Opini: Derrida dan Aporia Dana Desa
Anom Surya Putra
Sumber: Republika, Kamis, 10 Maret 2016, 15:00 WIB – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengubah mekanisme penyaluran dana desa menjadi dua tahap, tidak lagi tiga tahap seperti 2015 (Republika, 11/2/2016). Perubahan penyaluran dana desa (DD) menjadi dua tahap (Maret dan Agustus) untuk memudahkan desa membuat perencanaan, pelaksanaan kegiatan, dan penyusunan laporan realisasi penggunaan DD. Perubahan sistem kebijakan penyaluran akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Kehendak politik Kementerian Keuangan bermaksud mengatasi penyaluran DD yang kurang afirmatif terhadap kapasitas desa. Di lain pihak, peraturan pelaksanaan atas UU Desa, yakni Pasal 16 Peraturan Pemerintah No 60/2014 jo PP No 22/2015 mengatur penyaluran DD tiga tahap, yakni pada April, Agustus, dan Oktober. Masalahnya, apakah kehendak politik hukum Kementerian Keuangan ini tak tersandung norma hukum yang lebih tinggi (Peraturan Pemerintah)?
Sistem kebijakan DD terkunci dalam keadilan hukum yang identik dengan keadilan berdasarkan aturan hukum (Pasal 4 PP No 60/2014), baik sumber, formula, maupun sistem penyaluran. Implementasi penyaluran DD pada 2015 yang mengutamakan penerbitan aturan hukum oleh kepala daerah terjebak pada apa yang disebut Jacques Derrida (1992) sebagai “aporia” (jalan buntu) keadilan.
Dalam Deconstruction and the Possibility of Justice, Derrida menunjukkan tiga aporia kegagalan mewujudkan keadilan berdasarkan aturan hukum. Norbertus Jegalus (2011) meringkas aporia ini ke dalam horizon keilmuan hukum di Indonesia. Pertama, epoche peraturan yang menghentikan laju keberlakuan aturan hukum. Kedua, membuat keputusan yang adil tanpa kepastian masa depan dan aturan yang pasti. Ketiga, keputusan urgensi berbasis pengetahuan dan data.
Dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, bahasa definitif DD tidak dirumuskan eksplisit. Ketentuan tentang DD merupakan salah satu bagian dari sistem Keuangan Desa, khususnya pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN (Pasal 71 jo Pasal 72 ayat (1) huruf b). Dalam istilah Rudolf von Jhering, filsuf hukum, DD berkedudukan sebagai pengertian yuridis berbasis kepentingan desa (interessenjuriprudenz), bukan sebaliknya, sebagai pengertian yuridis yang hampa dari kepentingan politik rekognisi desa.
Sejak 2014, pemerintah menafsirkan norma DD dalam UU Desa menjadi sistem kebijakan eksklusif yang dipositivisasi ke dalam PP No 60/2014 tentang DD. Implikasinya, sistem kebijakan DD terposisikan aktif ke dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan tertunda (differance) sebagai bagian keuangan desa. Data Bank Dunia (2015) menunjukkan, kapasitas daerah yang sibuk dengan adaptasi peraturan administratif-keuangan, seperti pengadaan barang/jasa di desa daripada kewenangan lokal berskala desa.
Perubahan mekanisme penyaluran dua tahap melalui peraturan menteri merupakan salah satu bentuk aporia pertama, yakni epoche peraturan. Suatu tindakan politik hukum yang epoche (menghentikan) laju keberlakuan PP yang mengatur DD tiga tahap. Langkah revolusi hukum yang diusulkan Kementerian Keuangan mungkin dilandasi ketidakadilan penyaluran DD di lapangan, tetapi berpotensi menimbulkan kontradiksi norma secara legal-positivistik antara peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Aporia pertama berkaitan dengan aporia kedua, yakni keputusan yang adil (DD dua tahap) tanpa kepastian masa depan dan aturan pasti. Mengapa? Keputusan penyaluran DD dua tahap belum dilandasi perbaikan atas formula DD yang menimbulkan ketimpangan bagi desa adat, nagari, jorong, kampong, atau sebutan lainnya.
