Desa di Masa Pandemi Covid-19 (7): Bangka Selatan, Kontradiksi Kewenangan Desa di Arena Konsesi
Media Vanua.Com ~ Akhir tahun 2022 penilaian kebijakan berbasis bukti dilakukan melalui rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara di Bangka Selatan. Partisipan FGD meliputi perwakilan dari beberapa Desa, perwakilan Kementerian Desa PDTT Program P3PD, Tenaga Ahli Pendamping Profesional Pusat dan Bangka Selatan, dan tim LPPM Universitas Brawijaya.
Kewenangan Desa Mengelola Sumber Daya Pesisir
Desa Tukak adalah Desa yang berlokasi di wilayah pesisir. Sebagian wilayah Desa berada di tepian laut. Mereka memanfaatkan sumber daya bersama pesisir dengan membuat wisata mangrove. Kendalanya tentu pada investasi yang masih minim meskipun Desa sudah melestarikan dan memanfaatkan hutan mangrove secara optimal.
Kerjasama Desa dan perusahaan tambak sudah dilakukan dan Desa memperoleh bagi hasil 2,5%. Daerah pesisir ini mayoritas sudah menjadi arena tambak yang dimiliki perusahaan swasta.
Kewenangan Desa Mengelola Sumber Daya Hutan
Desa Tiram berada di kawasan hutan rakyat. Sekitar 40% luasan hutan berada di dalam wilayah Desa Tiram. Desa masih belum cukup informasi siapa yang memiliki hak pengelolaan terhadap hutan rakyat itu. Desa tidak berani memanfaatkan hutan karena takut dipidanakan oleh aparat penegak hukum negara-hutan.
Ketua BPD Desa Tiram menyatakan, kemiskinan di Desa Tiram berbeda dengan kemiskinan di Desa lain. Kategori keluarga miskin di Desa Tiram berbeda pula dengan kategori kemiskinan dari pemerintah. Warga miskin di Desa Tiram masih punya kendaraan, masih cukup makan, dan rumah masih layak. Ukuran kemiskinan di Desa Tiram adalah warga Desa mengalami pengeluaran sehari-hari yang melampaui penghasilan sehari-hari (baca: seratus ribu per hari) setelah harga-harga barang untuk kehidupan sehari-hari tetiba naik.
Kewenangan Desa Mengelola Sumber Daya Tambang Timah
Desa Bukit Terapmemiliki masalah yang berbeda lagi. Tambang timah berada di dalam wilayah Desa. Potensi ini membawa “seribu potensi dan sejuta kerugian”. Desa menjadi sasaran penambangan timah ilegal. Penambangan dilakukan oleh piha swasta yang tidak diketahui pasti identitasnya oleh pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Tambang timah ilegal membawa akibat rusaknya ekosistem, yaitu banjir. Banjir yang sarat dengan endapan lumpur dari hasil penambangan liar. Ironisnya pemerintah Desa merasa tidak berwenang mengambil tindakan apa pun karena urusan pertambangan timbah merupakan urusan pemerintah supra-Desa di pusat dan provinsi.
Ketua BPD dan Sekdes menginformasikan, limbah tambang mengakibatkan banjir setelah terdapat pengendapan di daerah aliran sungai dan terlebih wilayah laut juga terdapat areal pertambangan.
Data SDGs Desa Tak Bisa Digunakan, Kembali Menggunakan RPJM Desa Yang Eksis
Partisipan FGD menilai SDGs Desa merupakan upaya Kemendesa untuk menstimulus pembangunan Desa, tetapi mereka merasa tidak bisa optimal melaksanakan SDG’s. Walaupun pendataan SDGs Desa sudah berhasil mereka penuhi tetapi mereka mengalami kendala dalam mengunggah data pada dashboard situs SDGs Desa.
Kemajuan Desa mereka tidak dapat direncanakan sesuai tujuan-tujuan SDGs Desa. Peta jalan SDGs Desa tidak bisa disusun oleh Kepala Desa dan unsur pemerintahan Desa lainnya. Bahkan Desa merasa mereka dirugikan karena skor SDGs Desa mereka seharusnya lebih baik daripada kondisi nyata di Desa. Hambatan teknologi yang disebabkan kurang optimalnya sistem informasi dari pusat berdampak pada ketidakpercayaan Desa terhadap skor SDGs Desa.
Desa sudah merasa nyaman dengan perencanaan pembangunan desa melalui RPJMDesa dan RKPDesa tanpa dibebani arah kebijakan SDGs Desa. Walaupun tidak ada arah kebijakan dan hasil pendataan SDGs Desa, mereka merasa “baik-baik saja” dengan sistem yang lama (baca: Permendagri No. 114/2014 a quo) karena lebih jelas dan “ringan” dalam melaksanakannya.
Desa Tiram sudah melakukan pendataan SDGs Desa Tahun 2021 secara manual dan aplikasi berbasis android. Pendataan SDGs Desa terkendala oleh aplikasi yang error sehingga hasil pendataan SDGs Desa tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Sekdes Tiram tidak menganggarkan pemutakhiran pendataan SDGs Desa pda Tahun Anggaran 2022. Ia beranggapan bahwa seandainya tidak ada penggunaan data SDGs Desa maka tidak masalah karena masih ada RPJM Desa dan RKP Desa yang sudah dibahas, disepakati dan dituangkan ke dalam aturan hukum Desa.
Di Desa Tiram terdapat anak yang stunting yang disebabkan bukan bukan karena faktor kekurangan gizi tetapi faktor keturunan. Sekdes dan BPD menyatakan pada saat pandemi covid-19 Desa Tiram terdapat penderita Covid-19 namun jumlahnya tidak banyak. Pencegahan dan penanganan Covid-19 sudah ditangani dengan menggunakan Dana Desa (8%) sesuai ketentuan dari pusat. Penggunaan Dana Desa ini berakibat Desa harus mengubah arah kebijakan keuangan Desanya di masa pandemi Covid-19, yang semula tidak ada agenda penanganan Covid-19 dan stunting.
Sekdes Tiram menyatakan kurang mengetahui isi Permendagri No. 114/ 2014 a quo karena ia mengaku lebih tahu dan sekaligus menggunakan Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo untuk penyusunan perencanaan pembangunan Desa. Penggunaan Permendesa No. 21/2020 a quo ia peroleh dari pendamping Desa, meskipun tahap pendataan Desa melalui SDGs Desa itu belum ada hasil yang dilembagakan di dalam dokumen perencanaan pembangunan Desa.
Penggunaan Dana Desa di masa pandemi Covid-19 berjalan amat terbatas. Prakarsa lokal merosot tajam. Dana Desa difokuskan untuk BLT DD yang menurut partisipan FGD, sekedar mengatasi kemiskinan sementara terutama untuk menutupi kebutuhan pangan sembilan bahan pokok, terutama beras. PKTD sudah pernah dilaksanakan di Desa khusus untuk pembangunan infrastruktur Desa. PKTD ekonomi belum dilaksanakan namun pengurus BUM Desa menyatakan Desa sudah melakukan penyertaan modal Desa kepada BUM Desa. Jenis usahanya masih minimalis antara lain usaha air isi ulang, jasa fotokopi, penjualan pupuk dan sewa ruko.
Peraturan di kabupaten setidaknya bisa menjadi aturan yang mengharmonisasi aturan pembangunan Desa versi Permendagri dan Permendesa PDTT meskipun partisipan FGD tidak mengusulkan pokok gagasan spesifik untuk diharmonisasi.
Bersambung ke penilaian berbasis bukti di Ngada, Nusa Tenggara Timur.(*)