Desa di Masa Pandemi Covid-19 (8): Ngada NTT, Jangan Diatur-atur Tidak Teratur
MediaVanua.com ~ Pertengahan akhir 2022 penilaian kebijakan berbasis bukti dilakukan melalui rangkaian Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara di Ngada. Kegiatan FGD di Kabupaten Ngada dilakukan di 2 (dua) Desa, yaitu Desa Dadawea, Kecamatan Golewa dan Desa Killa Kecamatan Aimere. Peserta yang hadir terdiri dari Tim Kecamatan Dadawea 3 (tiga) orang, Tim Universitas Brawijaya Malang 1 (satu) orang, Tim TA P3PD 1 (satu) orang, Tenaga Ahli Kabupaten 1 (satu) orang, Pendamping Desa 2 (dua) orang, Pendamping Lokal Desa 1 (satu) orang. Acara FGD di kabupaten Ngada dilaksanakan pada Rabu, 25 Oktober 2022 pada pukul 09.30-15.30 WIB, di Ruang Rapat Aula Dinas PMD Kabupaten Ngada. Peserta yang hadir terdiri dari: Dinas PMD Kabupaten Ngada 3 (tiga) orang, Tim Kecamatan 6 (enam) orang, Tim Universitas Brawijaya Malang 1 (satu) orang, Tim Kementerian Desa PDTT 1 (satu) orang, Tim TA P3PD 4 (empat) orang, Tenaga Ahli Kabupaten 3 (tiga) orang, Pendamping Desa 3 (tiga) orang, Pendamping Lokal Desa 3 (tiga) orang dan Notulis 1 (satu) orang.
Kerusakan Aplikasi Pendataan SDGs Desa
Desa Dadawea sudah menyusun RPJM Desa sejak 2019 dengan mengikuti mekanisme dalam Permendagri No. 114/2014 a quo. Proses mulai dilakukan dengan pembentukan Tim 11 dan anggota Tim 11 tersebut ada beberapa yang ikut FGD ini. Pengumpulan aspirasi warga dimulai dari pertemuan RT, Musyawarah Dusun dan Musyawarah Desa.
Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo belum diketahui secara mendalam oleh para partisipan FGD kecuali pendamping Desa dan Kepala Desa. Dinas PMD dan kecamatan juga tidak meminta Desa untuk melakukan penyesuaian dokumen perencanaan pembangunan desa dengan mengikuti nalar hukum Permendesa PDTT No. 21/2020 a quo. Sampai saat ini Desa hanya melakukan pendataan SDGs Desa dan menurut informasi dari pendamping Desa hal itu sudah selesai pada 2021. Anggaran untuk pendataan SDGs dilakukan pada 2021 yang mana besarannya sudah ditentukan pendamping Desa. APB Desa tinggal mengalokasikan saja.
Kepala Desa Dadawea kurang mengetahui proses apa yang akan dilakukan setelah pendataan SDGs Desa ini diselesaikan, karena Kepala Desa Dadawea juga mendapat informasi dari pendamping Desa bahwa aplikasi SDGs Desa masih belum berfungsi dengan baik.
Partisipan FGD tidak memahami 18 (delapan) kondisi desa yang ditetapkan oleh arah kebijakan SDGs Desa, kecuali beberapa orang hanya menyebutkan istilah Desa Tanpa Kemiskinan dan Desa Tanpa Kelaparan. Partisipan FGD di Desa Dadawea ini umumnya mengenal SDGs Desa karena ada pendataan saja. Beberapa partisipan mampu mengingat proses yang dilakukan oleh pencacah data. Mereka menyampaikan cukup kesulitan dengan banyaknya pendataan yang dilakukan di Desa, sepeti pendataan DTKS, RTLH, Sensus, dan lain sebagainya. Pertanyaannya dirasakan hampir sama hanya berbeda cara pengisiannya.
