Seri Sosiologi Hukum (16): Kesimpulan Penutup, Visi Sosiologi Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
kesimpulan penutup:
visi-visi SOSIOLOGI HUKUM
Tujuan utama buku ini adalah meninjau dan mendiskusikan kontribusi teoritis dan substantif dalam sosiologi hukum untuk menyajikan spesialisasi disiplin sosiologi hukum sebagai upaya akademis yang unik dan berharga. Bukanlah tujuan buku ini untuk menawarkan penilaian terhadap upaya teoritis dan substantif yang dibahas dalam studi sosiologi hukum di luar kemampuannya sebagai kontribusi-kontribusi ke lapangan secara keseluruhan. Yang pasti, penelitian ini telah diinformasikan oleh orientasi yang digerakkan secara teoritis yang dipandu kerangka analitis, yang selanjutnya digunakan untuk meninjau sejarah dan sistematika sosiologi hukum. Tetapi model yang digunakan memungkinkan dan secara eksplisit dipahami untuk menampilkan pluralitas perspektif-perspektif. Dalam memperlakukan tema-tema dalam teori dan penelitian, penelitian ini tentu selektif, namun juga berfokus pada kontribusi yang telah tampil terbaik dalam merepresentasi dan memajukan sosiologi hukum.
Mungkin berguna untuk menyimpulkan isi buku ini dengan mengidentifikasi terlebih dahulu beberapa tema utama dan isu-isu yang berjalan melalui sosiologi hukum seperti yang telah terungkap sepanjang perkembangan sejarah dan intelektualnya. Dengan mengidentifikasi keuntungan dan kesulitan sosiologi hukum, pemahaman kita akan dituntun untuk melihat kemungkinan dan arah perjalanan bidang khusus ini dalam waktu dekat.
Sejumlah keprihatinan analitis mungkin dapat diidentifikasi, yang membingkai sosiologi hukum dalam bidang studi hukum yang lebih luas, khususnya mengenai pendekatan sosiologis dan konsepsi hukum, standar keilmuan yang digunakan dalam teori dan penelitian, tingkat kesatuan dan keragaman di antara kontribusi-kontribusi sosiologi hukum, dan kemungkinan kualitas interdisipliner dalam studi hukum. Untuk menempatkan isu-isu analitis ini dalam konteks kelembagaan yang luas, perhatian terpisah pertama-tama ditujukan pada pengembangan sosiologi hukum lintas budaya bangsa (the sociology of law across national cultures). Buku ini pada intinya mempertimbangkan perkembangan sosiologi hukum Barat, khususnya karena sosiologi hukum Barat telah meluas dari akarnya yang semula didominasi Eropa dan dipraktikkan di Amerika Serikat maupun bagian dunia lain yang berbahasa Inggris. Meskipun sosiologi hukum di banyak negara dibangun di atas fundasi Eropa, berbagai perkembangan bangsa terkait bidang khusus ini tetaplah berbeda.
KULTUR-KULTUR SOSIOLOGI HUKUM
Meninjau perkembangan dan keadaan sosiologi hukum di seluruh dunia, setidaknya dua tema utama dapat diamati dalam sejarah bangsa yang berbeda-beda berkaitan dengan bidang sosiologi yang terspesialisasi ini.[1] Pertama, sosiologi hukum di berbagai bangsa diuntungkan oleh aktivitas ilmuwan karismatik tertentu yang berfungsi sebagai “wirausahawan moral” (moral entrepreneurs) untuk melembagakan spesialisasi sosiologis. Dalam hal ini, tidaklah mengherankan untuk mengetahui bahwa sosiologi hukum berkembang pesat di Jerman, negara Max Weber dan para ilmuwan klasik penting lainnya, seperti Simmel, Tönnies, Ehrlich, dan Geiger. Jalan normal perkembangan sosiologi Jerman terganggu dengan munculnya Nazisme. Tetapi setelah Perang Dunia II, sosiologi hukum di Jerman dapat melanjutkan jalurnya yang bermanfaat secara intelektual, yang mengarah pada pemeliharaan karya-karya raksasa sosiologi dunia kontemporer seperti Niklas Luhmann dan Jürgen Habermas dan banyak sosiolog hukum kontemporer.
