MenDESAkan Perhutanan Sosial (Bagian Ke-1)
MediaVanua.com ~ Kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial melalui BUM Desa tidak berjalan dengan lancar. Praksis kebijakan ini memerlukan kesadaran kolektif bahwa Desa yang di dalamnya terdapat Hutan perlu dilembagakan dalam Desa secara utuh dan tidak memperhadapkan pemerintah Desa dan kelompok masyarakat Desa yang berjuang atau telah memperoleh izin perhutanan sosial. Penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial terlalu sempit bila dihadapkan pada sistem Desa secara utuh. Gagasan dalam serial tulisan ini merupakan rancang-biru untuk panduan yang implementatif yakni dialektika antara “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan” menjadi “Mendesakan Perhutanan Sosial”. Konsekuensinya, advokasi Desa dan kerjasama Desa berada dalam skala rendah, moderat dan tinggi.
Bagian pertama tulisan ini menguraikan isu dan masalah kebijakan tentang Desa dan kebijakan tentang hutan yakni diskoneksi dan tarik menarik antar kebijakan, Daftar Kewenangan, dan aktor perhutanan sosial di Desa.
Diskoneksi dan Tarik Menarik
Masalah yang dihadapi oleh pemerintahan Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), BUM Desa Bersama (BUM Desma), kelompok tani dan pengelola perhutanan sosial teridentifikasi secara mendasar pada level paradigmatik.
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa, Direktorat Jenderal PPMD, Kementerian Desa pada akhir tahun 2020 menyelenggarakan pertemuan (workshop) tentang konflik regulasi tentang hutan, tambang, pesisir dan perkebunan. Tema reforma agraria dan perhutanan sosial menjadi topik perbincangan utama agar Desa bergegas melakukan implementasi kebijakan tersebut. Rekomendasi hasil pertemuan itu belum terlaksana sepenuhnya karena terjadi perubahan struktur organisasi Kementerian Desa PDTT yang berlangsung sepanjang tahun 2020-2021.
Tepat pada tahun 2021 Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan, reinkarnasi dari Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa pada masa sebelumnya, kembali mengangkat sebagian dari hasil pertemuan workshop konflik regulasi. Isu konflik regulasi antara kebijakan regulasi Desa dan regulasi hutan dipilih terlebih dahulu untuk diperdalam pada tahun 2022 dengan pertimbangan bahwa kebijakan perhutanan sosial lebih cepat terimplementasi di Desa, prioritas Presiden, dan Kementerian Desa PDTT telah menerbitkan kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial melalui BUM Desa dan BUM Desma. Dari rangkaian dialog yang dilakukan oleh Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan baik dialog di Desa maupun dialog bersama Organisasi Non-Pemerintah teridentifikasi persoalan yang mendasar pada hubungan antara kebijakan tentang Desa dan hutan.
Kebijakan tentang Desa dan hutan tidak terkonsolidasi secara utuh atau terjadi diskoneksi. Diskoneksi terjadi antara kebijakan “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan” (Sutoro Eko, t.t.). Dalam praktik kebijakan “Menghutankan Desa” para praktisi kehutanan berupaya melakukan intervensi terhadap Desa tanpa melihat Desa secara utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum maupun pemerintahan yang bermasyarakat dan masyarakat yang berpemerintahan, sementara praktisi “Mendesakan Hutan” terlalu fokus mengurus isu pemerintahan Desa, pembangunan Desa, dan kemasyarakatan Desa di kawasan perhutanan tanpa menyentuh hutan secara konkret. Diskoneksi ini berlangsung terus menerus meskipun hutan selalu dekat dengan kehidupan Desa.
Kebijakan “Menghutankan Desa” menegaskan bahwa secara konstitusional hutan merupakan kekuasaan negara, bukan kekuasaan daerah dan apalagi kekuasaan Desa. Di sisi lain Desa maupun organisasi masyarakat adat melakukan advokasi bahwa Hutan Desa dan Hutan Adat merupakan hak milik mereka atau basis kehidupan dan basis penghidupan mereka sebagai warisan leluhur sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia eksis.
Kebijakan “Menghutankan Desa” bersifat sektoral, sentralistik, birokratis, hirarkis dan program/proyek perizinan. Pendekatan sektoral itu tidak sensisitif pada lokalitas, meminggirkan dan melemahkan Desa, menciptakan pemiskinan, ketertinggalan dan pemicu urbanisasi. Cara pandang kebijakan “Menghutankan Desa” didasari bahwa institusi, orang, masyarakat lokal, termasuk Desa identik dengan manusia yang bodoh, rakus dan merusak hutan.
