Desa di Masa Pandemi Covid-19 (4): Teknokrasi BLT-Dana Desa, Datakrasi SDGs DESA, dan Siasat Desa di Pandeglang
MediaVanua.com ~ Tim penilai kebijakan melakukan perjalanan ke Pandeglang, Banten. Penilaian kebijakan berbasis bukti dilakukan melalui rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara di Pandeglang. Partisipan FGD meliputi perwakilan dari beberapa Desa, Biro Hukum Kementerian Desa PDTT (Ridho), Tenaga Ahli P3PD, Tenaga Ahli Pendamping Profesional Pusat dan Pandeglang, dan tim LPPM Universitas Brawijaya.
KETIADAAN OTONOMI BAGI DAERAH UNTUK MENGURUS DESA
Dialog bersama dengan Kepala Dinas PMD Pandeglang diawali dengan pendapat kritis bahwa saat ini tidak ada otonomi daerah. Pemerintah Pandeglang hanya melaksanakan instruksi dari pusat untuk mengatur dan mengurus Desa. Selama ini Dinas PMD selalu berupaya cepat menyusun Perbup tentang penggunaan Dana Desa sesuai instruksi dari pusat. Bupati selalu mengontrol juga kinerja penggunaan Dana Desa melalui Dinas PMD.
Justru masalahnya adalah keterlambatan peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang pagu anggaran Dana Desa. Aturan ini terbit menjelang akhir tahun sedangkan proses musyawarah perencanaan pembangunan Desa sudah selesai.
Masalah lain yang juga ditangani secara tegas adalah transformasi BKAD-UPK DBM menjadi BUM Desma. Dinas PMD mengumpulkan pengurus BKAD-UPK dan dijelaskan tentang regulasi transformasi. Ancaman pidana juga disampaikan kepada pengurus BKAD-UPK bahwa sudah banyak kasus yang menimpa BKAD-UPK mulai kasus penggelapan sampai dengan tindak pidana korupsi.
Konflik antar regulasi hanya bisa diselesaikan bila semua pihak saling berkomunikasi, “saling ngopi bersama”, dan diselesaikan secara politik.
DATA IDM LEBIH STABIL DARIPADA DATA SDGs DESA
FGD berlangsung di Desa Kadilimus, Banjar, Pandeglang. Tiga kelompok yang terbagi dalam FGD memberikan pandangan yang saling melengkapi. Partisipan dari Desa tidak memasalahkan aspek mana yang legal antara aturan lama Permendagri No. 114/2014 a quo dan aturan baru Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo karena pertimbangan efektivitas. Mana yang cepat, itulah yang dilakukan. Desa sudah terbiasa dengan prosedur yang diatur dalam Permendagri a quo tetapi terdapat kendala ketika penerapan tahap pendataan SDGs Desa sebagaimana diatur dalam Permendesa a quo.
Hampir sama kondisi Desa satu dan Desa lainnya, keluhan yang disampaikan adalah kerusakan aplikasi SDGs Desa. Relawan data SDGs Desa masih aktif tetapi mengeluhkan lambatnya proses unggah data manual ke situs SDGs Desa. Masalah utama kebijakan pendataan tetap berada di pusat dan bukan di Desa. Akibatnya tahap pendataan SDGs Desa tidak terlaksana sepenuhnya.
Partisipan dari Desa juga tidak paham makna dari kemiskinan ekstrem. Kemiskinan ekstrem dipahami berdasar memori kolektif di Desa bahwa sedikit sekali warga Desa yang tidak bisa makan sama sekali. Jeda pemahaman antara pesan-pesan kebijakan kemiskinan ekstrem dan pemahaman warga Desa ini sebenarnya bisa ditutup dengan rekomendasi kebijakan SDGs Desa.
