Seri Sosiologi Hukum (11): Hukum dan Politik, Dimensi Sosiologis Hukum

Anom Surya Putra
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
bagian iii dimensi-dimensi sOSIOLOGIs HUKUM
8. HUKUM DAN POLITIK: PERAN HUKUM DEMOKRATIS
Bahkan lebih dari kasus interaksi antara hukum dan ekonomi, hubungan timbal balik antara hukum dan politik memiliki arti khusus bagi sosiologi hukum. Alasan perhatian khusus yang harus diberikan pada keterkaitan antara hukum dan pemerintahan adalah bahwa fungsi pembuatan undang-undang diberikan kepada cabang kekuasan legislatif pemerintahan, terutama dalam masyarakat yang terorganisir sebagai negara-bangsa dan memiliki sistem hukum yang sangat terkodifikasi dan diformalkan. Dalam konteks masyarakat demokratis, lebih jauh lagi, hukum muncul sebagai salah satu mekanisme paling sentral untuk memastikan bahwa partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara, serta hasil pemerintahan dalam bentuk keputusan legislatif, mematuhi standar demokrasi. Di negara-negara otokratis dan dalam masyarakat yang mana terdapat sedikit perbedaan antara fungsi politik dan hukum, sebaliknya, hukum beroperasi sebagai instrumen dominasi politik yang tidak memiliki dasar legitimasi yang populer. Dengan demokratisasi sistem politik, politisasi hukum tidak lagi menjadi faktor konstan, tetapi sebaliknya, hukum menjadi jaminan terhadap penyalahgunaan kekuasaan politik. Dalam pengertian ini, hukum berfungsi sebagai penghubung penting antara warga negara dan pemerintah mereka.
Seuatu titik-masuk teoretis yang berguna ke dalam diskusi sosiologis yang berkaitan dengan demokrasi dan hukum disediakan oleh analisis diskursus-teoritis tentang kondisi hukum demokrasi. Teori diskursus dikemukakan oleh Jürgen Habermas dalam teorinya tentang tindakan komunikatif. Berdasarkan teori ini, Habermas mengembangkan konsepsi hukum yang menempatkan demokrasi sebagai pusat analisisnya terhadap masyarakat. Sangat kontras dengan teori Habermas, berdirilah perspektif sosiologis Niklas Luhmann, yang telah merumuskan teori hukum autopoietik. Meskipun kedua perspektif tersebut sebagian besar telah berkembang secara independen satu sama lain, teori hukum Luhmann dalam bab ini akan ditempatkan bertentangan dengan teori Habermas untuk menunjukkan relevansi lanjutan dari beberapa garis pemisah teoretis sosiologi hukum modern, yang dibahas dalam Bab 6, pada manifestasi terbarunya.
Bab ini pertama-tama akan menjelaskan perspektif teoretis tentang demokrasi dan hukum yang berfokus pada hukum dalam salah satu dari tiga cara: (1) sebagai dasar demokrasi dalam hal representasi rakyat; (2) sebagai instrumen demokrasi dalam proses pengambilan keputusan politik; atau (3) sebagai ruang deliberasi yang harus mematuhi standar prosedural. Relevansi empiris demokrasi dalam hukum selanjutnya akan diperiksa melalui diskusi karya sosiologis tentang defisit demokrasi yang ada dalam hukum meskipun peran hukum yang ditunjuk berada dalam upaya mengamankan demokrasi dalam masyarakat modern. Dengan bekerja pada hukum dan demokrasi, sosiologi hukum dapat berfungsi sebagai kontra-intuitif yang mencolok dan memiliki kontribusi sosiologis yang jelas terhadap perdebatan yang, mau tidak mau, juga memiliki dampak normatif yang kuat.
HUKUM DI ANTARA LEGALITAS DAN LEGITIMASI: TEORI DISKURSUS
Filsuf dan sosiolog Jerman Jurgen Habermas (lahir 1929) termasuk di antara pemikir paling berpengaruh pada paruh kedua abad ke-20. Pengaruh besar Habermas tidak hanya disebabkan oleh kekuatan karyanya tetapi juga ruang lingkup tematiknya yang luas dan menginspirasi banyak perspektif disiplin ilmu sosial dan humaniora dan memiliki relevansi terhadap perspektif-perspektif tersebut. Habermas belajar filsafat, sejarah, psikologi, sastra, dan ekonomi di universitas-universitas di Gottingen, Zurich, dan Bonn. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai jurnalis lepas, ia menjadi asisten Theodor Adorno, salah satu pemimpin intelektual Mazhab Frankfurt, yang bersama Max Horkheimer bergabung dengan Universitas Frankfurt setelah masa pengasingan selama Perang Dunia II. Habermas tinggal di Frankfurt selama persiapan Habilitationsschrift-nya, yang akhirnya dia pertahankan di Universitas Marburg setelah Horkheimer menolak karyanya itu. Habermas selanjutnya menjadi profesor filsafat, pertama selama beberapa tahun di Heidelberg dan kemudian, di Frankfurt, tempat ia tinggal menghabiskan waktu untuk sebagian besar karirnya. Sejak pensiun pada tahun 1994, Habermas terus menulis secara ekstensif dan berpartisipasi dalam debat publik yang penting. Awalnya Habermas diakui sebagai perwakilan terkemuka dari generasi kedua Mazhab Frankfurt, dan Habermas telah menikmati reputasi yang membuat karyanya berdiri mandiri. Teori Habermas mengandung aspirasi sosiologis dan filosofis. Berikut ini, perhatian diberikan pada aspek-aspek pemikiran Habermas yang bersifat sosiologis dan perhatian ini akan membantu untuk menjelaskan teorinya tentang hukum dan demokrasi serta relevansi pemikiran Habermas terhadap sosiologi hukum.[1]
Perspektif Habermas tentang peran hukum dalam masyarakat modern dibangun di atas perspektif teoretisnya yang lebih luas tentang sifat dan transformasi masyarakat. Teori masyarakat Habermas pada dasarnya bertumpu pada perbedaan antara dua jenis rasionalitas dan dua dimensi-masyarakat-yang-berkorespondensi yang telah berdiferensiasi sepanjang sejarah. Pertama, atas dasar rasionalitas komunikatif yang bertujuan untuk pemahaman timbal-balik, masyarakat dipahami sebagai dunia-kehidupan (lifeworld; lebenswelt). Menurut Habermas, pemahaman timbal-balik di antara para aktor, yang tidak mengesampingkan kemungkinan perbedaan pendapat sebagai akibat dari komunikasi yang tidak terselesaikan, terjadi dalam tiga dimensi: tindakan komunikatif mengandung klaim objektif atas kebenaran, klaim normatif atas ketepatan, dan klaim evaluatif dan ekspresif atas otentisitas dan ketulusan. Dunia-kehidupan masyarakat yang dirasionalisasikan itu berdiferensiasi bersama klaim-klaim ini untuk memberikan nilai-nilai budaya tertentu, standar integrasi normatif, dan pembentukan personalitas yang dapat berfungsi dalam lingkungan sosialnya.