Kebijakan “Menghutankan Desa” menciptakan fragmentasi antara Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Hutan Desa dikelola oleh “lembaga Desa” dan Hutan Kemasyarakatan dikelola oleh kelompok masyarakat yang dibentuk secara korporatis. Hutan Desa bersifat residual yakni hutan yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan untuk bentuk pengelolaan lain. Desa hanya menerima residu atau sisanya-sisa hutan dari hak kelola baik oleh negara maupun swasta.
Momentum baru ditunjukkan melalui putusan dari kekuasaan yudisial bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 mengembalikan Hutan Adat dari tangan negara menjadi milik masyarakat hukum adat. Diskusi yang berlangsung di lingkungan Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaaan justru mengungkap fenomena lain dari aktivis masyarakat adat bahwa Hutan Adat itu masih bertambah lagi prosedur administrasi hukumnya untuk menjadi Hutan Hak sehingga masyarakat adat tidak otomatis menikmati haknya atas Hutan Adat. Momentum baru tersebut mengalami halangan dari sisi administrasi hukum sehingga putusan kekuasaan yudisial tidak serta merta terlaksana untuk menuntaskan hak masyarakat adat secara nyata.
Momentum baru lainnya ditunjukkan dengan terbitnya UU No. 6/014 tentang Desa yang menegaskan eksistensi Desa dan Desa Adat, sistem pemerintahan dan tata kelola Desa, kewenangan Desa (kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa, kewenangan penugasan dari pusat ke Desa, dan kewenangan penugasan lain), aset Desa, keuangan Desa, pembangunan Desa, perencanaan dan penganggaran Desa. Misi besar dari UU Desa adalah membangun Desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis sebagai landasan yang kokoh untuk pencapaian kesejahteraan rakyat. Diskursus normatif UU Desa memang belum secara eksplisit mengatur “Hutan Desa” untuk segera direbut Desa agar beralih menjadi hak milik Desa”. Diskursus normatif UU Desa baru menegaskan bahwa “Hutan Milik Desa” menjadi salah satu Aset Desa, namun demikian pengaturan tentang “Hutan Milik Desa” itu mengandung pesan-pesan advokasi di masa depan untuk “Mendesakan Hutan Desa”.
Dalam kebijakan Desa yang dilegitimasi UU Desa maka Desa harus dipandang secara utuh, tak terkecuali dalam pertautannya dengan perhutanan sosial. Desa bukan sekadar masyarakat, wilayah administratif, pemerintah Desa, kepala Desa dan bahkan bukan sekedar “lembaga Desa” seperti yang dianut oleh aturan hukum kehutanan. Posisi pemerintah Desa dan masyarakat Desa sudah tidak tepat untuk diperhadapkan. Desa adalah entitas hukum, sosial dan politik, seperti “negara kecil” yang memiliki wilayah, kekuasaan, pemerintahan, kewenangan, rakyat, masyarakat dan sumberdaya.
Diskursus pragmatis kebijakan pada tahun 2019 telah berupaya mengurangi diskoneksi antara kebijakan “Menghutankan Desa” dan “Mendesakan Hutan”. Kebijakan prioritas penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial diterbitkan sebagai salah satu opsi kebijakan bagi Desa, meskipun perhutanan sosial tidak berbasis Desa tetapi berbasis Hutan Desa. Isu kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial pada tahun 2022 juga diandaikan dapat berjalan dengan cepat di Desa, tetapi senyatanya masih belum dijumpai praktik yang mengemuka perihal modal BUM Desa yang digunakan untuk kerjasama usaha dengan pengelola perhutanan sosial.
Isu kebijakan penggunaan Dana Desa untuk perhutanan sosial akhirnya terlalu sempit dibandingkan dengan diskursus normatif UU Desa yang mengalir mulai dari kewenangan, perencanaan, penganggaran dan agenda advokasi di masa depan.
Daftar Kewenangan
Faktor penyebab masalah minimnya penggunaan keuangan Desa unuk perhutanan sosial adalah Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa yang belum melembagakan pengelolaan perhutanan sosial.
Perhutanan sosial belum sepenuhnya terlegitimasi secara legal dalam Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Penyusunan peraturan Desa tentang Daftar Kewenangan mayoritas dilakukan secara cepat dan meniru (copy paste) dari suatu rancangan aturan yang bersifat umum (template), sehingga Desa yang di dalam wilayahnya terdapat hutan tidak melembagakan perhutanan sosial sebagai bagian dari kerangka pengaturan Daftar Kewenangan.
