Seri Sosiologi Hukum (12): Profesi Hukum, Dimensi Sosiologis Hukum

Anom Surya Putra
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html

bagian iii dimensi-dimensi sOSIOLOGIs HUKUM
9. HUKUM DAN INTEGRASI: PROFESI HUKUM
Dalam hal fungsi hukum untuk mengamankan integrasi sosial atau mengatur perilaku, peran sentral dimainkan oleh profesi hukum sebagai ahli hukum. Profesi hukum bisa dibilang merupakan satu-satunya aspek hukum yang paling banyak diteliti dalam keilmuan hukum dan studi sosio-legal. Di antara banyak topik yang dipelajari adalah sejarah dan transformasi profesi hukum, regulasi profesi, struktur dan praktik pendidikan hukum dan penerimaan ke organisasi advokat (bar), hubungan antara advokat dan klien, dan organisasi kerja hukum. Dengan menunjukkan bahwa kelimpahan pekerjaan itu sendiri merupakan fungsi dari profesionalisasi pekerjaan hukum, sebagian besar penelitian ilmiah tentang profesi hukum berasal dari dalam keilmuan hukum dan dari perspektif hukum dan tradisi masyarakat yang merupakan bagian dari atau terkait erat dengan pendidikan hukum. Profesionalisasi keilmuan yang berhubungan dengan profesi hukum juga tercermin dalam pertanyaan paling umum yang dibahas dalam penelitian ini, biasanya berfokus pada aspek teknis yang berhubungan dengan bisnis profesi yang kompetitif daripada dimensi sosiologis yang relevan dari dinamika masyarakatnya.
Keberhasilan monopolisasi studi tentang profesi hukum oleh ilmuwan hukum dan kepicikan relatifnya dari refleksi ilmiah independen membuktikan sentralitas profesi sebagai masalah otonomi hukum, yang secara konseptual kembali ke prinsip pemisahan kekuasaan menurut de Montesquieu. Oleh karena itu, pekerjaan yang relevan secara sosiologis pada profesi hukum tidak mengherankan telah dikembangkan atas dasar kerangka teoretis yang mempertanyakan, daripada hanya mengasumsikan pemenuhan, aspirasi hukum tentang otonomi hukum. Cita-cita otonomi hukum sebagai dimensi kritis sistem hukum modern memang merupakan salah satu karakteristik hukum yang paling kritis dan menantang secara sosiologis. Secara teoritis, perbedaan yang kuat terletak pada profesionalisasi peran advokat yang tepat untuk dipahami dari sudut pandang sosiologis.
Bab ini akan dimulai dengan meninjau perspektif sosiologis yang paling penting dari profesi hukum dan selanjutnya membahas elemen empiris utama dalam transformasi profesi hukum. Yang menarik adalah apa yang disebut gerakan Studi Hukum Kritis, yang berusaha untuk meragukan gagasan otonomi hukum yang mendukung teori praktik hukum yang secara erat berkisar pada kekuasaan dan akses yang berbeda terhadap keadilan. Karena perspektif Studi Hukum Kritis telah terjadi dari dalam profesi hukum, maka harus ditempatkan dalam konteks perkembangan profesi hukum itu sendiri, khususnya diversifikasinya. Transformasi menuju peningkatan keragaman ini, bagaimanapun, juga telah ditangani dalam sosiologi hukum, terutama melalui penelitian tentang ketimpangan dalam profesi hukum.
HUKUM SEBAGAI PROFESI
Profesi hukum mengacu pada keseluruhan peran pekerjaan yang secara sengaja berorientasi pada administrasi dan pemeliharaan sistem hukum, termasuk hakim, advokat, penasihat hukum, serta ahli pendidikan hukum dan akademisi hukum. Penunjukan profesional hukum penting untuk digambarkan secara sempit dalam arti keterlibatannya yang bertujuan dalam konteks hukum, karena semua komunitas terlibat dalam hukum sebagai subjek hukum. Hanya profesional hukum yang menjadi partisipan hukum berdasarkan pekerjaannya.
Karya sosiologis pada profesi hukum hanyalah suatu pendekatan di samping banyak pendekatan lain dalam berbagai bidang studi sosio-legal dan, khususnya, keilmuan hukum. Fakta bahwa profesi hukum adalah salah satu aspek hukum yang paling banyak diteliti bukan merupakan indikasi minat yang lebih luas di kalangan ilmuwan sosial dan perilaku dalam profesi tersebut, tetapi merupakan fungsi langsung dari profesionalisasi pekerjaan hukum itu sendiri. Sebab, sejauh profesionalisasi pekerjaan hukum telah berhasil dicapai, hal itu membawa monopoli semua kegiatan hukum, termasuk keilmuan hukum.
Aspirasi untuk mempertahankan otonomi pekerjaan adalah salah satu karakteristik profesi hukum yang paling kritis dan menantang secara sosiologis. Kemandirian profesi hukum tercermin dalam pendidikan hukum dan berbagai aspek praktik hukum karena dari waktu ke waktu profesi hukum telah berhasil mengendalikan penerimaan dan penyelenggaraan sekolah hukum serta pengaturan dan pelaksanaan pekerjaan hukum oleh sarana sistem pengawasan dan pengendalian. Independensi profesi hukum merupakan wujud nyata dari otonomi hukum, dengan institusi peradilan yang independen sebagai manifestasi utamanya.