Warga Desa yang bertugas melakukan pendataan SDGs Desa menyatakan bahwa proses unggah ulang data SDGs Desa masih berlangsung dan ia tidak tahu rekomendasi program-program berdasar data yang ia unggah itu. Ketika tim penilai kebijakan menunjukkan aturan Permendesa a quo tentang 18 (delapan belas) tujuan SDGs Desa, warga Desa tersebut menyatakan pernah mendengar istilah itu namun kesulitan menghubungkan dengan apa yang ia lakukan selama pendataan. Diskusi tentang pendataan SDGs Desa di dalam FGD kemudian tidak bisa berlanjut pada tahap interpretasi data SDGs Desa dan apalagi pelembagaannya di dalam dokumen Peta Jalan SDGs Desa, RPJM Desa, RKP Desa dan APB Desa.
Tim penilai kebijakan melakukan konfirmasi kepada pendamping Desa tentang pengalaman lain selain pendataan SDGs Desa. Mereka menyatakan bahwa selama ini proses pendampingan berjalan lancar karena menggunakan data Indeks Desa Membangun (IDM) atau SIPEDE. Dua sistem pendataan dari Kementerian Desa ini lebih sederhana dan sudah terbukti lebih tepat digunakan selama mendampingi proses perencanaan pembangunan Desa di Pandeglang. Desa lebih mudah diajak dialog perencanaan pembangunan Desa oleh pendamping Desa dengan menggunakan data IDM yang lebih stabil daripada data SDGs Desa.
DAMPAK DATAKRASI BANTUAN LANGSUNG TUNAI
Desa merespons secara beragam terhadap kebijakan minimal 40% Dana Desa untuk BLT-DD pada 2021. Kebijakan intervensionis itu dipersepsikan dapat menutup kekacauan data DTKS. Para kepala Desa selalu protes terhadap data DTKS yang invalid. Mereka sudah mengajukan pembaharuan data DTKS. Pemerintah supra-Desa yang menangani DTKS di Pandeglang hanya menyatakan ada kerusakan sistem data sehingga data DTKS selalu invalid. Setali tiga uang dengan SDGs Desa, data DTKS yang idealnya menjamin hak kesejahteraan sosial masyarakat juga mengalami teknologi pendataan yang tidak stabil.
Dampak sosialnya adalah ketika BLT-DD tidak dibagi rata untuk menutupi ketidakvalidan data DTKS maka perangkat Desa selalu mengalami konflik kecil dengan warga. Mental warga pun berubah. Setiap mendengar informasi di media sosial tentang bantuan dari pemerintah pusat, mereka langsung minta konfirmasi kepada Pemerintah Desa, padahal Pemerintah Desa belum menerima informasi apa pun secara teknis.
GANTI RUGI PENCEMARAN UDARA
Tahapan pendataan yang selalu gagal karena kerusakan aplikasi digital atau sistem informasi milik supra-Desa, selama masa pandemi Covid-19 berdampak pada minimnya prakarsa Desa untuk berbuat sesuatu. Desa tidak melakukan apapun kecuali rutinitas administrasi pemerintahan yang ditentukan oleh Pusat. Padahal Desa tempat acara FGD ini berlangsung terdapat dampak limbah dari pabrik ayam berskala nasional. Proses produksi pabrik ayam itu mencemari udara di sebagian wilayah Desa. Perusahaan berupaya untuk memberikan CSR kepada lembaga pendidikan keislaman yang ada di dalam wilayah Desa, tetapi hal itu tidak menyelesaikan pencemaran udara.
Dalam diskusi para partisipan FGD setuju bila Desa berhak memperoleh ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang dialaminya. Kesadaran ekologis ini perlu diadvokasi dalam bentuk kerangka pengaturan yang tegas oleh Kementerian Desa bahwa pencemaran lingkungan di Desa bisa dideteksi sejak awal melalui pendataan dan Desa berwenang untuk menolak pabrikasi yang berdampak buruk pada masyarakat di Desa.