Data yang digunakan di dalam perencanaan pembangunan Desa akhirnya tetap menggunakan hasil pendataan potensi Desa sebagaiman diatur dalam Permendagri No. 114/2014 a quo. Kegiatan pendataan ini dilakukan melalui forum musyawarah RT, Dusun dan Musrenbangdes. Anggaran sebesar Rp. 1.500.000,- dianggap cukup karena anggaran yang disediakan hanya cukup untuk itu. Proses musyawarah ini biasanya akan didukung oleh masyarakat yang akan menyediakan makanan dan minuman secara gotong royong.
Proses pendataan apa pun di Desa relatif bersih dari manipulasi data karena ada pendamping Desa yang mengawal prosesnya. Manipulasi dalam proses pembangunan kemungkinan terjadi di kalangan para pelaksana kegiatan. Dugaan manipulasi muncul karena kurangnya komunikasi dengan masyarakat Desa. Pelaku kegiatan hanya mementingkan isi laporan yang berbunyi bahwa kegiatan pembangunan sudah sesuai dengan target. Hasil program yang dirasa kurang maksimal dipahami secara finansial bahwa selama ini alokasi anggarannya masih kurang tepat.
Salah satu kebijakan dari Pemerintah Pusat yang sempat membuat bingung Kepala Desa adalah kebijakan pengalihan Dana Desa yang diminta digunakan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT-DD) kepada masyarakat minimal 40%. Padahal Dana Desa sudah dianggarkan untuk kegiatan lain yang sudah dibahas dan disepakati warga. Kebingungan Kepala Desa ini tentu berakibat pada kekecewaan di antara warga Desa.
Dalam pleno FGD ini di kabupaten partisipan menyampaikan perlunya segera diterbitkan Peraturan Bupati yang baru untuk mengatur pelaksanaan perencanaan pembangunan di Desa sesuai dengan Permendesa PDTT No. 21/2020 a qu o karena ada sekitar 90-an Desa yang melaksanakan proses pemilihan Kepala Desa baru.
Peta Jalan SDGs Desa Belum Tersusun
Sampai saat ini Pemerintah Desa belum menyusun Peta Jalan SDGs Desa. Proses pendataan SDGs Desa yang telah dilakukan terjadi kemacetan sehingga Desa tidak bisa memperoleh hasil rekomendasinya. Secara umum pengumpulan data sudah selesai pada 2021, namun karena sistem situs SDGs Desa down, sampai saat ini belum bisa ditunjukkan rekomendasi yang bisa memberi asupan data untuk penyusunan peta jalan SDGs Desa di Desa Dadawea.
Kepala Desa belum melihat rekomendasi yang harus dilakukan di Desanya. Sampai saat ini belum ada keputusan Desa harus melakukan apa bila tidak diharuskan membuat peta jalan. Kepala Desa juga belum memahami bentuk akhir peta jalan SDGs Desa. Semuanya diserahkan kepada pendamping Desa. Akibatnya terjadi ketergantungan kepada pemerintah supra-Desa. Kepala Desa menunggu arahan Kepala Dinas PMD Ngada untuk program-program pembangunan Desa yang berorientasi pada SDGs Desa.
Ketiadaan Peta Jalan SDGs Desa bukan berarti Desa bersikap pasif. Desa menyusun peta sosial desa yang mencakup pembuatan kalender musim atau diagram ven untuk mengetahui kelembagaan yang memiliki kaitan erat dengan urusan yang telah dibahas dan diputuskan bersama. Dari pembuatan peta sosial ini kemudian akan diperoleh jumlah penduduk miskin, penduduk sakit, penduduk hamil dan lainnya. Selain itu dari proses pemetaan ini sekaligus akan diperoleh usulan berdasarkan kondisi lapangan. Anggaran untuk proses pendataan dan pengumpulan usulan ini di dalam APB Desa 2019-2024 telah dianggarkan sebesar Rp. 7.000.000, atau Rp. 1.400.000,00 per tahun.
Pada umumnya kegiatan yang dibiayai adalah kegiatan pembangunan fisik, misalnya saluran irigasi, pipanisasi, dan lainnya. Sampai saat ini, peningkatan pendapatan sebagai dampak kegiatan pembangunan Desa belum didata oleh pemerintah Desa.
