Seri 2 Desa Membangun Indonesia: Kontekstualisasi UU Desa
MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 2: MENYEMAI BENIH PERUBAHAN
Buku “Desa Membangun Indonesia” menjadi kitab suci baru bagi kami. Setiap halamannya kami baca, diskusikan, dan renungkan bersama. Konsep VDD yang ditawarkan FPPD menjadi lentera yang menerangi jalan kami.
“Pak Kades, saya semakin yakin bahwa desa kita punya potensi besar. Kita punya sumber daya alam, kita punya kearifan lokal, kita punya semangat gotong royong,” ujar Bu Sumi, matanya berbinar-binar.
Aku mengangguk setuju. “Betul, Bu. Kita harus menggali potensi itu, kita harus memanfaatkannya untuk membangun desa kita sendiri.”
Kami membentuk tim kecil yang terdiri dari tokoh masyarakat, pemuda, dan perangkat desa. Tugas mereka adalah merumuskan rencana aksi berdasarkan konsep VDD. Kami mulai dengan memetakan potensi desa, mengidentifikasi masalah, dan mencari solusi bersama.
“Kita punya lahan pertanian yang luas, tapi produktivitasnya rendah. Kita harus cari cara untuk meningkatkannya,” ujar Pak Karto, petani senior yang selalu bersemangat.
“Kita juga punya potensi wisata alam yang belum tergarap. Kita bisa kembangkan desa wisata,” usul Mbak Ayu, pemuda desa yang kreatif.
Diskusi berlangsung seru. Ide-ide cemerlang bermunculan. Semangat gotong royong kembali menyala. Aku merasa optimis, Desa Sukamaju akan segera bangkit.
Sementara itu, di Jakarta, perdebatan sengit terjadi di ruang rapat DPR RI. Para wakil rakyat sedang membahas Rancangan Undang-Undang Desa.
“Undang-undang ini harus benar-benar berpihak pada desa. Desa harus menjadi subjek, bukan objek pembangunan,” tegas seorang anggota DPR.
“Saya setuju. Kita harus memberikan kewenangan yang lebih besar kepada desa untuk mengelola sumber daya dan anggaran mereka sendiri,” timpal anggota DPR lainnya.
Di tengah perdebatan yang alot, buku “Desa Membangun Indonesia” menjadi salah satu rujukan penting. Konsep VDD yang ditawarkan FPPD menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan.
“Buku ini memberikan pandangan baru tentang bagaimana seharusnya pembangunan desa dilakukan,” ujar Ketua Pansus RUU Desa.
“Kita harus memastikan bahwa UU Desa yang akan kita lahirkan benar-benar mampu mewujudkan desa yang mandiri,sejahtera, dan demokratis.”
Aku mengikuti perkembangan pembahasan RUU Desa dengan penuh harap. Aku tahu, UU ini akan menjadi tonggak sejarah bagi desa-desa di Indonesia. Ini adalah kesempatan emas untuk mengubah nasib desa, untuk mewujudkan mimpi Indonesia yang lebih baik.
BACA JUGA: Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan
Di sebuah ruangan sederhana di Yogyakarta, para pegiat desa dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul. Mereka adalah anggota Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD), sebuah organisasi yang telah lama memperjuangkan nasib desa.
“Sudah terlalu lama desa kita diatur setengah hati oleh undang-undang yang tidak berpihak pada desa,” ujar seorang anggota FPPD dengan nada tegas.
“UU No. 5/1979 dan UU No. 32/2004 hanya memberikan ruang yang terbatas bagi desa untuk berkembang,” timpal anggota lainnya.
“Kita harus terus berjuang agar desa memiliki undang-undang khusus yang mengatur desa secara komprehensif,” tegas ketua FPPD.
Mereka telah lama mendambakan lahirnya UU Desa. Sejak tahun 2006, mereka telah melakukan berbagai upaya untuk menggairahkan wacana UU Desa. Mereka melakukan riset, diskusi, seminar, dan advokasi kepada pemerintah dan DPR.
“Kami pernah diminta oleh pemerintah untuk menyusun naskah akademik RUU Desa,” kenang salah seorang anggota FPPD.
“Tapi sayang, rancangan UU Desa yang keluar pada tahun 2011 tidak sesuai dengan harapan kami. Semangat pembaharuan desa yang kami tawarkan tidak tercermin dalam rancangan tersebut.”
Mereka tidak putus asa. Mereka terus berjuang, terus menyuarakan aspirasi desa. Mereka yakin, suatu saat nanti, desa akan memiliki undang-undang yang benar-benar berpihak pada desa.
Kabar tentang pembahasan RUU Desa di DPR RI menjadi angin segar bagi kami di Desa Sukamaju. Kami berharap,undang-undang ini akan membawa perubahan positif bagi desa kami.
“Pak Kades, saya dengar RUU Desa sedang dibahas di DPR. Semoga undang-undang ini bisa memperkuat posisi desa kita,” ujar Pak Warno, tokoh masyarakat yang selalu mengikuti perkembangan isu-isu nasional.
Aku mengangguk setuju. “Saya juga berharap begitu, Pak Warno. UU Desa ini adalah harapan kita untuk membangun desa yang lebih mandiri dan sejahtera.”
Kami terus mengikuti perkembangan pembahasan RUU Desa melalui media massa dan internet. Kami berdoa semoga undang-undang ini bisa menjadi tonggak sejarah bagi desa-desa di Indonesia.