Tahapan pelaksanaan pembangunan Desa di Desa Kadilimus fokus pada kepentingan untuk mengatasi infrastruktur yang buruk. Warga Desa pernah kerja bakti untuk menutup jalan yang berlobang. Beruntung tidak ada ibu hamil yang sampai melahirkan di tengah kubangan jalan. Infrastruktur bagi Desa penting untuk membuka isolasi ekonomi Desa itu sendiri.
JEBAKAN RENTENIR “BANK EMOK”
Desa Kadilimus mengalami ketimpangan akses modal usaha. BUM Desa tidak aktif. Sebagian warga Desa masih terjebak pada “bank emok” atau rentenir. Istilah ini menunjuk pada kebiasaan bila rentenir datang maka kaum perempuan di Desa datang mengelilingi rentenir. Sikap ini entah sembari duduk atau berdiri mengelilingi rentenir yang disebut dalam bahasa lokal sebagai sikap “emok”. Desa lain juga mengalami hal yang sama. Bank emok menjadi solusi dan sekaligus momok bagi warga Desa ketika mereka menagih bunga pinjaman yang berlipat-lipat.
Informasi terbatas yang diperoleh selama FGD adalah BUM Desa pernah aktif melakukan jenis usaha simpan pinjam tetapi sudah lama tidak aktif pada masa kepemimpinan Kepala Desa yang baru. Tipe BUM Desa yang bergerak pada jenis usaha lembaga keuangan selalu rentan pada pengembalian pinjaman karena terdapat persepsi dari warga peminjam bahwa uang dari BUM Desa itu program pemerintah sehingga habiskan saja dan tidak perlu mengembalikannya.
Persepsi ini tumpang tindih dengan persepsi warga Desa terhadap BLT. Peminjaman kepada BUM Desa dipersepsikan sama dengan penerimaan BLT yang berlangsung gratis. Uang pinjaman dari BUM Desa dianggap sebagai bantuan daripada sebagai modal usaha produktif. Ini tantangan bagi BUM Desa ketika berkompetisi dengan “Bank Emok” yang berasal dari kelompok luar Desa. Padahal sudah banyak korban dari “Bank Emok”. Ada warga yang gagal bayar karena bunganya sangat tinggi dan bahkan pergi dari Desa tak kembali lagi, semacam melarikan diri dari pembayaran utang yang bunganya membumbung tinggi.
“Bank Emok” tidak membuat jera para peminjam karena kemudahannya untuk meminjam tanpa agunan, meskipun bunganya sangat tinggi. Rentenir memang penyakit sosial abadi di Pandeglang dan mungkin di Desa lain. Selama BUM Desa tidak didukung dengan dana tinggi, kemudahan peminjaman, kontrol pinjaman yang bersifat kolektif/kebersamaan, dan pengembangan jenis usaha selain simpan pinjam, maka BUM Desa yang bergerak pada jenis usaha simpan pinjam akan bangkrut dengan cepat. “Bank Emok” tetap berkibar tetapi warga Desa semakin merana terhisap oleh rentenir dengan bunga pinjamannya yang setinggi langit tanpa batas.
ANTARA PROGRAM TITIPAN “SADAR HUKUM” DAN RUMAH KEADILAN RESTORATIF
Desa Kadilimus mengalami program titipan “sadar hukum” yang menggunakan APB Desa. Pembicaranya dari aparat penegak hukum. Warga Desa bersikap pasif mendengarkan tetapi tidak terlembagakan ke dalam institusi Keadilan Restoratif untuk menyelesaikan konflik fisik atau kasus pidana ringan yang bisa diselesaikan secara restoratif. Keadilan restoratif bersifat memulihkan kondisi konflik menjadi kembali harmoni. Kohesif secara sosial. Keadilan restoratif tidak bersifat menghukum seperti halnya penyelesaian kasus pidana di peradilan.