Nagari (Sumatra) dan kampung (Papua) masih mengalami ketimpangan alokasi DD dibandingkan desa lainnya. Akar masalahnya terletak pada formula alokasi dasar dan variabel lainnya yang kurang adil bagi desa, termasuk desa adat.
Aporia berikutnya adalah keputusan urgensi berbasis pengetahuan dan data. Perubahan sistem penyaluran DD dua tahap merupakan keniscayaan yang harus segera diputuskan. Horizon pengetahuan penyaluran DD memerlukan data yang kritis terhadap paradigma desentralisasi dan pengelolaan keuangan daerah.
Frasa penjelasan di Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa menyatakan, in transito atas penyaluran DD melalui APBD kabupaten/kota. Peraturan pelaksanaan tentang desa yang aktif selama ini telah mendelegasikan tata cara pembagian dan penetapan DD setiap desa yang ditetapkan dengan peraturan bupati/wali kota.
Aparatus supradesa menjadi dominan dalam mengatur desa, tetapi berseberangan dengan spirit UU Desa bahwa DD merupakan bagian dari hak dan kewajiban desa. Transfer dari rekening pusat secara in transito memerlukan evaluasi kebijakan agar penyaluran DD tidak terkunci di APBD, tetapi cukup tercatat dan transfer langsung dari rekening pusat ke rekening desa. Pada titik inilah keputusan penyaluran DD dua tahap akan lebih mendapatkan rasa keadilan bagi desa.
Usulan Kementerian Keuangan tentang peraturan menteri yang akan mengatur penyaluran DD dua tahap patut diapresiasi sebagai revolusi hukum. Kendalanya terletak pada tiga aporia yang menunda keberlakuan PP yang selama ini aktif melegitimasi penyaluran DD.
Di balik aporia peraturan menteri terdapat keputusan urgen untuk mengembalikan DD sebagai bagian dari sistem kebijakan Keuangan Desa dalam UU Desa. Dana desa tak hanya “dana transfer” dari pusat ke daerah dan desa, tetapi dana rekognisi yang mengakui hak dan kewajiban desa. Sistem kebijakan yang harus didekonstruksi adalah pengelolaan keuangan daerah agar memudahkan penyaluran, penggunaan, dan pelaporan DD.
Pengalaman penulis mengikuti diskusi bersama tim ahli di Kementerian Desa PDTT menunjukkan spirit yang sebangun dengan Kementerian Keuangan agar terdapat dekonstruksi atas bottlenecking DD. Salah satu opsi yang diajukan secara dekonstruktif, yakni melupakan aturan dan mencari keadilan yang mengalir di tubuh desa.
Opsi tertinggi adalah mengakhiri tindakan over-regulated melalui peraturan menteri, kembali ke spirit UU Desa dan menyatukan seluruh PP tentang Desa ke dalam satu PP yang penting berdasarkan perintah delegatif UU Desa.
Pertama, muatan administratif penataan Desa PP No 43/2014 jo PP No 47/2015 sebagai peraturan pelaksanaan UU Desa dikurangi dengan mengembalikan urusan penataan desa langsung kepada otoritas daerah dan desa. Wewenang pusat cukup sebagai regulator yang mengatur lalu lintas registrasi desa.
Kedua, PP yang mengatur DD disatukan dalam satu naskah dengan PP tentang Desa lainnya, di bawah sistem keuangan desa yang lex specialis dibandingkan UU No 23/2014 Pemda dan UU No 17/2003 Keuangan Negara.
Ketiga, perubahan fundamental atas seluruh PP pelaksana UU Desa menjadi PP Penyelenggaraan Desa yang rekognitif atas kewenangan desa secara holistik, terutama kedudukan kewenangan desa terhadap aparatus supradesa.(*)