Meskipun sebagian besar penelitian ilmiah tentang profesi hukum berasal dari dalam keilmuan hukum dan dari perspektif hukum dan masyarakat lain selain sosiologi, ada juga tradisi sosiologis yang meneliti aspek sosial dari profesi hukum.[1] Sosiologi profesi secara historis paling berhutang budi pada pekerjaan profesionalisasi pekerjaan hukum dalam masyarakat modern yang pertama kali dieksplorasi secara sistematis oleh Max Weber dan yang kemudian dielaborasi oleh Talcott Parsons dalam kaitannya dengan peran profesi dalam fungsi integratif dari sistem hukum. Ketertarikan Weber dalam profesi hukum sudah jelas dari definisinya tentang hukum sebagai tatanan normatif yang dijamin oleh staf khusus. Sebagaimana dibahas dalam Bab 2, Weber juga menganggap profesionalisasi pekerjaan hukum sebagai faktor terpenting dalam rasionalisasi hukum. Selanjutnya, dalam sistem hukum yang dirasionalisasikan secara formal, para profesional hukum memainkan peran yang hanya dapat disaingi secara signifikan oleh para ahli birokrasi, karena mereka terlibat dalam administrasi hukum berdasarkan keahlian hukum yang diperoleh dalam aturan-aturan yang relevan dan sesuai prosedur. Profesional hukum adalah ahli dalam pengetahuan, dan keahlian dalam hukum.
Dalam sosiologi hukum modern, perspektif profesi hukum telah dikembangkan berdasarkan karya Talcott Parsons (lihat Bab 5). Minat khusus Parsons dalam profesi hukum tidak hanya diinformasikan oleh minatnya yang lebih luas pada profesi, tetapi juga masuk akal dalam hal konsepsi fungsionalis tentang sistem hukum sebagai mekanisme kontrol sosial. Berdasarkan perspektif Parsonian, perolehan keahlian yang berhasil dalam peran pekerjaan tertentu adalah karakteristik profesionalisasi yang paling menonjol. Dengan demikian, profesional hukum pada dasarnya adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang hukum dan yang dapat memberikan layanan khusus kepada masyarakat umum berdasarkan keahlian ini. Dengan demikian, profesional hukum menengahi antara pemerintah sebagai pembuat aturan, di satu sisi, dan publik sebagai klien hukum, di sisi lain. Dalam fungsi kegiatan mereka terhadap publik, para profesional hukum (seperti semua profesional) dapat mengandalkan tugas pekerjaan mereka yang dinilai sebagai tanggapan terhadap keprihatinan yang diakui publik atau melayani barang publik.
Parsons juga berpendapat, sejalan dengan visi Durkheim tentang kelompok pekerjaan, bahwa organisasi profesional adalah kekuatan yang sangat penting dalam masyarakat modern sehingga dapat berhasil menyaingi organisasi birokrasi di negara bagian dan pasar. Profesionalisasi dan birokratisasi memang belum tentu merupakan kekuatan yang kongruen karena kaum profesional dapat menjadi mandiri untuk menciptakan budaya dan strukturnya sendiri yang terpisah dari pengaturan kelembagaan tempat kaum profesional mempraktikkan pekerjaannya, seperti yang paling jelas terjadi pada profesi-profesi bebas tentang hukum dan kedokteran. Pemisahan antara profesionalisasi dan birokratisasi tidak tercapai apabila profesionalisasi berlangsung dalam batas-batas organisasi birokrasi negara, seperti dalam kasus fungsi kepolisian (lihat Bab 11).
Melampaui kerangka Parsonian, perspektif sosiologis baru-baru ini telah menawarkan berbagai sudut pandang alternatif tentang peran profesi hukum. Pendekatan-pendekatan ini berfokus pada peran keahlian dalam profesionalisasi dan, terkait, fungsi profesi dalam orientasinya terhadap publik. Pada tingkat umum, perspektif teoretis alternatif mempertanyakan gagasan fungsionalis tentang integrasi dan sebaliknya menganalisis sistem hukum, termasuk profesi hukum, dalam hal kekuasaan dan ketidaksetaraan. Perspektif Parsonian dianggap terbatas dalam hal ini karena hanya mempertanyakan fungsi integratif profesi hukum karena legitimasi kerja profesional terancam dalam hal ketegangan tertentu terhadap perilaku menyimpang, yang mungkin dialami advokat dalam pelaksanaan tugasnya. Parsons (1954) berpendapat bahwa advokat mungkin mengalami tekanan untuk menyerah pada kemanfaatan mengingat godaan keuangan atau tekanan dari klien, formalisme berlebihan untuk fokus pada teknis hukum, dan sentimentalitas dengan membesar-besarkan klaim substantif klien. Tetapi perspektif Parsonian sebaliknya tidak mempertanyakan bahwa profesi telah mengumpulkan keahlian dalam tugas pekerjaan tertentu dan bahwa profesionalisasi memiliki manfaat fungsional dalam melayani kepentingan publik.
Perspektif sosiologis baru-baru ini telah menyarankan bahwa keahlian tidak begitu baik karena merupakan klaim yang dibuat, tidak hanya terhadap publik, tetapi juga terhadap otoritas resmi suatu masyarakat, yang dapat memberikan legitimasi untuk klaim tersebut dengan memberikan secara hukum lisensi yang mengikat untuk menetapkan otonomi profesional eksklusif atas yurisdiksi kegiatan tertentu. Dalam pengertian ini, sistem profesi muncul terutama sebagai perjuangan atas area yurisdiksi tertentu mengenai kerja yang mana kontrol dan keahlian diklaim dalam hal diagnosis, analisis, dan pemeliharaan. Pelembagaan keahlian di bidang hukum, misalnya, yang menjamin status khusus profesional hukum atas dasar pemberian monopoli tersebut secara formal oleh negara. Sosiolog juga telah merenungkan perilaku yang lebih kompleks dari profesi hukum setelah berhasil dimonopoli, ketika profesi berusaha untuk mempengaruhi negara dan potensi legislatifnya. Profesi karena itu juga dapat dimasukkan ke dalam birokrasi, daripada menjadi independen dari birokrasi.