Kesadaran untuk menjalani keadilan restoratif atas kasus pidana ringan lebih berjalan di Desa lain, yakni Desa Bandung, Tim penilai kebijakan melakukan wawancara di Desa Bandung. Kepala Desa Bandung menunjukkan bangunan yang digunakan untuk melakukan agenda keadilan restoratif (restorative justice). Ia mengisahkan pernah melakukan mediasi terhadap konflik fisik antar warga Desa. Jalan Desa di depan bangunan keadilan restoratif penuh dengan kehadiran massa pendukung masing-masing pihak yang berkonflik. Kepala Desa berhasil sebagai mediator konflik. Kasus pidana perkelahian selesai di rumah keadilan restoratif dan bukan di peradilan. Desa Bandung membutuhkan pengetahuan dan praktik berhukum mulai paralegal, mediasi, konsiliasi dan bila perlu arbitrase (untuk mengantisipasi konflik perdagangan antara BUM Desa dan pihak korporasi lainnya). Desa Bandung bekerjasama dengan Kejaksaan Negeri Pandeglang untuk mengembangkan Rumah Keadilan Restoratif.
Saat ini sudah menangani 3 (tiga) permasalahan hukum antara lain pertengkaran/perselisihan antara warga, sengketa/permasalahan tanah warga, permasalahan rumah tangga. Ini merupakan pembelajaran penting bahwa regulasi nasional harus mengubah kebijakan paralegal Desa (yang mensyaratkan pembelaan hukum untuk orang miskin dan harus bekerjasama dengan organisasi advokat) menjadi paralegal Berdesa yang melembagakan praktik penyelesaian sengketa/konflik ke dalam salah satu jenis lembaga kemasyarakatan Desa.
Seorang pendamping Desa menyatakan di sela-sela wawancara di Desa Bandung, kerjasama usaha antar BUM Desa pernah dirintis namun terdapat kasus wanprestatie (ingkar janji). Kerjasama usaha itu terhenti begitu saja tanpa penyelesaian yang mengadaptasi pola mediasi atau arbitrase. Dampaknya adalah kemajuan BUM Desa pada skala antar-Desa menjadi surut langkah. Tak semua Desa mengalami lonjakan kriminalitas dan tertarik mengembangkan Keadilan Restoratif. Program Keadilan Restoratif dan berbagai pendidikan dan pembelajaran tentang penyelesaian sengketa di luar peradilan memerlukan pemetaan kasus kriminal di level kabupaten. Program ini percuma saja dilaksanakan dengan mengharuskan Desa membiayai kegiatan tersebut melalui APB Desa, kecuali kegiatan itu disadari oleh Desa sebagai bagian dari kepentingannya, Daftar Kewenangannya, dan pihak aparat penegak hukum melaksanakan program itu berdasarkan kewenangan penugasan yang disertai biaya untuk Desa.
JENIS USAHA DIGITAL TANPA SINYAL DI DESA BANDUNG
Dalam kunjungan Tim ke Desa Bandung langsung diterima oleh kepala Desa Bandung Wahyu Kusnadiharja dan Direktur BUM Desa Warga Dekat Bandung Syaefullah. Desa Bandung merupakan wilayah yang tidak ada sinyal ponsel. Anda masuk ke wilayah Desa ini dipastikan semua ponsel awet batrenya karena tidak ada gunanya. Unik, BUM Desa mempunyai usaha internet jaringan optik. Warga desa dapat mengunakan fasilitas internet dengan berlangganan baik per hari maupun per bulan.
BUM Desa tetap melibatkan warga untuk melestarikan kearifan lokal dengan membuat dan menjual anyaman dari daun pandan (tiker, tas selempang, tas sekolah). BUM Desa juga membudidayakan Ikan Mas Si Nyonya yang berukuran besar dan layak ekspor. Rencana usaha BUM Desa selanjutnya adalah merintis jenis usaha agrowisata, wisata edukasi cara budidaya ikan mas, membuat anyaman, melatih silat dan debus, dan membuat aplikasi marketplace yang mempromosikan produknya sendiri dan produk dari Desa lain.
