Seri Sosiologi Hukum (14): Penegakan Hukum, Masalah Khusus tentang Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
bagian iv masalah-masalah khusus tentang HUKUM
11. KONTROL SOSIAL: PENEGAKAN HUKUM
Terlepas dari apakah hukum didefinisikan dalam pengertian yang kurang lebih terbatas sebagai pengertian yang mengacu pada aturan yang disahkan secara formal atau juga melibatkan tatanan normatif lainnya, agar hukum menjadi valid secara sosial, ia harus diterima di antara komunitas subjek hukum (legitimasi/keabsahan) dan itu harus diundangkan dan diadministrasikan dengan cara tertentu (legalitas/kesahihan). Relevansi legalitas dikemukakan paling jelas oleh Max Weber dalam definisi hukumnya. Tetapi bahkan dalam kasus sistem normativitas ekstra-hukum, yang disebut Weber sebagai kebiasaan dan konvensi, beberapa kekuatan kepatuhan harus ada. Suatu tatanan normatif, dengan kata lain, harus selalu disertai dengan mekanisme dan sistem kontrol yang menjamin ketaatan melalui penegakan norma. Sistem kontrol semacam itu berkisar dari respons yang sangat informal dan ekspektasi normatif, seperti penolakan publik atau rasa malu pribadi, hingga sistem penegakan hukum yang sangat formal oleh institusi kepolisian dan sistem pengawasan dan hukuman. Penegakan hukum merupakan masalah hukum yang khusus dan tidak dapat dihindari.
Dalam sosiologi modern, penegakan hukum telah dibahas terutama dalam konteks sosiologi kontrol sosial, yang dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar dikaitkan dengan sosiologi kejahatan dan penyimpangan daripada sosiologi hukum. Akan tetapi, seperti yang akan diungkapkan bab ini, konsep kontrol sosial pada mulanya memiliki makna yang lebih luas daripada penggunaannya saat ini dalam hal kejahatan dan/atau penyimpangan, yang dari sudut pandang sosiologis lebih erat hubungannya dengan sosiologi hukum. Alasan relatif pengusiran kejahatan dan penyimpangan serta pengendaliannya, termasuk peradilan pidana dan hukum pidana, dari sosiologi hukum sebagian besar tidak teoritis tetapi historis, berkaitan dengan asal-usul kriminologi sebagai teknologi pengendalian kejahatan dalam sistem peradilan pidana. Akibatnya, sosiologi kontrol sosial kontemporer tidak dapat tanpa syarat ditempatkan secara institusional dalam sosiologi hukum, meskipun sosiologi hukum secara konseptual harus mencakup sosiologi kontrol sosial juga. Bab ini akan memperdalam fokus sosiologis pada hukum untuk memusatkan pada mekanisme penegakan yang menyertai sistem hukum. Meskipun buku terpisah akan diperlukan untuk membahas berbagai kontribusi teoritis dan substantif dalam sosiologi kontrol sosial, diskusi ini akan fokus pada dimensi kontrol sosial yang menikmati hubungan tertentu dengan hukum dan berkonsentrasi pada perspektif dan studi yang melampaui batas-batas studi kejahatan dan penyimpangan dengan memperlakukan kontrol sosial sebagai topik yang layak diselidiki dalam dirinya sendiri.
Setelah meninjau transformasi konsep kontrol sosial dalam sosiologi modern, bab ini akan memperkenalkan karya Michel Foucault tentang disiplin dan pemerintahan sebagai salah satu perkembangan teoretis terbaru yang paling berpengaruh tentang hukuman dan kekuasaan yang telah berhasil diterapkan dalam studi sosiologi kontrol sosial dan hukum. Ketidaksepakatan terdapat pada manfaat dan keterbatasan relatif dari karya Foucault, tetapi, mengingat ruang lingkup dan pengaruhnya, tidak ada sosiologi kontrol sosial yang dapat dianggap serius hari ini, bila tidak, setidaknya menempatkan sosiologi kontrol sosial berhubungan dengan karya Foucault. Pintu-masuk teoretis ini akan memungkinkan diskusi studi sosiologis tentang berbagai dimensi dan mekanisme kontrol sosial di bidang kepolisian, teknologi pengawasan (surveillance technologies), pemidanaan (sentencing), dan hukuman (punishment).
KONSEP KONTROL SOSIAL
Di antara konsep tertua dalam sosiologi, kontrol sosial secara historis telah mengalami transformasi teoretis yang penting.[1] Sejak akhir abad ke-19 dan seterusnya, kontrol sosial terutama digunakan dalam sosiologi Amerika untuk merujuk secara luas pada kapasitas masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri tanpa menggunakan paksaan. Konsep kontrol sosial yang luas ini dipahami dalam pengertian tata kelola diri yang ramah yang menekankan kebutuhan masyarakat yang berkelanjutan akan integrasi sosial melalui sosialisasi meskipun ada kecenderungan peningkatan individualisme. Kontrol sosial adalah apa yang menjadi ciri integrasi dalam masyarakat sejauh itu memang membutuhkan paksaan. Konsep kontrol sosial ini, yang menyiratkan harmoni dan progresivisme, masih populer hingga Perang Dunia II, terutama dalam sosiologi Amerika Serikat.
Gagasan konsensual yang dipahami secara luas tentang kontrol sosial menemukan ekspresinya yang paling tajam dalam karya-karya George Herbert Mead (1934) dan Edward Alsworth Ross (1926). Berdasarkan psikologi perilaku manusia (lihat Bab 6), Mead memahami kontrol sosial dalam istilah voluntaristik sebagai kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku mereka dengan mempertimbangkan harapan orang lain, sehingga menyelaraskan kontrol diri dan kontrol sosial yang dilakukan oleh individu. yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 5, Ross mengartikulasikan peran yang dimainkan oleh institusi masyarakat dalam mendorong kontrol sosial dan mengidentifikasi hukum sebagai salah satu dimensi kontrol sosial, di samping institusi lain seperti pendidikan, opini publik, dan agama. Sebagai fungsi tetap dalam masyarakat, konsepsi kontrol sosial ini berlaku bagi semua anggota masyarakat, bukan hanya bagi mereka yang melanggar harapan normatif.
Pergeseran teoretis penting dalam sosiologi kontrol sosial terjadi pada periode setelah Perang Dunia II, ketika model masyarakat konsensual tidak lagi dapat diterima dengan mudah mengingat bangkitnya fasisme dan Nazisme, kekejaman perang, dan pembangunan –menuju Perang Dingin dan perlombaan senjata nuklir. Konsep kontrol sosial sekarang digunakan untuk merujuk pada bentuk kontrol yang lebih represif dan koersif yang dilembagakan, bukan dengan sosialisasi ke dalam norma, tetapi atas dasar kekuasaan dan kekuatan. Dari sudut pandang konsepsi koersif ini, fungsi kontrol sosial dikaitkan dengan institusi sosial yang biasanya dipahami dalam istilah fungsional yang lebih jinak. Dari perspektif ini, misalnya, sosiolog Francis Fox Piven dan Richard Cloward berpendapat dalam studi penting mereka, Regulating the Poor (Piven dan Cloward 1971), bahwa kesejahteraan merupakan upaya untuk melakukan kontrol atas klas orang tertentu, seperti orang miskin dan orang miskin. pengangguran, untuk menenangkan klas-elas yang kekurangan secara ekonomi dan mencegah pemberontakan sosial. Secara lebih luas, perspektif kontrol sosial ini dapat diterapkan pada orang yang sakit fisik dan mental, tua dan muda, dan, pada akhirnya, menyimpang.
Sejak 1950-an dan seterusnya, kontrol sosial telah dipahami lebih jelas sebagai mekanisme dan institusi yang mendefinisikan dan menanggapi kejahatan dan/atau penyimpangan. Sesuai dengan kelompok teori dominan dalam sosiologi kriminologi, kontrol sosial sekarang dikonseptualisasikan sebagai respons fungsional terhadap kejahatan, reaksi masyarakat terhadap penyimpangan, atau reproduksi tatanan sosial di luar sekadar fokus pada kejahatan. Pertama, dari perspektif teori penyebab kejahatan, seperti teori asosiasi diferensial Edwin Sutherland (1973) dan perspektif perjalanan hidup Robert Sampson dan John Laub (1993), kontrol sosial dipahami sebagai variabel dependen yang disebabkan oleh kejahatan, fungsi, dalam respon terhadap kejahatan, sebagai mekanisme ganti rugi. Kejahatan menjadi pusat perhatian dalam perspektif seperti perilaku kriminal perlu dideteksi dan dihukum oleh kekuatan kontrol sosial untuk mencegah disintegrasi masyarakat.
