Seri 3 Desa Membangun Indonesia: UU Desa sebagai Senjata
MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 3 GOTONG ROYONG MEMBANGUN MIMPI
Semangat warga Sukamaju membara. Api perubahan telah menyala. Namun, aku sadar, semangat dan harapan saja tidak cukup. Perlu tindakan nyata untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan.
“Bapak, Ibu sekalian, UU Desa telah memberi kita peluang emas. Tapi peluang ini tidak akan berarti apa-apa jika kita hanya berpangku tangan,” kataku di depan warga yang berkumpul di balai desa.
“Kita harus bergerak, kita harus bekerja keras, kita harus gotong royong membangun desa kita sendiri.”
Aku menjelaskan tentang konsep “catur sakti” yang diusung oleh Ahmad Muqowam. Desa yang bertenaga secara sosial,berdaya secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan bermartabat secara budaya. Itulah desa yang kita impikan.
Konsep ini lahir dari perjalanan panjang selama tujuh tahun (2007-2013) hingga akhirnya RUU Desa disahkan menjadi Undang-Undang Desa pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 18 Desember 2013.Pengesahan UU Desa ini disambut dengan penuh euforia oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari Presiden, Menteri Dalam Negeri, DPR, DPD, hingga para kepala desa dan aktivis pejuang desa. UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014 ini menjadi bukti komitmen politik dan konstitusional negara untuk melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis.
Semangat baru itu bukanlah hal yang berlebihan. Redistribusi uang negara (dari APBN dan APBD) kepada desa, yang menjadi hak desa, merupakan isu utama perubahan relasi antara negara dan desa. Akhmad Muqowam, Ketua Pansus Desa, bahkan mengungkapkan bahwa jika seluruh pasal dalam UU Desa ini diperas menjadi satu pasal, maka isinya adalah pasal tentang uang desa. Uang desa dalam jumlah besar inilah yang membangkitkan semangat baru bagi desa, meskipun juga menghadirkan pesimisme dan kekhawatiran banyak pihak akan bahaya korupsi.
“Saya sendiri menyaksikan semangat dan euforia yang luar biasa dari masyarakat desa ketika melakukan sosialisasi UU Desa di berbagai daerah,” ujarku sambil mengenang perjalanan panjang sosialisasi UU Desa di Yogyakarta, Jawa Tengah,Jawa Timur, Banten, Mataram, Buton, Sumba, dan Kupang. “Antusiasme masyarakat desa begitu besar, mereka melihat UU Desa ini sebagai momentum untuk bangkit, untuk membangun desa mereka sendiri.”
“Semangat baru itu juga dirasakan oleh semua pihak, UU Desa disambut luar biasa oleh masyarakat desa dan menjadi awal dari kehidupan baru di desa,” tambahku.
“Namun,” lanjutku, “perlu diingat bahwa UU Desa bukan sekadar tentang uang. UU Desa adalah tentang perubahan yang menyeluruh. Mulai dari misi, tujuan, asas, kedudukan, kewenangan, alokasi dana, tata pemerintahan hingga pembangunan desa, semuanya menunjukkan rangkaian perubahan desa yang dihadirkan oleh UU Desa ini.”
“Perubahan tidak berhenti pada undang-undang. Kita percaya bahwa peraturan yang baik tidak serta merta melahirkan kebaikan dalam waktu cepat, tetapi peraturan yang buruk dengan cepat menghasilkan keburukan. UU Desa ini memberikan kesempatan bagi desa dan senjata bagi rakyat desa untuk melancarkan perubahan. Kita harus memastikan bahwa UU Desa ini tidak hanya menjadi ‘keris perhiasan’ tetapi harus menjadi ‘keris pusaka’ atau senjata bagi rakyat desa untuk melakukan perubahan.”
Aku mengutip perkataan kolegaku, Bito Wikantosa, “Artinya kalau UU itu tidak dijalankan maka ia akan tidur, dan perubahan tidak akan terjadi. Kalau rakyat tidak menggunakan UU Desa sebagai senjata, maka rakyat juga tidak berdaulat, dan desa juga tidak akan berubah. BPD akan menjadi lebih kuat, dan demokrasi desa akan menjadi lebih hidup, jika BPD benar-benar bertindak menggunakan UU Desa sebagai senjata.”
“Undang-Undang Desa ini diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di desa yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, serta memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan memperkuat desa sebagai entitas masyarakat yang kuat dan mandiri,” ujarku. “Desa juga diharapkan dapat menjalankan mandat dan penugasan beberapa urusan yang diberikan oleh pemerintah provinsi, dan terutama pemerintah kabupaten/kota yang berada diatasnya, serta menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanan pembangunan dan kemasyarakatan. Sehingga, pengaturan Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan Desa dalam merespon proses modernisasi, globalisasi dan demoktratisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.”
“Dengan pengaturan seperti ini, diharapkan Desa akan layak sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Bahkan lebih dari itu, Desa diharapkan akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara dimasa yang akan datang.”
“Untuk mencapai semua itu, kita harus mulai dari yang paling dasar. Kita mulai dari membangun kekuatan sosial kita,” kataku, melanjutkan penjelasan.
