Seri 6 Desa Membangun Indonesia: Dari Desa Lama Menuju Desa Baru

MediaVanua.com ~ Kisah ini adalah versi fiksioner dari buku Desa Membangun Indonesia karya Sutoro Eko dan kawan-kawan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa Yogyakarta dan ACCESS (2014). Para pembaca bisa mengunduh versi buku asli (non-fiksi) pada link ini: BUKU GRATIS DESA MEMBANGUN INDONESIA.
EPISODE 6: BERGESER DARI OTONOMI DESA
Titik Balik di Warung Kopi
Di tengah deru angin sore yang meniup lembut melalui jajaran pohon jati di pinggiran Desa Vagaz, sebuah diskusi hangat terjadi di warung kopi milik Bu Siti. Majalah Prisma edisi terbaru 1970an dengan judul provokatif “Desa, Mau Dibawa Kemana?” tergeletak di tengah meja, mengundang perhatian semua yang hadir.
“Lihat ini, teman-teman,” ujar Pak Harun, sambil menunjuk pada judul artikel tersebut. “Mereka bertanya kepada kita, kepada kita semua yang di desa, kemana kita ini mau dibawa?”
Bapak Sudarman, kepala desa yang bijaksana, mengambil majalah tersebut dan membacakan beberapa bagian. “Prisma mengatakan bahwa pembangunan fisik saja tidak cukup. Desa kita berubah, tapi apakah kita benar-benar merasakan perubahan itu?”
“Benar, Pak Kepala,” timpal Joko, pemuda desa yang baru kembali dari studi di kota. “Bangunan baru, sekolah bagus, tapi apakah itu semua membuat kita lebih mandiri? Atau kita hanya menjadi bagian dari mesin besar yang mereka bangun?”
Pertemuan di Balai Desa
Merespon kegelisahan warganya, Sudarman mengundang seluruh desa ke balai desa untuk diskusi terbuka. Lampu minyak menyala terang, memancarkan cahaya hangat ke wajah peserta yang penuh antisipasi.
“Hari ini, kita bukan hanya berbicara tentang apa yang telah dibangun,” kata Sudarman. “Tapi kita berbicara tentang apa yang harus kita bangun untuk jiwa desa kita. Otonomi, kemandirian, identitas kita sebagai Vagaz.”
Diskusi itu berubah menjadi forum energik. Setiap orang, dari petani hingga guru, memberikan pendapat tentang apa yang mereka rasa penting untuk masa depan desa.
Pendidikan yang Berakar pada Tradisi
Ibu Ana, guru di SD Inpres Vagaz, mengambil inisiatif berdasarkan ide-ide yang muncul dari forum desa. Dia mulai mengintegrasikan pelajaran tentang adat istiadat Vagaz dalam kurikulum sekolah.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar dari Mbah Putri, dia akan menceritakan tentang sejarah desa kita,” umumnya di kelas.
Mendengarkan dengan penuh perhatian, anak-anak tersebut merasa lebih terhubung dengan desa mereka, sebuah perubahan kecil tapi penting menuju pendidikan yang lebih bermakna dan relevan.
Perubahan Melalui Otonomi
Dengan dukungan penuh dari Sudarman dan masyarakat desa, Vagaz mulai mereformasi cara mereka mengelola sumber daya alam dan kegiatan ekonomi. Kooperasi desa dibentuk dengan anggota dari warga desa sendiri, mengelola dari penjualan hasil bumi hingga pengaturan pasar desa yang baru.
“Ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang memulihkan kepercayaan diri kita sebagai warga desa,” jelas Sudarman dalam musyawarah tahunan desa.
Gelombang Kekecewaan dan Perlawanan
Tiga tahun setelah semarak diskusi dan kebangkitan otonomi di Vagaz, Desa Vagaz dihadapkan pada realitas pahit. Pada tahun 1979, pemerintah mengesahkan UU No. 5/1979 yang bertujuan untuk menyatukan seluruh desa di Indonesia di bawah satu model administrasi yang mirip dengan model desa administratif di Jawa. Ini menciptakan gelombang kekecewaan yang meluas, terutama di Vagaz yang telah bekerja keras mempertahankan keunikannya.
“UU ini seperti rantai yang mengikat tangan kita,” ucap Pak Harun dengan suara bergetar saat diskusi di balai desa. “Semua yang kita bangun, semangat kita, kemandirian kita, kini diambil alih.”
Bapak Sudarman, meskipun merasa kecewa, tetap mencari jalan keluar. “Kita tidak bisa hanya duduk dan mengeluh. Kita harus menemukan cara untuk beradaptasi tanpa kehilangan jiwa kita.”
Strategi Bertahan
Desa Vagaz mulai melaksanakan strategi untuk bertahan hidup di bawah regulasi baru ini. Mereka memanfaatkan celah dalam UU No. 5/1979 untuk melanjutkan beberapa praktek otonomi mereka, meskipun dalam skala yang lebih kecil dan lebih diam-diam.
