Seri 5 Desa Membangun Indonesia: Rekognisi-Subsidiaritas, Keragaman Desa dan Negara Kecil
MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 5: DARI LORONG SENAYAN KE SAUNG BAMBU
Jauh di lorong-lorong gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pergulatan pemikiran dan perdebatan sengit mewarnai proses kelahiran Undang-Undang Desa. Di balik layar, seorang tokoh bernama Sutoro Eko, berjibaku menyusun strategi, melobi,dan bernegosiasi dengan berbagai pihak. Ia bukan anggota DPR, melainkan seorang tenaga ahli yang berdedikasi tinggi untuk memperjuangkan nasib desa.
“Undang-undang ini harus benar-benar menjadi ‘keris pusaka’ bagi rakyat desa,” ujar Sutoro Eko dalam salah satu pertemuan dengan anggota DPR. “Kita harus pastikan bahwa desa memiliki kewenangan yang cukup untuk mengelola urusan dan sumber daya mereka sendiri.”
Sutoro Eko, seorang akademisi yang juga aktivis desa, telah lama menggeluti isu-isu pembangunan desa. Pengalamannya sebagai tenaga ahli di Kementerian Dalam Negeri (2007-2010) dan Dewan Perwakilan Daerah (2011) telah memberikannya pemahaman mendalam tentang kompleksitas permasalahan desa.
“Saat menjadi tenaga ahli di Kemendagri, saya berhasil memasukkan asas subsidiaritas dan konsep kewenangan lokal desa,” kenang Sutoro Eko. “Ini adalah langkah awal yang penting untuk memperkuat posisi desa.”
Aku mendengarkan dengan penuh minat, terpesona oleh kisah di balik layar yang penuh dinamika ini.
Di DPD, bersama koleganya, Ari Dwipayana dan Robert Endi Jaweng, Sutoro Eko memperjuangkan asas rekognisi, subsidiaritas, dan delegasi, serta konsep “desa adat” dan “negara kecil”. Gagasan-gagasan ini menjadi cikal bakal lahirnya konsep “desa mandiri” dalam UU Desa.
“Desa bukan sekadar unit administratif terendah,” tegas Sutoro Eko. “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak asal usul dan kewenangan lokal. Desa adalah ‘negara kecil’ yang harus diakui dan dihormati.”
Pergulatan di Pansus RUU Desa
Akhir Februari 2013, Sutoro Eko, bersama Zen Badjeber, Yando Zakaria, dan Suhirman, bergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa di DPR RI. Di sinilah pertarungan sesungguhnya dimulai.
“Di Pansus, kami berhadapan dengan berbagai kepentingan politik yang berbeda-beda,” cerita Sutoro Eko. “Tapi kami tetap berpegang pada prinsip bahwa UU Desa harus berpihak pada rakyat desa.”
Perdebatan di Pansus berlangsung alot. Ada yang ingin memperkuat kewenangan desa, ada yang ingin membatasi. Ada yang ingin memberikan dana desa dalam jumlah besar, ada yang khawatir akan disalahgunakan.
“Saya ingat betul saat kami berdebat tentang asas rekognisi dan subsidiaritas,” kenang Sutoro Eko. “Ada yang meragukan,tapi kami berhasil meyakinkan mereka bahwa dua asas ini adalah kunci untuk memperkuat desa.”
Di tengah perdebatan yang sengit itu, Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman, dan Bito Wikantosa selalu berdebat keras membuat rumusan dan terus menerus melakukan lobi ke berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar DPR. Mereka berusaha mencari titik temu antara aspirasi masyarakat desa, kepentingan politik, dan rasionalitas keilmuan.
Sutoro Eko, meskipun sebagai tenaga ahli DPR, juga sering hadir di kantor Kementerian Dalam Negeri untuk berdiskusi dengan tim pemerintah. Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Gatot Yanrianto, sangat terbuka dengan kehadirannya dan selalu mengajaknya berdiskusi untuk mencari titik temu antara DPR dan pemerintah.