Kedua, atas dasar rasionalitas kognitif-instrumental yang ditujukan pada keberhasilan realisasi tujuan tertentu, masyarakat dapat dianalisis sebagai suatu sistem. Di luar rasionalisasi dunia-kehidupan, Habermas berpendapat, masyarakat modern telah mengalami diferensiasi lebih lanjut dalam sistem tertentu yang telah memisahkan diri, atau “tidak terikat”, dari dunia-kehidupan yang berfungsi tidak lagi atas dasar tindakan komunikatif tetapi atas dasar uang dan kekuasaan. Tindakan yang dikoordinasikan berdasarkan uang dan kekuasaan dalam sistem itu berbeda dari tindakan komunikatif di dunia-kehidupan karena tindakan tersebut bertujuan pada organisasi instrumental-kognitif dari produksi dan pertukaran barang atas dasar keuntungan moneter (ekonomi) dan pembentukan pemerintahan berdasarkan dasar kekuasaan (politik). Pembentukan sistem seperti itu tidak bermasalah, tetapi memiliki konsekuensi bermasalah ketika sistem mengganggu dunia-kehidupan, yaitu, ketika tindakan komunikatif menjadi instrumental atas dasar kebutuhan moneter atau administratif. Habermas menyebut proses ini sebagai kolonisasi dunia-kehidupan.
Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas mengaitkan hukum dengan peran sentral untuk melembagakan atau “menjangkar secara normatif” fungsi independen dari medium-pengarah yakni uang dan kekuasaan. Institusionalisasi hukum uang dan kekuasaan sangat penting dalam mewujudkan pemisahan sistem ekonomi dan politik dari dunia-kehidupan. Habermas mengemukakan hubungan khusus antara hukum dan politik dengan berargumen bahwa otoritas politik secara historis berasal dari posisi yudisial. Dalam kerangka masyarakat yang diorganisir di sekitar negara, juga, pasar telah muncul yang dikendalikan oleh medium uang. Hukum memainkan peran khusus dalam diferensiasi ini karena independensi negara dan pasar dilembagakan secara hukum. Sistem ekonomi dan politik dengan demikian beroperasi secara independen karena mereka “dipasangkan kembali (recoupled)” ke dunia-kehidupan melalui legalisasi medium uang dan kekuasaan, masing-masing, dalam hukum privat dan hukum publik.
Sudut pandang yang mendasari diskusi Habermas adalah bahwa hukum secara formal dapat dipahami sebagai pelembagaan diskursus praktis tentang norma. Habermas mengakui dengan cara pandang Weber tentang karakteristik formal hukum modern, tetapi Habermas juga berpendapat bahwa rasionalisasi teknokratis hukum tidak menguras dimensi normatif hukum. Dengan kata lain, Habermas menyelesaikan ketegangan dalam karya Weber antara legalitas dan legitimasi dengan berargumen bahwa hukum modern, bahkan ketika secara formal diundangkan oleh otoritas politik dan ditegakkan sesuai hukum, juga membutuhkan legitimasi populer (popular legitimation) agar diakui valid di antara subjek hukum.
Habermas menerapkan konsep hukumnya pada pengembangan hukum kesejahteraan dalam hal proses yuridifikasi. Sebagaimana dibahas dalam Bab 7, proses yuridifikasi ini terjadi dalam empat tahap: pertama, perkembangan kapitalisme memberi jalan kepada hukum perdata (civil law), memberikan hak dan kewajiban individu kepada orang-orang pribadi yang terlibat dalam hubungan kontraktual; kedua, hak individu untuk tidak ikut campur (individual rights of non-interference)telah diklaim melawan kedaulatan; ketiga, hak-hak sosial diklaim dalam tatanan politik melalui partisipasi demokratis; dan, keempat, dengan berkembangnya hukum kesejahteraan, hak-hak sosial telah diklaim melawan sistem ekonomi. Terhadap tiga tren yuridifikasi terakhir Habermas berteori sebagai tuntutan kehidupan dunia-kehidupan terhadap pengaruh negara dan pasar. Lebih khusus lagi, tahapan yuridifikasi ini merupakan upaya untuk mengamankan kebebasan politik, kesetaraan politik, dan, akhirnya, kesetaraan ekonomi. Namun, mengingat dampak ambivalen dari hukum kesejahteraan, Habermas berpendapat, tuntutan dunia-kehidupan juga berubah menjadi imperatif-imperatif organisasi birokrasi dan moneter (individualisasi klaim hukum, formalisasi kondisi penerapan, implementasi birokrasi, dan monetisasi kompensasi). Dalam pengertian ini, Habermas berpendapat, hukum mengintervensi sebagai medium dalam suatu cara sistemik ke dalam hubungan sosial kehidupan sehari-hari.
Jadi, dalam rumusan aslinya dalam The Theory of Communicative Action, Habermas mengaitkan peran ambivalen terhadap hukum, karena, di satu sisi, hukum sebagai institusi adalah bagian dari dunia-kehidupan, sedangkan hukum sebagai medium beroperasi atas dasar logika sistematik atau logika instrumental. Konseptualisasi ini hanya dapat dipertahankan jika pemisahan yang kaku ditarik di antara dua jenis hukum: undang-undang yang mengandung klaim kebenaran normatif, di satu sisi, dan undang-undang yang hanya tunduk pada analisis teknis berdasarkan standar efisiensi, di sisi lain. Pemisahan ini mengabaikan kemungkinan bahwa hukum sebagai komponen dunia-kehidupan dapat direstrukturisasi oleh sistem-sistem untuk menghasilkan suatu kolonisasi hukum, daripada bahwa hukum itu sendiri merupakan medium kolonisasi. Dalam karya terbarunya, Between Facts and Norms, Habermas telah mengoreksi pandangan ini untuk menyatakan bahwa hukum modern selalu menjadi bagian dari dunia-kehidupan dan dengan demikian hukum selalu dapat didasarkan secara normatif, tetapi juga bahwa hukum dapat dijajah oleh imperatif-imperatif sistem. Dengan demikian, Habermas tidak hanya menempatkan hubungan khusus antara hukum dan politik melalui proses legislatif dan karakter demokrasi kekuatan politik modern, Habermas juga memelihara hubungan khusus antara hukum dan moralitas. Baik norma moral maupun hukum berorientasi pada penataan interaksi sosial dan penyelesaian konflik yang mungkin timbul dalam interaksi. Namun, sementara norma-norma moral mungkin memiliki legitimasi dan daya tarik yang besar terhadap prinsip-prinsip keadilan, norma-norma tersebut kehilangan kekuatan koersif dan kepastian yang menyertai norma-norma hukum. Terhadap fungsi penting dari administrasi dan penegakan, hukum menggunakan sistem politik, yang pelaksanaannya diatur secara hukum. Karakter politik sebagai tatanan yang absah (legitimate) berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi juga berfungsi sebagai syarat minimum bagi sifat hukum yang demokratis. Sebagaimana dibahas kemudian dalam bab ini, Habermas memahami hubungan antara hukum dan demokrasi dalam term prosedural.