Gagasan bahwa profesi hukum melayani kepentingan publik juga dipertanyakan karena profesi memiliki kekuatan yang cukup besar dalam membingkai masalah, bukan dalam hal kepentingan dan keprihatinan klien, tetapi atas dasar konsepsi profesi tentang relevansi dan kompetensi hukum. Fakta bahwa advokat tertarik untuk melayani kebutuhannya sendiri untuk membangun prestise dan memperoleh pendapatan mungkin kegiatannya lebih instruktif daripada rasionalisasi pekerjaannya dalam hal ideologi hukum formal. Suatu kode etik formal dalam perilaku profesional, juga, dapat kurang melayani masyarakat dibandingkan profesi itu sendiri dengan berusaha untuk menjaga status anggota profesi dan, secara bersamaan, mencegah persaingan dan membentuk social closure. Salah satu elemen dari social closure ini adalah mistifikasi dan pengagungan pekerjaan hukum yang melibatkan kegiatan yang mengikuti persiapan doktrin dan prosedur hukum yang disediakan di sekolah hukum, padahal dalam kenyataannya banyak pekerjaan advokat bisa menjadi rutinitas dan duniawi.
Dua perkembangan terakhir dalam studi profesi hukum patut mendapat pertimbangan khusus dan akan dibahas dalam bagian berikut dari bab ini. Pertama, studi yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir telah menunjukkan keragaman yang lebih besar dalam profesi hukum daripada model profesionalisasi dapat menjelaskan hal itu. Kedua, dan terkait, kebangkitan gerakan Studi Hukum Kritis yang mengkritik perilaku profesional hukum terlepas dari, dan sering bertentangan dengan, cita-cita keadilan dan kesetaraan yang diproklamirkan sendiri oleh hukum telah berkembang sebagai eksponen lain dari transformasi sistem profesi hukum, khususnya pendidikan hukum. Oleh karena itu, Studi Hukum Kritis juga harus dilihat dalam konteks transformasi empiris profesi hukum.
TRANSFORMASI PROFESI HUKUM
Masyarakat industri modern dengan berbagai tradisi hukum memiliki sistem profesi hukum.[2] Profesi hukum, bagaimanapun, tidak stabil melintasi ruang dan waktu dalam hal tingkat profesionalisasi, struktur profesi, dan organisasi pekerjaan hukum. Secara historis, masyarakat yang tidak memiliki sistem hukum yang terpisah dari adat dan konvensi tidak memiliki profesional hukum, karena peran multifungsi mengkristal di sekitar pemimpin yang kuat dan kaya yang berbicara kebenaran dalam masalah agama, moralitas, dan hukum. Profesi hukum khusus pertama kali dikembangkan di Kekaisaran Romawi, yang mana orang-orang yang belajar hukum pada awalnya bekerja secara amatir tetapi secara bertahap mengambil pekerjaan hukum sebagai profesi berdasarkan pelatihan khusus.
Dengan mengikuti pendapat Weber, peran modern advokat dapat dilihat sebagai produk dari meningkatnya kompleksitas masyarakat dalam hal ekonomi, politik, dan budaya. Perkembangan bisnis kapitalis meningkatkan formalisasi kehidupan ekonomi dan kebutuhan akan ahli hukum yang memenuhi syarat dalam administrasi urusan bisnis yang rasional. Sekularisasi hukum juga menguntungkan keterlibatan para ahli hukum. Dan perluasan birokrasi pemerintahan juga meningkatkan kebutuhan tenaga ahli dalam kejelasan dan ketertiban peraturan.
Profesionalisasi pekerjaan hukum, sebagaimana disebutkan, melibatkan pengakuan publik atas keahlian dan pengetahuan, organisasi profesi yang independen, dan monopoli atas yurisdiksi pekerjaan. Perkembangan profesionalisasi secara historis tidak merata dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya dan juga telah menghasilkan hasil yang berbeda dalam organisasi dan praktik hukum. Evolusi pendidikan hukum menuju sistem khusus saat ini pertama kali dikembangkan di Inggris Raya, yang mana hukum menjadi bidang studi yang diakui sebagai bagian dari pendidikan universitas selama abad ke-18. Amerika Serikat sebagian besar pola sistem hukumnya pada model Inggris, tetapi pengadilan lokal Amerika awal mengakui advokat untuk praktek hukum atas dasar magang, bukan perguruan tinggi atau gelar hukum. Lambat laun, di Amerika Serikat, pendidikan hukum formal berkembang menjadi landasan yang diperlukan bagi praktik hukum. Persyaratan pendidikan hukum diperluas dari penyelenggaraan ujian masuk, penambahan tes tertulis, perpanjangan pendidikan hukum menjadi beberapa tahun studi, dan, akhirnya, persyaratan gelar sarjana sebelum masuk ke sekolah hukum. Sistem sekolah hukum profesional Amerika yang menawarkan gelar JD (Juris Doctor) relatif jarang. Di banyak negara lain, hukum dapat dipelajari sebagai disiplin akademis di tingkat perguruan tinggi, meskipun pengajaran biasanya diarahkan pada praktik hukum, dan persyaratan tambahan mungkin ada, seperti gelar sarjana sebelumnya dan magang pasca-gelar.
Perbedaan ada dalam profesi hukum di negara-negara common law system dan civil law system, pertama-tama sehubungan dengan pendidikan hukum. Sistem hukum umum, biasanya berasal dari sistem hukum Inggris, sangat bergantung pada hukum non-hukum atau kasus berdasarkan preseden keputusan pengadilan sebelumnya. Sistem hukum perdata berasal dari zaman Romawi dan menemukan ekspresi dalam sistem hukum terkodifikasi Perancis, yang mana kode nasional awalnya diperkenalkan di bawah Napoleon pada tahun 1804, dan Jerman, yang memperkenalkan kode terpadu/terunifikasi pada tahun 1900. Dengan meningkatnya kodifikasi hukum di negara-negara common law dan semakin pentingnya yurisprudensi di negara-negara civil law, pembagian antara kedua sistem telah kabur. Meskipun demikian, perbedaan tetap ada dalam hal pendidikan hukum dan profesi hukum. Pendidikan hukum dalam civil law system, seperti yang ada di benua Eropa, misalnya, terutama melibatkan studi tentang kumpulan aturan (codes) dan undang-undang, sedangkan akademi hukum tradisi common law mengandalkan analisis kasus pengadilan untuk mempraktikkan hukum.