Kepala Desa Bandung juga menginformasikan, program P3PD “Duta Desa Digital” direncanakan akan masuk ke Desa, sehingga rencana kerjasama usaha BUM Desa akan semakin ekspansif ke luar Desa melalui kerjasama usaha jaringan internet antar-Desa dan jejaring pemasaran online atau digital marketing dengan korporasi/investor dari luar Desa.
SALAH PAHAM ISTILAH “UNIT USAHA”
Kesalahpahaman di Desa Bandung antara lain tentang istilah “jenis usaha” dan “unit usaha”. Jenis usaha budidaya ikan dianggap sebagai “unit usaha”, padahal BUM Desa tidak mendirikan “unit usaha” sebagaimana dimaksud dalam UU Desa jo. PP No. 11/2021 tentang BUM Desa sebagai badan usaha yang didirikan oleh BUM Desa. Format Perdes dan Perkades masih belum konsisten dengan format baru dalam peraturan menteri desa tentang BUM Desa. Padahal jenis usaha BUM Desa ini potensial untuk mengelola kerjasama serat optik dengan korporasi lain atau kerjasama dengan Desa lain. Struktur organisasi BUM Desa juga belum tepat karena masih menempatkan Kepala Desa sebagai organ tertinggi, padahal Musdes adalah organ tertingginya, dan anggapan bahwa Kepala Desa adalah komisaris, padahal Kepala Desa hanya sebagai penasihat. Perihal gaji, honor dan tunjangan juga belum terjamin, masih minim, sekitar satu juta rupiah untuk gaji direktur.
Sisi menariknya, BUM Desa sudah belajar membuat laporan keuangan sendiri baik jurnal, laporan laba/rugi, neraca, dan arus kas. Ini penting disesuaikan dengan rencana program kerja BUM Desa yang akan bergerak aktif ke luar Desa seperti pengembangan ikan mas Si Nyonya untuk segera dipatenkan di HAKI KemenhumHAM, ekspor pemasaran ikan dan marketplace.
Tim penilai kebijakan awalnya menerima informasi bahwa laba mereka sudah mencapai puluhan atau ratusan juta tetapi setelah melihat laporan keuangan yang sedang mereka pindahkan pada laporan keuangan versi BPKP tampak bahwa laba belum jelas terlihat atau setidaknya baru pada awal tahun 2023 akan jelas tersistematisasi dalam laporan posisi keuangan atau neraca, laporan laba/rugi, laporan perubahan ekuitas dan laporan arus kas. Ini pembelajaran penting bahwa antara pendamping Desa, pemerintah Desa dan pemerintah supra-Desa sama-sama belum mempunyai pemahaman yang sama tentang pendapatan BUM Desa, beban BUM Desa, dan laba BUM Desa yang dibagikan kepada Pemerintah Desa melalui PADesa, masyarakat penyerta modal BUM Desa, dan laba ditahan untuk pengembangan usaha BUM Desa selanjutnya.
Pembelajaran penting dari kemajuan BUM Desa untuk melakukan langkah menembus isolasi ekonomi Desa tanpa sinyal adalah regulasi nasional harus memudahkan perizinan bagi BUM Desa yang akan mengurus hak atas kekayaan intelektual. Regulasi nasional ini penting agar urusan hak atas kekayaan intelektual tidak jatuh ke tangan individu tersebab kegagalan BUM Desa mengurusnya sebagai kolektivitas badan hukum. Pada masa sebelum rekognisi-formal atas BUM Desa sebagai badan hukum, kerapkali dijumpai BUM Desa yang terpaksa membuka rekening dan mengurus izin usaha atas nama pribadi. Dampaknya adalah konflik antara individu yang merasa mempunyai usaha itu walaupun sekedar fiksi hukum.
