Seri 4 Desa Membangun Indonesia: Village Driven Development (VDD)
MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 4: BAYANG-BAYANG DAN CAHAYA
Semangat perubahan di Desa Sukamaju semakin membara. Warga bergotong royong membangun desa mereka dengan penuh semangat, dipandu oleh konsep VDD dan UU Desa. Namun, di balik semangat itu, ada bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui. Pak Kades pun teringat akan perkataan koleganya, Bito Wikantosa, bahwa UU Desa jangan hanya menjadi ‘keris hiasan’ namun harus menjadi ‘keris pusaka’.
Mbah Joyo, sesepuh desa, seringkali terlihat termenung di bawah pohon beringin tua di tengah desa. Ia adalah saksi hidup kejayaan Desa Sukamaju sebelum perusahaan tambang datang. Ia juga menyaksikan bagaimana perusahaan tambang itu merusak lingkungan dan kehidupan warga.
“Pak Kades, saya khawatir,” ujar Mbah Joyo suatu hari. “Saya melihat tanda-tanda buruk. Hutan kita mulai gundul lagi,sungai kita mulai keruh. Saya takut, perusahaan tambang itu akan kembali.”
Kekhawatiran Mbah Joyo bukan tanpa alasan. Beberapa hari sebelumnya, ada beberapa orang asing yang datang ke desa.Mereka mengaku sebagai surveyor dari sebuah perusahaan tambang. Warga resah, mereka takut kejadian masa lalu akan terulang kembali.
“Tenang, Mbah Joyo,” kata Pak Kades mencoba menenangkan. “Kita tidak akan biarkan mereka merusak desa kita lagi.Kita punya UU Desa sekarang. Kita punya kekuatan untuk melindungi desa kita.”
Namun, Pak Kades sendiri tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tahu, perusahaan tambang itu punya kekuatan besar. Mereka punya uang, mereka punya koneksi, mereka punya pengaruh.
***
Suatu malam, saat Pak Kades sedang merenung di beranda rumahnya, Mbah Joyo datang menghampirinya. Wajahnya tampak tegang.
“Pak Kades, saya harus menunjukkan sesuatu kepada Anda,” kata Mbah Joyo.
Mbah Joyo membawa Pak Kades ke sebuah goa di tengah hutan. Di dalam goa itu, terdapat sebuah batu besar yang berbentuk aneh.
“Ini adalah batu bertuah,” kata Mbah Joyo. “Menurut legenda, batu ini adalah pelindung desa kita. Selama batu ini ada,desa kita akan aman dari segala marabahaya.”
Pak Kades tertegun. Ia tidak percaya dengan hal-hal mistis, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan cerita Mbah Joyo.Apalagi, sejak kedatangan orang-orang asing itu, ia merasa ada aura mistis yang menyelimuti desa.
“Mbah Joyo, apakah Anda yakin batu ini bisa melindungi desa kita?” tanya Pak Kades.
“Saya yakin, Pak Kades,” jawab Mbah Joyo dengan mantap. “Batu ini adalah warisan nenek moyang kita. Kita harus menjaganya.”
Pak Kades mengangguk. Ia memutuskan untuk mempercayai Mbah Joyo. Ia akan menjaga batu bertuah itu dengan segenap jiwa raganya. Sembari memikirkan cara melindungi desa, Pak Kades teringat pada buku “Desa Membangun Indonesia”. Ia segera mengambil buku itu dan mulai membacanya dengan seksama.
Buku itu memberikan Pak Kades banyak inspirasi dan pengetahuan baru. Ia belajar tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, tentang bagaimana mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan tentang bagaimana membangun ekonomi desa yang mandiri. Buku itu juga memberikan pemahaman baru tentang UU Desa, bukan hanya dari sudut pandang normatif-preskriptif, tapi juga reflektif-deskriptif, yang memadukan teori dan praktik di lapangan.
Buku ini, pikir Pak Kades, ibarat pintu masuk ke rumah besar bernama Undang-Undang Desa. Melalui buku ini, ia dan warga desa bisa memahami UU Desa dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi kemandirian desa, demokratisasi, pembangunan desa, keuangan, maupun aset desa.
Pak Kades semakin yakin bahwa UU Desa adalah senjata yang ampuh untuk melindungi desa dari ancaman perusahaan tambang. Ia akan menggunakan UU Desa ini untuk memperkuat posisi desa dan melawan segala bentuk intimidasi. Ia juga menyadari bahwa buku “Desa Membangun Indonesia” adalah panduan penting untuk memahami dan mengimplementasikan UU Desa secara efektif, sehingga Desa Sukamaju bisa menjadi contoh nyata bahwa desa bisa membangun Indonesia.
***
Di balai desa, Pak Kades membuka diskusi dengan membagikan buku “Desa Membangun Indonesia” kepada warga. Ia menjelaskan bahwa buku ini adalah hasil pemikiran para pegiat desa yang telah lama memperjuangkan nasib desa.
“Buku ini bukan sekadar buku teks biasa,” kata Pak Kades. “Buku ini adalah peta jalan kita menuju desa mandiri. Kita harus pelajari dan terapkan isinya dengan sungguh-sungguh. Kita bisa mulai dari memahami konsep VDD yang menjadi inti dari buku ini. VDD ini adalah pendekatan baru yang memberdayakan desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Kita harus bisa seperti desa-desa di Indonesia Timur yang sudah berhasil menerapkan VDD, mereka mandiri dan sejahtera karena mereka mengelola sumber daya mereka sendiri dan membangun ekonomi lokal mereka.”
