Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan
MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 1: GEJOLAK DI BALIK SENYUM DESA
“Pak Kades, harga pupuk naik lagi! Sawah saya mau diapain ini?” keluh Pak Karto, keningnya berkerut dalam.
Aku, yang baru saja dilantik sebagai Kepala Desa Sukamaju, menghela napas. “Sabar, Pak Karto. Kita cari jalan keluarnya sama-sama.”
Kantor balai desa yang biasanya sepi, kini riuh oleh keluhan warga. Desentralisasi memang memberikan otonomi, tapi desa kami, seperti desa-desa lain di pelosok negeri, masih terengah-engah mengejar ketertinggalan. Sumber daya alam kami melimpah, tapi ironisnya, kesejahteraan masih jauh panggang dari api.
“Pak Kades, jalan ke ladang masih becek. Anak-anak susah sekolah,” timpal Bu Sumi, guru SD desa yang selalu bersemangat.
Aku mengangguk. “Saya tahu, Bu. Semua masalah ini akan kita atasi. Tapi kita perlu waktu, dan yang terpenting, kita perlu bekerja sama.”
Usai rapat, aku termenung di beranda rumah. Langit Jakarta yang gemerlap, yang kulihat saat kunjungan kerja beberapa waktu lalu, terasa begitu jauh. Di sana, para pemangku kepentingan berdiskusi tentang pembangunan, sementara di sini, warga desa berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
“Mas Kades, ada tamu dari Jakarta,” panggil istriku, membuyarkan lamunanku.
Tamu itu adalah Pak Prasetyo, pejabat dari Kementerian Desa. Kedatangannya membawa secercah harapan. Beliau menyampaikan tentang program-program baru yang digagas pemerintah untuk memberdayakan desa.
“Desa adalah fondasi bangsa. Kemajuan Indonesia dimulai dari desa,” ujar Pak Prasetyo dengan penuh semangat.
Aku tertegun. Kata-kata itu menggetarkan jiwa kepemimpinanku. Aku sadar, tugas ini bukan sekadar pekerjaan, tapi sebuah panggilan. Aku harus menemukan ruh pembangunan yang memberdayakan, yang mampu membawa Desa Sukamaju, dan desa-desa lain di Indonesia, keluar dari jerat kemiskinan.
Semangat Pak Prasetyo menular. Namun, di balik optimisme itu, bayangan kelam masa lalu desa kembali menghantuiku.Desa Sukamaju pernah memiliki hutan yang lebat, sungai yang jernih, dan tanah yang subur. Namun, semuanya berubah ketika perusahaan tambang datang. Mereka menjanjikan kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Dulu, sebelum tambang masuk, kami bisa panen padi dua kali setahun. Sekarang, sawah kering, ikan di sungai mati. Anak-anak kami pun banyak yang sakit,” cerita Mbah Joyo, sesepuh desa, dengan mata berkaca-kaca.
Kisah Mbah Joyo bukanlah cerita baru. Di berbagai pelosok negeri, desa-desa kaya sumber daya alam justru menjadi korban eksploitasi. Hutan-hutan gundul, sungai-sungai tercemar, dan tanah-tanah tandus menjadi saksi bisu keserakahan segelintir orang.
“Otonomi daerah seharusnya menjadi berkah, bukan musibah,” gerutuku dalam hati.
Aku teringat perkataan Pak Prasetyo tentang desa sebagai fondasi bangsa. Jika fondasinya rapuh, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri kokoh?
“Mas Kades, jangan terlalu dipikirkan. Semua ada jalan keluarnya,” hibur istriku, melihatku murung.
Aku tersenyum getir. Jalan keluar? Rasanya begitu jauh. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus membuktikan bahwa desa bisa bangkit, bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
“Besok kita kumpulkan warga. Kita harus menyusun rencana pembangunan desa yang berkelanjutan,” kataku dengan tekad bulat.