BKAD-UPK DAPM CADAS SARI MISKIN INFORMASI TENTANG MANFAAT TRANSFORMASI
Tim penilai kebijakan juga berdialog dengan UPK MANDIRI SEJAHTERA KECAMATAN CADAS SARI, KAB PANDEGLANG. Di Kabupaten Pandeglang terdapat 32 BKAD-UPK. Informasi dari Kadis Permades (Dinas PMD) dan TA Kabupaten adalah baru 9 (sembilan) BKAD-UPK yang sedang berproses transformasi menjadi BUM Desa Bersama dengan jenis usaha Lembaga Keuangan Desa. Inspektorat Kabupaten sedang melakukan reviu terhadap laporan keuangan mereka.
Salah satunya adalah UPK Mandiri Sejahtera Kecamatan Cadas Sari. UPK Mandiri Sejahtera Kecamatan Cadas Sari berdiri sejak tahun 2001, sedangkan program PNPM Mandiri baru masuk tahun 2009. UPK Mandiri Sejahtera Kecamatan Cadas Sari saat ini sebagai Ketua adalah Nia Yuniarni, Sekretaris Eneng Fauziah, Bendahara Siti Aminah. Laporan Neraca per 31 Desember 2020 Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Mandiri Sejahtera Kecamatan Cadasari, Pandeglang, Banten, menunjukkan modal awal UPK sangat besar dibandingkan dengan modal awal BUM Desa dan BUM Desa Bersama. Ibarat “bagaikan langit dan bumi”, UPK ini memulai usaha dengan modal Dana dari KPPN PPK Fase I Rp 1.000.000.000,00, sedangkan modal modal BUM Desa atau BUM Desa Bersama di Pandeglang rata-rata hanya puluhan dan ratusan juta. Modal UPK bersumber dari dana utang luar negeri, yakni modal Dana dari KPPN PPK Fase 2 Rp 2.000.000.000,00, Dana dari KPPN PNPM Mandiri Perdesaan Rp 10.943.800.000,00, Dana Cost Sharing PNPM-MP Rp 2.056.200.000,00.
Sejak pengakhiran Eks PNPM MPd, UPK Mandiri Sejahtera Kecamatan Cadas Sari tidak lagi memberikan pinjaman, yang dilakukan saat ini hanya menerima pengembalian pinjaman. Aset kas UPK sekitar Rp 48.742.000,00, aset bank Rp 481.519.499,00, “aset pinjaman UEP” Rp 408.602.634,00, “aset pinjaman SPP” Rp 2.435.119.500,00, dan aktiva lainnya dengan total senilai Rp 18.001.060.133,00. Laba ditahan atau istilah mereka adalah surplus/defisit ditahan Rp 1.866.444.222,00 dan surplus/defisit berjalan Rp 95.115.911,00.
Dampak kepengaturan peraturan Menteri Desa PDTT yang mengatur tentang transformasi BKAD-UPK DAPM menjadi BUM Desa Bersama berada pada beberapa hal.
Pertama, mayoritas pengurus UPK-DAPM bergabung dalam organisasi asosiasi “UPK NKRI” yang bersikap tidak setuju terhadap regulasi Kementerian Desa DTT tentang transformasi UPK-DAPM menjadi BUM Desa Bersama dan asosiasi itu aktif melakukan demonstrasi di Jakarta, uji materiil ke Mahkamah Agung, dan lobi politik ke DPR-RI.
Kedua, alasan yang mengemuka adalah ketidakpastian posisi mereka di dalam BUM Desa Bersama semisal khawatir mereka akan dipecat di arena Musyawarah Desa Bersama, kecemasan atas aset UPK yang tercantum di dalam “Neraca Microfinance” akan dipakai oleh para Kepala Desa, dan mereka tidak yakin Desa-desa yang mendirikan BUM Desa Bersama itu akan melakukan penyertaan modal untuk menguatkan transformasi UPK-DAPM.
Ketiga, Pemerintah supra-Desa di Pandeglang sebatas melakukan sosialisasi kepada UPK-DAPM agar segera transformasi menjadi BUM Desa Bersama dengan alasan utama bahwa UPK-DAPM harus dilindungi dari kasus tindak pidana korupsi karena mereka rentan menggunakan dana untuk pengembangan usaha selain dari yang diatur PTO PNPM Mandiri Perdesaan di masa lalu.