Kami membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai dengan potensi dan minat masing-masing warga. Ada kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok pengrajin, kelompok pemuda, dan kelompok perempuan. Setiap kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sebagai lembaga kemasyarakatan Desa.
Kelompok tani fokus pada peningkatan produktivitas pertanian. Mereka belajar tentang teknik pertanian modern, penggunaan pupuk organik, dan pemasaran hasil pertanian. Kelompok nelayan bekerja sama untuk menjaga kelestarian sumber daya laut dan meningkatkan hasil tangkapan. Kelompok pengrajin mengembangkan produk-produk kerajinan khas desa yang unik dan berkualitas.
Kelompok pemuda menjadi motor penggerak kegiatan sosial dan budaya. Mereka mengadakan kegiatan olahraga, kesenian, dan pelatihan kepemimpinan untuk generasi muda. Kelompok perempuan berperan penting dalam menjaga kesehatan keluarga, pendidikan anak, dan pemberdayaan ekonomi perempuan.
Semangat gotong royong semakin terasa. Warga bahu-membahu membangun jalan desa, membersihkan saluran irigasi, dan memperbaiki fasilitas umum. Mereka bekerja dengan sukarela, tanpa pamrih, demi kemajuan desa.
“Saya senang sekali melihat semangat gotong royong warga kita. Ini adalah modal utama kita untuk membangun desa,” ujar Bu Sumi, guru SD yang selalu optimis.
Aku mengangguk setuju. “Gotong royong adalah ruh pembangunan desa. Tanpa gotong royong, semua rencana dan program kita hanya akan menjadi angan-angan belaka.”
Kami juga tidak lupa untuk melibatkan semua elemen masyarakat dalam proses pembangunan. Kami mengadakan musyawarah desa secara rutin untuk membahas rencana pembangunan, menampung aspirasi warga, dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul.
“Setiap warga punya hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Setiap suara harus didengar, setiap pendapat harus dihargai,” kataku dalam salah suatu musyawarah desa.
Aku percaya, dengan melibatkan semua warga, pembangunan desa akan lebih demokratis dan berkelanjutan. Warga akan merasa memiliki desa mereka, sehingga mereka akan lebih termotivasi untuk menjaga dan memajukannya.
Tidak hanya membangun kekuatan sosial, kami juga fokus pada pemberdayaan ekonomi desa. Kami membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang diberi nama “BUM Desa Membangun Sukamaju Jaya”. BUM Desa ini mengelola berbagai jenis usaha, mulai dari toko kelontong, pengolahan hasil pertanian, hingga jasa pariwisata.
“BUM Desa ini adalah milik kita bersama. Kita harus mengelolanya dengan baik agar bisa memberikan manfaat bagi seluruh warga desa,” kataku kepada pengurus BUM Desa.
Aku berharap, BUM Desa ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi desa. Dengan adanya BUM Desa, warga tidak perlu lagi pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka bisa bekerja di desa mereka sendiri, membangun usaha mereka sendiri, dan meningkatkan pendapatan mereka.
Pembangunan desa tidak hanya tentang infrastruktur dan ekonomi. Kami juga memperhatikan aspek lingkungan dan budaya. Kami melakukan penghijauan, menjaga kebersihan lingkungan, dan melestarikan tradisi dan budaya lokal.
“Lingkungan yang sehat dan budaya yang lestari adalah aset berharga bagi desa kita. Kita harus menjaganya agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang,” pesan Mbah Joyo, sesepuh desa yang selalu bijaksana.
Aku mengangguk hormat. Aku sadar, pembangunan desa harus dilakukan secara holistik, menyeluruh, dan berkelanjutan. Kita tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan budaya.
Hari demi hari berlalu, Desa Sukamaju terus berbenah. Jalan-jalan desa semakin mulus, fasilitas umum semakin memadai, dan perekonomian desa semakin bergairah. Warga semakin kompak, semangat gotong royong semakin kuat, dan mimpi-mimpi tentang desa yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat semakin dekat dengan kenyataan.
Aku tersenyum puas melihat perubahan yang terjadi di desa kami. Ini adalah bukti nyata bahwa desa bisa membangun dirinya sendiri, bisa menjadi subjek pembangunan, bisa mewujudkan mimpinya sendiri.
“Ini baru permulaan, Bapak, Ibu sekalian. Perjalanan kita masih panjang. Tapi saya yakin, dengan semangat gotong royong dan kerja keras kita, Desa Sukamaju akan menjadi desa yang kita impikan,” kataku kepada warga dalam sebuah pertemuan desa.
Aku melihat binar harapan di mata mereka. Aku tahu, mereka siap untuk melanjutkan perjuangan. Mereka siap untuk membangun masa depan Desa yang lebih baik.
Bersambung
Pengarang: Anom Surya Putra
Seri 2 Desa Membangun Indonesia: Kontekstualisasi UU Desa – Media Vanua
Juli 5, 2024 @ 6:38 am
[…] BACA JUGA: Seri 3 Desa Membangun Indonesia: UU Desa sebagai Senjata […]