Semangat perjuangan FPPD semakin membara seiring dengan perjumpaan mereka dengan program ACCESS Tahap II. Pengalaman dan pembelajaran dari program tersebut menjadi amunisi berharga dalam advokasi RUU Desa.
“ACCESS telah membuktikan bahwa pendekatan yang melampaui CDD bisa berhasil. Mereka tidak hanya memperkuat masyarakat, tapi juga mendorong interaksi yang kritis dengan pemerintah,” ujar seorang anggota FPPD dengan penuh semangat.
“Ini adalah bukti nyata bahwa desa bisa menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek penerima bantuan,” timpal anggota lainnya.
Mereka melihat bagaimana ACCESS berhasil membangun kapasitas warga desa dan organisasi mereka, sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa, daerah, bahkan nasional.
“Ini adalah model pemberdayaan yang kita butuhkan. Model yang tidak hanya memberikan ikan, tapi juga mengajarkan cara memancing,” tegas ketua FPPD.
FPPD semakin gencar melakukan advokasi RUU Desa. Mereka membawa bukti-bukti keberhasilan program ACCESS Tahap II ke berbagai forum diskusi, seminar, dan pertemuan dengan para pemangku kepentingan.
“Kita harus pastikan bahwa UU Desa yang akan lahir nanti benar-benar berpihak pada desa, benar-benar mampu mewujudkan desa yang mandiri, sejahtera, dan demokratis,” ujar ketua FPPD dengan penuh keyakinan.
Kabar tentang perjuangan FPPD di Jakarta memberikan semangat baru bagi kami di Desa Sukamaju. Kami semakin yakin bahwa mimpi kami untuk membangun desa yang lebih baik bukanlah mimpi kosong.
“Pak Kades, saya dengar FPPD sedang berjuang keras untuk UU Desa. Semoga perjuangan mereka berhasil,” ujar Bu Sumi, matanya berbinar-binar.
“Iya, Bu. Kita doakan semoga UU Desa yang lahir nanti benar-benar bisa membawa perubahan positif bagi desa-desa di Indonesia,” jawabku penuh harap.
Kami terus berjuang di tingkat desa. Kami terus belajar, terus berinovasi, terus mencari cara untuk memaksimalkan potensi desa kami. Kami yakin, dengan semangat gotong royong dan dukungan dari berbagai pihak, Desa Sukamaju akan menjadi desa yang mandiri, sejahtera, dan demokratis.
Kabar gembira datang dari gedung DPR RI. Setelah perdebatan panjang dan alot, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa akhirnya disahkan. Kantor FPPD dipenuhi sorak sorai dan pelukan haru.
“Akhirnya, perjuangan kita membuahkan hasil! UU Desa telah lahir!” seru ketua FPPD, matanya berkaca-kaca.
“Ini adalah kemenangan bagi desa-desa di seluruh Indonesia. Ini adalah awal dari era baru pembangunan desa,” timpal anggota lainnya, penuh semangat.
Namun, di balik kegembiraan itu, mereka juga menyadari bahwa perjuangan belum berakhir. UU Desa adalah sebuah langkah besar, tapi bukan akhir dari segalanya.
“UU Desa ini seperti bayi yang baru lahir. Ia membutuhkan perawatan dan perhatian agar bisa tumbuh menjadi dewasa,” ujar seorang anggota FPPD bijak.
“Kita harus mengawal implementasi UU Desa ini. Kita harus memastikan bahwa semangat pembaharuan desa yang terkandung di dalamnya benar-benar terwujud di lapangan,” tambah anggota lainnya.
Mereka sadar, UU Desa bukanlah obat mujarab yang bisa menyelesaikan semua masalah desa dalam sekejap. UU Desa adalah sebuah kerangka hukum yang perlu diisi dengan tindakan nyata.
Kabar pengesahan UU Desa disambut dengan suka cita oleh warga Sukamaju. Kami berkumpul di balai desa,mengadakan syukuran sederhana.
“Alhamdulillah, akhirnya UU Desa disahkan. Ini adalah angin segar bagi desa kita,” ucap Pak Warno, wajahnya berseri-seri.
“Iya, Pak. Semoga dengan adanya UU Desa ini, desa kita bisa semakin maju dan mandiri,” timpal Bu Sumi, tak kalah bahagia.
Aku tersenyum melihat antusiasme warga. Aku tahu, mereka menaruh harapan besar pada UU Desa ini. Tapi aku juga mengingatkan mereka bahwa perjuangan belum selesai.
“UU Desa adalah alat, bukan tujuan. Kita harus memanfaatkan alat ini sebaik-baiknya untuk membangun desa kita. Kita harus menjadikannya hidup, organik, dan berakar dalam kehidupan kita sehari-hari,” kataku.
Aku membagikan buku “Desa Membangun Indonesia” kepada warga. “Buku ini adalah panduan kita untuk mengkontekstualisasikan UU Desa. Mari kita pelajari bersama, mari kita terapkan dalam kehidupan kita.”
Aku yakin, dengan semangat gotong royong dan dukungan dari semua pihak, Desa Sukamaju akan menjadi contoh sukses implementasi UU Desa. Kami akan buktikan bahwa desa bisa mandiri, sejahtera, dan demokratis.
Bersambung…
Pengarang: Anom Surya Putra
BACA JUGA: Seri 3 Desa Membangun Indonesia: UU Desa sebagai Senjata
Seri 1 Desa Membangun Indonesia: Ruh Yang Memberdayakan – Media Vanua
Mei 15, 2023 @ 6:03 pm
[…] Baca Juga: Seri 2 Desa Membangun Indonesia: Kontekstualisasi UU Desa […]