HUKUM, MELAMPAUI POLITIK DAN MORALITAS: AUTOPOIESIS
Yang paling radikal bertentangan dengan perspektif teori diskursus adalah teori hukum autopoietik yang dikembangkan oleh rekan senegaranya Habermas, Niklas Luhmann (1927–1998). Luhmann belajar hukum di Universitas Freiburg tak lama setelah Perang Dunia II dan awalnya memulai karir profesional dalam administrasi publik. Setelah menghabiskan satu tahun akademik dengan beasiswa di Universitas Harvard, yang mana ia mengenal karya Talcott Parsons, Luhmann melakukan studi lebih lanjut dalam sosiologi dan kemudian menjadi profesor universitas, pertama kali selama beberapa tahun di Universitas Munster dan kemudian untuk lebih dari dua dekade di Universitas Bielefeld. Setelah pensiun pada tahun 1993, Luhmann tetap menjadi penulis yang produktif sampai wafat pada tahun 1998. Mungkin karena efek gabungan dari kompleksitas pemikiran Luhmann dan tulisannya yang tidak diterjemahkan secara luas, karya Luhmann belum banyak dibahas dalam sosiologi dan sosiologi hukum seperti yang telah dilakukan oleh Habermas, dengan kualifikasi penting bahwa Luhmann memiliki banyak pengikut di Jerman dan benua Eropa.
Luhmann memahami hukum dan masyarakat dalam kerangka teori sistem yang sangat berbeda dari teori Parsons.[2] Teori Luhmann tidak menggunakan konsep sistem secara analitis melainkan merujuk pada sistem sebagai entitas nyata yang ada, yang dalam kasus masyarakat, telah dibawa oleh disintegrasi pandangan-dunia terpadu (unified worldviews) yang pernah mengamankan kohesi kehidupan sosial dalam masyarakat tradisional. Melemahnya suatu pandangan-dunia bersama yang kuat (a strong common worldview) membawa suatu peningkatan kompleksitas tindakan-alternatif dan, sebagai tanggapan, sistem masyarakat yang terspesialiasi dibentuk untuk mengurangi kompleksitas ini. Menurut Luhmann, sistem ini self-referential atau autopoietic. Sebuah istilah yang awalnya diperkenalkan dalam biologi, autopoiesis adalah karakteristik sistem untuk beroperasi secara independen satu sama lain hanya dalam kode masing-masing. Menerapkan gagasan ini ke masyarakat, Luhmann berpendapat bahwa sistem yang membentuk masyarakat mengambil informasi dari satu sama lain sebagai elemen lingkungan satu sama lain. Keterkaitan antar dan intra-hubungan dalam sistem terjadi atas dasar komunikasi dengan kode-kode tertentu. Komunikasi, dalam teori Luhmann, adalah murni tindakan yang dapat diamati yang terdiri dari sintesis informasi, ucapan, dan pemahaman atau kesalahpahaman. Komunikasi tidak memiliki subjek; itu hanya terjadi begitu saja. Dan juga, setiap kode spesifik dari sistem komunikasi menentukan dinamika hubungan antar-sistem. Oleh karena itu, sistem secara kognitif bersifat terbuka tetapi tertutup secara operasional.
Luhmann memahami hukum sebagai sistem autopoietik yang membentuk dan mereproduksi harapan perilaku umum dalam pandangan situasi konflik yang perlu diselesaikan. Ketika terjadi pelanggaran terhadap ekspektasi hukum yang dilembagakan, sistem hukum secara kontra-faktual menegaskan kembali ekspektasi yang disajikan dalam kode biner benar-secara-hukum/tidak-benar-secara-hukum (lawful/unlawfuli). Program hukum adalah masalah kognitif murni yang dapat diutarakan dalam struktur “jika-maka”: jika kondisi hukum tertentu terpenuhi, maka keputusan hukum tertentu akan tercapai. Pengakhiran (closure) operasional sistem hukum tersebut dikonfirmasi dari fakta bahwa pelanggaran norma hukum tidak membatalkan norma tersebut. Sebaliknya, pelanggaran aturan mengarah pada konfirmasi aturan melalui penuntutan dan hukuman.
Karakteristik autopoietik sistem memiliki arti khusus bagi teori demokrasi dan hukum Luhmann. Karena sistem secara operasional tertutup, Luhmann menganggap sistem politik dan ekonomi berbeda secara operasional dari hukum. Sistem hukum terkait dengan cara tertentu dengan sistem ini, tetapi tidak dapat diintervensi atau diintervensi oleh mereka dalam operasi masing-masing. Misalnya, sementara moralitas mengurangi kompleksitas dalam hal kode biner baik/buruk, kode dua nilai dari sistem hukum (benar-secara-hukum/tidak-benar-secara-hukum) tidak selaras dengan kode moralitas. Selain itu, sementara sistem politik memberikan tekanan pada sistem hukum melalui undang-undang, sistem hukum menanggapi tekanan ini dengan menurunkan undang-undang ke pinggiran sistemnya (periphery of its system) dan memusatkan proses pengambilan keputusan hukum yang jelas di pengadilan. Sistem politik dan hukum memelihara hubungan kerjasama fungsional, tetapi sistem politik dan hukum tidak dapat ditempatkan dalam hubungan hierarkis satu sama lain. Kerjasama timbal balik (atau pasangan struktural; structural coupling) antara hukum dan politik dapat dilihat dari kenyataan bahwa sistem hukum mengandalkan sistem politik untuk mendukung keputusannya dengan kekuatan koersif, sedangkan sistem politik mengandalkan sistem hukum untuk mengelola keputusannya, meskipun selalu dalam sistem hukum itu sendiri. Dengan demikian, komunikasi hukum selalu terjadi atas dasar kode hukum, dengan mengesampingkan keprihatinan politik dan moral.
DEMOKRASI DAN HUKUM: VARIASI-VARIASI TEORITIS
Di antara implikasi terpenting dari perbedaan yang ada antara teori hukum yang dikembangkan oleh Habermas dan Luhmann adalah pandangan mereka yang sangat berbeda tentang hubungan antara hukum dan demokrasi. Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan ini dengan cara yang berguna bagi sosiologi hukum, terdapat penjelasan singkat tentang konseptualisasi demokrasi dalam teori sosiologi dan filsafat.[3] Politik selalu menyangkut hubungan antara pemerintah dan warga negara, antara Yang Memerintah dan Yang Diperintah. Seperti yang ditunjukkan oleh asal etimologis kata demokrasi dari bahasa Yunani untuk rakyat (demos) dan kekuasaan (kratos), suatu sistem politik adalah demokrasi ketika pemerintahan diselenggarakan dengan referensi eksplisit kepada Yang Diperintah. Dalam sistem demokrasi, selalu ada saling ketergantungan antara pemerintah dan rakyat dalam bentuk proses pemilihan (mewakili masukan demokratis dari rakyat ke pemerintah) dan pengambilan keputusan legislatif (mewakili keluaran demokratis dari pemerintah ke rakyat). Berbagai teori sosiologi dan rekan-rekan filsafatnya dapat dibedakan atas dasar cara khusus yang mana hubungan timbal-balik antara pemerintah dan rakyat ini dipahami.
Pertama, teori-teori masukan demokrasi (input theories of democracy) menekankan partisipasi warga negara dalam pembentukan pemerintahan melalui proses Pemilu. Konsepsi sosiologis ini diturunkan dari perspektif filsafat republikan yang mendalilkan bahwa pemerintah harus mencerminkan kebaikan bersama semua komunitas (republik). Nilai sentral yang terkait dengan teori ini adalah kesetaraan semua warga negara, sebagai kontributor yang sah dalam pembuatan pemerintahannya, untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan dan menentukan perwakilan politiknya. Secara sosiologis, sistem pemerintahan dengan demikian lebih demokratis karena lebih mewakili kehendak rakyat melalui pemilihan umum yang diadakan secara teratur, persaingan antar partai politik, dan prinsip kekuasaan mayoritas. Teori sosiologi sistem politik demokrasi yang dikemukakan oleh Niklas Luhmann (1990, 1994) cocok dengan kerangka ini. Berdasarkan perspektif autopoietik, Luhmann berpendapat bahwa demokrasi tidak dapat berarti sistem politik yang mana orang memerintah rakyat atau kekuasaan dicabut, karena semua politik secara definisi membedakan antara Yang Memerintah dan Yang Diperintah. Luhmann juga membuang demokrasi sebagai prinsip yang menurutnya pengambilan keputusan harus dilakukan secara partisipatif, karena hal ini akan menyebabkan pengambilan-keputusan yang tidak ada habisnya tentang pengambilan-keputusan. Sebaliknya, Luhmann mengusulkan bahwa demokrasi adalah pelembagaan perbedaan antara pemerintah dan oposisi. Pemerintah dan oposisi mengarahkan diri mereka sendiri dalam segala hal yang mereka lakukan terhadap satu sama lain dan, dengan cara mereka masing-masing, terhadap publik. Partai-partai politik yang berkuasa mengorientasikan diri pada opini publik untuk mempertahankan pemerintahan, sementara partai-partai yang oposisi melakukan hal yang sama untuk memperoleh pemerintahan. Luhmann berpendapat bahwa pemerintahan/oposisi kode demokrasi bersifat instruktif karena tidak ada pihak yang dapat memerintah pada saat yang sama dan selalu ada kemungkinan bahwa partai politik yang berpartisipasi akan mengubah peran mereka setelah pemilihan.
Kedua, perspektif output demokrasi (output perspectives of democracy) menekankan pada hasil (outcome) tentang pemerintah dalam bentuk keputusan legislatif yang mengatur interaksi sosial. Sesuai dengan konsepsi filsafat liberal (dalam arti pemberian kebebasan), fungsi legislatif sistem politik harus non-intervensionis dan dengan demikian menjamin kebebasan setiap warga negara. Secara sosiologis, demokrasi dikatakan berakar pada sistem politik yang efektif dan ekonomi yang produktif. Teori Seymour Lipset (1994) tentang kondisi demokrasi adalah contoh dari pendekatan ini. Lipset berpendapat bahwa demokrasi harus menjaga fungsi pasar dan negara yang independen dan efektif dalam bentuk hak yang dijamin secara konstitusional. Lebih khusus berfokus pada peran hukum, perspektif pasar, seperti yang diartikulasikan dalam gerakan hukum dan ekonomi (lihat Bab 6), sangat cocok dengan kerangka ini dengan menekankan kekuatan pengambilan keputusan rasional dari individu yang bertindak secara otonom yang didorong menuju pemenuhan kebutuhan privat.
Ketiga, teori demokrasi prosedural (a procedural theory of democracy) memusatkan perhatian pada prosedur yang ada untuk menetapkan pencapaian demokrasi dan membuatnya tetap terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan. Gagasan ini merupakan perluasan dari perspektif pragmatis yang dirumuskan oleh John Dewey bahwa esensi demokrasi terletak pada cara yang mana kekuasaan mayoritas menjadi mayoritas, melibatkan debat anteseden, dan memungkinkan potensi untuk mengubah pandangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat minoritas. Yang berkaitan dengan perspektif prosedural adalah konsepsi filsafat politik deliberatif yang berpandangan bahwa demokrasi harus menjamin bahwa keputusan akan dicapai dalam kondisi yang memungkinkan debat terbuka. Pemahaman prosedural demokrasi dan hukum dikemukakan oleh Jurgen Habermas (1992a, 1992b), yang berpendapat bahwa hukum dapat memainkan peran sentral dalam masyarakat demokratis ketika bergantung pada gagasan rasionalitas yang dipahami secara prosedural yang diwujudkan oleh prinsip-prinsip demokrasi dalam legislasi, ilmu hukum (jurisprudence) dalam pengadilan, dan administrasi hukum (legal administration). Dalam mempertahankan konsep prosedural ini, Habermas memberikan perhatian khusus pada landasan konstitusional demokrasi. Dalam hal ini, Habermas menemukan perwujudan yang paling esensial dalam konstitusi, bukan nilai-nilai khusus, tetapi norma-norma yang memungkinkan koeksistensi damai dari pluralitas tradisi etis.