Profesi hukum juga tampak berbeda di negara-negara common law dan civil law dalam hal fungsional. Di Inggris Raya dan banyak negara hukum umum lainnya, ada perbedaan antara solicitors dan barristers. Solicitors bertindak sebagai penasihat hukum untuk klien dan memilih seorang advokat atau barrister yang sesuai dengan kasus yang dihadapi yang akan bertindak di pengadilan sebagai advokat persidangan. Beberapa negara common law, terutama Amerika Serikat dan Kanada, tidak membuat perbedaan antara solicitor dan barrister. Di Amerika Serikat, semua advokat yang lulus ujian kepengacaraan (bar) dapat berargumentasi di depan pengadilan negara bagian tempat ujian diselenggarakan (kinerja advokat di pengadilan federal tersebut bergantung pada prosedur penerimaan tambahan). Hubungan antara hakim dan advokat di negara-negara dengan tradisi common law dan civil law juga berbeda. Fungsi hakim dalam sistem adversarial yang khas pada sistem common law lebih pasif dibandingkan dengan advokat yang mewakili posisi masing-masing pihak. Dalam sistem inkuisitorial negara-negara civil law, hakim atau sekelompok hakim lebih berperan aktif dalam mengusut perkara yang ada di hadapannya. Dalam kaitannya dengan pengawasan terhadap profesi, kegiatan profesi hukum di negara-negara civil law cenderung diawasi oleh pemerintah melalui kementerian kehakiman (ministry of justice). Profesional hukum di negara-negara common law, sebaliknya, biasanya telah melembagakan sistem pengaturan sendiri melalui kelompok profesional yang memberi mandat untuk menguji praktik hukum anggotanya. Di Amerika Serikat, misalnya, American Bar Association adalah asosiasi sukarela yang dibentuk pada tahun 1878, yang mengesahkan program pendidikan hukum dan mengembangkan program untuk membantu para profesional hukum dalam pekerjaannya.
Beralih ke analisis sosiologis tentang transformasi profesi hukum di Amerika Serikat, penelitian telah menunjukkan perubahan penting dan perbedaan struktural dalam profesi hukum. Jumlah advokat di Amerika Serikat telah meningkat dari waktu ke waktu sebagai tanggapan terhadap perubahan tuntutan untuk layanan hukum dan relatif terhadap berbagai tingkat keberhasilan profesionalisasi yang dicapai. Hingga terbentuknya American Bar Association dan state bar associations pada akhir 1800-an hingga awal 1900-an, profesi hukum belum terorganisasi dengan baik. Persyaratan untuk masuk ke dalam profesi secara bertahap menjadi lebih ketat dalam upaya untuk mengontrol komposisi etnis dan klas profesi dan jumlah advokat yang tersedia, dengan variasi regional yang kuat di seluruh negara bagian. Faktor sosial, termasuk kondisi ekonomi, perubahan demografi, dan pola imigrasi, juga berpengaruh.
Peningkatan jumlah advokat yang diakselerasi selama tahun 1970-an jauh lebih tajam daripada peningkatan populasi umum. Saat ini, jumlah total advokat di Amerika Serikat hampir satu juta. Kebanyakan dari mereka, sekitar tiga perempat, bekerja di praktik swasta, di kantor kecil, atau di firma hukum yang lebih besar. Sekitar 17 persen bekerja baik untuk instansi pemerintah atau bisnis swasta, dan hanya 1 persen bekerja di asosiasi bantuan hukum dan sekolah hukum. Sebagian besar firma hukum relatif kecil, dengan hanya segelintir advokat, tetapi beberapa telah berkembang untuk mempekerjakan seratus advokat atau lebih.
Penelitian tentang firma hukum telah mengungkapkan bahwa advokat yang bekerja di firma hukum besar menikmati lebih banyak prestise (dan pendapatan) daripada mereka yang bekerja sendiri atau di firma kecil. Faktor-faktor yang berkontribusi pada pembedaan dua apa yang disebut “belahan” prestise pekerjaan di antara advokat termasuk spesialisasi hukum yang dipraktikkan dan jenis klien yang dilayani. Misalnya, prestise peringkat tinggi untuk hukum hak cipta, hukum internasional, dan hukum perusahaan, dan peringkat rendah untuk advokat yang terlibat dengan hukum hak-hak sipil, penuntutan pidana, pembelaan pidana, dan hukum imigrasi. Di belahan atas profesi adalah advokat yang bekerja di perusahaan nasional besar dan yang bekerja di bidang khusus yang melayani perusahaan dan institusi besar dan kuat. Advokat-advokat ini juga cenderung kurang terlibat tampil di pengadilan dan lebih banyak dalam konseling klien mereka yang relatif kaya. Advokat yang bekerja dengan klien berstatus tinggi diberikan lebih banyak prestise dan menerima lebih banyak imbalan finansial dan lainnya. Pekerjaan yang mereka lakukan lebih murni secara profesional karena lebih jelas legal, seperti meninjau pekerjaan advokat berpangkat lebih rendah dan muncul di pengadilan banding.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah advokat yang melayani klien korporat telah meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan permintaan akan pekerjaan hukum dari klien korporasi, terutama di wilayah metropolitan besar yang mana firma hukum besar biasanya berada. Di daerah perkotaan, jumlah advokat meningkat paling tajam, dan skala firma hukum juga berkembang pesat. Persaingan yang lebih besar di antara firma hukum besar telah menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam ukuran dan perpindahan ke pasar geografis yang lebih besar, termasuk arena internasional (lihat Bab 12).
Advokat di belahan-bumi-bawah (the bottom hemisphere) adalah orang yang memperkerjakan-diri-sendiri (self-employed) sebagai praktisi perorangan atau advokat yang bekerja di perusahaan kecil. Advokat mewakili individu daripada lembaga dan lebih terlibat dalam pekerjaan pengadilan untuk layanan hukum pribadi. Advokat yang bekerja untuk perusahaan swasta yang mampu melembagakan divisi hukumnya sendiri jauh lebih baik dalam hal kompensasi finansial daripada advokat yang bekerja untuk instansi pemerintah atau di kantor publik. Selain pendapatan, belahan-bumi (hemispehre) juga dibagi menurut garis suku dan ras, pendidikan hukum, dan jaringan profesional dan sosial. Advokat Katolik dan Yahudi, misalnya, cenderung dikeluarkan dari firma hukum besar yang lebih bergengsi.