Kedua, dari sudut pandang teori pelabelan atau reaksi masyarakat, yang dipopulerkan oleh Howard S. Becker (1963) dan Edwin Schur (1971) dan saat ini diwakili oleh Erich Goode (1996) dan Ross Matsueda (1992), kejahatan dipandang sebagai konstruksi masyarakat atas dasar proses kriminalisasi perbuatan menyimpang. Sedangkan tindakan awal penyimpangan dimotivasi oleh aktor, kriminalisasi berikutnya adalah fungsi dari masyarakat yang mendefinisikan dan menanggapi penyimpangan. Kontrol sosial dipandang sebagai konstitutif kejahatan melalui proses pelabelan, yang biasanya tidak memperhitungkan kebutuhan dan motif aktor menyimpang melainkan memaksakan sistem kontrol yang melayani tujuan masyarakat.
Ketiga dan terakhir, dari sudut pandang teori konflik, fokus interaksionis dari teori pelabelan dilampaui oleh perspektif yang lebih berorientasi struktural yang menempatkan proses kontrol sosial dalam masyarakat yang lebih luas, tempat kontrol sosial berlangsung. Alih-alih menganalisis tatanan interaksionis dari pelanggar aturan dan penegak aturan, sosiologi kritis berfokus pada kontrol sosial dalam kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tumbuh secara historis dan mekanisme serta institusinya yang dimobilisasi untuk menjaga ketertiban. Yang paling penting di antara teori-teori kritis kontrol sosial adalah apa yang disebut sebagai perspektif revisionis.[2] Perspektif revisionis berpendapat bahwa perubahan historis dalam kontrol sosial secara formal dibenarkan sebagai sesuatu yang lebih rasional dan lebih manusiawi dibandingkan dengan ukuran kontrol sebelumnya yang senyatanya lebih efisien dan lebih menekan daripada metode lama. Berkaitan dengan itu, alternatif-alternatif bentuk-bentuk kontrol sosial tradisional, seperti program pengobatan dan resosialisasi ulang, yang dimaksudkan untuk menggantikan tindakan-tindakan yang bersifat menghukum (baca: punitif), pada kenyataannya berfungsi untuk melengkapi bentuk-bentuk kontrol sosial yang ada, membawa perluasan (atau pelebaran jaringan) kontrol. Selain itu, bentuk-bentuk alternatif kontrol sosial tersebut juga dikatakan untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran aturan, betapapun kecil atau sepelenya, tidak akan luput dari perhatian, karena sifat kontrol (atau penipisan mata rantai) yang semakin mendetail. Teori-teori kontrol sosial dari kaum revisionis secara teoritis paling banyak mengambil manfaat karya yang ditulis oleh Michel Foucault.
DISIPLIN DAN GOVERNMENTALITY
Filsuf Prancis Michel Foucault (1926–1984) telah memengaruhi sosiologi kontemporer tentang kontrol sosial, dan sosiologi hukum secara lebih luas, dengan cara yang sangat ditentukan oleh karyanya yang inovatif tentang transformasi dan sifat kekuasaan dan hukuman (punishment).[3] Perhatian utama yang dibahas oleh Foucault dalam karyanya tentang kekuasaan adalah transformasi kualitatif hukuman pemidanaan sepanjang sejarah, khususnya hilangnya hukuman pemidanaan sebagai tontonan publik dan kekerasan yang berpusat pada penderitaan tubuh menuju munculnya pengawasan jiwa, dan khususnya perkembangan sistem penjara modern. Bertentangan dengan ekonomi politik kekuasaan, karya Foucault menawarkan mikro-fisika kekuasaan yang berpusat pada strategi, taktik, teknik, dan pemfungsian konkret kekuasaan.
Antara pertengahan abad ke-18 dan abad ke-19, Foucault menunjukkan, eksekusi publik secara bertahap menghilang dan hukuman pemidanaan menjadi tersembunyi, rinci, dan terahasiakan. Ekspresi prototipikal hukuman pemidanaan selama abad ke-18 adalah tontonan publik tentang siksaan yang lambat dan panjang, tetapi, sekitar 80 (delapan puluh) tahun kemudian, terdapat jadwal yang mengatur kehidupan penjara secara rinci. Foucault berpendapat bahwa hilangnya penyiksaan secara historis, jauh dari humanisasi hukuman pemidanaan, merupakan perubahan kualitatif dalam tujuan dan sarana kekuasaan. Sifat kekerasan dan penyiksaan publik dijelaskan atas dasar sentralitas kekuasaan penguasa, raja, dalam pembenaran hukum dan, karenanya, hukuman pemidanaan atas pelanggarannya. Dalam urusan yudisial dan politik, penyiksaan menampilkan hubungan asimetris antara tubuh yang dihukum dan tubuh yang berdaulat. Penyiksaan berangsur-angsur menghilang demi pengawasan jiwa yang terperinci dan transparan setelah usulan reformasi, yang dikembangkan sejak paruh kedua abad ke-18 dan seterusnya, yang merekomendasikan keringanan hukuman dalam hukuman pemidanaan, tetapi hanya dalam bentuk teknologi kontrol yang lebih efisien, yang akan memungkinkan pelaksanaan kekuasaan yang bijaksana tetapi dapat diperhitungkan atas jiwa. Bentuk-bentuk hukuman pemidanaan baru harus tidak sewenang-wenang melalui jenis tanggapan yang bersifat khusus terhadap setiap kejahatan agar bentuk-bentuk hukuman pemidanaan itu dipertahankan atau dikurangi dalam hal efek positifnya terhadap pendidikan-ulang dan reintegrasi pelaku kesalahan. Sistem penjara modern cocok dengan usulan reformasi, bukan sebagai tempat penahanan, tetapi sebagai tempat pertobatan dan koreksi.
Bentuk kekuasaan baru yang muncul bersamaan dengan transformasi dari penyiksaan ke pemenjaraan disebut Foucault sebagai disiplin. Dalam tujuannya untuk menghasilkan tubuh yang patuh, disiplin terungkap dalam mesin kekuasaan yang mana tubuh dimanipulasi, dibentuk, dilatih, dan dibuat untuk patuh. Efek disiplin dicapai melalui setidaknya empat teknik. Pertama, tubuh individu didistribusikan di dalam ruang menurut prinsip-prinsip seperti pagar (di belakang dinding penjara, pabrik, dan rumah sakit), pembagian tubuh (particioning of bodies) ke dalam sel-sel individu, dan alokasi tubuh ke tempat fungsional dan dalam peringkat. Kedua, aktivitas tubuh dikendalikan dengan cermat melalui jadwal yang menentukan dan mengoordinasikan berbagai jenis tindakan. Ketiga, aktivitas tubuh disusun secara hati-hati dari waktu ke waktu ke dalam sub-kegiatan yang berurutan. Dan keempat, melalui komposisi kekuatan, tubuh individu ditempatkan dalam bentuk keseluruhan yang lebih besar yang berfungsi sebagai mesin efisiensi maksimum. Dari sudut pandang sarana, disiplin bergantung pada tiga teknik pelatihan yang benar: (1) melalui pengamatan hierarkis, individu menjadi terlihat dan transparan agar memungkinkan kontrol berlangsung terperinci dan transformasi perilaku yang tepat; (2) melalui penilaian normalisasi, penyimpangan tidak dihukum dengan penderitaan tetapi dikoreksi dengan latihan; dan (3) atas dasar pengujian (baca: eksaminasi), disiplin menghasilkan pengetahuan yang dapat digunakan secara produktif menuju transformasi diri.