DEFISIT-DEFISIT HUKUM DEMOKRATIS
Analisis perspektif sosiologis politik dan hukum yang diperkenalkan melalui kajian komparatif teori hukum Habermas dan Luhmann menghasilkan tiga visi hukum: (1) hukum sebagai basis demokrasi; (2) hukum sebagai instrumen demokrasi; dan (3) hukum sebagai ruang/ranah deliberatif. Sebagai dasar demokrasi, hukum dianggap penting dalam menjamin kesetaraan dalam keterwakilan dan partisipasi pemilih dalam proses politik. Sebagai instrumen sistem politik yang demokratis, hukum dapat dievaluasi dari segi efek yang ditimbulkannya terhadap masyarakat, terutama dalam hal sejauh mana keputusan hukum menjaga kebebasan dan hak berekspresi bagi setiap orang. Dan, sebagai ruang/ranah deliberatif, arena hukum (dan politik) harus berfungsi dengan standar prosedural yang memungkinkan diskusi terbuka.
Tipologi teori demokrasi yang disarankan berguna untuk mengkaji penelitian sosiologis tentang aspek-aspek hukum dan demokrasi yang relevan, termasuk landasan hukum konstitusional, peran lembaga peradilan, proses legislasi, pengadilan, dan penegakan hukum. Perlu dicatat bahwa ada kelangkaan relatif penelitian sosiologis yang secara eksplisit membahas hukum dalam hal konsep demokrasi yang didirikan secara teoritis. Relatif kurangnya tradisi hukum dan demokrasi yang berkembang dengan baik dalam komunitas sosiologis sangat kontras dengan sentralitas demokrasi di bidang teori hukum dan filsafat hukum. Sifat normatif demokrasi dapat menjelaskan perbedaan ini serta fakta bahwa analisis sosiologis demokrasi dan hukum kadang-kadang memiliki orientasi normatif yang kuat yang mengganggu potensi analitis mereka (misalnya, Hirst 1986; Lukes 2006; O’Malley 1983). Meskipun demikian, masih menjadi masalah bagi penelitian sosiologis untuk tidak cukup merenungkan dimensi empiris rezim demokrasi dan hubungannya dengan hukum.[4] Analisis sosiologis hukum dan demokrasi, bagaimanapun, sangat instruktif, seperti yang akan ditunjukkan oleh tinjauan atas karya-karya terpilih yang relevan ini, karena analisis sosiologis hukum dan demokrasi dapat mengungkapkan kekurangan dari realisasi cita-cita demokrasi dalam hukum berdasarkan penelitian pada kasus-kasus yang mana realitas hukum (legal realitites) telah ditunjukkan mengalami benturan dengan prinsip-prinsip demokrasi meskipun fungsi hukum memproklamirkan dirinya untuk memberikan keadilan dan kesetaraan bagi semua.
Sekaligus teladan tentang relevansi hukum sebagai dasar demokrasi (sebagai masukan pemerintah; as the input of government) dan wawasan kekuatan penelitian sosiologis yang sistematis adalah studi sosiolog Jeff Manza dan Christopher Uggen tentang pencabutan hak penjahat di Amerika Serikat.[5] Dengan mengungkap asal-usul dan dampak undang-undang negara bagian Amerika Serikat yang melarang penjahat yang dihukum dan beberapa kategori mantan penjahat untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan, penelitian Manza dan Uggen menunjukkan bahwa undang-undang ini sangat mempengaruhi hak-hak demokrasi sebagian besar penduduk. Dampak dari undang-undang pemungutan suara penjahat saat ini sangat terasa karena tingginya tingkat penahanan yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama di antara kelompok etnis minoritas Amerika. Yang lebih penting daripada tingginya tingkat penahanan adalah kenyataan bahwa mayoritas orang yang terkena undang-undang pencabutan hak penjahat adalah mantan penjahat yang tinggal di komunitas tanpa hak kewarganegaraan penuh. Pada bulan November 2004, diperkirakan 5,3 juta penjahat dan mantan penjahat, 2 juta di antaranya adalah orang Afrika-Amerika, terpengaruh oleh undang-undang ini. Bias rasial dalam pencabutan hak penjahat tidak sepenuhnya kebetulan karena undang-undang negara bagian yang relevan ditemukan berasal dari periode konflik rasial selama dan setelah tahun-tahun Perang Saudara. Meskipun Amandemen ke-15 Konstitusi AS melarang pembatasan hak suara atas dasar ras, pencabutan hak penjahat secara efektif menyelesaikan pembatasan bias rasial dari publik pemilih.
Efek negatif dari pencabutan hak penjahat terungkap dalam beberapa cara. Dalam hal partisipasi demokratis dalam proses pemilihan, undang-undang pencabutan hak penjahat memiliki hasil politik yang signifikan. Karena perwakilan etnis minoritas yang berlebihan, undang-undang pencabutan hak penjahat dapat mempengaruhi hasil pemilu dalam kasus ras dekat di negara bagian dengan undang-undang pencabutan hak yang sangat ketat. Undang-undang yang melarang penjahat dan mantan penjahat memilih dengan demikian kemungkinan mempengaruhi pemilihan presiden AS tahun 2000, ketika George W. Bush mengalahkan kandidat Demokrat Al Gore di negara bagian Florida. Selain itu, tidak hanya undang-undang pemungutan suara penjahat secara langsung mengecualikan sebagian besar populasi, mereka juga secara tidak langsung membatasi representasi populer karena temuan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika percaya bahwa orang yang dihukum harus mendapatkan hak suara mereka dipulihkan setelah dibebaskan di masyarakat. Dari sudut pandang yang lebih luas, larangan memilih penjahat juga mempengaruhi reintegrasi mantan penjahat karena korelasi kuat ditemukan antara pemulihan hak suara dan penyesuaian kembali mantan penjahat ke dalam masyarakat. Karena tindak pidana tunduk pada proses transmisi antargenerasi, apalagi, anak-anak penjahat yang dihukum, banyak di antaranya adalah ayah yang belum menikah, yang lebih mungkin menjadi pelaku.
Dalam perannya sebagai instrumen demokrasi (sebagai keluaran pemerintah; as the output of government), hukum muncul terutama dalam bentuk legislasi, yang dapat diselidiki dalam hal efek pembuatan undang-undang terhadap integrasi masyarakat dalam pandangan pelestarian hak pemberian-kebebasan. Penelitian yang relevan secara sosiologis di bidang ini meluas dari regulasi tentang organisasi gerakan sosial (Jenness 1999; Pedriana 2006) hingga regulasi tentang kebebasan beragama (Richardson 2006). Dengan mengevaluasi dampak dari proses pembuatan undang-undang pada hak-hak warga negara, karya sosiologis pada kepanikan moral berfungsi sebagai titik-masuk yang sangat berguna ke dalam aspek-aspek terkait dari pemerintahan demokratis.[6] Dengan diterapkan pada berbagai bidang penelitian, seperti kriminalisasi penyalahgunaan narkoba, kejahatan jalanan, aborsi, dan kebebasan berekspresi, perspektif kepanikan moral mengeksplorasi kondisi sosial yang mana seseorang atau sekelompok orang didefinisikan sebagai ancaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma sosial yang mendasar. Dengan menunjukkan bahwa model sosiologis dan teori normatif tentang isu-isu demokrasi tidak selalu selaras, gagasan kepanikan moral sebagian besar telah diterapkan dari sudut pandang perspektif teori konflik yang mengandalkan, seringkali secara implisit, pada pemahaman demokrasi yang lebih kolektivis daripada liberal. Namun, dalam hal penelitiannya tentang efek kegiatan legislatif seputar bentuk-bentuk perilaku tertentu, tradisi kepanikan moral memperlihatkan dengan sangat jelas bagaimana hukum dapat mempengaruhi komunitas dalam hal hak-hak dasar dan kapasitas ekspresi diri mereka. Mengingat keprihatinan saat ini seputar terorisme global dan keamanan di dunia pasca 9/11, karya sosiologis tentang terorisme dan imigrasi dari sudut pandang kepanikan moral sangat bermanfaat.