Kebanyakan advokat di Amerika Serikat terletak di belahan bumi yang lebih rendah (lower hemisphere). Selain itu, di perusahaan-perusahaan kecil, pekerjaan hukum telah berubah secara drastis dalam hal kualitatif menjadi terlibat dalam pemberian layanan hukum pribadi yang sangat rutin, seperti penulisan surat wasiat dan penanganan perceraian. Dalam apa yang disebut firma hukum waralaba, advokat sangat bergantung pada sekretaris yang menjadi penting bagi sistem produksi hukum sebagai profesional hukum. Strategi pemasaran untuk perusahaan semacam itu dirancang dengan kampanye iklan di media populer untuk menjangkau pelanggan yang luas.
Kesimpulan penting dari penelitian tentang organisasi profesi hukum di Amerika Serikat adalah bahwa profesi itu tidak monolitik tetapi menampung beragam kelompok yang terdiri dari anggota yang kurang lebih bergengsi yang terlibat dalam berbagai kegiatan yang kurang lebih bermanfaat. Pekerjaan hukum yang mungkin secara khusus dihargai di kalangan masyarakat, baik karena melayani kebutuhan khusus seperti dalam kasus cidera pribadi atau perceraian, atau karena dinilai secara moral, seperti dalam kasus hak-hak sipil, tidak menikmati penghargaan profesional yang tinggi dan tidak sangat dihargai secara finansial. Meskipun puncak profesi hukum masih terutama terdiri dari advokat laki-laki kulit putih dari latar belakang yang relatif kaya yang dididik dalam program hukum utama (top law programs), profesional hukum saat ini tetap terdiri dari berbagai praktisi yang lebih luas mewakili masyarakat Amerika sehubungan dengan gender, latar belakang pendidikan, ras, dan etnis. Stratifikasi dan keragaman yang ada dalam profesi hukum saat ini dapat menyebabkan kurangnya kesatuan profesional yang juga dapat mempengaruhi kedudukan profesi secara keseluruhan. Salah satu konsekuensi luar biasa dari meningkatnya diferensiasi profesi hukum adalah munculnya perspektif dalam ilmu hukum (jurisprudences) yang secara eksplisit membahas masalah perbedaan akses terhadap keadilan dan keragaman dalam hukum sebagai bahan kritik ilmu hukum (jurisprudencei) dalam gerakan Studi Hukum Kritis.
DIVERSIFIKASI ILMU HUKUM: STUDI HUKUM KRITIS (CRITICAL LEGAL STUDIES)
Kegiatan profesi hukum terdiri dari ajudikasi, advokasi, pendampingan, serta keilmuan hukum. Penting untuk menetapkan keilmuan hukum atau ilmu hukum (jurisprudence) sebagai kegiatan hukum karena menunjukkan bahwa profesi hukum memiliki kepentingan untuk mempelajari dirinya sendiri untuk memfasilitasi manajemen atas dasar pengendalian internal dan untuk mencegah analisis atas dasar pengamatan eksternal. Oleh karena itu, gerakan Ilmu Hukum Kritis yang berkembang di forum-forum sekolah hukum harus dilihat sebagai hasil dari transformasi profesi hukum dan perubahan kondisi tuntutan otonomi dan monopoli profesi.
Secara umum, gerakan Studi Hukum Kritis mengacu pada sekelompok sarjana hukum yang terhubung secara longgar —sebagian besar terkonsentrasi di Amerika Serikat dan pada tingkat yang agak lebih rendah di Inggris dan negara-negara Barat lainnya— yang sejak akhir 1970-an dan seterusnya mulai mengkritik sistem hukum atas dasar tidak terpenuhinya dan pengkhianatan terhadap gagasan dan cita-cita hukum yang diproklamirkan sendiri tentang keadilan, kesetaraan, dan keadilan.[3] Selain gambaran umum ini, ciri utama gerakan Studi Hukum Kritis adalah keragaman dan ketidakpastian teoretis, metodologis, dan politiknya, sehingga sulit untuk menggambarkan perspektif secara ringkas. Dalam hal ide-ide teoretisnya, Studi Hukum Kritis secara bervariasi berhutang budi pada tradisi realisme hukum Amerika, Teori Kritis Mazhab Frankfurt, versi pemikiran neo-Marxis, pascastrukturalisme Prancis (terutama karya Michel Foucault), pascamodernisme, dan dekonstruksi.
Para ilmuwan Ilmu Hukum Kritis menyatakan ambisi politik yang secara umum dapat digambarkan sebagai radikal, alternatif, dan/atau kiri. Banyak penganut perspektif tersebut dipengaruhi oleh pengalaman mereka tentang anti-perang, hak-hak sipil dan gerakan protes lainnya di akhir 1960-an. Menjelang akhir 1970-an dan awal 1980-an, upaya intelektual para ilmuwan hukum yang berpikiran kritis mulai lebih terorganisir, memancar dalam pelembagaan perspektif Studi Hukum Kritis. Konferensi pertama tentang Studi Hukum Kritis diselenggarakan di Amerika Serikat pada tahun 1977, dan organisasi terkait, seperti Konferensi Hukum Kritis di Inggris dan “Critique du Droit” di Prancis, dibentuk segera sesudahnya.