Aku tahu, jalan yang akan kulalui tidak mudah. Akan ada banyak tantangan, banyak rintangan. Tapi aku yakin, dengan semangat gotong royong dan dukungan dari pemerintah, Desa Sukamaju bisa berubah. Mimpi buruk masa lalu akan menjadi pelajaran berharga, dan masa depan yang cerah menanti di depan mata.
Keesokan harinya, warga berkumpul di balai desa. Wajah-wajah letih itu dipenuhi harapan sekaligus keraguan. Aku tahu,mereka telah terlalu lama menjadi objek, bukan subjek pembangunan.
“Bapak, Ibu sekalian, kita semua tahu bahwa desa kita pernah jaya. Hutan kita lebat, sungai kita jernih, tanah kita subur.Tapi itu semua tinggal kenangan,” ucapku membuka pertemuan.
“Orde Baru datang dengan UU No. 5/1979, mengatur dan mengawasi kita, seolah kita tak mampu mengurus diri sendiri.Reformasi datang, tapi desa tetap jadi sasaran, bukan pelaku pembangunan,” lanjutku, suara meninggi.
“Program demi program digelontorkan, bantuan demi bantuan diberikan. Tapi apa hasilnya? Kita semakin tergantung,bukan semakin mandiri!”
Suasana hening. Warga saling berpandangan, mencerna kata-kataku. Aku tahu, luka lama kembali terbuka. Tapi luka itu harus dibersihkan agar bisa sembuh.
“Sudah saatnya kita bangkit! Kita harus jadi subjek, bukan objek pembangunan. Kita harus merancang masa depan kita sendiri!” seruku, membakar semangat mereka.
Terdengar sorak sorai dan tepuk tangan. Aku melihat binar harapan di mata mereka. Aku tahu, perjalanan ini takkan mudah. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 memang memberi ruang bagi desa, tapi implementasinya masih jauh panggang dari api. Daerah masih setengah hati, pusat masih terjebak paradigma lama.
Tapi aku tak gentar. Aku punya keyakinan, punya semangat. Aku punya warga yang siap berjuang bersama. Aku punya Pak Prasetyo dan Kementerian Desa yang mendukung.
“Kita akan buktikan, desa bisa mandiri, bisa sejahtera, bisa menjadi contoh bagi daerah lain. Kita akan tunjukkan,pembangunan yang sebenarnya dimulai dari desa!”
Pertemuan itu berakhir dengan semangat membara. Warga berhamburan pulang, membawa harapan baru. Aku menatap langit senja, berdoa semoga langkah yang kami ambil ini benar.
Semangat warga Sukamaju membara. Namun, aku sadar, semangat saja tidak cukup. Perlu strategi yang tepat agar pembangunan desa berjalan efektif dan berkelanjutan. Aku kembali teringat perkataan Pak Prasetyo tentang program-program pemberdayaan desa yang digagas pemerintah.
“Pak Prasetyo bilang, program-program ini dirancang untuk mendorong partisipasi masyarakat,” gumamku dalam hati.
Namun, pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa program-program tersebut seringkali justru mengerdilkan peran masyarakat. Alih-alih memberdayakan, program-program itu malah menciptakan ketergantungan.
“Dulu, saat program PNPM Mandiri berjalan, warga memang antusias. Tapi antusiasme itu lebih karena iming-iming uang, bukan karena kesadaran untuk membangun desa,” kenang Pak Warno, tokoh masyarakat yang kritis.
Aku mengangguk setuju. Uang memang bisa menjadi motivator yang kuat, tapi bukan satu-satunya. Pembangunan yang berkelanjutan harus didorong oleh kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat.
“Program-program itu juga seringkali terlalu kaku, tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat,” tambah Bu Sumi, guru SD yang selalu punya pandangan tajam.
Aku teringat petunjuk teknis proyek yang tebalnya seperti buku telepon. Aturan-aturan yang rumit dan birokrasi yang berbelit-belit seringkali membuat warga frustasi.
“Kita harus mencari cara agar program-program pemerintah bisa lebih luwes, lebih adaptif terhadap kondisi lokal,” tekadku.