Foucault berpendapat bahwa ekspresi tertinggi dari disiplin dapat ditemukan dalam prinsip Panopticon. Sebuah sistem pengawasan yang membuat semua terlihat, Panopticon adalah model yang awalnya dikembangkan oleh Jeremy Bentham untuk disain penjara yang akan sangat ekonomis dapat mengawasi tahanan. Panopticon terdiri dari bangunan bundar dengan sel-sel individu yang dipisahkan satu sama lain oleh dinding beton dan memiliki jeruji di bagian depan sehingga setiap tahanan dapat dilihat oleh pengamat yang terletak di tengah bangunan. Setiap narapidana terlihat oleh pengamat, sementara pengawasan itu sendiri tidak dapat diverifikasi karena narapidana tidak pernah dapat melihat apakah atau kapan seseorang mengawasi mereka. Dalam sistem modern, disiplin menemukan manifestasi utamanya melalui institusi sistem koreksi untuk menghasilkan tubuh yang patuh dan berguna melalui isolasi, kerja, dan penyesuaian hukuman pemidanaan tergantung pada pencapaian bertahapnya.
Di antara wawasan yang relevan secara teoritis yang berasal dari Foucault adalah bahwa disiplin tidak terbatas pada penjara tetapi mekanismenya bekerja di seluruh masyarakat. Sistem Panopticon menjadi fungsi umum panoptisisme yang menghasilkan masyarakat yang disiplin. Manifestasi lain dari kekuasaan disiplin adalah rumah sakit, sebagai tempat pengasingan dan penyakit, pabrik, untuk konsentrasi kerja, dan rumah sakit jiwa, tempat para pengemis dan orang-orang yang tidak produktif secara ekonomi disimpan. Ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti psikiatri, kedokteran, dan kriminologi, berkembang sedemikian rupa untuk membenarkan dan mempertahankan disiplin. Disiplin juga tersebar di seluruh masyarakat, kekuasaan disipliner tidak dapat ditangkap dalam kerangka dikotomi antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang ditundukkan pada kekuasaan. Sebaliknya, kekuatan disiplin adalah fungsi buta, mesin non-diskriminatif yang mana setiap orang menjadi terlihat.
Mungkin yang paling penting bagi sosiologi kontrol sosial dan hukum adalah gagasan Foucault bahwa kekuasaan disiplin adalah produktif dan berguna. Konsep ini secara radikal berbenturan dengan gagasan tradisional tentang kekuasaan yang melarang dan berorientasi negatif untuk menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Disiplin berbenturan dengan visi hukum sebagai aturan yang melarang dan penegakan hukum sebagai kekuatan reaktif yang dikenakan kepada mereka yang melanggar hukum. Kekuasaan kedisiplinan justru berusaha untuk secara positif memengaruhi jiwa individu agar taat. Pada saat yang sama, Foucault berpendapat, sifat disiplin masyarakat modern tidak menjelaskan semua bentuk kekuasaan, karena masih ada jejak penyiksaan dan bentuk-bentuk kekuasaan tradisional lainnya. Selain itu, menunjukkan batasan penting terhadap efek kekuasaan disiplin, selalu ada perlawanan terhadap disiplin. Masyarakat modern bersifat disiplin tetapi tidak terdisiplinkan.
Dalam karyanya yang kurang berkembang tetapi sangat berpengaruh adalah mengenai governmentality (sebuah neologisme untuk rasionalitas pemerintah), Foucault memperluas kualitas positif kekuasaan untuk menyatakan bahwa perilaku anggota masyarakat tidak tunduk, tetapi terlibat dalam, pelaksanaan kekuasaan berdaulat. Dengan kata lain, perilaku masyarakat diperhitungkan secara positif sehingga kekuasaan pemerintahan dapat berpusat pada penduduk dan kebenarannya mengandaikan individu sebagai subjek yang hidup untuk memajukan kesuburan wilayah dan kesehatan serta pergerakan penduduk. Governmentality berasal dari arus pemikiran politik Eropa abad ke-16 yang mana berkembang gagasan bahwa kekuasaan mencakup segala sesuatu yang ada dan terjadi, semua peristiwa, tindakan, perilaku, dan pendapat, karena kekayaan dan kekuatan negara dianggap tergantung pada kondisi populasi. Di Eropa abad ke-19, gagasan tentang pemerintahan ditemukan kembali dalam hal ekonomi kekuasaan yang efisien yang ditargetkan, bukan pada negara-bangsa dan warga negaranya yang dibatasi secara yurisdiksi, tetapi pada kesuburan suatu wilayah dan kesehatan serta pergerakan populasi. Dengan objek kekuasaan pemerintahan terkonsentrasi pada subjek dan objek yang dikelolanya, governmentality berpisah dengan konsepsi legalistik kekuasaan. Alih-alih hukum raja atau negara, norma pemerintahan datang untuk mewakili apa yang berguna dan, sebaliknya, apa yang merugikan masyarakat.
Untuk mempraktikkan bentuk kekuasaan pemerintahan, sistem pengetahuan dikembangkan di wilayah dan populasi masyarakat, termasuk pengetahuan kriminologis yang berpusat pada kehidupan dan spesies penjahat. Kriminologi dapat mengandalkan perkembangan statistik kriminal untuk mengungkapkan kebenaran umum dari populasi seperti yang diungkapkan dalam keteraturan tentang siapa yang lebih mungkin terlibat dalam kegiatan kriminal dan dalam keadaan tertentu. Akhirnya, untuk menyelesaikan aliansi-rangkap-tiga (triple alliance) dalam memajukan pemerintahan, sistem kepolisian dikembangkan untuk menegakkan norma-norma pemerintahan atas dasar program ketertiban dan keamanan yang luas. Seperti yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya, konsep polisi dari perspektif kekuasaan pemerintahan lebih luas daripada perspektif polisi sebagai penegak hukum yang telah muncul secara historis.
POLISI DAN PEMOLISIAN (POLICING)
Di antara banyak topik yang menjadi perhatian khusus sosiolog yang mempelajari kepolisian adalah transformasi historis kepolisian dan berbagai bentuknya di seluruh dunia, berbagai isu yang diangkat oleh teknologi yang diadopsi dalam pekerjaan kepolisian, dan implikasi dari struktur organisasi kepolisian dan profesionalisasi peran polisi. Secara historis, polisi tidak selalu mengacu pada penegakan hukum pidana.[4] Dengan menyelaraskan hal ini dengan gagasan Foucauldian tentang pemerintahan, fungsi polisi pada awalnya, sejak abad ke-16, tidak dipahami dalam arti terbatas sebagai penegakan hukum pidana, tetapi dipahami secara luas dalam hal program umum (pemerintah) yang berorientasi pada kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan individu atas dasar sistem pemerintahan yang luas yang mencakup semua aspek kehidupan publik yang mungkin. Alih-alih hanya menanggapi pelanggaran hukum, sistem pemerintahan kepolisian (sebagai kebijakan) ini secara proaktif dan positif berkontribusi untuk memajukan ketertiban dan kesejahteraan. Dalam pengertian ini, polisi memperhatikan beragam hal seperti pendidikan, kesehatan, pembunuhan, agama, kebakaran, ladang, hutan, dan perdagangan, daripada hanya menjadi instrumen penegakan hukum. Seiring berkembangnya negara-bangsa, institusi kepolisian berkembang, yang melengkapi kekuatan militer yang diarahkan secara eksternal, yang berspesialisasi dalam masalah keamanan internal. Dengan demikian terjadi penggambaran polisi secara bertahap (sebagai penegak hukum) dalam hal aturan yang secara formal didefinisikan dalam hal pemeliharaan ketertiban dan pengendalian kejahatan.
Bahkan dengan transformasi umum fungsi polisi dalam hal penegakan hukum, variasi tetap ada di antara sistem kepolisian di berbagai negara. Di beberapa masyarakat, terutama di benua Eropa, tugas polisi didefinisikan dengan sangat luas. Di Kekaisaran Jerman pada akhir abad ke-19, misalnya, fungsi polisi dipahami secara komprehensif menyangkut berbagai hal seperti pembunuhan, merokok di tempat umum, dan lalu lintas. Di negara lain yang lebih liberal, kekuasaan polisi lebih dibatasi dalam hal hak konstitusional dan terbatas pada pelanggaran hukum pidana yang dipahami secara sempit. Rezim kolonial kembali mengikuti jalan yang sama sekali berbeda, terkait erat dengan tujuan ekonomi dan politik dari penerapan pemerintahan kolonial.