Ide-ide teoritis Studi Hukum Kritis terdiri dari sejumlah komponen yang dapat dibedakan. Yang paling mendasar, Studi Hukum Kritis berorientasi untuk membuka kedok cara kerja hukum yang sebenarnya, biasanya di pengadilan dan arena pengambilan keputusan hukum lainnya. Kritis terhadap apa yang dilakukan hukum relatif terhadap prinsip-prinsipnya sendiri, Studi Hukum Kritis mengadopsi sikap kritik imanen yang berorientasi pada “penghancuran” formalisme dan objektivisme hukum. Terhadap ideologi legalisme liberal, Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa persamaan di depan hukum adalah mitos. Dalam kerjanya yang sebenarnya, hukum mencerminkan dan memajukan ketidaksetaraan ekonomi, politik, dan sosial-struktural lainnya yang ada dalam masyarakat. Bahkan undang-undang yang secara formal diproklamirkan untuk melayani keadilan yang lebih besar pada kenyataannya berfungsi untuk menjaga ketidaksetaraan sosial. Mengingat sifat struktural dari ketimpangan tersebut, maka perubahan yang diperlukan untuk membuat sistem hukum lebih adil harus melampaui upaya teknis reformasi hukum dan melibatkan upaya yang lebih mendasar yang ditujukan untuk emansipasi manusia.
Perspektif Studi Hukum Kritis secara empiris paling terfokus pada peran profesional hukum bermain dalam mempertahankan tatanan hukum meskipun kontradiksi internal hukum, janji-janji yang tidak terpenuhi, dan kontribusi terhadap penciptaan konflik dan ketidaksetaraan. Para ilmuwan Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa ketidakpastian adalah karakteristik utama dari sistem hukum modern. Penalaran hukum dan pengambilan keputusan sama sekali bukan penerapan prinsip-prinsip yang netral dan sebaliknya dipengaruhi oleh lusinan bias di pihak profesional hukum yang bergantung pada nilai-nilai etika-politik pribadi yang mereka pegang dan karakteristik konteks sosio-struktural yang mana mereka dibentuk. Tidak hanya hakim dan pengacara dipengaruhi dalam perilaku mereka oleh komitmen ideologis dan politiknya, hukum menutupi kondisi bias nilai ini dengan menempatkan netralitas dan membenarkan hasil hukum dalam hal penerapan formal undang-undang dan preseden untuk kasus-kasus tertentu.
Posisi ilmuwan Studi Hukum Kritis bahwa banyak pengaruh yang mempengaruhi hasil pengambilan keputusan hukum telah menegaskan kembali hubungan yang erat antara hukum dan moralitas. Mengingat ketidakpastian hukum, bagaimanapun, normativitas hukum tidak dapat dibatasi dengan rapi tetapi ditetapkan sebagai selimut tambal sulam nilai-nilai dan ide-ide yang berbeda dan saling bertentangan. Dengan menangkap kembali skeptisisme hukum-realis tentang prediktabilitas hukum, para ilmuwan Studi Hukum Kritis berpendapat bahwa hasil hukum pada dasarnya tidak dapat diprediksi karena dipengaruhi oleh banyak variabel yang berada di luar penalaran hukum formal. Lebih dari itu, bahkan berdasarkan standar argumentasi hukum yang ada, kesimpulan yang sangat berbeda dapat dicapai, tergantung pada konteks formatif yang mana argumen dibuat. Pembagian klas, ras, dan gender menjadi ciri konteks hukum. Dengan berfokus pada ketidaksetaraan hukum di sepanjang garis gender dan ras, Teori Ras Kritis dan teori hukum feminis adalah cabang dari Studi Hukum Kritis.[4] Penganut Teori Ras Kritis pada prinsipnya mempertanyakan netralitas hukum dalam hal buta warna dan keadilan terhadap semua tanpa memandang ras, sedangkan teori hukum feminis memandang hukum sebagai ekspresi masyarakat yang didominasi laki-laki yang mana perempuan diobjektifkan dan diperlakukan sebagai inferior. (lihat Bab 10).
Studi Hukum Kritis mengadopsi cara pandang hukum yang pada hakikatnya bersifat politis. Sifat politik hukum tidak mengacu pada hubungan antara hukum dan politik (melalui peraturan perundang-undangan), tetapi lebih mendasar menyiratkan bahwa diskursus hukum, termasuk dalil-dalil yang dibuat dalam undang-undang dan keputusan-keputusan yang dicapai, secara struktural tidak dapat dibedakan dari diskursus politik. Klaim objektivitas dalam hukum hanya menutupi kualitas politiknya. Studi Hukum Kritis tidak hanya mengekspos dinamika politik kerja hukum, tetapi juga aktivis dalam orientasinya untuk membawa perubahan pada sistem hukum dan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengubah hukum dan memberinya tujuan revolusioner guna membongkar hierarki kekuasaan dan hak istimewa, demokrasi yang diberdayakan harus dikembangkan yang mana keputusan politik menjadi bahan perdebatan oleh semua yang terlibat daripada hanya diumumkan oleh legislator dan profesional hukum.
Dengan upayanya untuk mengungkap pemikiran dan perilaku profesi hukum yang bertentangan dengan cita-cita otonomi hukum, Studi Hukum Kritis telah mengubah lanskap keilmuan hukum menjadi lebih beragam orientasinya. Sebagai tradisi dalam keilmuan hukum daripada dalam ilmu sosial, Studi Hukum Kritis tidak memiliki pengaruh besar dalam sosiologi hukum. Sosiolog hukum biasanya membahas Studi Hukum Kritis sebagai perspektif yang secara formal memiliki karakteristik tertentu dengan pendekatan teori konflik dalam sosiologi hukum, yang telah berkembang jauh sebelum gerakan Studi Hukum Kritis muncul. Dalam literatur sekunder, Studi Hukum Kritis kadang-kadang disajikan sebagai pendekatan dalam sosiologi hukum, meskipun tidak ada hubungan aktual antara dua perspektif yang dapat dibangun.[5] Karena kecurigaannya terhadap nilai ilmu sosial, juga, Studi Hukum Kritis telah mewujudkan prestasinya dalam keilmuan hukum tanpa sumber daya untuk karya sosiologis yang relevan tentang hukum dan ketidaksetaraan, meskipun faktanya pekerjaan tersebut berpotensi berwawasan ke perspektif Studi Hukum Kritis, seperti yang akan ditunjukkan ulasan berikut.
