana operasional dan karyawan kafe akhirnya menerima gaji. Pada 2021 kafe tersebut diinformasikan menghasilkan pendapatan sekitar Rp 17.000.000,00 (tujuh belas juta rupiah) namun belum bisa berbagi laba atau hasil usaha kepada pemerintah Desa karena BUM Desa masih membutuhkan biaya operasional.
Informasi ini di satu sisi memperlihatkan bahwa Pemerintah Desa dan BUM Desa tidak memahami struktur permodalan BUM Desa yang harus disertai dengan modal uang yang bersumber dari Dana Desa, sedangkan aset Desa berupa tanah dan bangunan itu tidak tercatat sebagai aset BUM Desa, sehingga BUM Desa selama dua tahun bergerak dalam situasi terjerat utang. Keberhasilan pelaksana operasional BUM Desa menghasilkan pendapatan tetapi tidak bisa membagikan sebagian hasil usaha berupa PADesa kepada pemerintah Desa disebabkan karena BUM Desa harus menutup biaya operasional yang bersumber dari pendapatan usahanya sendiri.
Perkembangan kinerja BUM Desa berjalan lambat karena salah kaprah bahwa BUM Desa cukup memanfaatkan aset Desa tanpa ada aset Desa berupa Dana Desa yang dipisahkan dan diserahkan pengelolaannya kepada pelaksana operasional BUM Desa. Percepatan terhadap kinerja BUM Desa yang miskin modal dari Dana Desa itu semakin terkunci karena ketentuan pembatasan penggunaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam Perpres No. 104/2021 tentang APBN Tahun Anggaran 2022.*