“Saya sering mondar-mandir Senayan-Pasar Minggu,” cerita Sutoro Eko sambil tertawa. “Banyak orang yang menyebut saya agen ganda. Tapi saya tidak peduli. Yang penting, UU Desa ini bisa lahir dan membawa manfaat bagi desa.”
Di tengah dinamika politik yang tinggi, Sutoro Eko dan timnya tidak lupa untuk terus memperkaya diri dengan pengetahuan. Mereka melakukan diskusi dengan berbagai ahli, membaca literatur terbaru, dan mengunjungi desa-desa untuk melihat langsung kondisi di lapangan.
“Pengetahuan adalah kekuatan,” tegas Sutoro Eko. “Kita harus punya landasan pengetahuan yang kuat agar bisa merumuskan kebijakan yang tepat.”
Kelahiran Undang-Undang Desa
Setelah melalui perdebatan panjang dan alot, akhirnya pada 18 Desember 2013, UU Desa disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI. Sutoro Eko dan timnya merasa lega sekaligus bangga. Mereka telah berhasil memperjuangkan lahirnya UU Desa yang revolusioner.
“Ini adalah kemenangan bagi desa-desa di seluruh Indonesia,” ujar Sutoro Eko dengan mata berkaca-kaca. “Ini adalah awal dari era baru pembangunan desa.”
Namun, Sutoro Eko juga menyadari bahwa perjuangan belum berakhir. UU Desa adalah sebuah langkah besar, tapi bukan akhir dari segalanya. Implementasi UU Desa di lapangan akan menjadi tantangan yang tidak kalah berat.
“Kita harus terus mengawal implementasi UU Desa ini,” tegas Sutoro Eko. “Kita harus memastikan bahwa UU Desa ini benar-benar menjadi ‘keris pusaka’ bagi rakyat desa, bukan hanya ‘keris perhiasan’ yang hanya dipajang di lemari.”
Dari Ruang Rapat ke Saung Bambu
Perjuangan Sutoro Eko tidak berhenti di ruang rapat. Ia juga aktif melakukan sosialisasi UU Desa ke berbagai daerah. Ia berdiskusi dengan kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan warga desa. Ia ingin memastikan bahwa UU Desa tidak hanya menjadi macan kertas, tapi benar-benar bisa diimplementasikan dan membawa manfaat bagi desa.
“Saya sering berdiskusi di saung-saung bambu, di bawah pohon rindang, atau di balai desa yang sederhana,” cerita Sutoro Eko. “Saya ingin mendengar langsung aspirasi dan harapan warga desa terhadap UU Desa.”
Dalam diskusi-diskusi itu, Sutoro Eko menjelaskan tentang hak dan kewenangan desa, tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, dan tentang bagaimana desa bisa mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Ia juga mendengarkan keluhan dan masukan dari warga desa.
“Banyak warga desa yang belum memahami UU Desa secara utuh,” ungkap Sutoro Eko. “Mereka masih bingung tentang bagaimana cara memanfaatkan UU Desa untuk memajukan desa mereka.”
Oleh karena itu, Sutoro Eko bersama rekan-rekannya di FPPD memutuskan untuk menulis buku “Desa Membangun Indonesia”. Buku ini disusun dengan gaya kontekstual, memadukan teori dan praktik, serta dilengkapi dengan contoh-contoh konkret dari desa-desa dampingan ACCESS.
“Kami ingin buku ini menjadi panduan praktis bagi warga desa dalam memahami dan mengimplementasikan UU Desa,” jelas Sutoro Eko. “Kami ingin buku ini menjadi jembatan antara kebijakan makro-nasional dengan gerakan dan tindakan mikro-lokal.”
Dua Kaki
“Sebenarnya, bukan hanya dua kaki, Pak,” Sutoro Eko terkekeh, mengingat kembali masa-masa perjuangannya. “Kami berempat, saya, Yando Zakaria, Suhirman, dan Bito Wikantosa, juga menjadi jembatan antara berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan UU Desa.”
“Kami sering berdiskusi dengan jaringan PNPM, kepala desa, hingga para pejuang desa dari berbagai organisasi seperti IRE, STPMD, FPPD, FITRA, ACCESS, FORMASI, Koalisi Perempuan Indonesia, INFID, dan banyak lagi,” lanjut Sutoro Eko. “Mereka adalah sumber pengetahuan dan inspirasi bagi kami. Mereka juga membantu kami melobi dan mengadvokasi UU Desa kepada para pemangku kepentingan.”
Sutoro Eko menceritakan bagaimana M.B. Hoelman dari Tifa Foundation dan Farid Hadi Rahman dari ACCESS sering menyediakan ruang diskusi bagi tim tenaga ahli RUU Desa dan jaringan masyarakat sipil. Diskusi-diskusi tersebut tidak hanya memperkaya pengetahuan mereka tentang isu-isu desa, tetapi juga memperkuat jaringan dan dukungan bagi perjuangan mereka.
“Meskipun UU Desa sarat dengan politik dan aroma gerakan sosial, saya yakin bahwa pengetahuan tetap merupakan kekuasaan,” tegas Sutoro Eko. “Pengetahuan yang kami miliki, baik dari teori maupun data empiris, sangat mempengaruhi bangunan UU Desa.”
Ia teringat akan perkataan Aliwongso Sinaga, anggota Pansus dan Timus RUU Desa, yang selalu mengingatkan agar setiap pasal dan argumen yang mereka bangun harus rasional dan berdasarkan data.
“Kami bekerja keras untuk memastikan bahwa setiap pasal dalam UU Desa memiliki landasan yang kuat, baik secara konseptual maupun empiris,” jelas Sutoro Eko. “Kami tidak ingin UU Desa ini hanya menjadi dokumen politik semata,tapi benar-benar menjadi instrumen perubahan bagi desa.”
Sutoro Eko melanjutkan ceritanya tentang bagaimana mereka berempat terus bekerja sama untuk mengawal implementasi UU Desa.
“Kami sering disebut sebagai ‘Trio Desa’,” katanya sambil tersenyum. “Tapi saya lebih suka menyebut kami sebagai ‘Catur Sakti Desa’, sesuai dengan jargon ‘bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya’.”
Ia menjelaskan bahwa Bito Wikantosa fokus pada isu desa berdaulat secara politik, dirinya sendiri pada desa bertenaga secara sosial, Suhirman pada desa berdaya secara ekonomi, dan Yando Zakaria pada desa bermartabat secara budaya.
“Kami punya keahlian dan minat yang berbeda-beda, tapi kami punya tujuan yang sama: mewujudkan desa yang mandiri,sejahtera, dan demokratis,” tegas Sutoro Eko.
“Menarik sekali, Pak,” kataku, kagum dengan dedikasi dan semangat Sutoro Eko. “Saya jadi semakin bersemangat untuk menerapkan UU Desa di desa saya.”
“Itulah yang saya harapkan, Pak Kades,” jawab Sutoro Eko. “UU Desa ini adalah milik kita semua. Kita harus bersama-sama mengawal dan mengimplementasikannya. Saya yakin, desa-desa di Indonesia bisa bangkit dan menjadi motor penggerak pembangunan nasional.”
Sutoro Eko kemudian bercerita tentang bagaimana ia dan rekan-rekannya di FPPD terus melakukan konsolidasi dan advokasi untuk memastikan bahwa UU Desa benar-benar dijalankan dengan baik. Mereka melakukan pelatihan,pendampingan, dan advokasi kebijakan kepada pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Kami juga aktif menulis buku dan artikel tentang UU Desa,” lanjut Sutoro Eko. “Kami ingin menyebarkan pengetahuan tentang UU Desa kepada masyarakat luas, agar mereka bisa memahami hak-hak mereka dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa.”
Sutoro Eko mengakhiri ceritanya dengan sebuah pesan yang menggugah semangat: “Perubahan desa memang tidak mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Kita harus terus belajar, terus berinovasi, dan terus berjuang. Saya yakin, dengan semangat gotong royong dan dukungan dari semua pihak, kita bisa mewujudkan desa yang kita impikan. Kita bisa membangun Indonesia dari desa!”
Bersambung….
Pengarang: Anom Surya Putra