Seiring dengan transformasi historis fungsi kepolisian, bentuk yang diambil oleh sistem kepolisian di seluruh masyarakat sangat bervariasi, dengan implikasi yang bertahan hingga saat ini. Secara historis, sistem kepolisian Eropa kontinental bersifat militeristik dan sangat terpusat, sedangkan penegakan hukum Inggris dan Amerika cenderung sipil dan terorganisir secara lokal. Sistem Inggris diawasi oleh pemerintah nasional sejak awal abad ke-19 dan seterusnya, tetapi tetap ada banyak variasi lokal dalam hal tingkat profesionalisme dan struktur kekuatan. Di Amerika Serikat, pengawasan federal dan pengorganisasian fungsi kepolisian hanya berkembang secara bertahap dan kepolisian tetap menjadi urusan lokal yang diorganisir di kota-kota. Berlawanan dengan model Eropa, badan kepolisian negara bagian dan federal AS berkembang perlahan dan tidak diperluas dengan cara apa pun hingga awal abad ke-20.
Berkaitan erat dengan kondisi sosio-historis kepolisian, strategi dan teknologi yang digunakan polisi tidak stabil melintasi ruang dan waktu. Keragaman dalam praktik pemolisian ini berkaitan dengan aspek teknis seperti apakah agen polisi berseragam dan bersenjata atau tidak, serta gaya dan strategi yang bervariasi yang digunakan dalam pekerjaan polisi. Di antara banyak inovasi kepolisian yang telah diperhatikan oleh para sosiolog adalah munculnya perpolisian masyarakat (Fielding 2002, 2005; Manning 2002), internasionalisasi kepolisian (lihat Bab 12), peran polisi dalam pembangunan bangsa yang demokratis (Bayley 2005), dan pengembangan strategi polisi khusus, seperti teknik rahasia dalam pekerjaan polisi yang menyamar (G. Marx 1981, 1988). Dengan menggunakan kasus kepolisian yang menyamar sebagai contoh, kualitas problematik dan ironis terungkap dalam dinamika dan efek pemolisian sebagai mekanisme utama kontrol sosial.
Pemolisian terselubung adalah bentuk pemolisian tersembunyi yang melibatkan penipuan dan provokasi. Strategi tersebut semakin diterapkan, terutama di masyarakat, seperti Amerika Serikat, yang mana perilaku polisi yang terbuka diatur secara ketat oleh hukum. Peningkatan kejahatan yang lebih tersembunyi, seruan publik dan dukungan untuk program anti-kejahatan, dan ketersediaan sarana teknis yang canggih untuk deteksi dan pengawasan kejahatan juga berkontribusi pada meningkatnya popularitas kepolisian yang menyamar. Pekerjaan polisi yang menyamar itu sendiri merupakan bentuk pekerjaan polisi yang berbenturan dengan persepsi umum polisi sebagai agen berseragam yang mencegah atau menanggapi kejahatan. Selain itu, dalam hal efeknya, kepolisian yang menyamar telah digunakan untuk berbagai alasan yang tidak terkait dengan pengendalian kejahatan, terutama pengawasan politik, yang mengungkapkan bahwa pekerjaan polisi tidak dapat dipahami semata-mata dalam hal pengendalian kejahatan. Selain konsekuensi yang tidak diinginkan dari viktimisasi orang-orang yang tidak bersalah dan beban psikologis dan sosial yang ditimbulkan pada agen, pemolisian yang menyamar dapat menyebabkan agen menargetkan satu sama lain atau menjadi target warga yang tidak curiga. Bisa dibilang paling ironis adalah situasi ketika agen yang menyamar telah ditemukan memiliki bukti palsu dan meningkatkan kegiatan kriminal.
Kasus kepolisian yang menyamar menunjukkan relevansi pekerjaan sosiologis yang terfokus pada dinamika dan determinan masalah-masalah khusus yang terkait dengan kepolisian. Konsekuensi-konsekuensi ironis dari pekerjaan polisi dan perilaku buruk di pihak polisi khususnya patut diperhatikan karena status khusus yang dikaitkan dengan polisi sebagai perwakilan dari penggunaan kekuatan yang sahih.[5] Dalam literatur tentang kepolisian, banyak dari masalah-masalah ini dirinci dalam istilah diskresi polisi dan peran yang dimainkan di dalamnya oleh budaya kepolisian dan struktur organisasi kepolisian. Diskresi polisi mengacu pada fakta bahwa polisi tidak mampu menegakkan setiap pelanggaran hukum karena keterbatasan sumber daya dan mengingat implikasi dari penegakan yang berlebihan di pihak warga. Oleh karena itu, petugas polisi harus membuat keputusan tentang apakah dan kapan penegakan itu dilakukan. Di luar pertimbangan administratif, bagaimanapun, perilaku polisi telah ditemukan sangat selektif (sebagai masalah penegakan diferensial) berdasarkan sejumlah faktor yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik untuk pekerjaan tersebut. Probabilitas penangkapan, misalnya, meningkat tidak hanya dengan tingkat keparahan kejahatan dan kekuatan bukti yang tersedia, tetapi juga sebagai akibat dari perilaku tidak sopan yang dirasakan terhadap polisi dan jarak antara pelanggar aturan dan penegak aturan (Black 1980).
Pembedaan penegakan hukum dan masalah lain yang terkait dengan peran polisi dapat dikontekstualisasikan dalam hal karakteristik budaya polisi dan struktur organisasi polisi. Sehubungan dengan budaya, polisi dapat dianalisa dalam hal proses profesionalisasi yang, seperti halnya profesi hukum, menuntut otonomi pekerjaan dan memperoleh kendali atas akses ke profesi dan pengawasan organisasi dan aktivitasnya (Manning 1977; Reiner 1985). Sesuai dengan citra ini, organisasi kepolisian cenderung menunjukkan identitas diri yang kuat sebagai pelindung moral masyarakat, “garis biru tipis” yang berdiri di antara ketertiban dan kekacauan. Mendampingi citra diri ini adalah persepsi tentang dunia luar dalam istilah yang sangat moralistik yang memperkuat moralitas dan perlunya tindakan polisi, yang mengarah pada kategorisasi warga berdasarkan kemungkinan yang mereka rasakan untuk bekerja sama dengan atau melawan polisi dalam eksekusi tugas mereka. Kepribadian polisi yang kompleks yang cenderung otoriter dan agresif tetapi juga berfluktuasi antara idealisme dan sinisme adalah korelasi sosio-psikologis dengan budaya ini.
Dari segi struktur, penting untuk mencermati bentuk dominan dari institusi kepolisian sebagai organisasi birokrasi (Deflem 2002). Konsisten dengan perspektif Max Weber, birokrasi dipahami sebagai organisasi, dibebani implementasi kebijakan, yang hierarkis dalam struktur, memiliki kegiatannya berdasarkan aturan umum, menggunakan metode standar, dan impersonal dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian, organisasi polisi yang terbirokratisasi secara hierarkis diatur dalam rantai komando yang kaku dan memiliki prosedur operasi yang diformalkan dan dibakukan. Dengan mengungkap impersonalitas teknis dalam perilaku, badan polisi birokrasi menangani kasus-kasus berdasarkan aturan umum yang memandu pengumpulan dan pemrosesan bukti tanpa memperhatikan orangnya dan semata-mata melihat tujuan yang dinyatakan dari pengendalian kejahatan dan pemeliharaan ketertiban. Dalam model birokrasi, pekerjaan polisi dirutinkan berdasarkan metode standar investigasi, seringkali sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip ilmiah teknik kepolisian, seperti metode identifikasi kriminal yang maju secara teknis.
Birokratisasi polisi yang berlebihan telah diidentifikasi di antara faktor-faktor penentu yang berkontribusi pada kurangnya akuntabilitas dalam pekerjaan polisi dan penegakan hukum yang berbeda. Dari sudut pandang normatif reformasi kepolisian, kekhawatiran terhadap birokratisasi kepolisian telah mendorong upaya penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dan pemolisian masyarakat (pemolisian masyarakat) untuk membangun kembali kepercayaan antara polisi dan masyarakat. Dari perspektif analitis, birokratisasi polisi telah dipelajari dalam kaitannya dengan otonomi yang dihasilkan oleh institusi kepolisian sehubungan dengan posisi kepolisian secara relatif terhadap pemerintah (otonomi formal) dan kemampuan polisi untuk secara mandiri menentukan cara yang tepat dan menentukan tujuan kegiatannya sendiri (otonomi operasional). Dalam proses birokratisasi polisi ini, kemajuan teknologi di bidang komunikasi, transportasi, dan deteksi kriminal terbukti sangat signifikan dalam memengaruhi jalannya kerja polisi, termasuk internasionalisasi fungsi kepolisian (lihat Bab 12).