Penelitian oleh Michael Welch didasarkan pada perspektif kepanikan moral untuk menunjukkan bahwa penggunaan dan perluasan undang-undang imigrasi AS setelah peristiwa teroris yang melanda Amerika Serikat pada 1990-an, khususnya pemboman World Trade Center pada tahun 1993 dan pemboman Oklahoma City pada tahun 1995, dan terlebih lagi setelah serangan pada 11 September 2001, secara efektif menyebabkan kriminalisasi imigrasi.[7] Sejak disahkannya undang-undang imigrasi dan anti-terorisme yang baru pada tahun 1996, para imigran semakin menjadi sasaran penahanan dan deportasi, seringkali hanya karena pelanggaran-pelanggaran kecil. Dengan demikian, inspektur imigrasi memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kewenangan judicial review hakim imigrasi. Membuat keputusan penting mengenai status imigran dan pencari suaka, pejabat imigrasi tidak memiliki akuntabilitas dan pengawasan demokratis. Daftar kejahatan yang dapat dideportasi juga telah diperluas dan proses pemindahan imigran telah dipercepat. Kadang-kadang atas dasar bukti rahasia, para imigran juga semakin ditahan di pusat-pusat penahanan yang mana mereka ditempatkan bersama penjahat biasa.
Sejak peristiwa 9/11, Welch berpendapat, kerasnya kebijakan imigrasi secara kualitatif telah bergeser dari kepanikan moral pada penjahat imigran menjadi kepanikan moral pada imigran teroris. Pandangan baru tentang imigran ini secara khusus mempengaruhi perlakuan terhadap pencari suaka di Amerika Serikat. Sementara kepanikan moral sering mengandalkan publisitas melalui media, beberapa kebijakan yang relevan dapat terjadi secara tersembunyi. Di Amerika Serikat, khususnya, para pencari suaka telah menjadi sasaran kebijakan dan praktik pengurungan yang relatif diam-diam yang tidak menarik banyak perhatian publik. Berbeda dengan situasi di Inggris yang mana terdapat klaim konstruksi (claim constructions) yang keras dan bising atas kasus-kasus yang melibatkan pencari suaka palsu, pencari suaka di Amerika Serikat telah mengalami periode penahanan yang relatif lama dan bentuk-bentuk perlakuan kasar lainnya tanpa didakwa kejahatan. Pencari suaka semakin tunduk pada proses pembuatan klaim yang mana mereka diperlakukan sebagai tersangka teroris dan ancaman terhadap keamanan nasional. Pejabat imigrasi menangani masalah ini tanpa pengawasan publik. Misalnya, sesaat sebelum invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak pada Maret 2003, pencari suaka yang berasal dari daftar 33 (tiga puluh tiga) negara dikenakan penahanan langsung berdasarkan kebijakan formal yang disebut Operation Liberty Shield. Meskipun program tersebut ditinggalkan setelah satu bulan, perintah penahanan serupa lainnya, seperti yang diumumkan oleh Jaksa Agung Amerika Serikat dan yang dilembagakan di beberapa negara bagian, telah berdampak negatif pada pencari-suaka.
Akhirnya, dengan fokus pada kualitas prosedural hukum sebagai ruang/ranah deliberatif, penelitian yang relevan telah dilakukan secara khusus pada hal-hal yang berkaitan dengan cara kerja pengadilan, seperti pertimbangan juri, praktik diskursif antara hakim dan advokat dan antara advokat dan kliennya, dan aspek prosedural lainnya dari proses peradilan. Yang menarik bagi komunitas penelitian sosiologis dan sosio-legal adalah praktik penyelesaian sengketa alternatif yang telah berkembang sebagai bagian dari gerakan teoretis dan hukum yang lebih luas menuju keadilan informal.[8] Dengan menantang sifat formal, permusuhan, dan objektifikasi dari ajudikasi atau litigasi di pengadilan, praktik penyelesaian sengketa alternatif muncul di Amerika Serikat khususnya selama tahun 1960-an, meskipun metode penyelesaian konflik informal sudah ada sejak bertahun-tahun lalu dan dapat ditemukan di banyak masyarakat. Bentuk utama penyelesaian sengketa alternatif saat ini meliputi arbitrase, mediasi, dan negosiasi. Arbitrase adalah jenis penyelesaian konflik yang mana para pihak yang bersengketa mengajukan kasusnya kepada pihak ketiga atau arbiter yang mencapai keputusan yang mungkin mengikat atau tidak mengikat. Mediasi adalah strategi resolusi yang lebih informal yang mana pihak ketiga atau mediator yang netral memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak yang berkonflik untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama. Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang paling informal seperti negosiasi hanya terjadi di antara para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan pihak ketiga.
Sebagai masalah keadilan prosedural, penyelesaian sengketa alternatif dimaksudkan untuk memiliki keunggulan dibandingkan litigasi formal dalam menetapkan cara untuk menangani konflik dengan cara yang disepakati oleh para pihak dan dengan demikian dapat diterima oleh para pihak yang terlibat, daripada dipaksakan kepada para pihak melalui jalur formal, dan mekanisme permusuhan di pengadilan. Berdasarkan prinsip timbal-balik dan konsensus, praktik penyelesaian sengketa alternatif juga dianggap lebih hemat waktu dan lebih murah daripada pengadilan formal. Pada sisi negatifnya, penyelesaian sengketa alternatif mungkin tidak memiliki ancaman kepatuhan yang ditentukan dan tetap tidak dapat dilaksanakan tanpa sanksi yang ditentukan dengan jelas. Selain itu, cara yang mana praktik penyelesaian sengketa alternatif dilembagakan, sebenarnya dapat menjadikannya kurang bersifat alternatif daripada yang dimaksudkan, karena ketidaksetaraan mungkin ada di antara pihak-pihak yang bersengketa tergantung pada kapasitas para pihak untuk terlibat dalam penyelesaian sengketa alternatif dan mengandalkan perwakilan yang memadai. Penyelesaian sengketa alternatif mungkin juga tidak memiliki perlindungan dari pengadilan terbuka. Selain itu, kekhawatiran telah dikemukakan bahwa meningkatnya keterlibatan advokat-terlatih secara ironis telah menyebabkan infiltrasi prinsip-prinsip permusuhan, dan formalisasi, penyelesaian sengketa alternatif.