Institusi Adat “Lokatua Matapi”
Kepala Desa Dadawea yang eksis saat ini sebenarnya merupakan pilihan masyarakat secara adat yang dilakukan secara adat “Lokatua Matapi”. Suatu forum tetua adat yang membahas kehidupan masyarakat Desa yang dilakukan secara demokrasi-adat. Perwakilan kelompok agama dan Kepala Desa Dadawea menjelaskan ringkas tentang makna demokrasi adat yang sebenarnya mendekati demokrasi-komunitarian dan kolektivisme. Semua orang bisa menyampaikan pendapatnya untuk dibahas dalam forum adat demi kebaikan bersama. Diskusi dalam Lokatua Matapi ini tidak akan selesai sebelum semua topik yang diajukan belum selesai dibahas dan disepakati secara kolektif.
Musyawarah Desa dilaksanakan di aula desa dan warga Desa menyampaikan berbagai usulan dan masukan. Tak bisa dipungkiri bahwa pagu Dana Desa yang ditentukan oleh pusat di masa pandemi Covid-19 secara umum akan mengarahkan masyarakat Desa akan ikut pada keputusan dan arahan pemerintah supra-Desa. Kepala desa mencermati diskusi yang biasa dilakukan oleh masyarakat setelah musyawarah Desa. Diskusi bebas ini akan memunculkan kesan-kesan persetujuan masyarakat terhadap hasil keputusan musyawarah atau sebaliknya rencana pembangkangan.
Beberapa tahun ini “Lokatua Matapi” dilakukan setelah dilakukan Musdes. Bertempat di halaman tetua adat dan biasanya akan dihadiri oleh ketua adat, tokoh agama, perangkat desa dan perwakilan masyarakat yang berkepentingan. Kegiatan ini tidak dijadwalkan kapan akan dilaksanakan, namun saat ada beberapa orang ada di halaman ketua adat sambil membawa minuman tuak dan membuat perapian, nanti secara bergantian warga desa akan berkumpul. Para perempuan akan menata makanan yang dibawa masyarakat sambil ikut diskusi, sementara yang memiliki cadangan tuak di rumahnya akan dibawa untuk diminum bersama sambil diskusi. “Tuak yang bertuah kolektivisme dan demokrasi komunitarian”.
Institusi “Lokatua Matapi” , “Zio Milo Rasi Zia”, dan “Reba Gua Pana” bisa disebut sebagai institusi demokrasi deliberatif yang menekankan voicing dan bukan voting. Institusi adat ini memiliki karakteristik menopang proses perencanaan pembangunan Desa. Hingga saat ini belum ada upaya untuk memasukkan kegiatan adat di dalam kegiatan desa, kecuali upacara adat yang diselenggarakan setiap tahun. Upacara adat dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada struktur kolektif adat yang eksis. Hal pertama yang dilakukan adalah membersihkan rumah-rumahan kecil yang disusun sesuai struktur kolektif adat, lalu dilakukan pembicaraan para tetua adat dan makan bersama. Ini hanya kegiatan yang dianggap sebagai ritual dengan tidak memasukkan permasalahan masyarakat secara khusus. Materi perbincangan yang dibahas adalah kohesivitas sosial di antara warga Desa.
Di dalam Desa Dadawea terdapat tanah berdasarkan hak asal usul, yaitu watu tana yang dikelola secara kolektif oleh Desa Dadawea seluas 36 hektar. Tanah ini digunakan oleh masyarakat Dadawea untuk kegiatan pertanian. Awalnya ditanami kopi arabika namun di masa pandemi Covid-19 produksinya cenderung menurun. Status tanah kolektif ini memerlukan advokasi sebagai bagian dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul sehingga proyek pembangunan berskala besar dari luar Desa tidak mudah untuk mematoknya tanpa menghormati tanah leluhur watu tana.