MENELITI PROFESI HUKUM: KASUS KETIMPANGAN GENDER
Peningkatan keragaman profesi hukum tidak selalu dibarengi dengan peningkatan kesetaraan. Sebaliknya, profesi hukum tetap diwarnai dengan berbagai bentuk ketimpangan berdasarkan ras, suku, agama, dan gender. Advokat Katolik dan Yahudi kurang terwakili dalam kemitraan bergengsi dari firma hukum besar. Ras minoritas kurang terwakili di semua tingkat pekerjaan hukum profesional. Sejak pembalikan kebijakan segregasi dan pembentukan program tindakan afirmatif, jumlah mahasiswa minoritas telah meningkat selama bertahun-tahun, tetapi tidak sedramatis jumlah mahasiswa perempuan. Perempuan mulai memasuki profesi hukum pada tingkat yang sangat tinggi, tetapi mengkonfirmasi temuan tentang pendapatan diferensial dalam organisasi dari penelitian institusional Bridges dan Nelson (Bab 7), penelitian sosiologis telah menemukan bahwa banyak bentuk ketimpangan gender bertahan dalam profesi hukum.
Ilustrasi kekuatan penelitian sosiologis tentang ketimpangan dalam profesi hukum adalah studi oleh Fiona Kay dan John Hagan pada pengacara di Kanada, khususnya di kota Toronto dan provinsi Ontario.[6] Di antara upaya penelitian yang paling sistematis menyelidiki posisi perempuan dalam profesi hukum, penelitian oleh Kay dan Hagan menunjukkan bahwa perempuan yang masuk ke profesi hukum menghadapi diskriminasi dan dihadapkan dengan asumsi lama tentang peran perempuan yang menyebabkan perempuan tidak mendapatkan kesetaraan relatif terhadap profesi hukum laki-laki berkaitan dengan pendapatan, peluang kerja, dan mobilitas. Dalam beberapa dekade terakhir, perempuan telah membuat kemajuan besar dalam memasuki pendidikan hukum dan praktik hukum, tetapi posisi perempuan dalam profesi hukum terus ditandai oleh banyak ketimpangan. Setelah menghadapi seksualisasi kehadirannya di sekolah hukum, perempuan lebih sulit memasuki dunia kerja hukum, terutama pada posisi yang lebih menguntungkan, dan mereka melaporkan perasaan dan pengalaman keterasingan, pelecehan, ketidakpuasan, dan diskriminasi setelah mereka bergabung dengan profesi. Perempuan profesional hukum tidak hanya menerima pendapatan yang lebih rendah, mereka juga menghadapi batas mobilitas pekerjaan yang lebih rendah karena asumsi bahwa perempuan pada akhirnya akan meninggalkan karirnya untuk mengambil tanggung jawab keluarga. Perempuan juga tidak mendapat manfaat sebanyak rekan laki-laki mereka dari memiliki gelar dari kampus hukum elit.
Seiring berkembangnya firma hukum, Kay dan Hagan menunjukkan, peningkatan jumlah posisi hukum di firma hukum di posisi terbawah, bukan sebagai mitra, dengan pendapatan yang relatif rendah secara tidak proporsional telah diambil oleh perempuan, yang dengan demikian menanggung beban proletarisasi profesi resmi. Perempuan kurang terwakili dalam praktik swasta dan dalam kemitraan di firma hukum, posisi yang mana perempuan juga bergerak lebih lambat daripada laki-laki. Selain itu, di firma hukum, perempuan menghadapi ekspektasi yang lebih tinggi dalam hal jam yang diharapkan untuk ditagih dan jumlah klien yang diharapkan untuk dibawa. Pada saat yang sama, advokat perempuan cenderung diberi lebih sedikit pekerjaan hukum yang dapat ditagih daripada profesional laki-laki dan, tidak seperti rekan laki-laki mereka, mereka menghadapi konsekuensi negatif dari cuti orang tua (parental leave). Ketimpangan yang dihadapi perempuan dalam hukum secara relatif terhadap rekan laki-laki mereka cenderung bertahan bahkan ketika posisi dan pengaturan organisasinya membaik. Lebih jauh lagi, perempuan meninggalkan praktik swasta dan firma hukum pada tingkat yang lebih tinggi daripada laki-laki dan, ketika mereka melakukannya, secara tidak proporsional cenderung keluar dari profesi sama sekali. Meskipun keberhasilan profesional kaum perempuan yang terbatas dalam angkatan kerja hukum, bagaimanapun, ada juga indikasi bahwa perempuan secara positif berdampak terhadap hukum dengan memperkenalkan reformasi kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan lebih banyak lingkungan kerja profesional yang saling menghormati.[7]
KESIMPULAN
Peran profesi hukum adalah inti dari kapasitas integratif sistem hukum modern. Dalam sosiologi hukum, fokus Weberian pada profesionalisasi pekerjaan hukum dan penekanan Parsonian terkait pada peran profesi sehubungan dengan fungsi integratif hukum untuk menghasilkan perspektif profesi hukum yang menegaskan kembali sentralitasnya dalam otonomi hukum. Analisis selanjutnya dalam sosiologi profesi telah menantang perspektif ini dan menawarkan gambaran profesionalisasi yang lebih rumit. Hal ini dalam pemikiran sosiologis bukan hanya merupakan hasil perkembangan intelektual dalam sosiologi, khususnya perpindahan dari fungsionalisme struktural. Hal ini juga selaras dengan transformasi empiris profesi hukum, khususnya meningkatnya keragaman profesi selama paruh kedua abad ke-20. Diversifikasi profesi hukum juga mendorong berkembangnya gerakan Studi Hukum Kritis yang berkontribusi pada pengembangan perspektif dalam ilmu hukum (jurisprudence) yang berusaha membuka tabir otonomi hukum.
Dalam penerimaannya, perspektif Studi Hukum Kritis kadang-kadang dikutuk oleh para ilmuwan hukum yang berpikiran lain karena dianggap memiliki kualitas destruktif terhadap kesatuan hukum dan nihilisme dan kiri-isme yang akan dibawanya ke sekolah hukum. Nada tajam dan sifat defensif dari tanggapan ini, bagaimanapun, sebagian besar terbukti tidak perlu. Karena tidak hanya perspektif Studi Hukum Kritis yang dikembangkan oleh para profesor hukum yang bekerja dalam batas-batas yang aman dari sekolah-sekolah hukum profesional utama, niat transformatif Studi Hukum Kritis belum terwujud, baik dalam skala besar maupun dalam bentuk serangan gerilya terbatas berskala lokal. Tanpa harus menyangkal bahwa praktisi gerakan Studi Hukum Kritis dijiwai oleh minat yang berkomitmen pada peluang manusia yang belum terwujud, gerakan tersebut tidak, bertentangan dengan niatnya, berhasil menantang otoritas hukum dan peran yang dimainkan di dalamnya oleh profesi hukum. Apa yang telah disumbangkan oleh gerakan Studi Hukum Kritis adalah diversifikasi pemikiran hukum (terutama yang bertentangan dengan perspektif hukum dan ekonomi) sebagai bagian dari transformasi hukum yang menandai profesi hukum secara keseluruhan.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh tinjauan kerja tentang stratifikasi gender dalam profesi hukum, penelitian sosiologis tentang hukum dan ketidaksetaraan melampaui batas-batas keilmuan hukum untuk menawarkan penyelidikan yang bermakna secara intelektual, berdasarkan empiris, dan ilmiah tentang transformasi profesi hukum. Dalam fungsi kritisnya untuk menghadapi aspirasi dan realitas dalam diversifikasi profesi hukum, karya sosiologis yang berorientasi empiris memenuhi fungsi yang lebih kritis daripada yang dapat dilakukan oleh latihan ilmu hukum (jurisprudence) mana pun. Lebih dari itu, karya sosiologis dalam batas-batas profesi hukum dapat memanfaatkan wawasan sosiologis yang sentral dalam sosiologi hukum, khususnya dalam bentuk teori-teori profesionalisasi. Kontribusi lebih lanjut di bidang ini oleh karena itu dapat memperkaya sosiologi hukum dengan cara yang secara teoritis diinformasikan dan bermakna secara substantif, sementara juga berkontribusi untuk membuka kedok studi tentang profesi hukum ketika kurang diilhami oleh aspirasi analitis dan lebih didorong oleh ambisi profesional.
Catatan Kaki:
[1] Kontribusi mendasar dalam sosiologi profesi termasuk Abbott (1988); Freidson (1984, 1986, 2001); Larson (1977). Karya-karya berpengaruh dalam sosiologi profesi hukum antara lain Carlin (1962); Halliday (1987); Rueschemeyer (1973). Lihat juga diskusi dan ikhtisar bermanfaat oleh Berends 1992; Davies 1983; Dingwall dan Lewis 1983; Halliday 1983, 1985; Macdonald 1995; Murray, Dingwall, dan Eekelaar 1983; Riesman 1951; Rueschemeyer 1983. Bagian ini sebagian mengandalkan Deflem (2007a).
[2] Informasi empiris yang dilaporkan dalam bagian ini, saya terutama mengandalkan tulisan Richard Abel tentang sejarah dan struktur profesi hukum Amerika (Abel 1986, 1988, 1989) dan studi tentang advokat Chicago yang dilakukan oleh John Heinz, Edward Laumann, dan rekan-rekannya (Heinz dan Laumann 1982; Heinz, Laumann, Nelson, dan Michelson 1998; Heinz, Nelson, dan Laumann 2001; Heinz, Nelson, Sandefur, dan Laumann 2005; Nelson 1994). Untuk analisis dan tinjauan tambahan, lihat Boon 2005; Galanter dan Palay 1991; Gorman 1999; Halliday 1986; Kritzer 1999; Sandefur 2001, 2007; Seron 1996; Shamir 1993b, 1995; Van Hoy 1995, 1997. Untuk perspektif perbandingan profesional hukum di beberapa negara, lihat kontribusi dalam Abel dan Lewis 1988–1989.
[3] Perwakilan utama gerakan Studi Hukum Kritis antara lain adalah Roberto Unger (1976, 1983, 1986), Duncan Kennedy (1983, 1997, 1998), dan Richard Abel (lihat catatan 2). Selain itu, analisis empiris dan teoritis berpengaruh pada Studi Hukum Kritis disediakan oleh Galanter (1974), Gordon (1986), Kelman (1984), Tushnet (1991), dan kontributor dalam Fitzpatrick dan Hunt (1987). Untuk tinjauan umum yang bermanfaat, lihat Bauman 1996; Gorden 1986; Berburu 1986; Miaille 1992; Milovanovic 1988.
[4] Lihat Delgado dan Stefancic 2001 tentang Teori Ras Kritis (Critical Race Theory) dan kontribusi dalam Dowd dan Jacobs 2003 tentang ilmu hukum feminis (femininist jurisprudence).
[5] Misalnya, sebuah artikel baru-baru ini yang disajikan sebagai analisis tumpang tindih paradigmatik antara Studi Hukum Kritis dan sosiologi hukum hanya menawarkan gambaran dari perspektif Studi Hukum Kritis (Priban 2002).
[6] Lihat buku tentang studi-lengkap, Gender in Practice (Hagan dan Kay 1995), dan artikel penelitian terkait (Hagan 1990; Hagan dan Kay 2007; Hagan, Zatz, Arnold, dan Kay 1991; Kay 1997, 2002; Kay dan Brockman 2000; Kay dan Hagan 1995, 1998, 1999).
[7] Dengan konfirmasi atas temuan penelitian Kay dan Hagan tentang situasi Kanada, penelitian sosiologis di negara-negara lain yang mana perempuan telah berhasil memasuki pendidikan hukum dan praktik hukum, juga menunjukkan bahwa profesional hukum perempuan belum menikmati posisi kesetaraan. Lihat, misalnya, studi oleh Dixon dan Seron 1995; Gorman 2005, 2006; Lambung 1999; Hull dan Nelson 2000; Laband dan Lentz 1993; MacCorquodale dan Jensen 1993; Pierce 2002; Roach Anleu 1990; Pacu 1990; Wallace 2006; dan kontribusi di Schultz dan Shaw 2003.