Penekanan pada aspek prosedural deliberasi dan keadilan dalam praktik penyelesaian sengketa alternatif, yang selaras dengan konsep deliberatif hukum demokratis, dikonfirmasi oleh penelitian menarik tentang mediasi yang telah dilakukan sosiolog John Lande.[9] Lande menempatkan munculnya penyelesaian sengketa alternatif, khususnya mediasi, dalam konteks penurunan umum persidangan pengadilan formal di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir. Dalam kritik simpatik Marc Galanter (2004), Lande berpendapat bahwa persidangan pengadilan sama sekali tidak menghilang, tetapi mereka telah menurun drastis meskipun jumlah kasus yang diajukan di pengadilan telah meningkat. Di antara alasan penurunan tingkat persidangan adalah bahwa bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa telah menyebar lebih luas dan pengadilan telah mengadopsi peran peradilan yang lebih manajerial yang tidak hanya berorientasi pada penyelenggaraan persidangan. Juga, biaya yang cukup besar terkait dengan mengadakan persidangan karena personil yang diperlukan, orang yang tersumpah (jurors) dalam kasus persidangan yang melibatkan juri, peralatan berteknologi tinggi yang semakin canggih yang digunakan di ruang sidang, dan kebutuhan untuk menggunakan ruang persidangan yang mahal.
Meskipun penurunan tingkat persidangan memungkinkan pengadilan untuk menghabiskan waktu pada kegiatan lain, seperti pelatihan staf baru, membantu pihak yang berperkara, melakukan sidang pra-sidang, mengumumkan aturan dan prosedur, dan melakukan berbagai tugas administratif yang terkait dengan cara kerja pengadilan, itu juga dapat menciptakan kesan bahwa pengadilan tidak menanggapi kebutuhan warga negara agar kasus mereka ditangani secara terbuka dan adil. Mengingat masalah prosedural seperti itu, Lande menyarankan sejumlah strategi yang mungkin membuat keputusan untuk pergi ke pengadilan lebih bertanggungjawab secara demokratis. Pihak yang berperkara harus diberikan pilihan untuk pergi ke pengadilan atau tidak dengan cara yang terinformasi dan sukarela. Pengadilan juga dapat mengandalkan dan mempublikasikan informasi tentang kasus-kasus yang diselesaikan tanpa pengadilan. Organisasi pengadilan dan pelatihan profesional hukum, lebih jauh lagi, dapat dirancang ulang untuk memenuhi realitas baru kegiatan pengadilan, sementara praktik penyelesaian sengketa alternatif dapat dipromosikan untuk memenuhi tuntutan warga negara untuk penyelesaian konflik yang memadai.
Maraknya praktik penyelesaian sengketa alternatif dan menurunnya tingkat peradilan formal menunjukkan munculnya lingkungan hukum yang semakin pluralis. Selain fakta bahwa pengadilan terlibat dalam banyak kegiatan non-persidangan, mereka juga tidak menyediakan satu-satunya atau sistem utama untuk penanganan sengketa. Di antara praktik penyelesaian sengketa alternatif yang semakin umum, mediasi adalah salah satu bentuk yang paling umum dan populer. Dalam mediasi, seperti dalam penyelesaian sengketa pada umumnya, kriteria prosedural paling sering digunakan untuk menilai kepuasan. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam mediasi lebih mungkin merasa puas ketika mereka merasa memiliki cukup kesempatan untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam proses. Demikian pula penentu kepuasan adalah persepsi bahwa mediasi dilakukan secara adil dengan cara yang dapat dipahami, tidak memihak, dan tanpa paksaan. Konsepsi keadilan hukum dalam penanganan konflik tidak hanya relevan bagi para pihak yang bersengketa. Secara sosiologis, fungsi penanganan sengketa dalam kaitannya dengan kepentingan langsung para pihak yang bersengketa adalah fungsi pengadilan dan bentuk penyelesaian sengketa lainnya pada tataran masyarakat yang lebih luas. Sejak Durkheim, secara sosiologis masuk akal untuk memahami praktik penanganan sengketa sebagai ritual yang menegaskan moralitas masyarakat. Khususnya dalam masyarakat yang terorganisir secara demokratis, oleh karena itu, konsepsi prosedural keadilan merupakan indikator penting dari kekuatan hukum untuk memberikan rasa kohesi sosial.
KESIMPULAN
Dalam konteks masyarakat politik yang terorganisir secara demokratis, sistem hukum menempati tempat yang sangat menonjol. Karena fungsi legislasi hukum diberikan kepada suatu pemerintahan yang diatur secara eksplisit dalam hubungannya dengan rakyat yang tunduk pada pemerintahan, maka hubungan antara hukum dan demokrasi merupakan hubungan yang erat, baik secara konseptual maupun empiris. Dari sudut pandang teoretis, variasi dalam hubungan antara hukum dan demokrasi dapat didekati secara berguna dari sudut pandang teori yang kontras dari Jurgen Habermas dan Niklas Luhmann. Menyajikan variasi kontemporer tentang pembagian antara perspektif normatif dan ilmiah dalam sosiologi hukum, pertanyaan tentang landasan normatif hukum dan politik adalah masalah paling menentukan yang memisahkan pemikiran Habermas dan Luhmann. Menurut Luhmann, evolusi masyarakat telah mencapai tingkat diferensiasi yang begitu tinggi sehingga hukum merupakan sistem autopoietic, yang tidak lagi membutuhkan pembenaran dari segi normatif. Sebaliknya, Habermas tidak hanya berpendapat bahwa hukum dalam masyarakat modern masih berpijak secara normatif dan menikmati hubungan khusus dengan sistem politik, Habermas juga membenarkan secara sosiologis (dan menganjurkan secara filsafat) perspektif hukum yang adil atas dasar model demokrasi deliberatif.