Di dalam FGD Penilaian Kebijakan ini masyarakat Desa mengajukan usul: adat “Lokatua Matapi” dijadikan norma hukum dan masuk di dalam peraturan kabupaten, karena adat yang mengajarkan perbincangan bebas dan komunikatif itu lebih menguatkan masyarakat dan merupakan bagian dari Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul.
BUM Desa: Antara Instruksi Supra-Desa dan Prakarsa Desa
BUM Desa terkesan masih dibentuk sesuai dengan arahan dari Pemerintah supra-Desa. Ini sebenarnya kerugian besar bagi gerakan ekonomi berskala lokal Desa. Desa tidak sepenuhnya mengambil keputusan lokal untuk berprakarsa membentuk jenis usaha yang mengkosolidasi usaha warga Desa.
Setiap tahun terdapat penyertaan modal Desa kepada BUM Desa. Pembagian hasil usaha ke akun Pendapatan Asli Desa belum ada karena jenis usaha yang dilakukan oleh BUM Desa masih tahap awal konsolidasi. Mayoritas jenis usaha BUM Desa adalah perdagangan melalui toko bahan pokok dan toko bangunan. Perkembangan bisnisnya pun masih jauh dari harapan. Ketua organisasi Karang Taruna Desa Dadawea menyatakan, belum ada tambahan barang yang akan dijual di toko.
Desa Melayani Kesehatan Berskala Lokal
Pada umumnya masyarakat tidak memahami arti stunting, kecuali hanya hanya anak pendek atau kekurangan gizi. Menurut perwakilan dari masyarakat Desa Dadawea, kondisi anak dari dahulu sampai sekarang tidak banyak berubah. Ia heran ketika anak-anak yang baru dilahirkan itu disebut menderita stunting. Ini bisa dipahami karena penanganan stunting lebih mendekati kewenangan penugasan sektoral kepada Desa daripada kewenangan lokal berskala Desa. Titik tengahnya adalah masyarakat Desa memeriksakan anak secara berkala kepada Bidan Desa. Anak-anak mendapat asupan makanan bergizi dengan menggunakan bahan lokal.
Kejadian wabah covid-19 tidak banyak berpengaruh di Desa Dadawea karena tidak banyak korban Covid-19. Masyarakat hanya mengikuti arahan supra-Desa dan pemerintah Desa untuk tidak keluar rumah walaupun kesulitan untuk menjalaninya. Masyarakat Dadawea adalah masyarakat petani yang hidupnya di ladang, sehingga jika dilarang ke ladang mereka akan kehilangan pola nafkah.
Dari pembuatan peta sosial desa partisipan FGD menjelaskan hasil diidentifikasi penduduk Desa yang dikategorikan miskin, sakit, ibu hamil, anak-anak di bawah usia 2 tahun dan lain sebagainya. Dari pendataan ini kemudian disepakati siapa yang akan diberikan bantuan baik berupa santunan atau pembangunan fasilitas. Bentuk dukungan yang dilaksanakan misalnya alat kesehatan untuk Posyandu sebesar Rp. 20.000.000,- termasuk alat kesehatan lainnya. Warga Desa memperoleh kemudahan untuk tidak berobat ke Puskesmas yang cukup jauh posisinya di Golewa.
Modal Sosial Desa Masih Kokoh Bertahan
Desa Dadawea yang ditopang adat yang kokoh cenderung tidak mengalami konflik antar kelompok masyarakat. Modal sosial berupa ikatan sosial adat ini didukung pelestarian tradisi lokal seperti upacara penghormatan yang dipimpin oleh tetua adat untuk menghormati para leluhur Desa setiap tahun sekali.
Ikatan sosial warga Desa itu berkembang secara outward looking. Warga Desa menjaga mata air yang digunakan oleh beberapa Desa. Selain melimpahnya air, warga Desa menanam jagung, dan tidak pernah menghadapi masalah iklim yang ekstrem dan pengaturan yang rumit untuk mengairi kebun-kebun rakyat Desa. Tradisi gotong royong masih hidup. Setiap ada pertemuan atau kegiatan pembangunan skala lokal Desa beberapa warga menyumbang daun labu, telor, ayam dan tenaga untuk memasak. Makanan berlimpah disajikan dari, oleh dan untuk warga Desa.