Ibu Ana, yang selama ini menjadi pionir dalam pendidikan lokal, mengintegrasikan kurikulum tradisional dengan pelajaran dari pemerintah dengan cara yang kreatif, memastikan bahwa anak-anak desa masih menerima pelajaran tentang budaya dan sejarah lokal mereka. “Pendidikan tidak hanya datang dari buku, tetapi juga dari tanah kita, dari cerita orang tua kita,” jelasnya kepada orang tua murid pada pertemuan sekolah.
Tahun-Tahun Penantian
Di tahun-tahun berikutnya, Vagaz berjuang untuk menjaga keunikan mereka tetap hidup di bawah tekanan pemerintah untuk menyeragamkan. Walaupun kecewa dan frustrasi, komunitas desa terus berusaha mengadvokasi dan berkomunikasi dengan pemerintah untuk lebih mengakui dan menghormati keberagaman desa.
Aku membaca laporan dampak negatif UU No. 5/1979 pada desa-desa di luar Jawa, termasuk Vagaz. Sambil mengelus dada setelah mendengar perjuangan Vagaz dari kerabat mantan perangkat Desa.
Fajar Baru
Perjuangan Vagaz dan desa-desa lain akhirnya membuahkan hasil ketika reformasi politik dan hukum mulai bergulir di Indonesia pada akhir tahun 90-an. Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Desa diresmikan, memberikan desa otonomi yang lebih besar.
“Ini adalah fajar baru bagi kita semua,” ucap Sudarman dalam sebuah pertemuan di balai desa. “UU baru ini memberi kita kembali kekuatan untuk menentukan nasib kita sendiri, seperti yang kita perjuangkan bertahun-tahun.”
Dengan berlakunya UU baru, Vagaz kembali menggeliat. Kegiatan sosial dan ekonomi yang dikelola oleh desa meningkat, termasuk pengelolaan dana desa yang memungkinkan mereka untuk membangun infrastruktur baru dan memperkuat ekonomi lokal.
Pak Harun, kini menjadi bagian dari perangkat desa, berdiri di depan forum desa, memandang wajah-wajah yang bersemangat. “Ini semua berkat perjuangan kita. Mari kita terus membangun Vagaz sebagai desa yang mandiri, demokratis, dan makmur.”
Dalam semangat perubahan yang berkelanjutan, Vagaz tidak hanya mempertahankan identitasnya, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan kegigihan yang menginspirasi desa-desa lain di Indonesia untuk mengikuti jejak mereka. Di sudut balai desa, majalah Prisma edisi lama yang pernah memulai semuanya, kini tersimpan rapi sebagai pengingat akan perjalanan yang telah dilalui dan cita-cita yang terus hidup.
Amanat Baru
Ketika Undang-Undang No. 22/1999 disahkan, suasana di Desa Vagaz berubah menjadi penuh harapan dan kegembiraan. Sudarman, yang telah memimpin desa ini melalui masa-masa sulit, kini merasakan kelegaan dan optimisme baru. Pada suatu pagi di balai desa, ia membacakan bagian dari UU baru tersebut di depan warga desa yang berkumpul.
“Teman-teman, dengarkan ini,” kata Sudarman dengan suara bergetar karena emosi. “UU baru ini menegaskan bahwa undang-undang lama yang menyeragamkan kita semua tidak sesuai dengan jiwa konstitusi kita. Sekarang, kita diakui dan dihormati. Ini bukan hanya kemenangan hukum, tetapi kemenangan budaya dan sejarah kita.”
Penguatan Masyarakat Sipil
Antusiasme yang sama terasa di banyak desa lain di Indonesia. Para pemimpin desa mulai sadar tentang hak dan kekuasaan baru mereka di bawah UU No. 22/1999. Sudarman berkata, “Kita berada di titik balik sejarah, desa-desa di Indonesia dapat mendefinisikan ulang masa depan mereka. Inisiatif lokal adalah kunci untuk demokrasi yang lebih kuat dan lebih inklusif.”
Di Vagaz, dukungan dari NGO memungkinkan pelatihan dan workshop yang mengajarkan kepada warga cara mengelola keuangan desa, perencanaan pembangunan yang partisipatif, dan pentingnya transparansi dalam pemerintahan desa.
Semangat Baru di Vagaz
Di Vagaz pemberdayaan yang dirasakan oleh warga tidak hanya memperkuat infrastruktur fisik desa, tetapi juga memperkuat jaringan sosial dan budaya mereka. RPJM Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) yang pertama diadopsi di bawah arahan Sudarman adalah sukses besar, dengan proyek-proyek yang dirancang dan dijalankan oleh warga desa sendiri.
“Ini adalah tentang lebih dari sekadar pembangunan,” kata Sudarman pada salah satu pertemuan. “Ini adalah tentang membangun masyarakat kita, kekuatan kita, dan masa depan anak-anak kita.”
Kedaulatan Desa
Vagaz, dengan dukungan dari NGO seperti FPPD, menjadi model bagi desa-desa lain di Indonesia dalam menggunakan otonomi untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam pertemuan tahunan FPPD, Sudarman berbagi pengalaman Vagaz. “Kami telah belajar bahwa kekuatan sejati datang dari mengakui dan menghormati keragaman kita. UU No. 22/1999 bukan hanya memberi kami otonomi, tetapi juga tanggung jawab untuk menggunakan kebebasan ini dengan bijak.”
Desa Vagaz, yang pernah hanya dikenal sebagai titik pada peta, kini dikenal sebagai simbol perjuangan dan kemenangan otonomi desa, menunjukkan kepada Indonesia dan dunia bahwa desa dapat menjadi fondasi yang kuat untuk demokrasi yang berkembang.
Dilema Pembaharuan
Di Desa Vagaz pembaharuan yang dibawa oleh UU No. 22/1999 tidak hanya membawa angin segar tetapi juga dilema-dilema kritis yang membutuhkan perhatian serius. Sebagai desa yang telah merasakan pahit manisnya kebijakan sebelumnya, warga Vagaz berada di tengah-tengah euforia otonomi dan realitas tantangan yang muncul.
“Kita tidak boleh terlena,” ujar Sudarman dalam sebuah diskusi malam di balai desa. “Otonomi bukan hanya tentang mengelola keuangan atau proyek. Ini tentang membangun institusi yang adil dan transparan, yang benar-benar melayani kepentingan semua warga.”
Kritik terhadap Implementasi
Meskipun UU No. 22/1999 telah dicanangkan dengan visi yang mulia, implementasinya di banyak desa termasuk Vagaz seringkali jauh dari harapan. Penyalahgunaan dana desa, ketidakseimbangan kekuasaan, dan kurangnya pengawasan menjadi beberapa isu yang kian mengemuka.
Seorang warga kota yang juga pengamat sosial, dalam studinya yang dipublikasikan pada sebuah seminar nasional tentang otonomi desa, mengkritik, “Pemberian otonomi tanpa pendampingan yang memadai sering kali berujung pada korupsi dan ketidakadilan. Desa diberi kekuasaan, namun tidak selalu diberi kemampuan untuk mengelola kekuasaan tersebut secara bertanggung jawab.”
Dimensi Reflektif dan Paradigmatik
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Sudarman dan warga desa Vagaz mengambil langkah reflektif, mengevaluasi apa yang telah berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Mereka juga mendorong diskusi-diskusi paradigmatik untuk mengeksplorasi model-model pembaharuan desa yang bisa diadopsi atau diadaptasi dari desa-desa lain di Indonesia.
“Kita harus belajar dari kesalahan kita sendiri dan dari pengalaman desa lain,” kata Sudarman dalam sebuah forum desa. “Pembaharuan desa tidak hanya sebatas teori atau kebijakan yang di atas kertas. Ini adalah praktik nyata yang harus kita hidupkan setiap hari.”
Preskripsi Menuju Masa Depan
Dengan kerangka kerja yang sudah disusun, Vagaz mulai mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam pembaharuan desa. Mereka mengintegrasikan pendekatan keberlanjutan dalam setiap aspek pembangunan —dari ekonomi hingga sosial dan lingkungan.
“Pembaharuan desa kita harus mampu menjawab kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang,” tegas Sudarman. “Ini bukan hanya tentang demokrasi atau otonomi, tetapi juga tentang keberlanjutan dan keadilan.”
Pengakuan dan Keadilan
Di tahun-tahun berikutnya, Vagaz menjadi bukti nyata bahwa desa bisa menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi jika diberi otonomi yang tepat. Mereka juga menjadi pembela yang kuat terhadap pengakuan lebih lanjut terhadap hak-hak desa dalam kebijakan nasional.
“Hari ini, kita bukan hanya berbicara tentang Vagaz,” kata Sudarman di sebuah konferensi internasional tentang pembangunan perdesaan. “Kita berbicara tentang bagaimana setiap desa di seluruh dunia harus diberikan kesempatan yang sama untuk mandiri dan berkeadilan. Pembaharuan desa bukan hanya agenda nasional; ini adalah imperatif global.”
Vagaz, dengan segala tantangan dan keberhasilannya, mewujudkan teori preskripsi pembaharuan desa yang tidak hanya berorientasi pada hasil jangka pendek, tapi juga menyiapkan fondasi yang kuat untuk pembangunan jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan.
Kebenaran Tersembunyi
Di tengah-tengah pembangunan dan optimisme yang berkembang, sebuah laporan investigatif oleh seorang jurnalis muda dari Jakarta membawakan sisi gelap pembaharuan di Desa Vagaz. Laporan tersebut mengungkap bahwa beberapa dana pembangunan desa telah digunakan untuk memperkaya segelintir orang di pemerintahan desa, termasuk beberapa kerabat dekat Sudarman, kepala desa yang dihormati.
“Pembaharuan yang kita banggakan, ternyata telah tercemar oleh korupsi dan nepotisme,” ungkap jurnalis tersebut dalam artikelnya yang mendetail. Warga desa, yang membaca berita tersebut, merasa terkhianati dan marah.
Konfrontasi dan Pengakuan
Ketika artikel itu menjadi perbincangan di seluruh desa, Sudarman mengundang semua warga untuk berkumpul di balai desa. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar, ia menghadapi warganya.
“Saya menerima tanggung jawab atas segala yang terjadi,” kata Sudarman. “Saya telah gagal dalam mengawasi dengan baik. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas.”
Kemudian, dalam sebuah tekanan intrik politik yang tidak terduga, Sudarman mengundurkan diri. “Saya memilih untuk mundur untuk memberikan ruang bagi kepemimpinan yang baru, yang bisa membawa Vagaz ke arah yang lebih baik,” ujarnya.
Refleksi dan Pemulihan
Mundurnya Sudarman memicu periode intens refleksi di Vagaz. Warga desa, yang semula hanya menerima otonomi sebagai hadiah, kini mulai memahami bahwa otonomi juga berarti tanggung jawab besar dalam pengelolaan diri. Agen-agen intrik anti otonomi Desa sudah terlanjur menyebar di segala panjuru termasuk tempat-tempat persembunyian dedemit.
Warga desa memilih Nia, seorang guru muda dan vokal, sebagai kepala desa baru. Nia memimpin dengan visi yang jelas untuk reformasi struktural yang mendalam. “Kita perlu membangun kembali desa kita, bukan hanya infrastrukturnya, tapi juga etika dan moralitas kita,” ujarnya dalam pidato pertamanya.
Nia dengan cepat mengimplementasikan sistem checks and balances yang kuat, memastikan bahwa setiap sen uang desa dapat dilacak, dan memperkenalkan sistem pelaporan publik dan audit yang rutin. Ia juga memperkenalkan program pendidikan wajib bagi pemerintah desa tentang etika pemerintahan dan pengelolaan konflik.
Vagaz Baru
Setelah beberapa tahun, Vagaz mengalami transformasi yang luar biasa. Desa yang dulunya hampir terpecah karena skandal, kini menjadi simbol kekuatan, ketahanan, dan pembaharuan. Konferensi nasional tentang pembaharuan desa diadakan di Vagaz, dan Nia diundang untuk berbicara tentang perjalanan desa mereka.
“Krisis kami adalah krisis demokrasi, produktivitas, dan keadilan. Tapi dari krisis itu, kami belajar, kami tumbuh, dan kami menjadi lebih kuat. Vagaz kini bukan hanya tentang pembangunan fisik, tapi tentang keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat,” tutur Nia, yang kini dihormati tidak hanya di Vagaz tapi juga di seluruh Indonesia.
Cerita Vagaz menjadi contoh kuat bahwa kegagalan bisa menjadi fondasi bagi keberhasilan yang lebih besar, dan bahwa kekuatan sejati sebuah desa terletak pada kemampuannya untuk refleksi dan berubah.
Debat Konseptual
Di Desa Vagaz, transformasi kepemimpinan dan perubahan struktural telah menunjukkan hasil yang signifikan. Namun, di luar kesuksesan lokal tersebut, ada perdebatan yang lebih luas di antara para akademisi, aktivis, dan pemimpin desa lainnya tentang bagaimana seharusnya konsep pembaharuan desa dipahami dan diterapkan secara nasional.
Dalam sebuah forum nasional tentang pembangunan perdesaan, Nia, yang kini diakui sebagai pemimpin pemikiran dalam pembaharuan desa, menghadapi pertanyaan kritis dari peserta lainnya, termasuk Mangku Boto. “Pembaharuan desa yang kita bicarakan selama ini, apakah benar-benar berfungsi sebagai alternatif bagi pembangunan desa yang berorientasi pertumbuhan? Atau kita hanya mengganti satu label dengan label lain tanpa perubahan substansial di lapangan?” tanya Mangku dalam panel diskusi berjudul “Pengaruh Batu di Desa terhadap Seni Kepemerintahan di Perdesaan.
Mendengar pertanyaan tersebut, Nia mengakui bahwa ada kekurangan dalam cara desa-desa menangani pembaharuan. “Kami di Vagaz telah melihat manfaat nyata dari otonomi dan pembaharuan, tetapi juga mengalami sendiri kekurangan dari sistem yang tidak sepenuhnya dilengkapi untuk menangani kompleksitas ekonomi-politik lokal. Pembaharuan desa harus lebih dari sekedar desentralisasi kekuasaan; itu harus redefinisi dari apa artinya mengembangkan desa.”
Dipicu oleh diskusi ini, Nia mengajak Mangku Boto dan para ahli lainnya untuk mengembangkan kerangka kerja baru. Bersama-sama, mereka menyusun “Manifesto Pembaharuan Desa,” yang menekankan pada pengembangan yang berkelanjutan, keadilan sosial, dan kemandirian ekonomi. Manifesto ini menjadi fondasi untuk mempromosikan pembaharuan desa tidak hanya sebagai konsep alternatif, tetapi sebagai paradigma utama dalam pembangunan desa.
Untuk menguji ide-ide yang baru diformulasikan ini, Nia dan timnya memilih beberapa desa di berbagai provinsi sebagai pilot project. Mereka menerapkan berbagai strategi yang telah dirumuskan, termasuk kemitraan dengan universitas untuk memberikan pendidikan dan pelatihan, pembentukan koperasi desa untuk manajemen sumber daya alam, dan pengenalan teknologi ramah lingkungan untuk pertanian dan pengolahan limbah.
Selama dua tahun, desa-desa ini mengalami perubahan yang berarti. Kemandirian ekonomi meningkat, konflik sosial berkurang, dan kesehatan masyarakat umumnya membaik. Hasil-hasil ini kemudian didokumentasikan dan dipresentasikan dalam konferensi internasional tentang pembangunan perdesaan yang diadakan di Vagaz.
Resonansi Global
Keberhasilan proyek pilot dan pengaruh konferensi tersebut memberi Vagaz dan Nia panggung global. Organisasi Pembangunan Internasional dan Departemen Pembangunan Internasional dari negeri daratan monarki Eropa mengundang Nia untuk berbicara di Arena Simposium dekat Stasiun Kereta London, tempat ia membagikan pencapaiannya dan membahas tentang aplikasi global dari manifesto pembaharuan desa.
Dalam pidatonya, Nia menyatakan, “Pembaharuan desa bukan hanya tentang mengubah struktur atau kebijakan, tetapi tentang memahami dan menghormati kearifan lokal, memberdayakan masyarakat desa, dan, yang paling penting, mengakui bahwa setiap desa memiliki cerita unik dan solusi yang perlu disesuaikan dengan kondisi lokal mereka.”
Dengan dukungan internasional yang terus bertambah, Vagaz menjadi lebih dari sekadar desa; ia menjadi simbol bagi perubahan yang mungkin terjadi di seluruh dunia. Proyek-proyek baru diluncurkan, fokus pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, memberikan model baru bagi desa-desa lain di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengikuti.
Vagaz, di bawah kepemimpinan Nia, memperlihatkan bahwa pembaharuan desa memang bisa menjadi alternatif yang kuat terhadap pembangunan tradisional, menyediakan jalan menuju masa depan yang lebih adil dan lestari bagi desa-desa di seluruh dunia.
Arus Baru Gerakan Sosial
Di Desa Vagaz, keberhasilan implementasi manifesto pembaharuan desa tidak terlepas dari kekuatan gerakan sosial yang didorong oleh keinginan kuat masyarakat desa untuk mengubah kondisi mereka. Transformasi desa yang diidamkan tidak hanya berwujud perubahan infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga transformasi dalam tatanan politik, keadilan sosial, dan budaya desa.
“Ini bukan hanya perubahan yang kita lihat, tapi perubahan yang kita rasakan,” kata Nia di depan forum komunitas yang dihadiri oleh warga desa dan pengamat dari berbagai daerah. “Vagaz sedang membuktikan bahwa pembaharuan desa bisa menjadi kenyataan, dengan didasari oleh gerakan sosial yang kuat dari masyarakatnya sendiri.”
Untuk mendukung visi pembaharuan desa, Vagaz memfokuskan sumber daya besar pada pendidikan. Inisiatif baru diperkenalkan untuk mengintegrasikan kurikulum pendidikan yang mencakup pelajaran tentang demokrasi, kemandirian, dan keadilan sosial, menanamkan nilai-nilai ini sejak dini kepada generasi muda.
“Kita membangun fondasi bagi desa yang berpikir kritis, berdaulat, dan adil,” kata Ibu Sari, kepala sekolah setempat. “Pendidikan adalah cara kita memastikan bahwa transformasi ini berkelanjutan dan meninggalkan jejak yang mendalam.”
Mangku Purnomo, yang mendaki status sebagai konsultan pembaharuan desa, bekerja bersama Nia untuk mengembangkan model ekonomi desa yang mampu berdiri sendiri. Mereka mempromosikan pertanian berkelanjutan, industri kecil berbasis sumber daya lokal, dan koperasi desa yang dikelola secara demokratis.
“Pertumbuhan ekonomi kita harus berjalan seiring dengan kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Mangku dalam seminar pembaharuan desa. “Itulah esensi dari ekonomi desa yang mandiri dan mumpuni.”
Pembaharuan politik juga menjadi bagian penting dari agenda Vagaz. Nia memprakarsai pembentukan badan permusyawaratan desa yang lebih inklusif, dengan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan di desa meningkat drastis, memperkuat fondasi demokrasi lokal.
“Kami ingin setiap suara didengar, dan setiap tangan memegang kendali masa depannya,” kata Nia dalam pertemuan desa.
Model Vagaz untuk Dunia
Dengan transformasi yang konsisten dan mendalam, Vagaz menjadi model pembaharuan desa yang ditiru di berbagai belahan Indonesia dan di dunia. Nia dan timnya diundang ke forum internasional untuk mempresentasikan model Vagaz, yang menggabungkan kekuatan gerakan sosial, pendidikan yang inklusif, ekonomi berkelanjutan, dan politik partisipatif.
“Kami tidak hanya membangun desa kami,” ujar Nia dalam presentasinya di forum PBB, “kami sedang membangun prototipe untuk masa depan desa-desa di seluruh dunia —desa yang otonom, mandiri, makmur, dan mumpuni.”
Dalam semangat kolaborasi internasional, Vagaz menjadi pusat studi dan pelatihan untuk pembaharuan desa, menarik aktivis, akademisi, dan pembuat kebijakan dari seluruh dunia untuk belajar dan terinspirasi oleh transformasi mereka. Gerakan sosial yang dimulai dari sebuah desa kecil telah tumbuh menjadi sebuah fenomena global, membawa perubahan tidak hanya dalam skala lokal tetapi juga menawarkan harapan dan model bagi desa-desa di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa.
Dengan semangat yang baru, Nia memimpin Desa Vagaz untuk mengeksplorasi konsep-konsep yang dipromosikan oleh Dadang Juliantara. Kesadaran bahwa pembaharuan desa tidak hanya tentang otonomi tetapi juga tentang pemulihan, perlindungan, dan peningkatan kualitas hidup menjadi inti dari dialog antara pemerintah desa dan masyarakatnya.
“Dadang mengingatkan kita bahwa pembaharuan bukan hanya membangun kembali, tetapi juga memulihkan martabat kita,” ujar Nia dalam satu pertemuan strategis dengan timnya. “Kita harus memastikan bahwa setiap warga Vagaz merasa dilindungi, diperkuat, dan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kehidupannya.”
Konflik dan Revisi Kebijakan
Ketika pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Megawati mulai merasa cemas dengan liberalitas UU No. 22/1999, terjadi ketegangan antara keinginan pemerintah untuk mempertahankan kontrol dan keinginan desa untuk otonomi. Situasi ini menjadi lebih rumit ketika revisi UU diusulkan, termasuk perubahan yang bisa mengurangi kemandirian desa seperti pengangkatan sekretaris desa (sekdes) menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
FPPD, tempat Nia juga merupakan anggota aktif, memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat advokasi mereka. Mereka berusaha keras untuk memastikan bahwa suara desa didengar, meskipun seringkali merasa diabaikan oleh pemerintah pusat.
Dalam upaya advokasi yang intensif, FPPD menghadapi tantangan besar ketika DPR mengabaikan isu-isu kritis yang disampaikan oleh mereka. “Kami merasa ditipu,” kata Nia dengan kecewa, saat mengetahui bahwa draf yang disodorkan oleh pemerintah malah menguatkan birokratisasi desa melalui pengangkatan PNS untuk posisi sekdes.
Nia dan timnya bergerak cepat, mengorganisir forum-forum publik dan mendiskusikan implikasi dari draf tersebut. “Ini bukan hanya tentang pengisian posisi administratif; ini adalah tentang siapa yang memiliki kontrol atas keputusan yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari,” ujarnya dalam salah satu forum.
Ketika desa-desa lain mulai menyadari dampak dari perubahan ini, sebuah gerakan luas terbentuk. Dipimpin oleh Vagaz, mereka memulai serangkaian protes damai dan penulisan petisi. “Kami tidak akan membiarkan kebebasan dan kemajuan yang telah kami perjuangkan diambil kembali,” tegas Nia.
Menjelang akhir masa jabatan DPR 1999-2004, tekanan dari berbagai desa, termasuk Vagaz, memaksa parlemen untuk merevisi kembali undang-undang tersebut. Akhirnya, UU No. 32/2004 disahkan dengan beberapa modifikasi yang lebih mendukung otonomi desa daripada draf sebelumnya.
Vagaz, dengan kegigihan dan dedikasi Nia serta dukungan kuat dari FPPD, berhasil mempertahankan visi mereka tentang sebuah desa yang otonom dan demokratis. Mereka telah menunjukkan bahwa desa tidak hanya tempat kebijakan dijalankan, tetapi juga tempat kebijakan dibuat.
“Kita telah membuktikan bahwa dengan bersatu, kita bisa membentuk masa depan kita,” kata Nia, mengakhiri perjalanan panjang mereka dengan refleksi dan keberhasilan yang membawa harapan baru kepada semua desa di Indonesia.
Diskusi Kritis dan Penyusunan Strategi
Beberapa hari setelah UU No. 32/2004 disahkan, sebuah pertemuan penting diadakan di Sekolah Tinggi Desa Ternama yang dihadiri oleh Nia, para pemimpin FPPD, serta anggota masyarakat. Pertemuan ini berfokus pada analisis mendalam tentang dampak UU baru tersebut terhadap struktur pemerintahan desa.
Dalam diskusi yang intensif, kesimpulan yang muncul adalah bahwa UU No. 32/2004, meskipun bermaksud memperbaiki beberapa aspek administrasi desa, sebenarnya membawa beberapa kemunduran signifikan terutama dalam hal demokratisasi desa. Penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa, serta kebijakan baru tentang pengisian posisi sekdes dengan PNS, dipandang sebagai langkah yang mengurangi kemandirian desa dan berpotensi menciptakan konflik internal.
Pasca diskusi, seorang partisipan diskusi, mengusulkan pendekatan yang lebih inklusif dan konstruktif. “Kita tidak bisa hanya menolak UU No. 32/2004,” ujarnya, “kita harus memikirkan cara-cara inovatif untuk memastikan bahwa peraturan pelaksanaan atau Peraturan Pemerintah dari UU ini bisa meminimalisir dampak negatifnya dan malah memperkuat otonomi desa.”
Menerima saran itu, FPPD memutuskan untuk tidak terlibat langsung dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Desa, namun tetap memberikan masukan dan mengawasi prosesnya dari luar. Aliansi ini bertujuan untuk memastikan bahwa suara dari desa-desa yang telah mempraktikkan otonomi dengan efektif, seperti Vagaz, tetap terdengar dalam pembentukan kebijakan.
Menindaklanjuti diskusi tersebut, FPPD, Nia dan beberapa perwakilan pengurus, menjalin kemitraan dengan NGO Nasional dan global. Kemitraan ini difokuskan pada pengembangan RPP Desa yang tidak hanya sesuai dengan UU No. 32/2004, tetapi juga memperkenalkan praktik-praktik inovatif yang telah berhasil diimplementasikan di Vagaz.
Dalam beberapa bulan, tim ini berhasil merumuskan draft RPP yang mengintegrasikan kebutuhan nyata dari desa, mempertahankan aspek-aspek kunci dari otonomi desa, dan memperkenalkan mekanisme baru untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan desa.
Rancangan Peraturan Pemerintah yang telah disiapkan mencakup ketentuan-ketentuan yang memungkinkan desa untuk memiliki lebih banyak wewenang dalam pengambilan keputusan lokal, mengelola sumber daya alam, dan mengembangkan ekonomi lokal berdasarkan prinsip keberlanjutan dan keadilan.
Nia dan timnya menyajikan draft RPP ini dalam sebuah forum nasional, menarik dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan dan menyediakan model bagi desa lain di Indonesia untuk mengikuti jejak Vagaz dalam mengadvokasi dan mengimplementasikan otonomi desa yang sebenarnya.
Refleksi dan Pergerakan ke Depan
Dengan pengesahan RPP Desa yang baru, Vagaz memasuki fase baru dalam sejarahnya sebagai desa yang tidak hanya mandiri dan otonom, tetapi juga sebagai pemimpin dalam gerakan pembaharuan desa nasional. Nia, mencerminkan pada perjalanan panjang yang telah dijalani, berbagi pemikirannya:
“Kita telah melihat bahwa perubahan sejati memerlukan lebih dari sekedar keinginan untuk mengubah; itu membutuhkan kerja sama, kreativitas, dan komitmen yang berkelanjutan dari semua lapisan masyarakat. Vagaz hari ini adalah bukti bahwa desa bisa menjadi kekuatan besar untuk inovasi dan transformasi sosial.”
Dengan UU baru dan PP yang mendukung, Vagaz terus bergerak maju, menginspirasi desa-desa lain dan membuktikan bahwa dengan otonomi yang benar dan dukungan yang efektif, desa bisa menjadi fondasi utama dalam membangun negara yang lebih adil dan makmur.
Setelah diterbitkannya PP No. 72/2005, debat sengit mengemuka di seluruh Indonesia, terutama di forum-forum yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan desa, akademisi, dan pejabat pemerintah. Dalam sebuah konferensi nasional di Jakarta, topik utama adalah perbandingan antara kebijakan lama dan baru dalam hal perencanaan desa dan alokasi dana.
“PP No. 72/2005 adalah langkah maju yang signifikan dari UU No. 32/2004,” ujar Nia di depan audiens. “Ini bukan hanya tentang alokasi dana, tetapi tentang memberi desa wewenang untuk memutuskan apa yang terbaik bagi mereka. Itu adalah esensi dari otonomi sejati.”
Sementara banyak pihak mendukung PP ini, beberapa pejabat daerah dan anggota DPR menyatakan kekhawatiran mereka bahwa PP ini terlalu radikal dan bisa mengurangi kontrol pemerintah pusat atas desa. “Kita tidak bisa hanya memberikan dana dan kebebasan tanpa pengawasan yang memadai,” argumen salah satu anggota DPR dalam debat tersebut.
Di sisi lain, NGO dan organisasi donor, menunjukkan dukungan penuh mereka. “Kami melihat ini sebagai peluang untuk desa-desa mengambil lebih banyak inisiatif dalam pengembangan mereka sendiri,” kata perwakilan mereka.
Di Vagaz, penerapan RPJM Desa dan penggunaan ADD segera membawa perubahan positif. Proyek-proyek yang didanai oleh ADD dikontrol secara ketat oleh warga desa melalui proses partisipatif, menjamin bahwa setiap proyek benar-benar memenuhi kebutuhan lokal.
“Melalui RPJM Desa, kami telah bisa memprioritaskan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” jelas Nia dalam laporan tahunannya ke komunitas. “Dana ini bukan hanya angka di kertas, tetapi adalah alat untuk transformasi nyata.”
Sukses Vagaz dengan PP No. 72/2005 menarik perhatian dari desa-desa lain di Indonesia. Delegasi dari berbagai daerah berkunjung ke Vagaz untuk belajar tentang proses partisipatif mereka dalam perencanaan dan pengelolaan dana.
Selain itu, NGO dan organisasi internasional yang bekerja di kawasan timur Indonesia melaporkan peningkatan signifikan dalam partisipasi dan kemandirian desa-desa yang mereka dukung, mirip dengan apa yang terjadi di Vagaz. “Kami melihat desa tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai pemangku kepentingan aktif dalam pembangunan mereka,” ucap perwakilan dari organisasi internasional.
Era Baru Desa Sipil
Perubahan yang dibawa oleh PP No. 72/2005 dan dukungan yang luas dari masyarakat sipil menciptakan era baru untuk desa-desa di Indonesia. Perencanaan partisipatif dan alokasi dana yang adil memungkinkan desa tidak hanya untuk berkembang, tetapi juga untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses demokrasi.
Nia, dalam pidato penutupnya di sebuah forum internasional, menyatakan, “Transformasi yang kami alami di Vagaz bukan hanya kemenangan lokal, tetapi merupakan bukti bahwa ketika desa diberi sumber daya dan kebebasan untuk mengelola mereka, mereka bisa mencapai lebih dari yang pernah kita bayangkan. Ini adalah tentang pemberdayaan, tentang transformasi desa dari entitas parokhial menjadi institusi publik yang dinamis dan bermanfaat bagi semua warga.”
Sebagai momentum pembaharuan desa memperoleh kekuatan, Pansus RUU Desa memulai sesi deliberasinya di awal tahun 2012 dengan optimisme yang melimpah. Nia, kini menjadi sosok yang tidak hanya dikenal di Vagaz tapi juga di kancah nasional, mengambil peran aktif dalam mendiskusikan dan mempengaruhi bentuk akhir UU Desa yang baru.
Dalam sesi yang panjang dan penuh debat, Nia dan anggota lain dari FPPD memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman dari Vagaz, mengusulkan model-model yang telah terbukti efektif. “Kami tidak hanya berbicara dari teori, tetapi dari apa yang telah kami lakukan, dari perubahan yang kami lihat dan rasakan di komunitas kami,” ujar Nia.
DPD, dalam keterlibatannya, mendorong visi desa sebagai entitas yang mandiri dan dinamis. Ini diresonansi oleh Partai Golkar yang, melalui slogan “Membangun Indonesia dari Desa,” menekankan pentingnya memulai pembangunan nasional dari level terkecil pemerintahan. Budiman Sujatmiko, dengan ide visionernya “Desa Membangun Negara” (DMN), menambahkan lapisan lebih dalam tentang bagaimana desa bisa menjadi katalisator perubahan sosio-politik di tingkat nasional.
Dalam debat yang sengit, banyak anggota DPR yang awalnya skeptis, mulai melihat nilai dalam pendekatan yang lebih inklusif dan bottom-up dalam pengembangan nasional. Mereka mulai memahami bahwa keberhasilan pembangunan nasional sering kali tergantung pada keberhasilan pembangunan di tingkat desa.
Legislasi Pionir
Setelah bulan-bulan negosiasi dan perubahan, UU Desa akhirnya disahkan. Undang-undang ini tidak hanya mengakui desa sebagai entitas pemerintahan yang penting, tetapi juga memberikan kerangka hukum yang mendukung untuk inovasi lokal, rekognisi dan subsidiaritas sebagai pengganti otonomi desa, dan partisipasi aktif warga dalam proses pembangunan desa.
Nia, berdiri di hadapan papan nama besar yang menampilkan “UU Desa: Landasan Baru untuk Indonesia”, memberikan komentar: “Ini adalah awal dari era baru. Sekarang, setiap desa di Indonesia memiliki kesempatan untuk menulis ulang narasi mereka, untuk memperkuat komunitas mereka dan menjadi lebih mandiri.”
Di Vagaz, pemberitaan tentang pengesahan UU Desa disambut dengan perayaan. Nia, kembali ke desanya, disambut sebagai pahlawan. Tapi, dia tahu bahwa pekerjaan mereka baru saja dimulai. “Kini, kita memiliki alat hukum untuk lebih maju, tetapi realisasi dari semua ini tergantung pada kita,” katanya kepada warga desa yang berkumpul.
Ia mengumumkan bahwa Vagaz akan menjadi tuan rumah untuk konferensi besar tentang implementasi UU Desa, mengundang pemangku kepentingan dari seluruh Indonesia dan dari berbagai negara untuk belajar dari pengalaman Vagaz.
Dalam cahaya senja yang menyinari langit Vagaz, Nia berdiri di tepi sawah, memandang ke depan. Dia merenungkan masa depan, tidak hanya untuk Vagaz tapi untuk semua desa di Indonesia. Di kejauhan, suara anak-anak bermain dan desas-desus aktivitas desa menjadi latar musik yang sempurna untuk renungannya.
“Perubahan ini bukan akhir,” gumamnya, “ini adalah awal dari perjalanan yang panjang dan menantang. Tapi kita siap, dan kita tidak sendirian.”
Di balik senyumnya, ada keteguhan dan pertanyaan yang tersisa: Apa tantangan baru yang akan muncul? Dan bagaimana desa-desa di Indonesia akan menggunakan kekuatan baru mereka untuk membentuk masa depan mereka?
Aku menutup malam ini dengan mengelus buku Desa Membangun Indonesia. “Berat, berat, Indonesia ini. Desa ditarik kesana kemari oleh negara selama puluhan tahun.”
BERSAMBUNG….
Pengarang: Anom Surya Putra