MenDESAkan Perhutanan Sosial (Bagian Ke-3)

MediaVanua.com ~ Pemerintahan Desa dan masyarakat Desa pada prinsipnya memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam implementasi keuangan Desa untuk perhutanan sosial, sehingga tujuan panduan diidentifikasi ulang dalam kerangka advokasi skala rendah, moderat dan tinggi. Bagian tulisan ini menguraikan secara ringkat tentang variasi antara skala advokasi tersebut dalam bentuk tahapan tindakan komunikatif di Desa.
A. Informasi kepada Desa
Isi panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial pada konteks advokasi skala rendah adalah menginformasikan kepada Desa bahwa Dana Desa (keuangan Desa dalam pengertian sempit) bisa digunakan untuk penyertaan modal kepada BUM Desa, dan selanjutnya digunakan untuk melakukan kerjasama usaha dengan organisasi kelompok masyarakat yang telah memperoleh izin perhutanan sosial, sebagaimana terdapat dalam fakta penetapan perhutanan sosial (seluas 782.157 ha per tahun 2022) berikut ini:
- Surat Keputusan Menteri LHK NO. SK-287/Menlhk/Setjen/PLA.2/4/2022, 15 April 2022, yang telah menetapkan Kawasan Hutan Pengelolaan Khusus (KHDPK) seluas 1.103.943 Ha yang terdiri atas:
- Perhutanan sosial (782.157 Ha) yang di dalamnya terdapat IPHPS (33.159 Ha), Kulin KK Definitif (212.062 Ha), PIAPS Indikatif (536.385 Ha), dan Hutan Adat (561 Ha);
- Penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan (17.276 Ha);
- Penggunaan kawasan hutan (30.808 Ha);
- Rehabilitasi Hutan (81.348 Ha);
- Perlindungan Hutan (166.470 Ha); dan
- Pemanfaatan Jasa Lingkungan (25.884 Ha).
- Capaian kebijakan perhutanan sosial sampai dengan 1 September 2022 yang realisasinya 5.077.086,80 Ha pada kurang lebih 1.115.678 KK dan 7.678 Unit SK Ijin/Hak, terdiri atas:
- Skema Hutan Desa 2.013.017,21 Ha dengan jumlah SK 1.177 unit;
- Skema Hutan Kemasyarakatan 916.414,60 Ha dengan jumlah SK 2.001 unit;
- Skema Hutan Tanaman Rakyat 355.185,08 dengan jumlah SK 2.997 unit;
- Skema Kemitraan Kehutanan KULIN KK 571.622,38 Ha dengan jumlah SK 1.120 unit;
- Skema Kemitraan Kehutanan IPHPS 34.789,79 Ha dengan jumlah SK 95 unit;
- Skema Hutan Adat 1.196.725,01 Ha dengan jumlah SK 89 unit (penetapan Hutan Adat 75.802 Ha dan indikatif hutan adat 1.091.109 ha).
Isi panduan akan menghadapi masalah data tentang posisi BUM Desa di wilayah skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan kemitraan kehutanan KULIN KK karena data perhutanan sosial tidak berbasis Desa. Alternatif kebijakan yang dilakukan oleh Direktorat Advokasi dan Kerjasama Desa dan Perdesaan adalah mengusulkan perubahan dan/atau penambahan kuisioner data Indeks Desa Membangun (IDM) yang fokus pada sumber kehidupan-penghidupan masyarakat Desa terhadap hutan di wilayah Desa tersebut.
B. Perubahan Daftar Kewenangan dan Dokumen Perencanaan
Isi panduan dalam kerangka advokasi skala moderat menginformasikan kepada Desa tentang pentingnya Desa untuk melembagakan skema perhutanan sosial ke dalam:
- Peraturan Desa perubahan tentang Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, terutama pelembagaan Hutan Desa dan Hutan Adat.
- Peraturan Desa perubahan tentang RPJM Desa, termasuk pelembagaan Hutan Desa untuk perdagangan karbon dan Hutan Adat/Hak
- Peraturan Desa tentang APB Desa.
- Skala Rendah:
- Klasifikasi Belanja: Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.)
- Skala Moderat:
- Klasifikasi Belanja: Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.)
- Klasifikasi Belanja: Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa
- Sub-bidang: Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2.5), Pelatihan/Sosialisasi/Penyuluhan/Penyadaran tentang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2.5.03)
- Skala Tinggi:
- Klasifikasi Belanja: Penyertaan Modal kepada BUM Desa (6.2.2.)
