Novel tentang Tarot, Desa, dan Distopia
MediaVanua.com ~ Kerumunan adalah Neraka bukan sekadar novel tentang pandemi Covid-19, melainkan semacam mantra panjang yang dilantunkan di tengah kekacauan dunia, memanggil kita untuk merenungi betapa rapuhnya nalar manusia saat dihadapkan pada ketakutan kolektif. Anom Surya Putra menghamparkan kisah Desa Gayam dan Kampung Tujuh dengan cara yang bikin kita—pembaca kelas berat maupun yang hanya butuh pelarian dari kenyataan—terjebak dalam pusaran realisme magis yang terasa sangat… Indonesia. Tapi jangan salah, ini bukan Indonesia yang dieksotisasi sebagai latar cerita belaka. Ini Indonesia yang sedang terluka, gamang, dan mencari makna dari luka kolektif yang terlalu lama dipendam: pandemi, trauma, dan rasa saling curiga.
Kamu bisa membaca novel Kerumunan adalah Neraka di aplikasi KaryaKarsa dan Gramedia Writing Project.
Lewat tokoh Mudra, Vanua, dan Sari, kita seperti diajak mengintip dapur psikologi sosial dari balik jendela rumah-rumah warga desa yang mengunci diri. Mudra adalah semacam kepala suku era modern yang berusaha menyulam harapan dari benang-benang putus gotong royong. Vanua, dengan trauma medisnya, menjadi penjelajah antara akal sehat Eksistensialisme dan dunia gaib. Dan Sari, ah, Sari itu semacam Hermione versi lokal—berdaya lewat literasi, spiritualitas, dan tentu saja, keris pusaka Pasopati yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada akun FYP TikTok. Ketiganya seperti segitiga dalam tarot: Fool, Magician, dan High Priestess—bergerak dalam permainan nasib yang ditulis dengan tinta ketakutan kolektif.
Yang menarik, novel ini tidak sibuk membedakan mana yang nyata dan mana yang gaib. Semuanya cair, seperti kabut di lereng Merapi. Sosok Ni Grenjeng atau kuntilanak bukan untuk ditakuti, tapi untuk dikenali—karena bisa jadi mereka adalah jelmaan dari dendam sejarah yang tidak sempat diselesaikan. Di sinilah Anom menunjukkan kelasnya: hantu-hantu itu tidak melulu harus ditaburi garam dan dibacakan doa-doa berbahasa Arab atau Latin; mereka juga bisa dijadikan simbol politik, ekonomi, bahkan relasi kuasa di tengah kekacauan. Dan jangan lupakan Raja Batu dan dukun-dukun haus pengaruh yang, sialnya, terasa sangat familiar dengan wajah-wajah di layar TV saat kita sedang buka-buka berita jam sepuluh malam.

Dengan gaya bertutur yang puitis tapi tetap renyah, Anom Surya Putra menawarkan pengalaman membaca yang tidak cuma mengaduk emosi, tapi juga menggugah intelektualitas. Ini bukan bacaan ringan yang bisa ditelan sambil nunggu mie instan matang. Ada monolog panjang yang bisa bikin kita merasa seolah sedang diskusi filsafat dengan Sartre di warung kopi, lengkap dengan suara jangkrik dan lilin yang nyaris habis. Tapi kalau kamu sabar, semua itu akan berbuah pemahaman yang tidak sekadar “oh, gitu“, tapi lebih ke “wah, ternyata begini ya dunia itu bekerja“.
Tentu, tidak semua bagian berjalan mulus. Beberapa bab terasa seperti kuliah umum yang terlalu serius di tengah konser musik rakyat. Dan misteri Ni Grenjeng yang dijanjikan dari awal sayangnya tidak dituntaskan dengan kepuasan maksimal, semacam janji reuni yang tidak pernah jadi-jadi. Tapi kekurangan ini bisa dimaafkan, karena secara keseluruhan, Kerumunan adalah Neraka tetap menyala sebagai obor kecil di tengah gelapnya narasi-narasi mainstream (kisah percintaan CEO berwajah korea dan jatuh cinta kepada cewek miskin) —yang terlalu sering mengorbankan kedalaman demi sensasi.
Singkatnya, novel ini adalah ajakan untuk menelisik ulang siapa sebenarnya musuh kita: virus, hantu, atau ketakutan kita sendiri yang terlalu gemar menggandeng tangan orang lain untuk merasa aman. Sebab, seperti yang dibilang Sartre—dan digemakan lewat halaman-halaman buku ini—neraka itu bukan tempat, tapi kerumunan yang lupa bagaimana caranya menjadi manusia.
Empat dari lima bintang. Disarankan untuk dibaca saat hujan turun pelan-pelan, dengan secangkir teh jahe dan mungkin, sedikit rasa was-was. Sebab, siapa tahu, kerumunan yang dimaksud Anom… sedang mengetuk pintu rumah kita.
***