Teori diskursus Habermas dan teori autopoietik Luhmann menawarkan perspektif sosiologis yang berbeda tentang demokrasi. Di antara perspektif sosiologis demokrasi dan mitra filsafat terkait, perbedaan dapat dibuat antara perspektif yang melihat demokrasi terutama dalam hal masukan (input) melalui kehendak rakyat yang tercermin dalam pemerintah, keluaran (output) dalam hal dampak dari perilaku pemerintah, khususnya legislasi, dan cara komunitas politik memungkinkan ruang/ranah deliberasi pendapat yang relevan. Teori autopoietic Luhmann menempatkan pendapat utama pada masukan pemerintahan demokratis (input of democratic government) dalam menekankan peran pemilih untuk berkontribusi pada perbedaan antara pemerintah dan oposisi. Sebaliknya, Habermas berpendapat bahwa hukum itu legitim (absah) jika sejalan dengan gagasan yang dipahami secara prosedural tentang prinsip-prinsip demokrasi di berbagai tingkat pembuatan undang-undang dan tindakan pemerintah.
Meskipun sosiologi hukum telah membuat sedikit penggunaan eksplisit dari karya teoretis yang telah dilakukan tentang demokrasi dan perannya dalam masyarakat modern, ada banyak penelitian sosiologis yang membahas isu-isu yang relevan tentang demokrasi dan hukum dalam sejumlah konteks. Contoh dari karya ini adalah investigasi tentang dampak undang-undang pencabutan hak penjahat dalam hal prinsip-prinsip partisipasi demokratis, efek kepanikan moral dalam pemenuhan hak-hak dasar, dan cara berbagai bentuk penyelesaian konflik untuk menangani perselisihan dengan cara-cara yang kurang formal. Apa yang terungkap sebagai ciri khas sosiologi hukum dalam berbagai untaian penelitian ini adalah bahwa kontribusi yang paling berharga kadang-kadang datang dari penyelidikan empiris berdasarkan penelitian yang ketat meskipun potensi teoretis yang lebih luas darinya tidak selalu disadari secara eksplisit. Dengan demikian, sosiologi hukum kontemporer masih memberikan layanan utama dalam menawarkan bukti empiris dan kontra-bukti dalam perspektif teoritis yang dikembangkan di luar batas-batas keilmuan sosiologis dan yang dalam sosiologi tidak selalu diakui terkait dengan kegiatan penelitian yang sedang berlangsung. Yang pasti, penelitian empiris selalu memenuhi fungsi kritis dan tidak bisa lebih signifikan daripada ketika memberikan fakta-fakta keras yang teori harus masuk akal. Meskipun demikian, bekerja menuju pengembangan landasan teoretis yang relevan dari dalam sosiologi hukum dapat memperkuat bidang khusus dan membuatnya diterima secara lebih setara dengan bidang penyelidikan lain yang dapat mengandalkan tradisi yang mana kemajuan teoretis dan kemajuan empiris lebih siap berjalan sambil bergandengan tangan.
Catatan Kaki:
[1] Garis besar teori masyarakat Habermas ditemukan dalam dua volume The Theory of Communicative Action (1981a diterjemahkan sebagai 1981b, 1981c). Rumusan awal teori hukum Habermas dapat ditemukan dalam jilid kedua karya tersebut (1981b: 522–547 diterjemahkan sebagai 1981c: 356–373) dan dalam tulisan-tulisan terkait (Habermas 1988, 1990). Versi matang dari teori hukum dan demokrasi Habermas dapat ditemukan dalam bukunya, Faktizitat und Geltung, yang diterjemahkan sebagai Between Facts and Norms (Habermas 1992a diterjemahkan sebagai 1992b). Ulasan dan aplikasi teori Habermas disediakan oleh Deflem (1995, 1998a); Grodnick (2005); Raes (1986); dan kontribusi dalam Deflem (1996); Rosenfeld dan Arato (1998).
[2] Di antara banyak tulisan Luhmann adalah dua buku lengkap studi sosiologi hukum (Luhmann 1972a, 1972b, 1993a, 1993b; lihat juga Luhmann 1986, 1992, 1997). Perkenalan dan diskusi yang bermanfaat ditawarkan oleh King dan Schutz 1994; Rottleuthner 1989; Ziegert 2002; dan kontribusi di King and Thornhill 2006.
[3] Tinjauan ini didasarkan pada eksposisi dan diskusi saya (Deflem 1998b) tentang teori demokrasi Habermas dalam Between Facts and Norms (Habermas 1992a: 349–398; 1992b: 287–328, 1995).
[4] Ini menunjukkan, misalnya, bahwa dua volume terbaru tentang transformasi hukum dan demokrasi pada pergantian abad terdiri dari, dengan beberapa pengecualian, kontribusi yang ditulis oleh para ilmuwan hukum dan ilmuwan kebijakan publik, bukan ilmuwan sosiologi (Syracuse Journal of International Law and Commerce) 2005; Schwartz 2006).
[5] Karya Manza dan Uggen tentang pencabutan hak penjahat tersedia dalam studi yang diterbitkan dalam edisi buku-lengkap, Locked Out: Felon Disenfranchisement and American Democracy (Manza dan Uggen 2006), dan serangkaian artikel terkait (Manza dan Uggen 2004; Manza, Brooks, dan Uggen 2004 ; Uggen dan Manza 2002; Uggen, Behrens, dan Manza 2005; Uggen, Manza, dan Thompson 2006; Behrens, Uggen, dan Manza 2003).
[6] Landasan teoretis dari perspektif kepanikan moral berasal dari karya terobosan Stanley Cohen (1972) tentang geng pemuda “Mods” dan “Rockers” di Inggris pada 1960-an (lihat juga Goode dan Ben-Yehuda 1994). Untuk gambaran umum, lihat Thompson 1998.
[7] Penelitian Welch tentang kriminalisasi imigrasi dilaporkan dalam bukunya Detained: Immigration Laws and the Expanding I.N.S. Jail Complex (Welch 2002), dan serangkaian artikel terkait (Welch 2000, 2003, 2004; Welch dan Schuster 2005). Analisis yang diperluas tentang kebijakan kriminal pasca-9/11 ditawarkan dalam karya Welch (2006), Scapegoats of September 11th: Hate Crimes and State Crimes in the War on Terror.
[8] Tinjauan umum dan diskusi tentang penyelesaian sengketa alternatif dan literatur ekstensif tentangnya, lihat Barrett 2004; Brooker 1999; Langer 1998; Rebach 2001.
[9] Lihat Lande 2002, 2005a, 2005b, 2006. Penelitian terkait dalam sosiologi hukum berfokus pada praktik resolusi konflik di tempat kerja (Hoffman 2005, 2006). Yang juga perlu diperhatikan dalam konteks model demokrasi deliberatif adalah karya Margaret Somers (1993, 1995), yang mengembangkan sosiologi politik hukum, kewarganegaraan (citizenship), dan demokrasi. Perspektif psikologis terkait keadilan prosedural, lihat karya Tom Tyler 1990.