- Klasifikasi Belanja: Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa
- Sub-bidang: Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2.5), Pengelolaan Hutan Milik Desa (2.5.01), Pengelolaan Lingkungan Hidup Desa (2.5.02), Pelatihan/Sosialisasi/Penyuluhan/Penyadaran tentang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2.5.03)
- Skala Rendah:
C. Perubahan Program Kerja BUM Desa: Kerjasama Usaha Perhutanan Sosial, Bukan “Unit Usaha” Perhutanan Sosial
Implementasi penggunaan Dana Desa untuk penyertaan modal BUM Desa dalam menjalankan jenis-jenis usaha dalam skema perhutanan sosial masih sulit ditemukan dan belum terdapat data yang terkonsolidasi. Ini disebabkan karena BUM Desa/BUM Desma yang berada di Desa/Kawasan Perdesaan yang di dalamnya terdapat hutan belum sepenuhnya memahami kebijakan perhutanan sosial yang berpeluang menjadi jenis usahanya. Di lain pihak organisasi kelompok masyarakat yang aktif dalam perhutanan sosial belum memahami bahwa Dana Desa bisa digunakan untuk perhutanan sosial sejak tahun 2019.
Dana Desa yang mengalir kepada BUM Desa pada tahun 2019 secara faktual berhasil digunakan untuk mengelola perhutanan sosial, tetapi kesalahpahaman tentang term hukum “Unit Usaha” pada aktor BUM Desa setempat berakibat pada Kelompok Pengelola Hutan Desa (baca: KUPS) menjadi “Unit Usaha BUM Desa” (Laksemi,2019). BUM Desa dan kelompok tani pengelola Hutan Desa mengalami kontradiksi karena masing-masing mempunyai norma kelembagaan tersendiri (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) sehingga berakibat tidak ada pembagian kerja, kewajiban dan hak yang operasional. Ketika terjadi kasus penyalahgunaan lahan semisal praktik pertanian bunga di dalam Hutan Desa maka BUM Desa belum bisa menindak tegas perilaku tersebut.
Selain itu term “Unit Usaha” secara yuridis berarti BUM Desa membentuk badan usaha (berbentuk badan hukum perseroan terbatas) dengan komposisi modal yang dikuasai oleh BUM Desa, sedangkan kelompok tani pengelola hutan Desa bukanlah badan usaha yang berada pada lingkup term “Unit Usaha” BUM Desa tersebut, dan apalagi, belum tentu ada modal 51% BUM Desa lebih pada KUPS tersebut. Fenomena empiris ini bila diinformasikan secara normatif dan evaluatif, maka KUPS tidak mengalami peningkatan status badan usaha menjadi BUM Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 Permen LHK a quo tetapi justru KUPS menjadi “Unit Usaha BUM Desa” yang fiksi dan gagal bekerjasama satu sama lain.
Usaha Perhutanan Sosial telah menjadi mata pencaharian utama bagi kelompok tani (Puspitasari et.al.,2019). Besaran pendapatan usaha pada sebagian kelompok Perhutanan Sosial antara Rp 25.000.000,00 sampa dengan Rp 75.000.000,00 per bulan, dan bahkan bisa lebih. Berbeda dengan informasi-empiris sebelumnya, BUM Desa dan kelompok tani ini mengelola usaha Perhutanan Sosial masing-masing sesuai dinamika kelembagaannya.
Studi Ekonomi Pertahanan di Desa Pantai Bakti, Muara Gembong, Bekasi, misalnya, menyatakan bahwa antara BUM Desa dan kelompok tani “Mina Bakti” satu sama lain bergerak pada jenis usaha yang berbeda meskipun Desa Pantai Bakti merupakan lokasi usaha Perhutanan Sosial. Usaha tambak yang dikelola oleh kelompok tani belum terpadukan melalui kerjasama usaha antara kelompok tani dan BUM Desa, termasuk penanaman mangrove untuk menjaga lingkungan juga belum menjadi prakarsa bersama. Fenomena empiris ini bila diinformasikan secara normatif dan evaluatif, maka KUPS tidak harus meningkat status badan usahanya sebagai BUM Desa, tetapi yang diperlukan adalah kemampuan BUM Desa untuk mempunyai kemampuan keuangan yang stabil agar penyertaan modal dari Desa dan/atau masyarakat Desa bisa menjadi modal untuk kerjasama usaha dengan kelompok tani.
D. Pendampingan Teknis (Coaching Clinic): Proyeksi Kerjasama Usaha
Kementerian Desa PDTT menerbitkan kebijakan tentang legalitas penggunaan Dana Desa untuk pemanfaatan potensi wilayah hutan dan optimalisasi perhutanan sosial cq. Bab II Huruf B Pemulihan Ekonomi Nasional Sesuai Kewenangan Desa dalam Permendesa PDTT No. 8 Tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023.
Aturan kebijakan ini secara teknokratik mengatur salah satu prioritas penggunaan Dana Desa untuk pengembangan usaha dan/atau unit usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan pada pembentukan dan pengembangan produk unggulan Desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: pengelolaan hutan Desa, pengelolaan hutan adat, dan lain sebagainya.
Salah satu opsi kebijakan yang tersedia adalah membuka peluang bagi BUM Desa untuk berperan sebagai salah satu mitra usaha untuk pengelolaan Perhutanan Sosial.