Aku sadar, ini bukan tugas yang mudah. Tapi aku yakin, dengan kerja keras dan kolaborasi yang baik antara pemerintah,masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, kita bisa menemukan model pembangunan desa yang lebih baik. Model yang tidak hanya memberikan bantuan materi, tapi juga membangun kapasitas dan kemandirian masyarakat.
Malam itu, aku kembali merenung di beranda rumah. Langit Jakarta yang gemerlap masih terasa jauh, tapi aku tahu, desa-desa di seluruh Indonesia sedang berjuang untuk bangkit. Dan aku, sebagai Kepala Desa Sukamaju, akan menjadi bagian dari perjuangan itu.
Di tengah kegelisahan akan masa depan desa, secercah harapan datang dari timur. Kabar tentang program ACCESS Tahap II yang digagas oleh DFAT di 20 kabupaten di Indonesia Timur sampai ke telingaku. Pendekatan mereka, Strength-Based Approach (SBA), terdengar menjanjikan.
“Mereka tidak hanya memberikan bantuan, tapi juga membantu desa menggali potensi dan kekuatan yang dimiliki,” ujar Pak Guru, yang baru saja mengikuti pelatihan di kabupaten tetangga.
Aku teringat buku “Desa Membangun Indonesia” yang ditulis oleh kawan-kawan FPPD. Konsep Village Driven Development (VDD) yang mereka tawarkan seakan menjadi jawaban atas kebuntuan yang kami hadapi.
“VDD, ya? Desa yang membangun dirinya sendiri, bukan dibangun oleh pihak luar,” gumamku, membolak-balik halaman buku itu.
Konsep “catur sakti” yang diusung Ahmad Muqowam semakin memperkuat keyakinanku. Desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Itulah desa yang kami impikan.
“Kita harus belajar dari pengalaman daerah lain. Kita harus mencari tahu bagaimana mereka menerapkan VDD,” tekadku.
Aku segera menghubungi Pak Prasetyo, menyampaikan keinginanku untuk belajar dari program ACCESS Tahap II.Beliau menyambut baik ideku dan berjanji akan membantu memfasilitasi kunjungan ke salah satu desa yang menjadi lokasi program.
“Ini kesempatan emas, Pak Kades. Kita harus manfaatkan sebaik-baiknya,” ujar Pak Guru, semangatnya membara.
Aku mengangguk setuju. Aku tahu, perjalanan ini akan menjadi awal dari sebuah perubahan besar bagi Desa Sukamaju.Kami akan belajar, kami akan beradaptasi, kami akan membangun desa kami dengan kekuatan kami sendiri.
Malam itu, di bawah langit berbintang, aku melihat masa depan Desa Sukamaju yang gemilang. Desa yang mandiri,sejahtera, dan bermartabat. Desa yang menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia.
Kabar baik datang dari Pak Prasetyo. Beliau berhasil mengatur kunjungan kami ke salah satu desa binaan ACCESS Tahap II di Nusa Tenggara Timur. Semangatku semakin membara. Aku merasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang.
“Pak Kades, saya sudah baca buku ‘Desa Membangun Indonesia’. Menarik sekali konsep VDD yang mereka tawarkan,” ujar Bu Sumi, matanya berbinar.
“Iya, Bu. Dan yang lebih menarik lagi, program ACCESS Tahap II yang akan kita pelajari ternyata menjadi salah satu inspirasi bagi penulis buku itu,” jawabku, tak kalah antusias.
“Wah, berarti kita akan melihat langsung bagaimana VDD diterapkan di lapangan,” timpal Pak Guru, penuh semangat.
Aku mengangguk. “Kita akan belajar banyak dari mereka. Kita akan melihat bagaimana mereka memberdayakan warga,bagaimana mereka membangun desa dengan kekuatan sendiri.”
Perjalanan ke NTT memang melelahkan, tapi semua itu terbayar lunas ketika kami tiba di desa tujuan. Desa itu terlihat asri dan tertata rapi. Warga menyambut kami dengan hangat dan ramah.