Warga desa antusias mendengarkan penjelasan Pak Kades. Mereka mulai membaca dan mendiskusikan isi buku itu. Beberapa warga yang belum bisa membaca dibantu oleh yang lain.
“Pak Kades, saya baru tahu kalau desa kita punya hak untuk mengelola sumber daya alam sendiri,” ujar seorang warga dengan penuh semangat.
“Iya, benar,” jawab Pak Kades. “UU Desa memberikan kita kewenangan untuk mengelola sumber daya alam desa untuk kesejahteraan warga. Kita tidak boleh lagi bergantung pada pihak luar.”
“Tapi, Pak Kades,” sahut seorang warga, “bukankah selama ini program-program pemerintah seperti PNPM Mandiri Perdesaan sudah membantu pembangunan desa kita?”
Pak Kades mengangguk. “Memang benar, PNPM Mandiri Perdesaan telah memberikan banyak manfaat bagi desa kita.Tapi program itu juga punya kelemahan. Program itu lebih banyak digerakkan oleh masyarakat, sementara pemerintah desa hanya menjadi fasilitator. Akibatnya, seringkali program-program tersebut tidak berkelanjutan karena tidak terintegrasi dengan sistem desa.”
“Nah, dengan adanya UU Desa ini, kita bisa menerapkan VDD, yaitu pembangunan yang digerakkan oleh desa. Artinya,kita sendiri yang akan merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan desa kita. Kita tidak boleh lagi hanya mengandalkan bantuan dari luar. Kita harus mandiri!”
“Saya setuju, Pak Kades,” seru seorang warga lainnya. “Kita harus bisa seperti desa-desa di Indonesia Timur yang sudah berhasil menerapkan VDD. Mereka mandiri dan sejahtera karena mereka mengelola sumber daya mereka sendiri dan membangun ekonomi lokal mereka.”
“Tapi, Pak Kades, bagaimana kalau perusahaan tambang itu memaksa kita untuk menyerahkan tanah kita?” tanya seorang warga lainnya dengan cemas.
“Kita tidak boleh takut,” jawab Pak Kades dengan tegas. “Kita punya UU Desa sebagai senjata kita. Kita harus bersatu dan melawan mereka. Kita punya kekuatan rakyat. Kita punya semangat gotong royong. Kita pasti bisa mengalahkan mereka! Kita harus ingat, pembangunan desa harus dimulai dari kita sendiri, bukan dari pihak luar. Kita harus menjadi subjek pembangunan, bukan objek. UU Desa ini adalah kesempatan kita untuk menentukan masa depan kita sendiri.”
Warga desa terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Pak Kades.
“Tapi, Pak Kades,” tanya seorang ibu, “bagaimana dengan PNPM Mandiri Perdesaan? Apakah program itu akan dihapuskan?”
“Tidak, Bu,” jawab Pak Kades. “UU Desa tidak sepenuhnya meninggalkan PNPM Mandiri Perdesaan. Sejumlah warisan dan pelajaran dari PNPM, seperti kepastian dana, penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, pendampingan, tata kelola yang baik, swakelola, dan partisipasi masyarakat, tetap diakomodasi dan dilembagakan dalam UU Desa. Kita akan mengintegrasikan program-program tersebut ke dalam sistem desa kita, sehingga pembangunan desa kita bisa lebih terarah dan berkelanjutan. Kita akan menggunakan dana desa yang kita terima untuk membiayai program-program pembangunan yang kita rencanakan sendiri, bukan hanya untuk menerima program dari luar.”
“Selain itu,” lanjut Pak Kades, “Kita juga akan memanfaatkan buku ‘Desa Membangun Indonesia’ sebagai panduan kita.Buku ini menjelaskan konsep Desa Membangun Indonesia (DMI) yang lebih luas dari sekadar pembangunan desa. DMI menekankan bahwa desa memiliki kemandirian dalam membangun Indonesia, baik negara, bangsa, maupun warga masyarakat desa sendiri. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk membuktikan bahwa desa kita bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan. Dan buku ini akan membantu kita untuk mewujudkannya.”
“Saya masih belum paham, Pak Kades,” ujar seorang warga. “Apa bedanya DMI dengan program-program pemerintah lainnya?”
Pak Kades menjelaskan, “DMI adalah konsep yang berbeda dengan program-program pemerintah yang selama ini kita kenal. DMI bukan sekadar program, tapi sebuah paradigma baru dalam pembangunan desa. DMI menempatkan desa sebagai subjek pembangunan, bukan objek. Artinya, kita sendiri yang akan menentukan arah pembangunan desa kita,sesuai dengan potensi dan kebutuhan kita. Kita tidak akan lagi didikte oleh pemerintah atau pihak luar.”
“DMI juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa,” tambah Pak Kades. “Setiap warga desa punya hak untuk ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan desa. Kita harus bersama-sama membangun desa kita, agar desa kita bisa menjadi desa yang mandiri, sejahtera, dan demokratis.”
Penjelasan Pak Kades membuat warga desa semakin bersemangat. Mereka semakin yakin bahwa mereka bisa mengubah nasib desa mereka. Mereka semakin menyadari bahwa mereka punya kekuatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
“Hidup Desa Sukamaju!” teriak seorang warga, disambut sorak sorai warga lainnya.
“Hidup Desa Membangun Indonesia!” sahut Pak Kades dengan semangat membara.
Bersambung….
Pengarang: Anom Surya Putra