TEKNOLOGI PENGAWASAN (TECHNOLOGIES OF SURVEILLANCE)
Peran sistem teknologi canggih dalam transformasi kontrol sosial jauh melampaui penggunaannya oleh polisi sebagai agen kontrol formal. Ini sejajar dengan pengamatan Foucault tentang penyebaran Panopticon ke dalam fungsi umum dalam masyarakat, demikian pula teknologi kontrol menyebar ke masyarakat untuk menjadi bagian normal dari kehidupan sosial modern. Secara teoritis, sosiologi pengawasan meluas dari karya Foucault untuk menyelidiki dimensi kontemporer dari bentuk-bentuk kontrol sosial baru yang sangat berteknologi tinggi yang secara proaktif diterapkan pada semua orang, mensurvei status kebangsaan (nation) tersangka, dengan cara yang sangat rinci.[6] Secara selektif meminjam dari dan bergerak di luar Foucault, pengawasan modern dikatakan tidak memiliki pusat dari mana kekuasaan memancar melainkan mengaburkan perbedaan antara kehidupan pribadi dan publik dan melintasi klas-klas sosial. Melalui sistem pengawasan canggih, seperti kamera video dan televisi sirkuit tertutup, dan sistem penyimpanan data terkomputerisasi, masing-masing dan semuanya terperangkap dalam sistem kontrol yang sangat dalam dan luas. Sistem seperti itu berorientasi pada membuat orang bertindak dengan cara tertentu, bahkan sampai mereka berpartisipasi dalam pengawasan mereka sendiri. Sistem pengawasan modern memiliki kekuatan untuk melintasi batas ruang dan waktu dan dalam pengertian ini bersifat universal, namun mereka telah diterapkan secara khusus dalam masyarakat demokratis terbuka sebagai konsekuensi ironis dari relatif tidak adanya represi terbuka dan kekerasan. Pengawasan adalah ancaman bagi masyarakat bebas yang hanya dapat dihasilkan oleh masyarakat bebas.
Berteori tentang implikasi pengawasan teknologi tinggi, beberapa ahli berpendapat untuk interpretasi modernis sejalan dengan teori revisionis kontrol sosial. Gary Marx (1988, 1995), terutama, telah menyarankan citra masyarakat pengawasan untuk menangkap munculnya sistem kontrol rahasia dan intens yang menembus jauh ke dalam hubungan sosial. Berusaha membuat setiap pikiran dan tindakan terlihat, teknologi kontrol, seperti kamera video dan basis data informasi, sebagian besar tidak terlihat. Teknologi pengawasan baru terutama mengekstraksi informasi pribadi. Karena jumlah informasi yang dikumpulkan berpotensi tidak terbatas, masyarakat menjadi transparan dan keropos. Strategi rekayasa kontrol dapat menghilangkan target potensial kejahatan, seperti melalui penggunaan kartu kredit untuk mengganti uang tunai atau melindungi target dari penyusup potensial, seperti melalui penguncian pintu sentral yang dikendalikan dari jarak jauh. Potensi pelanggar dapat dilumpuhkan dengan rekayasa langsung tubuh mereka, seperti dalam kasus kebiri kimia, dan, dengan cara yang lebih dari sebelumnya, pelanggar dapat dikeluarkan dari masyarakat melalui strategi panoptik di masyarakat, seperti melalui pemantauan rumah elektronik. Meningkatnya penggunaan strategi rekayasa dalam kontrol sosial menunjukkan pengembangan masyarakat keamanan maksimum yang mana teknologi mengambil alih sebagai lokus kendali dan setiap tindakan setiap orang diawasi, didengarkan, direkam, dan disimpan, memberikan masyarakat rasa curiga dan bersalah sampai terbukti tidak bersalah.
Suatu alternatif, perspektif pascamodern pengawasan dipertahankan oleh William Staples (2000, 2003). Dengan merujuk pada peningkatan penggunaan mekanisme kontrol berteknologi tinggi, kasus ini dibuat bahwa strategi kontemporer kontrol sosial melampaui sistem formal yang disetujui oleh pemerintah untuk membentuk berbagai ritual kekuasaan yang mana seluruh komunitas terlibat. Dalam bentuk basis data terkomputerisasi dan teknologi audio-visual, pengawasan modern ditempatkan di mana-mana dan ditargetkan secara tidak langsung kepada semua orang. Sistem pendeteksi elektronik yang dipasang pada gelang kaki dalam tahanan rumah, misalnya, mengubah rumah menjadi penjara tanpa tontonan yang disertai hukuman publik. Teknologi audio-visual canggih, seperti kamera video yang terpasang di telepon seluler, tidak mahal dan ada di mana-mana. Pengawasan pascamodern berlaku untuk seluruh rangkaian ruang teknologi, termasuk rumah dengan sistem alarm elektronik, sekolah yang telah menjadi bangunan keamanan yang dibentengi, tempat kerja untuk pengumpulan informasi karyawan secara rutin, dan tempat konsumsi dan hiburan yang mana perasaan dipantau dan dikendalikan. Di antara perubahan terbaru yang paling berpengaruh adalah proliferasi internet, yang selain sebagai sarana untuk mendistribusikan dan mengambil informasi, juga digunakan untuk mengekstrak informasi dan memodifikasi perilaku, misalnya melalui iklan dan modifikasi individual halaman web atas dasar dari informasi yang dikumpulkan. Staples menafsirkan perkembangan ini sebagai pascamodern karena menunjukkan hilangnya pusat kendali. Bersamaan dengan penurunan relatif dari pengaruh dan pentingnya negara-bangsa dan sistem hukum dan penegakan hukum formal, kehidupan sosial secara keseluruhan telah menjadi semakin terdesentralisasi menjadi multiplisitas dunia-kehidupan, yang tidak dapat ditangkap oleh narasi besar secara memadai. Pengawasan dilakukan setiap hari.
Dari sudut pandang yang juga merenungkan implikasi normatif dari munculnya pengawasan baru, privasi dan kebebasan sipil telah pindah ke pusat analisis sosiologis.[7] Di antara implikasi bermasalah dari strategi pengawasan yang direkayasa adalah ketidakmampuan untuk melihat konteks alternatif yang lebih besar dan konsekuensi jangka panjang dan pemindahan daripada perlakuan terhadap kegiatan yang tidak diinginkan. Di luar pertanyaan tentang kesahihan (baca: validitas) dan reliabilitas, penggunaan teknologi kontrol berlangsung secara ekstensif, sementara biaya ekonominya relatif rendah, dapat membuat masyarakat menjadi kaku dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan. Masyarakat yang transparan secara sosial mungkin lebih tertib, tetapi akan kekurangan kreativitas dan kebebasan. Privasi adalah pusat dari banyak kekhawatiran yang diangkat oleh teknologi pengawasan baru. Dari sudut pandang individu, privasi penting untuk dilindungi karena kemampuan untuk mengontrol informasi tentang diri terkait dengan martabat individu dan harga diri serta kesejahteraannya. Anonimitas juga dapat berguna dalam mendorong kejujuran dan pengambilan risiko. Dari sudut pandang masyarakat, kerahasiaan dalam hubungan sosial dapat meningkatkan arus komunikasi dalam hubungan profesional yang mengandalkan kepercayaan, seperti antara dokter dan pasien. Selain hak untuk menahan informasi, privasi juga mencakup hak untuk berbagi informasi dengan orang lain, yang dapat menjadi sumber penting dalam menjalin hubungan sosial. Secara lebih luas, penghormatan yang diakui secara sosial terhadap privasi merupakan indikasi nilai-nilai yang ingin diwujudkan oleh suatu bangsa.
PROSES HUKUMAN (PUNISHMENT)
Dalam sebuah buku berpengaruh tentang cara kerja pengadilan pidana yang lebih rendah, Malcolm Feeley (1979) memperkenalkan gagasan provokatif tentang administrasi hukum pidana bahwa proses itu sendiri adalah hukuman. Diterapkan pada berbagai komponen yang terlibat dalam pemidanaan kejahatan, dinamika kontrol sosial memang dapat diidentifikasi mulai dari kriminalisasi melalui undang-undang tentang pemidanaan hingga penjatuhan sanksi pidana. Komponen-komponen proses penghukuman ini secara empiris sering kali saling terkait dengan cara yang lebih kompleks daripada gerakan linier sederhana. Penelitian kriminalisasi telah mengungkap, misalnya, bahwa kegiatan legislatif terkadang mengikuti tindakan agen kontrol daripada menawarkan landasan bagi kegiatan penegakannya. Dalam pengertian ini, penting untuk dicatat bahwa pembuatan undang-undang, pembicaraan hukum (law speaking) di pengadilan, dan administrasi hukuman harus dibedakan hanya untuk tujuan analitis.
Dalam hal tahapan kriminalisasi melalui pembuatan undang-undang, perhatian sosiologis telah tertuju pada determinan dan proses tindakan legislatif pada berbagai macam tindak pidana.[8] Awalnya diperkenalkan oleh ahli teori pelabelan, kriminalisasi biasanya telah diteliti dalam konteks mode perilaku yang menimbulkan keraguan, berdasarkan pemahaman normatif, mengenai kesesuaian perlakuan mereka dalam sistem peradilan pidana, seperti dalam kasus pengadilan. kriminalisasi aborsi dan homoseksualitas (Clarke 1987; Schur 1965), alkohol (Gusfield 1963), perjudian dan prostitusi (Galliher dan Cross 1983), penjambretan (Waddington 1986), “perbuatan yang liar” (Welch, Price, dan Yankey 2004), dan lainnya bentuk-bentuk penyimpangan didekati dari perspektif kepanikan moral (lihat Bab 8). Para ahli teori konflik telah memperluas penelitian ini untuk menawarkan kontekstualisasi sosio-historis dan ekonomi dari kriminalisasi yang menawarkan lebih banyak kritik terhadap sistem peradilan pidana dan masyarakat (kapitalis) secara keseluruhan. Kasus-kasus kriminalisasi yang spesifik terletak dalam konteks dominasi klas bawah dan populasi minoritas yang lebih luas (misalnya, Chambliss 1964; Ferrell 1993; Hall et al. 1978; Scraton 2004; Scheerer 1978).
Dalam beberapa tahun terakhir, dua perkembangan penting telah terjadi dalam literatur kriminalisasi (Jenness 2004). Pertama, pada tingkat teoretis, upaya telah dilakukan untuk melampaui pandangan tradisional kriminalisasi yang terletak di sekitar oposisi dari konsensus dan model konflik. Model teoretis yang lebih kompleks telah diusulkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor dalam asal usul kasus kriminalisasi tertentu. Faktor-faktor ini berkisar dari aktivitas pengusaha moral individu atas aktivitas gerakan sosial hingga berbagai kondisi struktural yang lebih luas. Model pelembagaan dan modernisasi diajukan untuk menawarkan pandangan yang komprehensif tentang bagaimana berbagai faktor ini saling memengaruhi. Penelitian tentang undang-undang kejahatan rasial di Amerika Serikat, misalnya, telah menunjukkan bahwa hubungan lintas negara bagian telah memengaruhi penyebaran undang-undang semacam itu, sebuah proses yang akan diabaikan oleh fokus sempit pada kasus-kasus tunggal (Grattet, Jenness, dan Curry 1998; Jenness 1999; Raja 2007). Proses difusi dalam undang-undang juga telah diamati di seluruh negara (lihat Bab 12). Kedua, dari sudut pandang empiris, penelitian kriminalisasi telah menjamur pada berbagai kasus yang sangat luas. Beranjak dari keasyikan dengan kejahatan tanpa korban, biasanya dieksplorasi dari sudut pandang pelabelan, penelitian terbaru telah mengungkap kriminalisasi dalam pengaturan yang beragam seperti kriminalisasi kebencian (Jenness dan Grattet 1996; Savelsberg dan King 2005), menguntit (Lowney dan Best 1995), penyalahgunaan anak (Jenkins 1998), imigrasi (Lee 2005; Welch 2002), dan kejahatan dunia maya (Hollinger dan Lanza-Kaduce 1988). Dalam keluasan orientasinya, penelitian tentang kriminalisasi melengkapi wawasan literatur pengawasan tentang penyebaran kontrol sosial di seluruh masyarakat.
Berpindah ke tahap kriminalisasi pembicaraan-hukum (law speaking) di pengadilan, karya sosiologis yang menarik telah dilakukan di bidang pemidanaan (sentencing), khususnya pada pengaruh panduan pemidanaan (sentencing guidelines).[9] Penelitian telah menemukan bahwa keputusan pemidanaan (sentencing) tidak hanya didasarkan pada “fakta kasus”, tetapi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, beberapa di antaranya berada di luar sistem hukum. Kisaran pilihan pemidanaan (sentencing)yang tersedia untuk pengadilan dibatasi oleh persyaratan undang-undang untuk setiap jenis pelanggaran serta oleh panduan tambahan. Dalam kasus Amerika Serikat, panduan pemidanaan (sentencing guidelines) telah dikembangkan di tingkat negara bagian sejak 1980-an dan di tingkat federal sejak 1985 ketika Kongres AS membentuk Komisi Hukuman Federal. Panduan ini secara eksplisit ditujukan untuk mengurangi disparitas yang ditemukan dalam praktik penghukuman, seperti pemberian hukuman yang berlebihan terhadap minoritas, tetapi panduan ini juga mewakili upaya pemerintah federal untuk membatasi diskresi yudisial. Dalam pengertian ini, panduan penghukuman dari federal dapat dilihat sebagai gangguan politik terhadap otonomi hukum, mirip dengan hukuman minimum wajib yang diatur sebagai bagian dari perang melawan narkoba dan apa yang disebut “tiga pelanggaran (strikes) dan Anda keluar” pada undang-undang yang berlaku di negara bagian California dan yang menetapkan hukuman seumur hidup bagi siapa pun yang telah melakukan tiga kejahatan.
Yang paling mencolok dalam penelitian sosiologis tentang dampak dari panduan penghukuman dari Federal adalah temuan bahwa variabilitas yang cukup besar terus ada meskipun tujuan eksplisit dari pedoman untuk mengurangi kesenjangan hukuman. Mengkonfirmasi pentingnya aspek ras yang luar biasa dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat, perbedaan ras dalam penghukuman telah diamati paling sering dan juga ditemukan berbeda dengan karakteristik pelaku dan pelanggaran lainnya. Latar belakang sosial ekonomi dan jenis kelamin terdakwa juga memengaruhi hasil hukuman. Terdakwa yang ditempatkan lebih tinggi dalam sistem stratifikasi, seperti mereka yang berpendidikan lebih tinggi, dan mereka yang berjenis kelamin laki-laki cenderung menerima hukuman yang lebih ringan. Kesenjangan hukuman lebih lanjut ada di seluruh pengaturan yurisdiksi, misalnya antara pengadilan kota besar dan pengadilan perdesaan kecil. Dengan memperhitungkan perbedaan ini, para ahli berpendapat bahwa hakim menikmati jendela kebijaksanaan untuk mempertimbangkan faktor-faktor substantif, termasuk kriteria ekstra-hukum seperti ras dan jenis kelamin seseorang, daripada mengandalkan kriteria formal.
Terakhir, dalam hal tahap akhir pemidanaan dalam penjatuhan pidana, transformasi penting telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan data statistik paling sederhana tentang realitas hukuman dan penahanan dapat menunjukkan sifat spektakuler dari perkembangan ini. Dalam kasus Amerika Serikat, tingkat penahanan telah meningkat secara eksponensial sejak dua dekade terakhir abad kedua puluh.[10] Pada tahun 2005, lebih dari tujuh juta orang, mewakili satu dari setiap tiga puluh dua orang dewasa, berada di bawah beberapa bentuk pengawasan pemasyarakatan, termasuk masa percobaan, kurungan (jail), penjara (prison), dan pembebasan bersyarat (parole). Sebagai perbandingan, pada tahun 1980, jumlah orang di bawah pengawasan pemasyarakatan kurang dari 2 juta, jumlah yang meningkat menjadi lebih dari 4,3 juta pada tahun 1990. Penjara negara bagian dan federal, di mana orang-orang yang dihukum karena pelanggaran berat, menampung 1.446.269 narapidana pada akhir tahun 2005, naik dari 743.382 pada tahun 1990 dan 319.598 pada tahun 1980.
Peningkatan luar biasa dalam penahanan di Amerika Serikat tidak dapat dijelaskan oleh pertumbuhan penduduk (dari sekitar 226 juta pada tahun 1980 menjadi 281 juta pada tahun 2000) seperti yang ditunjukkan dari kenaikan tingkat penahanan. Pada 1980, 139 orang per 100.000 penduduk dalam populasi yang dipenjara, jumlahnya meningkat menjadi 297 orang pada 1990, dan 491 orang pada 2005. Peningkatan penahanan juga bukan karena peningkatan jumlah pelanggaran. Statistik menunjukkan bahwa lebih dari separuh populasi yang dipenjara di penjara negara terdiri dari orang-orang yang dikurung karena pelanggaran kekerasan, sementara tingkat kejahatan dengan kekerasan telah turun sejak akhir 1980-an. Namun, sejak awal 1990-an, lebih banyak kejahatan kekerasan dan properti telah dilaporkan ke polisi dan lebih banyak orang ditangkap karena pelanggaran terkait narkoba. Di antara semua pelanggaran yang membuat terdakwa diadili, sebagian besar diadili karena pelanggaran narkoba. Di pengadilan, juga, jumlah orang yang diproses, dihukum, dan dijatuhi hukuman penjara terus meningkat sejak awal 1980-an.
Peningkatan penahanan terutama memengaruhi komunitas minoritas Amerika. Berdasarkan statistik terbaru yang tersedia, jumlah total tahanan Afrika-Amerika melebihi jumlah total tahanan kulit putih, meskipun orang Afrika-Amerika hanya sekitar 12 persen dari total populasi, 75 persen di antaranya berkulit putih. Pada tahun 2004, 40 persen dari semua narapidana di penjara negara bagian dan federal adalah Afrika-Amerika, 34 persen berkulit putih, dan 19 persen adalah Hispanik. Pada akhir tahun 2005, ada 3.145 tahanan Afrika-Amerika, 1.244 Hispanik, dan 471 pria kulit putih per 100.000 pria dari kelompok etnis mereka masing-masing. Kesenjangan gender bahkan lebih terasa. Pada akhir tahun 2004, misalnya, 1.391.781 pria dibandingkan dengan 104.848 perempuan dipenjara di penjara negara bagian atau federal.
Peningkatan umum dalam hukuman dan perbedaan ras yang ada dikonfirmasi dari statistik hukuman mati. Sejak Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1976 memutuskan hukuman mati menjadi konstitusional dan 38 negara bagian dan pemerintah federal mengembalikan statuta atau undang-undang permodalan, jumlah terpidana mati terus meningkat. Pada akhir tahun 2005, total 3.254 narapidana, 1.805 di antaranya berkulit putih dan 1.372 orang Afrika-Amerika, berada di bawah hukuman mati. Semua kecuali lima puluh dua adalah laki-laki. Yang termuda dari narapidana ini adalah dua puluh dan yang tertua adalah sembilan puluh. Hukuman mati diberlakukan sangat berbeda dari satu negara bagian AS ke negara bagian lain. Dari lima puluh tiga orang yang dieksekusi di empat belas negara bagian pada tahun 2006, dua puluh empat dieksekusi di Texas.
Amerika Serikat tidak sendirian di antara negara-negara demokrasi Barat yang menyaksikan pertumbuhan penahanan, meskipun trennya tidak sedramatis di Amerika Serikat dan variasi yang cukup besar ada di antara tingkat penahanan negara. Inggris Raya, misalnya, telah mengalami peningkatan populasi penjara yang lebih konsisten dan tidak terlalu eksponensial. Tetapi negara-negara demokrasi lain telah mengalami pertumbuhan kecil. Banyak studi sosiologis berfokus pada komponen hukuman pemidanaan dan pemenjaraan yang dipilih,[11] tetapi penyelidikan lain telah mulai menawarkan penyelidikan yang lebih komprehensif yang mempertimbangkan konteks sosio-historis yang lebih luas yang mana perkembangan hukuman pemidanaan terjadi.[12] Layak disebutkan secara khusus di antara perspektif yang terakhir adalah karya terbaru David Garland (2002) tentang budaya pengendalian kejahatan. Garland berpendapat bahwa periode saat ini merupakan pembalikan yang luar biasa dari periode welfarism pidana tahun 1970-an ketika program pengobatan dan metode peradilan alternatif dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir, cita-cita rehabilitatif telah menghilang demi keadilan yang menghukum dan ekspresif. Ketakutan akan kejahatan dan hak-hak korban dan masyarakat luas mendominasi kebijakan kejahatan daripada perhatian terhadap perlakuan dan reintegrasi pelaku. Seiring dengan perluasan sistem penjara, juga, pengetahuan kriminologi mulai mengadopsi prinsip-prinsip klasik bersalah dan fokus pada karakteristik pelaku individu daripada kondisi kejahatan sosial-struktural.
Dua kekuatan sejarah, menurut Garland, berkontribusi pada transformasi kebijakan kriminal. Pertama, perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting terjadi di seluruh masyarakat Barat. Kapitalisme pasar telah berkembang lebih jauh, tetapi ketidaksetaraan terus ada dan pengangguran tinggi. Pada tingkat budaya, struktur keluarga modern telah berubah sedemikian rupa sehingga mengikis peran keluarga sebagai bentuk kontrol tradisional. Secara politik, negara sedang menghadapi krisis keuangan dengan dibebani oleh tuntutan terkait kesejahteraan dan tidak mampu memenuhi ekspektasi yang meningkat. Kedua, perubahan politik dan kebijakan khusus terjadi sebagai tanggapan terhadap perkembangan ini, terutama di Amerika Serikat dan Inggris, yang mana pemerintah konservatif sejak awal 1980-an dan seterusnya berkomitmen untuk membatalkan kebijakan sosial yang ada berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kebijakan baru dikembangkan atas dasar prinsip tanggung jawab individu, yang menyiratkan pergeseran ke kebebasan ekonomi ditambah dengan peningkatan kontrol masyarakat. Dalam konstelasi kontrol baru ini, negara sendiri tidak lagi mampu menyediakan semua tindakan yang diperlukan. Oleh karena itu, sistem kontrol yang dikomersialkan dan berbasis komunitas dikembangkan untuk membentuk campuran sistem kontrol privat dan publik yang ditujukan untuk merekayasa efek kejahatan daripada memecahkan akar penyebabnya.
Sebagai konsekuensi dari perkembangan yang disebutkan, ada peningkatan umum dalam daya-penghukuman (punitiveness) dalam pengendalian kejahatan kontemporer, dengan semakin banyak kebijakan yang melibatkan hukuman keras yang disesuaikan secara politis dalam istilah populis (misalnya, tiga pelanggaran, nol toleransi). Klas menengah kurang bersedia mendukung program-program kesejahteraan yang mereka anggap tidak layak bagi orang-orang yang kurang beruntung yang kepadanya mereka akan diterapkan. Rehabilitasi dan reintegrasi adalah cita-cita masa lalu yang terlupakan. Kejahatan adalah fakta kehidupan yang normal, dan kontrol situasional dan teknologi paling baik dapat mengelola risiko kejahatan, memprediksi terjadinya kejahatan, dan mengurangi bahaya kejahatan. Ketegangan yang belum terselesaikan, bagaimanapun, diajukan dalam budaya kontrol baru ini karena, di satu sisi, model biaya-manfaat ekonomi mendominasi kebijakan kejahatan, sementara, di sisi lain, ada tekanan politik dan populer yang kuat untuk menghukum penjahat dan melindungi pelaku kejahatan publik berapapun biayanya.
KESIMPULAN
Berkembang dari pengertian yang luas dalam hal tatanan sosial, kontrol sosial dalam sosiologi modern telah dipahami sebagai keseluruhan praktik dan institusi yang terlibat dengan respons terhadap kejahatan dan/atau penyimpangan, termasuk definisinya. Teori sebab akibat kejahatan sangat tegas dalam konsepsi mereka tentang kontrol sosial sebagai respons fungsional terhadap kejahatan dan dengan demikian tetap terserap dalam studi tentang penyebab kejahatan sebagai perilaku kriminal. Lebih bermanfaat dari sudut pandang sosiologi hukum telah ada perkembangan yang diasosiasikan dengan perspektif konstruksionis dan kritis yang telah membuat kontrol sosial sebagai studi yang layak tentang analisis reflektif independen. Yang sangat berpengaruh adalah karya Michel Foucault dalam memprovokasi perdebatan baru tentang berbagai struktur dan proses kontrol sosial dalam masyarakat kontemporer. Perspektif sosiologis dalam kerangka Foucauldian berpaling dari pemahaman legal tentang hukum dalam legislasi dan administrasi legal untuk fokus pada praktik konkret dan teknologi kontrol. Dengan demikian, perspektif revisionis kontrol sosial sekali lagi menunjukkan nilai dalam sosiologi hukum bergerak melampaui formalitas hukum, atau di luar ––dalam istilah Weber–– konsepsi yuristik hukum, untuk menunjukkan bahwa ada banyak komponen hukum yang layak secara sosiologis. ditemukan di luar ranah formal hukum advokat.
Karya sosiologis tentang pemolisian menunjukkan bahwa penegakan hukum lebih dari sekadar penegakan hukum. Mungkin karena nilai analitis yang kuat dan kekuatan kontra-intuitif dari karya sosiologis tentang pemolisian, gerakan sosiologi hukum menuju studi kontrol sosial tidak mudah dicapai daripada dalam kasus pemolisian. Pengabaian relatif studi sosiologi kepolisian, bagaimanapun, mencolok tidak hanya karena institusi formal penegakan hukum adalah komponen hukum yang berkaitan-erat, tetapi juga dan terutama karena hubungan antara hukum dan penegakannya secara sosiologis telah diakui dengan baik, setidaknya pada tingkat konseptual. Definisi Weber tentang hukum dan negara menjadi contoh nyata. Namun demikian, hingga saat ini sosiologi hukum masih belum cukup mengabdikan diri untuk mengungkap pola dan dinamika fungsi dan institusi kepolisian. Setidaknya satu alasan untuk perkembangan ini adalah mundurnya karya tentang kepolisian dari sosiologi ke bidang teknis peradilan pidana dan studi kepolisian. Pengamatan serupa dapat dilakukan tentang karya pengawasan dan hukuman pemidanaan, yang juga telah disesuaikan dengan peradilan pidana dan kriminologi yang dipahami secara teknis. Gerakan-gerakan mundur dari sosiologi hukum ini tidak hanya memecah-belah tetapi juga memperalat pengetahuan tentang pemolisian (policing), pengawasan (surveillance), dan hukuman (punishment) demi pertanyaan-pertanyaan yang melayani administrasi peradilan pidana daripada analisisnya.
Meskipun demikian, terlepas dari marginalisasi kontrol sosial dalam sosiologi hukum, sekarang telah berkembang literatur komprehensif yang secara kolektif dapat mengklaim sebagai kontribusi yang berarti bagi disiplin ilmu tersebut. Di bidang pemolisian, khususnya yang patut diperhatikan adalah studi-studi yang mengungkap banyak dimensi penting fungsi kepolisian dari sudut pandang sosiologis yang komprehensif. Sosiologi pengawasan, juga, telah merenungkan peningkatan ketergantungan pada teknologi di luar kerangka teknis dan pragmatis belaka untuk memasukkan karya empiris yang diinformasikan secara teoritis serta pertanyaan tentang dampak sosial dari teknologi pengawasan dalam hal kebebasan sipil dan hak privasi. Karya sosiologis tentang pemidanaan (sentencing) dan hukuman (punishment), dengan demikian, telah berkontribusi untuk mengembangkan kerangka kerja yang bermakna secara analitis yang secara kokoh memposisikan perkembangan dan praktik yang relevan dalam konteks sosial dan sosio-historis yang luas. Karya semacam itu juga, dan semakin meningkat, mulai memasukkan karya komparatif dan fokus pada perkembangan internasional dan global.
Catatan Kaki:
[1] Untuk tinjauan umum dan diskusi tentang konsep kontrol sosial, lihat Cohen 1985; Coser 1982; Deflem 1994; Skil 1988.
[2] Yang paling berpengaruh dan dirumuskan secara sistematis di antara perspektif revisionis adalah karya Stanley Cohen (1979, 1985). Teori-teori revisionis telah diterapkan pada penjara dan hukuman pemidanaan (Cohen 1977), institusi psikiatri (Scull 1979), dan pemolisian privat dan publik (G. Marx 1988; Shearing dan Stenning 1983).
[3] Bagian ini terutama didasarkan pada studi Foucault tentang sejarah penjara dalam Discipline and Punish (1975) dan tulisan-tulisan terkait tentang kekuasaan dan pemerintahan (Foucault 1978a, 1978b, 1980, 1981). Untuk tinjauan umum dan diskusi, lihat Deflem 1997; Garland 1997; Hunt 1997; Hunt dan Wickham 1994; Smith 2000; Tadros 1998; Turkel 1990; Wickham 2002, 2006; dan kontribusi dalam Wickman dan Pavlich 2001.
[4] Untuk pengenalan umum dan tinjauan sejarah-komparatif polisi, lihat Bayley 1975; Bittner 1990; Deflem 2002; Manning 1977, 2003; Reiner 1985; Skolnick 1966. Pada halaman-halaman berikutnya, fokusnya dibatasi pada peran dan fungsi polisi publik, daripada kepolisian swasta (Johnston 1992) dan praktik penegakan hukum dalam hal-hal non-kriminal, seperti dalam kasus aturan kesehatan dan keselamatan (Hawkins 2003; Hutter 1988).
[5] Penelitian terbaru tentang dimensi bermasalah dari perilaku polisi berpusat pada rasisme dalam pekerjaan polisi dan penegakan yang berbeda atau diferensial (Norris, Fielding, Kemp, dan Fielding 1992; Weitzer 2000; Weitzer dan Tuch 2005), aktivitas polisi yang bermotivasi politik (Cunningham 2004; Earl, Soule, dan McCarthy 2003), kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (Jacobs dan O’Brien 1998; Skolnick dan Fyfe 1993; Terrill, Paoline, dan Manning 2003), korupsi polisi (Sherman 1978), dan militerisasi kepolisian (Kraska dan Kappeler 1997).
[6] Terutama berguna di antara kontribusi empiris dan teoritis dari sosiologi pengawasan adalah tulisan-tulisan Gary Marx (1986, 1988, 1995, 2003, 2005, 2007) dan William Staples (2000, 2003). Lihat juga Gilliom 1994; Lyon 2003.
[7] Gary Marx (1996, 1999) telah secara eksplisit membahas masalah privasi dan kebebasan sipil yang menyertai munculnya pengawasan baru.
[8] Tinjauan karya sosiologis pada kegiatan legislatif di bidang kejahatan disediakan oleh Jenness (2004) dan Hagan (1980).
[9] Penelitian sosiologis tentang dampak pedoman hukuman telah dilakukan oleh Jeffrey Ulmer (1997, 2005; Ulmer dan Kramer 1996, 1998), Rodney Engen dan rekan (Engen dan Gainey 2000; Engen dan Steen 2000; Engen et al. 2002; Steen, Engen, dan Gainey 2005), Celesta Albonetti (1999), dan Joachim Savelsberg (1992). Lihat juga diskusi bermanfaat oleh Savelsberg 2006. Tentang sejarah pedoman hukuman AS, lihat Reitz 1996.
[10] Angka-angka yang dilaporkan dalam bagian ini diambil dari statistik yang disediakan oleh Bureau of Justice Statistics (www.ojp.usdoj.gov/bjs).
[11] Lihat, misalnya, Lynch 2000; Simon 1993 tentang pembebasan bersyarat; Lofquist 1993 tentang masa percobaan; Visher dan Travis 2003; Western 2002 tentang pengalaman dan dampak kehidupan penjara; Featherstone 2005; Useem dan Goldstone 2002 tentang kerusuhan penjara.
[12] Lihat, misalnya, Beckett dan Western 2001; Bridges dan Crutchfield 1988; Garland 1985, 1991a, 2002; Pratt 1999; Simon 2000, 2001; Sutton 2000; Wakuan 2001.