“Selamat datang di desa kami, Pak Kades. Kami senang bisa berbagi pengalaman dengan Bapak dan Ibu,” sambut Kepala Desa setempat.
Selama beberapa hari, kami belajar banyak hal. Kami melihat bagaimana warga desa terlibat aktif dalam perencanaan pembangunan, bagaimana mereka mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, bagaimana mereka membangun ekonomi desa yang mandiri.
“Ternyata, desa bisa maju tanpa harus bergantung pada bantuan dari luar. Desa bisa berdaya dengan kekuatan sendiri,” gumamku kagum.
Aku teringat mutiara-mutiara perubahan yang dihasilkan oleh program ACCESS Tahap II, yang kemudian menjadi inspirasi bagi lahirnya UU Desa. Aku merasa bangga bisa menjadi bagian dari gerakan perubahan ini.
“Kita akan bawa semangat ini pulang ke Sukamaju. Kita akan bangun desa kita dengan cara kita sendiri,” tekadku,disambut anggukan setuju dari Bu Sumi dan Pak Guru.
Perjalanan pulang terasa lebih ringan. Hatiku dipenuhi harapan. Aku yakin, Desa Sukamaju bisa berubah, bisa menjadi desa yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat.
Sekembalinya dari NTT, semangat kami berkobar. Kami mengadakan pertemuan desa, membagikan pengalaman dan pengetahuan yang kami peroleh. Warga Sukamaju terkesima dengan kisah sukses desa-desa di NTT.
“Ternyata desa bisa maju tanpa harus bergantung pada bantuan dari luar. Kita juga bisa!” seru seorang warga,semangatnya menular ke yang lain.
Aku tersenyum puas. Api perubahan telah menyala. Namun, aku juga menyadari bahwa perjalanan masih panjang. UU Desa telah lahir, tapi itu baru langkah awal.
“UU Desa adalah harapan kita. Tapi UU ini tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak menjalankannya dengan sungguh-sungguh,” kataku mengingatkan.
“Kita harus menjadikannya organik, hidup, dan berakar dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus buktikan bahwa desa bisa mandiri, sejahtera, dan demokratis.”
Aku teringat pesan dari kawan-kawan ACCESS Tahap II. Mereka telah menanamkan benih perubahan, kini tugas kami untuk merawat dan membesarkannya.
“Buku ‘Desa Membangun Indonesia’ adalah panduan kita. Kita akan belajar dari pengalaman mereka, kita akan adaptasi dengan kondisi kita, kita akan ciptakan model pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan kita,” lanjutku.
Warga mengangguk antusias. Aku melihat tekad di mata mereka. Aku tahu, mereka siap untuk berjuang, siap untuk membangun desa mereka sendiri.
“Mari kita bersama-sama mewujudkan visi besar UU Desa. Mari kita bangun desa Sukamaju yang mandiri, sejahtera, dan demokratis!” seruku, disambut tepuk tangan meriah.
Pertemuan itu berakhir dengan semangat yang membuncah. Aku tahu, ini baru permulaan. Akan ada banyak tantangan dan rintangan di depan. Tapi aku yakin, dengan semangat gotong royong dan dukungan dari semua pihak, Desa Sukamaju akan bangkit.
Malam itu, di bawah langit berbintang, aku berdoa semoga semangat ini tidak pernah padam. Semoga Desa Sukamaju menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia, menjadi bukti nyata bahwa desa bisa membangun dirinya sendiri.*
Bersambung….
Pengarang: Anom Surya Putra
Jarkom Desa Minta PP Dana Desa Dicabut – Media Vanua
April 5, 2023 @ 11:00 am
[…] Baca Juga: Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan […]
Day 1 Meditasi Deepak Chopra Realitas Keberlimpahan – Media Vanua
April 5, 2023 @ 11:02 am
[…] Baca Juga: Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan […]
Seri 2 Desa Membangun Indonesia: Kontekstualisasi UU Desa – Media Vanua
Mei 16, 2023 @ 4:56 am
[…] BACA JUGA: Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan […]