Seri Sosiologi Hukum (10): Hukum dan Ekonomi, Dimensi Sosiologis Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
bagian iii dimensi-dimensi sOSIOLOGIS HUKUM
7. HUKUM DAN EKONOMI: REGULASI PASAR
Dengan mengandalkan pendekatan analitis yang diperkenalkan dalam Pendahuluan, 4 (empat) bab berikut dari buku ini (Bab 7 sampai dengan Bab 10; penerjemah) berfokus pada hubungan saling ketergantungan yang ada antara hukum dan institusi dan fungsi masyarakat lainnya, khususnya antara hukum dan ekonomi, hukum dan politik, hukum dan integrasi normatif, serta hukum dan budaya. Seperti disebutkan sebelumnya, perspektif ini berhutang budi pada teori sistem Talcott Parsons, namun model di sini digunakan dengan cara analitis yang ketat untuk membuka berbagai pertanyaan penelitian yang dapat didekati dari berbagai posisi teoretis.
Dalam spesifikasi model analitis yang digunakan dalam buku ini, posisi teoretis penting yang telah menggerakkan sosiologi setidaknya dapat dibedakan pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, model analisis masyarakat yang disarankan sesuai dengan ilmu-ilmu sosial ekonomi, ilmu politik, sosiologi, dan (budaya) antropologi. Di antara disiplin ilmu ini, peran sosiologi secara historis unik karena fokusnya pada integrasi sebagai fungsi penting bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa membatasi perhatian pada salah satu bagian penyusun masyarakat saja (lihat Habermas 1981b: 4-5). Kedua, model tersebut juga dapat dibaca dari segi kekhususan sosiologis yaitu sosiologi ekonomi, sosiologi politik, sosiologi hukum, dan sosiologi budaya. Apa yang membedakan bidang-bidang khusus ini dari ilmu-ilmu sosial yang mengkhususkan diri dalam bidang kelembagaan yang tepat adalah bahwa ilmu-ilmu sosial itu berbagi dan berpegang pada perhatian sosiologis terhadap masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, hubungan yang dibuat secara teoritis dan yang diteliti secara empiris antara bidang perhatian institusional tertentu dan komponen institusional masyarakat lainnya, setara dengan spesialisasi sosiologis. Dan, ketiga, sosiologi hukum karena itu juga harus mempertahankan, mengingat fokusnya pada komponen integratif masyarakat yang penting, minat dalam hubungan hukum dengan institusi-institusi sosial lainnya. Minat ini, apalagi, tidak dapat dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan yang menandai bidang masing-masing bidang spesialisasi sosiologis lainnya. Misalnya, seorang sosiolog politik berbeda dengan seorang ilmuwan politik, demikian pula sosiolog hukum yang mempelajari hukum dalam kaitannya dengan ekonomi berbeda dari seorang sosiolog ekonomi.
Beralih ke perhatian sosiologi hukum yang telah diberikan pada hubungan antara hukum dan ekonomi, bab ini akan membahas karya yang berfokus pada pengaturan berbagai masalah kehidupan ekonomi, termasuk undang-undang tentang perburuhan dan hubungan perburuhan, properti, dan regulasi aspek korporasi bisnis seperti undang-undang tentang serikat pekerja dan pembentukan badan usaha besar (trust). Masuknya aspek teoritis ke dalam diskusi ini disediakan oleh perspektif sosiologis hukum mengenai interkoneksi yang ada antara hukum dan organisasi. Seperti dalam kasus korporasi bisnis, organisasi modern dari berbagai jenis muncul sebagai aktor privat yang perilakunya diatur secara hukum. Di antara perkembangan teoretis yang lebih penting, apa yang disebut perspektif institusionalis telah diusulkan untuk menguji variasi yang ada dalam mekanisme dan efek dari strategi regulasi yang telah dikembangkan dalam organisasi sebagai akibat dari tekanan hukum eksternal. Dengan memperluas cakupan teoretis dan tematik di luar tingkat kelembagaan kehidupan organisasi, perhatian tambahan akan dicurahkan pada analisis negara kesejahteraan yang telah berkembang, dalam bentuk yang lebih kuat dan lebih lemah, di seluruh masyarakat Barat. Model yuridis akan diandalkan untuk memetakan perkembangan tersebut dari sudut pandang sosiologi hukum.
VARIASI-VARIASI INSTITUSIONALISME
Apresiasi terhadap analisis sosiologis kontemporer tentang dinamika antara hukum dan ekonomi dapat dimulai dari perspektif teoretis dalam sosiologi organisasi, khususnya kemunculan dan transformasi perspektif institusionalis.[1] Asal-usul perkembangan ini kurang menjadi jalan alternatif ketimbang yang diharapkan, bukan hanya karena sosiologi klasik memandang hukum sebagai institusi yang dengan cara tertentu terkait dengan ekonomi, tetapi terutama disebabkan oleh beberapa praktisi paling awal dari sosiologi hukum modern yang menghubungkan karya mereka secara erat dengan ekonomi dan organisasi. Karya perintis Philip Selznick sangat penting dalam hal ini karena ia berkelana ke bidang sosiologi hukum dan sosiologi organisasi.
Penting untuk tujuan saat ini adalah bahwa Selznick (1957, 1969) telah memajukan perspektif tentang cara yang mana sistem aturan otoritatif, analog dengan hukum formal yang diproklamirkan oleh negara, dikembangkan dalam organisasi privat. Organisasi privat, Selznick menunjukkan, mengembangkan struktur normatifnya sendiri yang diharapkan dapat dipatuhi oleh para partisipan organisasi dan yang sanksinya dapat diterapkan bila terjadi pelanggaran aturan. Kristalisasi struktur normatif di sekitar fungsi tertentu yang diakui oleh masyarakat, seperti pendidikan, pengasuhan anak, dan produksi serta distribusi barang dan jasa, disebut sebagai institusionalisasi. Perspektif institusionalis organisasi, secara umum, dengan demikian berfokus pada suatu cara yang mana cara perilaku tertentu dalam suatu organisasi memperoleh sifat struktur normatif, yang dalam banyak hal setara dengan sistem hukum formal dan cara yang menciptakan peluang dan kendala tentang apa yang dapat dilakukan dalam organisasi.
Sosiologi organisasi telah mengadopsi perspektif institusionalis, tidak terutama dalam pandangan relevansinya dengan sosiologi hukum, tetapi dalam menanggapi analisis ekonomi organisasi. Berdasarkan model liberal klasik, organisasi dipandang sebagai aktor rasional yang mengadopsi aturan dan prosedur karena organisasi itu efisien memberikan tujuan tertentu. Kontribusi utama teori institusionalis dalam sosiologi bukanlah mempertanyakan bentuk rasionalitas ini, tetapi mengontekstualisasikannya dalam kerangka sosio-historis yang membentuk isi, bentuk, dan makna rasionalitas. Rasionalitas ekonomi yang beroperasi di pasar bebas, dengan kata lain, tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang diberikan begitu saja. Perspektif institusionalis skeptis terhadap model organisasi aktor rasional dan cenderung lebih makroskopik dalam orientasi. Dengan menekankan hubungan antara organisasi dan lingkungannya, institusionalis juga menjelaskan struktur normatif dalam organisasi yang terkait dengan istilah yang mungkin sangat berbeda dari pendapat-pendapat formal organisasi itu sendiri tentang operasinya. Sebagai contoh, suatu organisasi dapat secara formal memberlakukan aturan keselamatan untuk melindungi anggotanya dari kecelakaan fisik, tetapi aturan tersebut sebenarnya dapat berfungsi untuk melindungi organisasi dari tanggung jawab bila terjadi kecelakaan. Demikian juga, aturan tertentu mungkin ada yang tidak berkontribusi, dan bahkan mungkin bertentangan dengan, efisiensi organisasi. Proses pelembagaan yang menjelaskan perkembangan struktur normatif seperti itu berada di luar lingkup model ekonomi tradisional dan harus dianalisis secara sosiologis.
Apa yang disebut institusionalisme baru (new institutionalism) yang berkembang dari kritik terhadap karya Selznick mempertahankan pandangan sentral mengenai organisasi sebagai sesuatu yang tertanam secara sosial, tetapi berbeda pada mekanisme dan sumber pelembagaan dalam organisasi. Institusionalisme tradisional atau institusionalisme lama adalah teori budaya yang berpusat pada nilai dan norma (tentang apa yang harus dilakukan), sedangkan institusionalisasi baru adalah teori kognitif yang berkaitan dengan klasifikasi dan skrip (scripts) (tentang apa yang dapat dilakukan). Orientasi normatif dalam karya Selznick secara teoritis didukung oleh pandangan Parsonian tentang institusionalisasi yang berfokus pada kesesuaian dengan norma berdasarkan proses internalisasi. Orientasi kognitif para institusionalis baru, sebaliknya, secara teoritis bersandar pada perspektif konstruksi realitas yang dikembangkan oleh Peter Berger dan Thomas Luckman (1967). Perspektif sosial-konstruksionis mengemukakan bahwa masyarakat adalah konstruksi manusia sekaligus realitas objektif, lebih khusus melibatkan proses yang meliputi: konstruksi masyarakat sebagai tatanan sosial manusia tertentu (institusionalisasi); pengalaman manusia-yang melekat-pada-dirinya sebagai suatu realitas tersendiri (objektifikasi); dan potensi masalah bahwa unsur manusia dalam tatanan sosial tidak lagi diakui (reifikasi). Apa yang penting bagi neo-institusionalis adalah bahwa proses pelembagaan adalah kognitif, bukan masalah normatif, yang mana institusi dipahami sebagai konstruksi kognitif yang mengontrol perilaku manusia bahkan sebelum internalisasi norma sanksi. Kepatuhan organisasi terjadi karena rutinitas tertentu diterima begitu saja sebagai cara melakukan sesuatu, tanpa konsepsi alternatif. Sifat perilaku organisasi yang diterima begitu saja terungkap dengan baik dalam kenyataan bahwa struktur normatif yang kontradiktif dapat hidup berdampingan dalam organisasi yang sama.
Selain itu, sementara teori pasar rasional memahami perilaku individu dalam organisasi berdasarkan prinsip maksimalisasi keuntungan, perspektif institusionalis tradisional mengaitkan kepatuhan organisasi dengan tugas normatif, menanamkan nilai pada respons yang dilembagakan di luar persyaratan teknisnya. Institusionalisme baru (new institutionalism), sebaliknya, berpendapat bahwa organisasi dipengaruhi oleh lingkungannya yang lebih luas melalui isomorfisme institusional, yaitu, atas dasar kesamaan yang ada di antara struktur dan praktik organisasi di bawah kondisi lingkungan yang sebanding. Isomorfisme organisasi adalah hasil dari tekanan yang dialami organisasi untuk membangun legitimasi dalam dunia institusi dan karenanya mengadopsi bentuk dan konten tertentu untuk bertahan dan diterima sebagai organisasi yang legitim (absah).
HUKUM DAN ORGANISASI: MELAMPAUI HUKUM DAN EKONOMI
Fokus utama penelitian institusionalis dalam sosiologi hukum berpusat pada hubungan timbal-balik antara hukum dan organisasi, khususnya cara organisasi beradaptasi dengan perubahan yang relevan di arena hukum.[2] Organisasi tidak hanya terdiri dari korporasi ekonomi atau kelompok bisnis tetapi juga organisasi publik dari berbagai jenis, seperti institusi pemerintah dan asosiasi sukarela. Namun, dengan mengingat Weber, organisasi secara umum dapat dilihat sebagai institusi yang dibangun dengan sengaja, yang tunduk pada proses rasionalisasi yang lebih umum yang mempengaruhi berbagai bidang kehidupan sosial. Karena alasan inilah Weber dapat fokus pada bentuk birokratisasi terlepas organisasi negara atau pasar terlibat.
Suatu titik-masuk yang berguna ke dalam bidang hukum dan organisasi dalam sosiologi hukum adalah dengan mengingat perspektif rasionalis hukum dan ekonomi. Teori ekonomi rasionalis menjelaskan perilaku organisasi dalam hal adaptasi yang efisien terhadap kondisi pasar eksternal. Prinsip-prinsip efisiensi dan rasionalitas diadopsi dalam organisasi karena mereka dihargai di pasar. Dengan dipahami sebagai keseluruhan aturan yang ditetapkan secara formal, hukum adalah salah satu dari banyak kekuatan eksogen koersif yang mempengaruhi perilaku organisasi. Berlawanan dengan pendekatan pasar rasionalis, perspektif institusionalis dalam sosiologi hukum berpendapat bahwa rasionalitas dibentuk secara sosial, bukan realitas yang diberikan secara objektif. Organisasi bergantung pada mitos rasional yang mungkin tidak akurat secara inheren tetapi efektif karena dibagikan secara luas.
Dengan diterapkan pada bidang sosiologi hukum, perspektif institusionalis juga mengubah fokus dan bahkan mengoreksi beberapa tema yang mendasari institusionalisme organisasi. Sosiologi hukum institusionalis melengkapi perspektif kognitif institusionalisme baru (new institutionalism) dalam menjelaskan cara pelembagaan terjadi (mekanisme pelembagaan) dengan berfokus pada respons perilaku terhadap pelembagaan setelah terjadi (efek pelembagaan). Selain itu, dengan memandang hukum secara lebih serius, institusionalisme dalam sosiologi hukum tidak hanya memahami hukum sebagai aturan yang ditetapkan secara formal (“hukum dalam kitab-aturan; law in the books”) tetapi mengadopsi konsepsi hukum yang lebih luas karena juga melibatkan variabilitas dalam penerapan, perbedaan dalam penegakan, pluralisme otoritas, dan ambiguitas makna (“hukum dalam tindakan; law in action“). Dalam pengertian ini, pelajaran dasar sosiologi hukum untuk sosiologi organisasi adalah untuk mempertimbangkan bahwa hukum juga dibentuk secara budaya. Namun, sebaliknya, sosiolog hukum dapat belajar dari teori organisasi institusionalis bahwa organisasi, termasuk korporasi-korporasi pasar dan institusi administrasi birokrasi, tidak harus dipahami semata-mata dalam hal efisiensi teknis dan/atau maksimalisasi keuntungan, tetapi sebagai entitas yang dibentuk secara budaya. Dengan demikian, institusionalisme memberikan koreksi terhadap interpretasi organisasi yang terlalu rasionalis yang mungkin dihasilkan dari keasyikan Weberian dengan rasionalisasi dan efisiensi yang bertujuan.
Fakta bahwa organisasi dipandang sebagai yang dibentuk secara budaya mengarah pada wawasan utama dalam sosiologi hukum dan organisasi bahwa perilaku organisasi dalam menanggapi lingkungan hukum mencakup simbolisme dan juga substansi. Isomorfisme mengungkapkan sifat non-rasional dari kesamaan yang ada di antara organisasi. Penting dari sudut pandang sosiologi hukum adalah fakta bahwa isomorfisme memiliki sumber yang berbeda: itu adalah mimesis ketika organisasi menyalin praktik yang sukses dari satu sama lain; normatif ketika hasil dari kaum-profesional bergerak melintasi berbagai organisasi; dan koersif ketika organisasi bereaksi terhadap struktur aturan eksternal seperti hukum. Dari perspektif ini, kepatuhan hukum dalam organisasi tidak hanya dilihat sebagai strategi penghematan biaya yang rasional tetapi dapat mengambil berbagai bentuk. Sifat adaptasi terhadap mekanisme regulasi dapat bersifat simbolis atau substantif (Edelman 1992). Adaptasi simbolik mencakup kegiatan ritual dan seremonial tertentu, sedangkan tanggapan substantif atau instrumental masuk ke inti masalah. Misalnya, dalam menanggapi aturan hukum mengenai diskriminasi atas dasar ras, korporasi privat dapat (secara simbolis) menunjuk petugas tindakan afirmatif atau (secara substantif) memastikan pembayaran yang sama lintas-ras. Yang penting, jenis tindakan simbolis dan substantif dapat dikaitkan karena respons simbolis mungkin memiliki dampak substantif. Misalnya, petugas tindakan afirmatif yang ditunjuk mungkin memiliki komitmen yang mengakar terhadap keadilan rasial dan merasakan kesetiaan terhadap minoritas, sehingga membawa perubahan nyata dalam kesetaraan ras. Perbedaan antara respon organisasi simbolik dan substantif terhadap hukum menunjukkan bahwa organisasi adalah situs penting yang mana hukum diimplementasikan dengan berbagai tingkat keberhasilan.
Pelajaran penting terakhir dari teori institusionalis yang diterapkan dalam sosiologi hukum adalah gagasan bahwa lingkungan hukum tidak dilihat sebagai batasan kebebasan organisasi, tetapi sebagai aktivitas organisasi. Dengan meninjau penelitian tentang hukum dan ekonomi kita dapat mengungkapkan dinamika kompleks yang ada di antara bidang kelembagaan ini. Berdasarkan spesifikasi minimal dari kemungkinan efek hukum terhadap perekonomian, hukum dapat bersifat fasilitatif, regulasi, atau konstitutif (Edelman dan Stryker 2005). Sebagai fasilitator, hukum tampak agak pasif karena menyediakan seperangkat alat, seperti tuntutan hukum, yang dapat digunakan organisasi dalam menjalankan bisnis mereka. Sebagai regulator, hukum lebih aktif mengintervensi perilaku organisasi, bahkan bertentangan dengan prinsip pasar, dengan menyebarluaskan aturan yang memberlakukan pembatasan tertentu pada kegiatan ekonomi, misalnya tentang antidiskriminasi, perlindungan lingkungan, antimonopolisasi, dan antitrust. Konstitutif realitas, akhirnya, hukum menentukan apakah organisasi itu dan cara mereka berhubungan satu sama lain. Dalam pengertian ini, aturan hukum mendefinisikan dan mengklasifikasikan organisasi, menentukan cara organisasi dapat dibentuk dan cara organisasi dapat berakhir (hukum kepailitan), dan dalam bentuk apa organisasi dapat melakukan kegiatan tertentu (misalnya, sebagai korporasi Limited, korporasi Incorporated).
Apalagi karena peran konstitutif hukum, hukum tidak bisa begitu saja dipandang sebagai sesuatu yang eksogen dalam ranah organisasi. Sebaliknya, hukum bersifat endogen ke ranah/ruang sosial yang ingin diaturnya. Perspektif endogen tentang hukum memandang hubungan antara hukum dan ekonomi dalam konteks masyarakat yang mana kedua ruang/ranah kelembagaan itu terbentuk. Dengan demikian, hukum dan ekonomi adalah ruang/ranah institusional yang terdiferensiasi tetapi tidak sepenuhnya distingtif. Kegiatan ekonomi atau organisasi berpusat di sekitar dimensi sosial dari manajemen, efisiensi, dan produktivitas, sementara hukum berkisar pada aktor hukum dan prinsip-prinsip hak, keadilan, dan tata-kepemerintahan (governance). Konseptualisasi semacam itu juga menunjukkan nilai mengenai pencarian yang tertuju pada keterkaitan antara hukum dan ekonomi dalam hal saling memengaruhi atau, dalam terminologi Parsonian, proses pertukaran ganda (a process of double interchange).
REGULASI BISNIS
Peninjauan atas penelitian tentang interaksi antara hukum dan ekonomi menghadirkan tantangan yang berat, mengingat luasnya penelitian yang relevan. Selain itu, gambaran yang rumit (tentang hal ini dan semua bidang penelitian tematik lainnya yang dibahas dalam buku ini) bukan hanya fakta bahwa penelitian empiris yang relevan eksis dalam banyak perspektif disiplin, tetapi juga bahwa telah terjadi fertilisasi silang yang cukup besar di seluruh tradisi penelitian ini. Mengingat tujuan dari buku ini untuk mengungkapkan kontur disiplin dan nilai sosiologi hukum, maka tinjauan penelitian dalam bab ini akan fokus pada upaya sosiologis. Secara khusus dibahas adalah penelitian yang menonjol berdasarkan relevansinya dalam bidang investigasi yang ditentukan, dampak di lapangan, dan status yang patut dicontoh secara relatif terhadap kerangka teoretis yang dibahas.
Penelitian hukum dan ekonomi dalam konteks negara-negara industri secara umum menunjukkan kecenderungan intervensi yang lebih besar di pasar. Garis teoretis yang membentang dari kritik terhadap liberalisme klasik hingga teori sosiologis Weber dan Durkheim dapat ditarik kembali untuk memetakan secara luas aspek-aspek yang relevan dari perkembangan ini. Sementara model pengaturan kehidupan ekonomi liberal dan Marxis masing-masing merenungkan dengan cara menerima-dan-membiarkan (condoning) dan mengkritik, legalisasi pasar bebas dalam hal politik laissez faire, Weber dan Durkheim tidak lagi berpegang pada model sederhana seperti itu. Weber mengemukakan relevansi negara yang relatif otonom dalam kaitannya dengan pasar, sementara Durkheim merenungkan relevansi sistem regulasi normatif yang menyertai pembagian kerja. Jalan dan hasil perkembangan menuju legalisasi bisnis tidak dapat disangkal, tetapi telah mengambil bentuk yang berbeda dan mempengaruhi kehidupan ekonomi dalam berbagai kondisi sosial-historis. Pengamatan lebih dekat pada penelitian sosiologis tentang aspek-aspek hukum perburuhan Amerika akan mengungkapkan beberapa kerumitan ini.
Hukum perburuhan Amerika mengatur dimensi penting dari hak dan kewajiban buruh dan majikan, termasuk hak buruh untuk mengorganisir serikat buruh, terlibat dengan majikan mereka dalam musyawarah mengenai upah, dan mengadakan pemogokan.[3] Gagasan serikat buruh sangat bertentangan (anti-thetical) dengan filsafat liberalisme pasar-bebas karena tidak sesuai dengan gagasan kesetaraan formal di antara partisipan individu di pasar. Secara historis, memang, serikat buruh pada awalnya dipahami sebagai konspirasi kriminal terhadap majikan dan properti majikan karena perilaku buruh dianggap mengganggu kebebasan perdagangan. Secara hukum, baik organisasi buruh, seperti dalam serikat buruh, maupun aksi kolektif di antara para buruh, khususnya pemogokan, dilarang.
Pada pertengahan abad ke-19, perubahan terjadi dalam kondisi kerja yang menguntungkan organisasi buruh. Pembentukan serikat buruh tidak lagi dianggap ilegal, tetapi aktivitas mereka dibatasi secara hukum. Yang terjadi selanjutnya adalah periode yang mana perintah hukum terhadap serikat buruh menjadi hal biasa dan pengadilan memblokir aktivitas serikat buruh yang efektif. Statuta yang disahkan di tingkat legislatif yang mendukung hak-hak buruh, apalagi, dibatalkan oleh pengadilan yudisial yang lebih tinggi. Dalam keputusan Adair v. Amerika Serikat tahun 1908, misalnya, Mahkamah Agung membatalkan undang-undang federal tahun 1898 yang melarang majikan memecat buruh berdasarkan keanggotaan serikat buruh. Pengadilan menemukan bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional karena melanggar persamaan hak antara buruh dan majikan untuk terikat dalam kontrak. Dalam keputusan lain tahun 1908, Mahkamah Agung berpendapat bahwa tindakan hukum dapat diambil terhadap serikat buruh berdasarkan undang-undang antitrust, yang ironisnya, telah disahkan terhadap organisasi modal daripada buruh.
Perubahan tajam dalam undang-undang perburuhan Amerika Serikat terjadi pada tahun-tahun setelah Depresi Besar 1929-1930, ketika krisis mendalam dalam perkembangan kapitalis menyebabkan pengangguran dan kemiskinan besar-besaran. Upaya legislatif baru diambil untuk mengamankan dan memperluas hak-hak buruh. Pada tahun 1932, misalnya, Norris-La Guardia Act disahkan yang mengakui hak-hak buruh untuk berpartisipasi dalam serikat buruh untuk memperbaiki kondisi kerja buruh dan menegosiasikan upah. Undang-undang tersebut juga membatasi kekuasaan pengadilan untuk mengeluarkan perintah terhadap serikat buruh bila terjadi perselisihan perburuhan tanpa kekerasan. Upaya legislatif seperti itu yang melindungi pembentukan dan aktivitas serikat buruh meningkat setelah tahun 1933 sebagai bagian dari kebijakan Kesepakatan Baru (New Deal) dari pemerintahan Roosevelt. Pada tahun 1935, Undang-Undang Hubungan Perburuhan Nasional atau Undang-Undang Wagner disahkan dan menjadi salah satu bagian terpenting dan abadi dari undang-undang federal New Deal. Undang-undang ini dirancang untuk mempromosikan perjanjian perundingan bersama antara serikat buruh dan majikan mereka untuk memperbaiki ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar yang ada antara pengusaha yang diorganisir dalam bentuk kepemilikan korporasi dan buruh yang tidak memiliki kebebasan penuh untuk berserikat atau kebebasan kontrak yang sebenarnya. Undang-undang tersebut secara eksplisit dirancang untuk mendorong perundingan bersama dan melindungi hak-hak buruh berserikat untuk tujuan merundingkan syarat dan ketentuan pekerjaan mereka. Undang-undang tersebut juga membentuk badan federal baru, Dewan Hubungan Perburuhan Nasional, yang memiliki kekuatan arbitrase dalam perselisihan antara tenaga kerja dan manajemen atas praktik perburuhan yang tidak adil.
Secara sosiologis, penting untuk mengamati bahwa periode dalam hukum perburuhan Amerika Serikat sebelum dan sesudah tahun 1930-an tidak dibedakan berdasarkan tingkat yang berbeda-beda, tetapi dari berbagai jenis intervensi hukum dan pemerintah. Periode sebelum tahun 1930-an merupakan salah satu intervensi represif yang bertujuan untuk menekan hak-hak buruh demi komitmen tegas terhadap kapitalisme liberal, sedangkan periode setelahnya ditandai dengan intervensionisme integratif yang berorientasi pada pendamaian oposisi antara buruh dan kapital untuk melindungi pasar bebas. Intervensi represif terutama dilakukan di tingkat pengadilan, sedangkan intervensi integratif sebagian besar merupakan fungsi dari legislasi federal.
Fakta bahwa hubungan perburuhan terjadi antara buruh dan majikan tak terhindarkan menyiratkan keseimbangan yang rapuh antara hak-hak yang mungkin bergeser ke satu sisi atau sisi lainnya. Menunjukkan variabilitas dampak lingkungan hukum terhadap kehidupan ekonomi adalah cara yang mana hukum perburuhan berkembang sejak tahun 1930-an. Pada awalnya, banyak pengusaha menolak untuk mengakui ketentuan Undang-Undang Wagner, didukung oleh pengadilan banding yang memutuskan Undang-undang tersebut tidak konstitusional. Pada tahun 1937, Mahkamah Agung menegakkan konstitusionalitas Undang-undang tersebut, tetapi setahun kemudian memutuskan bahwa majikan dapat secara permanen menggantikan buruh yang mogok. Majikan juga dilindungi secara konstitusional untuk mengekspresikan penentangan mereka terhadap serikat buruh. Pada tahun 1947, setelah satu tahun terjadi pemogokan yang sebelumnya belum pernah terjadi (a year of an unprecedented number of strikes) yang mana pemogokan itu dipicu oleh tuntutan kenaikan upah yang meningkat setelah Perang Dunia II, amandemen Taft-Hartley sangat membatasi beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Wagner dengan mewajibkan serikat buruh untuk memberikan waktu 60 (enam puluh) hari pemberitahuan sebelum mengorganisir pemogokan dan mengizinkan buruh untuk mengajukan petisi untuk menggulingkan serikatnya atau membatalkan perjanjian perundingan bersama yang ada. Namun, dampak pembatasan Undang-Undang Taft-Hartley terhadap pemogokan, telah dimediasi di tingkat organisasi serikat buruh dan hanya terasa ketika faksi-faksi yang lebih militan dikeluarkan dari gerakan buruh.
LEGALITAS KORPORASI
Pada tingkat organisasi, banyak penelitian institusionalis tentang hukum dan ekonomi telah menunjukkan dampak variabel hukum terhadap kehidupan ekonomi.[4] Penelitian terbaru di bidang ini telah berfokus pada efek undang-undang yang diarahkan pada peningkatan keragaman, memberikan keselamatan, dan melindungi buruh dari diskriminasi di tempat kerja untuk menunjukkan bahwa banyak dari mekanisme aturan ini telah memiliki variabel dan pengaruh ambigu pada kebijakan organisasi. Misalnya, Gerakan Hak Sipil (Civil Rights Movement) tahun 1960-an dan undang-undang baru yang dikeluarkan setelahnya menghasilkan lingkungan normatif yang mana pengusaha ditekan untuk menciptakan perlindungan formal untuk menjamin hak dalam proses hukum. Dengan demikian, organisasi menanggapi ancaman yang ditimbulkan oleh lingkungan hukum. Tetapi organisasi juga sangat bervariasi dalam cara mereka menanggapi tekanan lingkungan hukum.
Penelitian neo-institusionalis telah menunjukkan bahwa kebijakan organisasi mengenai kasus pengaduan diskriminasi sering dimasukkan di bawah tujuan manajerial mengenai hubungan kerja yang lancar. Meskipun pendefinisian ulang semacam itu biasanya tidak mencegah penyelesaian pengaduan, hal itu mencegah pengutukan dan pelabelan diskriminasi terhadap organisasi dalam kasus-kasus yang ada. Demikian pula, penerapan praktik tata kelola proses hukum dalam organisasi telah ditemukan dipengaruhi oleh perubahan dalam lingkungan hukum, dengan institusi publik dan asosiasi nirlaba yang berada di garis depan untuk melembagakan reformasi tersebut. Namun, adopsi organisasi atas kebijakan proses hukum, seperti dengar pendapat tentang kedisiplinan dan prosedur pengaduan untuk buruh yang-tidak-bergabung-dalam-serikat buruh, sebagian besar bersifat simbolis. Organisasi menunjukkan komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan, terlepas dari fungsi aktual dan efek dari praktik yang dilembagakan dari proses hukum. Demikian pula, penelitian tentang dampak undang-undang hak-hak sipil mengenai kesempatan kerja yang setara telah menunjukkan bahwa program tindakan afirmatif yang dilembagakan dalam organisasi seringkali hanya simbolis dan membawa sedikit perubahan langsung dalam kondisi kerja kaum minoritas dan perempuan. Sebagian besar organisasi mengadopsi prosedur pengaduan perburuhan yang setara karena mereka memiliki aura keadilan dan kemanjuran. Namun, sejalan dengan perspektif institusionalis tentang hubungan antara respons organisasional simbolik dan substantif terhadap lingkungan hukum, pelembagaan nilai-nilai yang sejalan dengan kesetaraan pekerjaan dapat menyebabkan peningkatan representasi minoritas dan perempuan.
Upaya yang sangat penting dalam teori hukum organisasi adalah studi terobosan tentang ketidaksetaraan gender dalam kehidupan organisasi Amerika oleh sosiolog Robert Nelson dan William Bridges (1999) dalam buku mereka, Legalizing Gender Inequality. Atas dasar teori institusionalis, Nelson dan Bridges berpendapat bahwa perbedaan upah laki-laki-perempuan secara signifikan dibentuk oleh keputusan penetapan upah organisasi. Perbedaan gender dalam upah bukan hanya produk dari cara kerja pasar, prinsip efisiensi, atau tradisi seksisme yang meresap secara budaya. Nelson dan Bridges menentang teori ekonomi dominan tentang perbedaan antara upah kerja, yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan membayar lebih rendah daripada pekerjaan laki-laki karena kekuatan pasar yang menentukan harga pekerjaan, mendukung model ketidaksetaraan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi cenderung mendiskriminasi buruh dalam pekerjaan yang didominasi perempuan setidaknya dalam dua cara: (a) dengan menolak kekuasaan perempuan dalam politik organisasi; dan (b) dengan mereproduksi keunggulan budaya laki-laki. Gambaran yang rumit adalah bahwa pengadilan, atas dasar kepatuhan pada prinsip non-intervensi di pasar, tidak mengakui dinamika organisasi yang mendorong kesenjangan seksualitas dalam upah (the sex gap in pay). Karena pengadilan tidak merasa berkewajiban untuk memperbaiki ketidaksetaraan gender dalam kekuatan buruh, pengadilan sebenarnya berkontribusi untuk melegalkan ketidaksetaraan gender.
Nelson dan Bridges menguji teori organisasi mereka tentang ketidaksetaraan gender berdasarkan analisis kasus-kasus yang diajukan pada 4 (empat) organisasi yang dituntut karena diskriminasi upah: universitas negeri terbesar di Amerika, sistem perburuhan negara bagian, korporasi ritel Fortune 500, dan bank. Hasil analisis menunjukkan bahwa konteks spesifik dari empat organisasi hanya sebagian menjelaskan perbedaan seks (sex differences) dalam upah dan bahwa tetap ada ketimpangan gender yang substansial bahkan setelah kontrol terhadap penentuan perbedaan upah dan pengaruh pasar. Oleh karena itu, perbedaan upah yang terus-menerus antara kedua seks ini disebabkan oleh praktik tingkat-organisasi. Informasi tentang pasar perburuhan, seperti informasi tentang penawaran dan permintaan terhadap jenis pekerjaan tertentu dan upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja yang bersaing, diabaikan di tingkat organisasi atau ditafsirkan secara selektif dalam proses penetapan-upah. Selain itu, dalam tuntutan keadilan pembayaran, pengadilan sebagian besar telah mengadopsi klaim bahwa pasar perburuhan menentukan upah. Penerimaan yang meluas dari perspektif pasar ini menjelaskan fakta ironis bahwa perempuan hanya sedikit berhasil dalam menentang disparitas upah secara hukum meskipun putusan Mahkamah Agung AS di County of Washington v. Gunther (1981) menyatakan bahwa pengusaha dapat dimintai pertanggungjawaban atas disparitas upah yang diakibatkan oleh diskriminasi gender.
EKONOMI POLITIK HUKUM KESEJAHTERAAN (WELFARE LAW)
Perspektif institusionalis tentang interaksi antara hukum dan ekonomi sebagian besar telah diterapkan di Amerika Serikat. Banyak wawasan tentang cara kerja hukum dalam kehidupan ekonomi, bagaimanapun, juga dapat disimpulkan untuk diterapkan pada masyarakat lain dengan ekonomi pasar. Namun, pada saat yang sama, perbedaan regional dapat diperkirakan karena variabel kondisi budaya, sejarah, dan politik yang mana ekonomi pasar telah berkembang. Dengan memperluas cakupan analisis institusionalis hukum dan organisasi, karya sosiologis pada pengembangan hukum kesejahteraan dapat dibawa ke dalam permainan. Dengan mencerminkan keseimbangan yang sulit dan bergeser antara ekonomi pasar bebas dan liberal dan sistem sosial-demokrasi adalah tingkat dan dampak relatif dari hukum kesejahteraan yang relatif terhadap pembangunan kapitalis. Undang-undang kesejahteraan yang ditujukan untuk meringankan berbagai penyakit sosial yang dalam istilah ekonomi liberal yang ketat harus diserahkan kepada kekuatan pasar, pada kenyataannya telah menjadi subjek undang-undang dan perlindungan hukum.
Penciptaan undang-undang kesejahteraan yang ditujukan untuk mengurangi masalah yang terkait dengan pasar, seperti pengangguran dan keselamatan pekerja, telah mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia, tetapi dengan cara yang berbeda. Umumnya, hukum kesejahteraan lebih luas di Eropa daripada di Amerika Serikat. Diferensiasi ini juga ditunjukkan dalam kontras perspektif sosiologis yang berkembang. Dalam sosiologi Amerika, kesejahteraan biasanya diperlakukan sebagai aspek kontrol sosial, sedangkan literatur Eropa menempatkan kesejahteraan secara lebih jelas bertentangan dengan kapitalisme.[5] Terkait dengan variasi tradisi budaya juga variabel/kondisi politik. Namun yang penting dalam konteks bab ini adalah perkembangan undang-undang kesejahteraan yang telah berevolusi dan berdampak pada kehidupan ekonomi, khususnya di masyarakat Eropa.
Perkembangan hukum kesejahteraan dapat dianalisis secara berguna berdasarkan model yuridifikasi dalam konteks sejarah kesejahteraan Eropa.[6] Yuridifikasi mengacu pada peningkatan hukum formal melalui perluasan hukum melalui pengaturan hukum bidang kehidupan sosial yang sebelumnya diatur secara informal atau melalui pemadatan hukum untuk mengatur tindakan sosial secara lebih rinci. Proses yuridifikasi berlangsung di bawah kondisi politik pembangunan negara modern (akan dibahas dalam Bab 8), tetapi yang menarik di sini adalah fungsi ekonomi dan konsekuensi dari perkembangan ini. Secara khusus, empat gelombang yuridifikasi dapat dijelaskan untuk menjelaskan perkembangan hukum kesejahteraan Eropa.
Pertama, di negara-negara borjuis tradisional rezim absolut di Eropa, ekspansi ekonomi kapitalis disertai dengan perkembangan hukum perdata yang memberikan hak dan kewajiban liberal kepada orang-orang yang terlibat dalam hubungan kontraktual. Aturan hukum perdata ini menjamin kebebasan di pasar. Dalam masalah hukum publik, bagaimanapun, semua kekuatan politik tetap kokoh di tangan penguasa yang berdaulat. Kedua, dengan berkembangnya negara-negara konstitusional, hak-hak individu warga negara untuk hidup, kebebasan, dan properti dijamin secara konstitusional di atas dan melawan kedaulatan politik, yang terikat oleh hukum untuk tidak mengganggu hak-hak liberal ini. Namun, warga negara tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan diberikan selama gelombang yuridis ketiga ketika, di bawah pengaruh Revolusi Prancis, negara-negara konstitusional yang demokratis berkembang dan hak partisipasi politik diberikan dalam bentuk perluasan proses pemilihan. Akhirnya, selama abad ke-20, negara kesejahteraan demokratis berkembang dan regulasi kesejahteraan mengekang bekerjanya sistem pasar bebas untuk memastikan sedikit kesetaraan ekonomi (a modicum of economic equality).
Proses yuridifikasi hukum kesejahteraan modern menunjukkan perkembangan hukum modern berkembang menuju pengurangan beberapa pengaruh negatif kekuatan pasar. Dengan demikian, regulasi kesejahteraan dapat mengklaim tingkat legitimasi sebagai cerminan dari tuntutan rakyat akan keadilan dan kesetaraan di atas dan di luar pasar bebas. Namun, perkembangan hukum kesejahteraan memiliki implikasi ambivalen. Di satu sisi, kesejahteraan telah memberikan hak efektif kepada mereka yang ditinggalkan pasar. Namun, di sisi lain, undang-undang kesejahteraan telah muncul di bawah bentuk khusus yang secara inheren menguntungkan pasar (dan negara). Secara khusus, hukum kesejahteraan memerlukan restrukturisasi intervensi hukum atas dasar individualisasi klaim hukum, sementara kondisi yang mana hukum sosial berlaku secara formal ditentukan. Hak legal atas kesejahteraan juga dilaksanakan secara birokratis melalui cara-cara terpusat dan terkomputerisasi dalam organisasi-organisasi impersonal. Dan, akhirnya, klaim kesejahteraan seringkali diselesaikan dalam bentuk kompensasi moneter, yang memerlukan redefinisi kebutuhan sosial yang konsumtif. Dengan demikian, bentuk khusus dari aturan hukum klaim kesejahteraan itu sendiri dibingkai dalam bahasa dan logika ekonomi.
Seperti yang ditunjukkan oleh tinjauan perjalanan sejarah pengaturan kesejahteraan, penting untuk merenungkan, selain penyaringan organisasi hukum, logika pasar hukum itu sendiri. Tidak diragukan lagi, tidak semua hukum dalam masyarakat kapitalis maju dapat dijelaskan dalam kerangka logika ekonomi, namun tetap penting untuk mengamati pemasaran hukum (marketization of law) secara tepat ketika hukum dimaksudkan untuk meringankan masalah sosial yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Dalam arti yang lebih kuat, pengaruh pasar terhadap hukum ditunjukkan dengan pembongkaran hukum kesejahteraan. Dalam penelitian tentang rezim kesejahteraan yang beragam seperti yang ada di Inggris pada awal abad ke-19 dan Amerika akhir abad ke-20, misalnya, sosiolog Margaret Somers dan Fred Block (2005) telah menunjukkan bahwa kesejahteraan dibongkar ketika akar ekonomi kemiskinan diganti oleh efek korosif dari insentif kesejahteraan pada orang miskin dalam hal kurangnya tanggung jawab individu, kecanduan ketergantungan, dan penyimpangan moral. Melalui proses konversi dari kemiskinan menjadi kesesatan ini, fundamentalisme pasar dapat mendelegitimasi rezim idea dan legal dari kesejahteraan (ideational and legal regimes of welfare). Melihat dinamika pasar seperti itu, analisis sosiologis hukum perlu kemampuan untuk mengungkap, tidak hanya efek hukum terhadap kehidupan ekonomi, tetapi juga ketika dan bagaimana bentuk dan isi hukum dibentuk oleh kekuatan pasar.
KESIMPULAN
Dalam pandangan perspektif teoritis utama dalam sosiologi, hubungan antara ekonomi dan institusi sosial lainnya, termasuk hukum, membutuhkan sedikit pembenaran. Kontur teoretis dari sentralitas ekonomi telah ditetapkan oleh klasik sosiologis (baca: sosiologi klasik; penerjemah). Secara umum aspek yang paling banyak dibicarakan dalam perkembangan menuju peningkatan interpenetrasi antara hukum dan berbagai aspek kehidupan ekonomi dalam konteks masyarakat pasar modern adalah ambivalensi mendasar yang ada dalam pengaturan bidang kehidupan sosial yang pada dasarnya menuntut kebebasan dan otonomi. Jalan pengaturan ekonomi dalam masyarakat industri telah mengarah pada intervensi hukum yang dimaksudkan untuk mencegah intervensi tambahan.
Mengingat sentralitas ekonomi yang diakui secara luas dalam keilmuan sosiologi, mengejutkan bahwa karya sosiologis yang secara eksplisit menghubungkan hukum dan ekonomi berasal dari secara relatif karya akhir-akhir ini. Bahkan, pelembagaan bidang khusus sosiologi ekonomi itu sendiri adalah fenomena yang agak baru juga. Dalam pengertian itu, salah satu pelajaran utama dari Weber dan Durkheim telah diadopsi secara perlahan dalam arus utama sosiologis. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, situasi ini telah berubah dan keilmuan sosiologis tentang interaksi antara ekonomi dan hukum telah menjadi pusat perhatian. Yang sangat menguntungkan bagi sosiologi hukum adalah berbagai untaian institusionalisme yang berfokus pada hubungan antara hukum dan ekonomi di tingkat organisasi. Baik melalui fokus normatif institusionalisme lama atau orientasi kognitif neo-institusionalisme, pemahaman sosiologis yang jelas dikembangkan adalah mengenai cara kerja hukum dalam organisasi, terutama organisasi korporasi dalam masyarakat pasar bebas. Yang paling mencolok adalah temuan umum bahwa efek hukum dalam hal fungsi utama integrasi dan koordinasi tindakan diamati dimediasi pada tingkat organisasi yang mana hukum dihadapkan dengan tatanan kelembagaan non-hukum ekonomi pasar modern lainnya. Penelitian institusionalis di bidang-bidang seperti hak-hak sipil dan hukum kesempatan-yang-setara telah mengungkap batasan-batasan penting pada kebijakan hukum.
Melengkapi wawasan dari penelitian institusionalis dalam sosiologi hukum, perspektif yuridifikasi tentang sejarah regulasi kesejahteraan memunculkan tingkat variabilitas penting yang ada di negara-negara Barat dalam hal luas dan arah intervensi hukum dalam kehidupan ekonomi. Karena kebijakan kesejahteraan terlihat dibentuk oleh imperatif pasar ekonomi, bahkan dan khususnya di masyarakat yang mana negara kesejahteraan berkembang dengan baik, penting untuk mempertimbangkan logika pasar hukum itu sendiri. Tanpa menggunakan Marxisme ortodoks yang dogmatis, tidak bijaksana secara sosiologis untuk mengabaikan analisis tentang cara-cara pasar membentuk arah dan hasil hukum. Oleh karena itu, secara teoritis masuk akal untuk merenungkan kapan dan bagaimana endogenitas hukum dalam kehidupan ekonomi dan organisasi harus dilengkapi dengan endogenitas ekonomi dalam hukum.
Perspektif yuridifikasi yang diterapkan pada analisis hukum kesejahteraan juga memunculkan relevansi legitimasi dalam diskursus sosiologis tentang hukum dengan menunjukkan sifat ambivalen kebijakan kesejahteraan dalam hal seruan rakyat untuk keadilan dan kesetaraan, di satu sisi, dan persistensi pengaruh dinamika pasar, di sisi lain. Pendukung institusionalisme lama (Selznick 1996; Stinchcombe 1997) juga berpendapat bahwa teori neo-institusionalis tentang kepatuhan ritualistis gagal dalam penghitungan terhadap fakta bahwa adaptasi organisasi terhadap tekanan hukum kehilangan legitimasi segera setelah terungkap bahwa adaptasi organisasi itu hanya seremonial dalam esensi (in nature). Legitimasi hanya bisa ada ketika dimensi normatif hukum diakui (recognized). Dalam masyarakat demokratis, hubungan antara legalitas dan legitimasi memerlukan penyelidikan atas dasar dan efek sistem hukum dalam kaitannya dengan politik.
Catatan Kaki:
[1] Pembahasan ini bertumpu pada tinjauan institusionalisme yang diberikan oleh DiMaggio dan Powell (1991); Edelman (1996); Nee (1998); Selznick (1996); dan Suchman dan Edelman (1996). Tentang pengaruh institusionalisme dalam sosiologi dan penerapan perspektif, lihat Brinton dan Nee 1998; Powell dan DiMaggio 1991.
[2] Penggabungan sosiologi hukum dan sosiologi organisasi, khususnya dalam bentuk penerapan prinsip-prinsip institusionalis-baru dalam teori dan penelitian tentang dinamika antara hukum dan organisasi, telah dikemukakan paling utamal oleh Lauren Edelman dan rekan-rekannya (Edelman 1990, 1992, 2002, 2004a, 2004b; Edelman dan Stryker 2005; Edelman dan Suchman 1997; Suchman dan Edelman 1996). Lihat juga Heimer 2001; Stryker 2003. Tentang pendekatan sebaliknya, untuk mengembangkan pendekatan hukum dari sudut pandang sosiologi ekonomi, lihat Swedberg 2003.
[3] Untuk analisis sosiologis hukum perburuhan Amerika Serikat, lihat McCammon 1990, 1993, 1994; Wallace, Rubin, dan Smith 1988; Woodiwiss 1990.
[4] Bagian ini bergantung pada penelitian oleh Dobbin, Sutton, Meyer, dan Scott 1993; Edelman 1990, 1992; Edelman, Erlanger, dan Lande 1993; Edelman dan Suchman 1999; Edelman, Uggen, dan Erlanger 1999; Sutton dan Dobbin 1996; Sutton, Dobbin, Meyer, dan Scott 1994. Penerapan tambahan tentang institusionalisme dalam sosiologi hukum, lihat Burstein 1990; Burstein dan Monaghan 1986; Dobbin dan Kelly 2007; Kelly dan Dobbin 1999; Larson 2004; Pedriana 2006; Pedriana dan Stryker 1997; Skrentny 1994; Stryker 1989, 2001.
[5] Lihat, misalnya, Chilton 1970; Dwyer 2004; Lindsay 1930. Perspektif kontemporer yang dipengaruhi oleh teori institusionalis, lihat Rogers-Dillon dan Skrentny 1999.
[6] Eksposisi ini didasarkan pada analisis Jürgen Habermas (1981a: 522–534; 1981c: 356–364). Lihat juga Voigt 1980.