Kebijakan perhutanan sosial yang tidak masuk ke dalam Daftar Kewenangan berakibat pada perhutanan sosial gagal menjadi otoritas, milik dan tanggung jawab Desa, sehingga Desa tidak berkesadaran untuk kuat dan mandiri dalam mengelola hutan.
Kebijakan perhutanan sosial belum sepenuhnya pula terlembagakan sebagai salah satu tugas atau kewenangan yang dilegitimasi dengan peraturan bupati tentang kewenangan Desa, sehingga perhutanan sosial belum menjadi konsensus antara pemerintah daerah dan Desa.
Musyawarah Desa juga sangat minim membahas dan menyepakati pengelolaan perhutanan sosial sehingga agenda perhutanan sosial tidak masuk ke dalam perencanaan dan penganggaran Desa.
- Perencanaan Desa bersifat tunggal dengan wadah RPJM Desa dan RKP Desa tetapi agenda perhutanan sosial belum masuk ke dalam wadah tersebut.
- Perencanaan Desa pada hakekatnya bukan mengusulkan program dan rencana anggaran ke atas (pemerintah pusat) tetapi mengambil keputusan lokal. Apabila pola perizinan usaha perhutanan sosial masih berorientasi ke atas (pemerintah pusat), maka pengambilan keputusan lokal-kolektif di Desa dipastikan minim terkait pengelolaan perhutanan sosial.
- RPJM Desa masih minim dilakukan perubahan agar melembagakan perhutanan sosial sebagai bagian dari pengambilan keputusan lokal tentang perencanaan dan penganggaran Desa.
- Dana Desa dari APBN maupun Alokasi Dana Desa dari APBD merupakan hak Desa yang dianggarkan ke dalam APB Desa. Agenda perhutanan sosial selama ini belum sepenuhnya terlembagakan ke dalam APB Desa, sehingga institusi BUM Desa maupun institusi Desa lainnya tidak terkonsolidasi untuk mengelola perhutanan sosial pada skala lokal Desa.
Aktor Perhutanan Sosial di Desa
Faktor penyebab masalah minimnya penggunaan keuangan Desa unuk perhutanan sosial adalah aktor perhutanan sosial di Desa masih didominasi oleh kelompok masyarakat di Desa atau lembaga Desa tertentu daripada Desa secara utuh.
Subjek pemohon izin perhutanan sosial adalah kelompok masyarakat di Desa dan bukan kelompok masyarakat yang dilegitimasi secara legal sebagai salah satu jenis lembaga kemasyarakatan Desa.
Kerangka pengaturan tentang perhutanan sosial pada tahun 2021 memang telah membuka peluang bagi BUM Desa untuk ikut serta dalam perhutanan sosial tetapi tidak semua BUM Desa tertarik untuk bekerjasama dengan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan lainnya. Aktor perhutanan sosial di Desa seperti BUM Desa masih menilai bahwa urusan mengatur dan mengurus sumber kehidupan-penghidupan masyarakat Desa di hutan itu belum tentu untung, takut rugi, ilegal, takut dihukum dan lebih baik menunggu perintah dari pemerintah supra-Desa.
Rangkaian dialog yang diselenggarakan Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan telah mengidentifikasi aktor pemangku kepentingan (stakeholder) dan aktor kerjasama usaha (shareholder) perhutanan sosial:
- Aktor pemangku kepentingan (stakeholder) perhutanan sosial di Desa teridentifikasi lebih luas yakni mencakup pemerintah Desa, BPD, lembaga adat Desa, kelompok tani, kelompok tani hutan, kelompok wanita tani di Desa, pendamping Desa (terutama Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa), pendamping perhutanan sosial, pendamping UMKM, KUPS, kelompok sadar wisata, dan BUM Desa.
- Aktor kerjasama usaha perhutanan sosial (shareholder) yang berpotensi untuk berbagi modal dan berbagi hasil meliputi perusahaan sawit, Perhutani, perusahaan pertambangan, pembeli produk dari hasil perhutanan sosial (offtaker) dan korporasi lain yang terbuka untuk melakukan kerjasama Desa dan/atau penguatan kerjasama usaha BUM Desa dan KUPS.
Kerangka kepengaturan (regulatory framework) perhutanan sosial yang berdesa memerlukan konsolidasi antara aktor pemangku kepentingan dan aktor kerjasama usaha.
(Bersambung)