Keempat, pengurus UPK-DAPM bersikap pasif untuk melakukan transformasi karena tidak mengenal pemerintah Desa dan masyarakat Desa secara utuh, mereka hanya mengenal kelompok peminjam dari Desa yang menjadi lokus kegiatannya dan sebagian Dinas PMD yang selama ini mengatur dan memerintah mereka, sehingga mereka tidak mempunyai imajinasi sosial untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi dengan Pemerintahan Desa di wilayah kecamatannya, perbincangan tentang laporan keuangan secara terbuka, rencana program kerja usaha bersama, maupun Musyawarah Antar Desa tentang transormasi UPK menjadi Bumdesa Bersama.
Kelima, pengurus UPK-DAPM kurang melakukan interpretasi hukum terhadap PP No. 11/2021 tentang BUM Desa dan Permendesa PDTT No. 15/2021 yang mengatur tentang transformasi untuk pengakuan kelembagaannya.
Tim penilai kebijakan melakukan dialog dengan UPK-DAPM perihal akuntansi keuangan. Selama ini mereka tidak mengenal penyertaan modal dari Desa-desa sebagai konsekuensi dari transformasi. Pendamping Desa juga tidak seluruhnya memahami akuntansi keuangan UPK-DAPM yang justru menjadi pokok masalah. Pendamping Desa sebatas melakukan dialog singkat yang mengingatkan mereka untuk segera transformasi, tetapi kurang terlibat dalam mendampingi jenis-jenis usaha kolektif seperti pinjaman UEP dan pinjaman SPP yang potensial digabungkan dengan jenis usaha lainnya di Desa-desa wilayah kecamatan Cadasari.
Peluang bagi Pendamping Desa adalah mengisi celah komunikasi antara Desa-desa dan pengurus UPK-DAPM. Mereka belum memperjuangkan konsensus agar pengurus BKAD dan UPK DAPM tidak dipecat di arena Musyawarah Antar Desa. Pendamping Desa belum sampai pada komunikasi yang membuka komitmen para Kepala Desa dengan UPK-DAPM untuk menyertakan modal kepada BUM Desa Bersama sesuai dengan pengembangan jenis-jenis usaha baru. Tanpa pembahasan detail tentang rencana program kerja yang berisi pola kerjasama usaha antara BUM Desa Bersama “transformasi” dengan BUM Desa maupun kelompok usaha warga lainnya di kecamatan Cadasari, maka sebagian besar perempuan yang sudah aktif di UPK Cadasari (sejak mereka masih gadis sampai punya beberapa anak dan aset rumah tangga pribadi lainnya) senyatanya dibayangi kekhawatiran psikologis bahwa mereka akan menjadi pengangguran setelah transformasi selesai dilakukan.
Salah kaprah berikutnya adalah tentang istilah “unit usaha”. Pendamping Desa dan pengurus UPK DAPM sama-sama tidak membayangkan dan menghitung pembentukan Unit Usaha PT LKD yang dikuasai modalnya oleh BUM Desa Bersama secara kolektif. Istilah “Unit usaha” masih dipersepsikan sama dengan “satu kegiatan usaha”. Salah kaprah pemahaman ini terus berlanjut sehingga muncul pemahaman bahwa BUM Desa Bersama “transfomasi” itu akan mempunyai banyak “Unit Usaha”, sedangkan pengurus UPK mempersepsikan berarti akan banyak biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan “Unit Usaha”. Kekhawatiran psikologis ini selama proses wawancara dan diskusi di kantor UPK DAPM begitu mengemuka, selain persoalan politis yang membayangi mereka karena asosiasi UPK NKRI sudah mempunyai garis politik: menolak transformasi, meskipun beberapa permohonan judicial review mereka sudah ditolak oleh Mahkamah Agung.*