Ekonomi Desa tumbuh-kembang secara subsisten. Keuangan Desa berdampak pada jalan Desa semakin bagus tetapi toko-toko milik wirausahawan Desa belum berkembang pesat. Hasil dari kebun dibawa ke pasar Desa tetapi pendapatan warga Desa tidak bertambah.
Masyarakat Desa meminta agar pemerintah Desa jangan diatur-atur dengan tidak teratur, karena menyulitkan jadwal pemerintah Desa. Maksudnya kalau ada yang harus dilakukan oleh Desa, pemerintah supra-Desa jangan “memberikan perintah” pada pertengahan tahun. Pihak kementerian dan pemerintah kabupaten seringkali meminta Desa melakukan “ini, itu”. Akibatnya tidak ada waktu bagi masyarakat Desa untuk membangun Desanya.
Menjaga Mata Air di Tengah Hutan
Warga Desa Dadawea sudah terbiasa menggunakan teknologi komunikasi melalui handphone android untuk berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp maupun menonton tayangan di kanal YouTube. Pengguna teknologi komunikasi mayoritas keluarga muda dan sebagian remaja.
Keberadaan sinyal internet setidaknya mendukung beberapa kegiatan kewirausahaan di Desa, antara lain:
- Pengelolaan PAM Desa sebagai Usaha Desa
- Pengadaan Kios Daging yang dianggarkan Rp. 50.000.000,-
- Pengadaan Bibit Jahe untuk masyarakat yang dianggarkan Rp. 100.000.000,-
- Pembangunan gedung BUM Desa yang dianggarkan Rp. 200.000.000,-
- Pengadaan benih brenebon yang dianggarkan Rp. 500.000,-
- Pembangunan kandang babi yang dianggarkan Rp. 500.000.000,-
- Pengadaan iris makanan babi yang dianggarkan Rp. 500.000.000,-
- Pengadaan ternak yang dianggarkan Rp. 500.000.000,-
- Pengadaan benih hortikultura Rp. 500.000.000,-
Sampai saat ini BUM Desa Bo Liwaja di Desa Dadawea belum menunjukkan perkembangan laba usaha yang dibagikan sebagai Pendapatan Asli Desa. Keberadaan BUM Desa lebih memberikan manfaat sosial (social benefit) bagi masyarakat Desa yang pola penghidupannya pertanian dan peternakan. Dalam dokumen RPJM Desa tercantum jumlah PADesa Dadawea Rp. 285.415.510,00, tidak termasuk pendapatan dari hasil usaha (laba) yang dibagikan oleh BUM Desa kepada Pemerintah Desa.
Ide pengembangan kegiatan PAM Desa dan kegiatan lingkungan lainnya (mengatasi genangan air, rumput yang tinggi, kebersihan lingkungan dan taman Desa) terhubung dengan kondisi mata air. Setelah FGD selesai dilaksanakan, Pak Anthon Kepala Desa Dadawea mengatakan akan melakukan penataan mata air yang berada di wilayah hutan Desa Dadawea. Menurut Pak Anthon, hutan ini milik suku yang mendiami Desa Dadawea. Tradisi telah mengajarkan bahwa air yang muncul dari tanah ini bisa dinikmati oleh siapa pun dan menjadi pantangan bila dikenakan tarif. Pak Anthon bersama pemuda desa menanam pohon di sekitar mata air. Mereka masih intens berkomunikasi dengan pendamping Desa tentang pengelolaan air minum.
Pengambilan keputusan tersebut tidak bisa berjalan cepat karena mata air akan beresiko dikuasai oleh pemilik modal dan kemudian dijual kepada warga Desa. Langkah paling praktis adalah Desa melindungi mata air dari leluhur itu dan dijaga sepenuhnya agar tidak menjadi “air mata” bagi rakyat Desa.
Bersambung ke penilaian berbasis bukti di Bulungan, Kalimantan Utara.(*)