BUM Desa harus mempunyai kecukupan modal yang bersumber dari APB Desa, khususnya Dana Desa, dan mempunyai laporan keuangan yang sehat pada periode 2 (dua) tahun terakhir sebelum pengajuan-diri sebagai calon mitra usaha dalam skema kerja sama usaha Perhutanan Sosial.
Fenomena kebijakan tersebut secara normatif diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Aturan kebijakan ini secara normatif melaksanakan norma delegatif pada Pasal 247 PP No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan membuka peluang bagi BUM Desa dengan ketentuan sebagai berikut:
- Penguatan kapasitas kelembagaan KUPS yang mana salah satunya menyatakan bahwa peningkatan status badan usaha KUPS dapat berupa pembentukan koperasi atau BUM Desa (Pasal 118 Peraturan Menteri LHK a quo).
- BUM Desa terkategori sebagai mitra usaha dalam kerja sama usaha Perhutanan Sosial (Pasal 144 Peraturan Menteri LHK a quo)
- BUM Desa terkategori sebagai calon mitra usaha Perhutanan Sosial, bersama-sama dengan calon mitra usaha dari unsur perorangan, koperasi, BUMD, BUMN, BUMS, yang disyaratkan mempunyai laporan keuangan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir dengan kategori baik (Pasal 145 Peraturan Menteri LHK a quo)
- BUM Desa terbuka peluang untuk menyusun naskah kerja sama pengembangan usaha dengan cara bahwa BUM Desa (sebagai salah satu kategori subjek mitra usaha) mengajukan permohonan kerja sama usaha kepada KPS/KUPS, KPS/KUPS meminta persetujuan dari kepala UPT, dan KPS/KUPS dan mitra usaha membuat naskah kerjasama usaha (Pasal 146 Permen LHK a quo).
Syarat khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial itu menekankan bahwa laporan keuangan BUM Desa dalam dua tahun terakhir dalam kategori baik. BUM Desa disyaratkan mempunyai laba yang cukup untuk membiayai jenis-jenis usaha dalam perhutanan sosial.
Isi panduan advokasi dan kerjasama Desa untuk perhutanan sosial ini lebih tepat tertuju pada pendampingan teknis (coaching clinic) kepada BUM Desa agar memenuhi syarat tersebut, dengan cara memastikan:
- Jenis usaha yang terkait dengan usaha perhutanan sosial dalam Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa termasuk Lampiran Anggaran Dasar BUM Desa
- Peraturan Kepala Desa tentang Anggaran Rumah Tangga BUM Desa
- Rencana Program Kerja BUM Desa yang menambahkan pola kerjasama usaha, rencana perjanjian kerjasama usaha, proyeksi keuangan (neraca, laba/rugi, arus kas, penghitungan investasi) tentang perhutanan sosial.
Kebijakan tentang Desa, Dana Desa dan perhutanan sosial telah tersedia namun belum disertai panduan advokasi dan kerjasama Desa yang berorientasi coaching clinic. Proses pendampingan yang dijalankan oleh struktur organisasi pendamping Desa dan pendamping perhutanan sosial masih berjalan sendiri sesuai protokol masing-masing, sehingga isi panduan ini penting untuk dipahami dan menjadi inspirasi bagi dua kekuatan pendampingan Desa dan perhutanan sosial.
Isi panduan lebih tepat bersifat teknis tanpa meninggalkan aspek edukasi, fasilitasi dan asistensi terhadap BUM Desa dan organisasi masyarakat pengelola perhutanan sosial. Panduan tersebut mengajak BUM Desa dan organisasi masyarakat pengelola perhutanan sosial untuk menatap masa depan, minimal pada durasi tiga puluhan tahun masa berlaku izin usaha perhutanan sosial, menyingkirkan hambatan administrasi hukum, fasilitasi kerjasama, dan memotivasi para pihak tersebut untuk menyadari tujuan kolektifnya di Desa.
E. Musyawarah Desa
Advokasi berskala rendah mensyaratkan prosedur demokrasi lokal bahwa kegiatan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desma tersebut dijalankan sesuai kewenangan Desa dan diputuskan dalam Musyawarah Desa. Dengan demikian BUM Desa dan/atau BUM Desma secara normatif absah dan sahih untuk mengelola pemanfaatan potensi wilayah hutan dan optimalisasi perhutanan sosial, dan bahkan, pengelolaan hutan yang menjadi sumber Tanah Objek Reforma Agraria untuk program kesejahteraan masyarakat.
Advokasi berskala moderat mensyaratkan Musyawarah Desa yang membahas perubahan peraturan di Desa tentang daftar kewenangan dan RPJM Desa yang melembagakan perhutanan sosial.
BPD memegang peran penting sebagai aktor demokrasi deliberatif agar semua aktor perhutanan sosial masuk ke dalam sistem Berdesa.
(Bersambung)