Karakteristik penting kedua dari perkembangan sosiologi hukum adalah spesialisasi itu biasanya tidak berkembang secara independen dari dalam sosiologi saja, tetapi juga tumbuh dari ilmu sosial hukum (legal sciences). Akibat dari sejarah yang khas ini, sosiologi hukum sampai saat ini mengalami kesulitan untuk mengukuhkan dirinya sebagai spesialisasi akademis. Di Jerman, misalnya, para ilmuwan memperdebatkan apakah sosiologi hukum harus berkontribusi pada kebijakan hukum (sejalan dengan Ehrlich) atau apakah sosiologi hukum harus mengutamakan menjadi upaya akademis (meluas dari Weber). Demikian pula, di Amerika Serikat, ada arus kontemporer dalam ilmu hukum (jurisprudence), yang berdasarkan garis perkembangan dari Holmes hingga Pound dan Llewellyn, berupaya menyerap sosiologi hukum dalam keilmuan hukum (legal scholarship). Pada gilirannya, sosiologi hukum Amerika berusaha untuk menegaskan dan memosisikan dirinya, dengan segala perlawanan terhadap tarikan ilmu hukum, sebagai aktivitas disiplin sosiologi. Ketegangan antara hukum dan sosiologi hukum juga tercermin pada tingkat organisasi. The Law and Society Association, misalnya, didirikan pada tahun 1964 oleh sekelompok sosiolog Amerika Serikat, namun Asosiasi tersebut dalam perjalanan sejarahnya menjadi rumah utama bagi para ilmuwan sosio-legal dan ilmuwan hukum dan kehilangan banyak distingsi fokus sosiologisnya. Baru pada tahun 1992 konsekuensi dari hal itu disadari sepenuhnya, ketika bagian Sosiologi Hukum dibentuk di dalam American Sociological Association.
Di banyak negara, pengaruh ganda dari kepemimpinan karismatik dan organisasi institusional dapat dikonfirmasi, seperti yang akan diilustrasikan melalui gambaran singkat tentang budaya bangsa-bangsa dalam sosiologi hukum berikut ini. Sosiologi hukum di Polandia berkembang sangat baik karena upaya Adam Podgórecki, pengikut Petrazycki. Adam Podgórecki juga berpengaruh dalam melembagakan sosiologi hukum secara nasional maupun internasional. Pada tahun 1962, ia mendirikan Bagian Sosiologi Hukum Polandia (Polish Section of the Sociology of Law) dan pada tahun yang sama ia mendirikan bersama William Evan Komite Penelitian Sosiologi Hukum (Research Committee of Sociology of Law) di Asosiasi Sosiologi Internasional (International Sociological Association). Presiden pertama Komite Riset (Research Committee) adalah Renato Treves dari Italia, negara yang menikmati kesuburan tradisi sosiologi hukum. Filsuf hukum Italia Dionisio Anzilotti adalah orang pertama pada tahun 1892 yang secara eksplisit menggunakan istilah sosiologi hukum (sociology of law). Setelah periode fasis, aktivitas sosiologi secara normal dihidupkan kembali dan sosiologi hukum Italia dapat memisahkan diri dengan cukup baik dari hukum, mendirikan jurnal khusus, Sociologia del diritto, pada awal tahun 1974.
Bangsa-bangsa lain juga mengalami perkembangan yang sama dalam sosiologi hukum karena pengaruh para sosiolog teladan. Sosiologi hukum Prancis dapat mengandalkan jalur perkembangan yang membentang dari de Montesquieu dan Durkheim melintasi Gurvitch dan Levy-Bruhl hingga ilmuwan modern, seperti Jean Carbonnier dan Andre-Jean Arnaud, di samping beberapa raksasa pemikiran sosial kontemporer Prancis, termasuk Bourdieu dan Derrida. Terlepas dari kehadiran Durkheim yang luar biasa, sosiologi hukum Prancis terjebak di antara hukum dan sosiologi, seperti yang diungkapkan dalam label ganda spesialisasi yakni ilmu hukum sosiologis atau sosiologi yuridis (sosiologie juridique) dan sosiologi hukum (sosiologie du droit).
Negara-negara lain kurang beruntung dalam pengorganisasian sosiologi hukum sebagai kegiatan akademis. Di Brazil, misalnya, studi hukum yang berorientasi sosiologis dilakukan di arena hukum, yang mana mereka berposisi dengan susah payah, berada di samping studi hukum yang dilakukan oleh sosiolog. Demikian pula di beberapa negara Eropa, seperti Belgia dan Finlandia, sosiologi hukum secara institusional dan akibatnya seringkali juga secara intelektual menjadi bagian dari studi hukum di kampus hukum. Di Inggris, sosiologi hukum hidup berdampingan dengan penelitian sosio-legal, yang mana penelitian sosio-legal dipahami tidak hanya sebagai arena multidisiplin tetapi juga sebagai aktivitas yang berorientasi pada kebijakan. Sosiologi hukum ilmiah Inggris relatif marjinal terhadap sosiologi pada umumnya, yang mengarah pada konsekuensi ironis bahwa beberapa sosiolog hukum terbaik Inggris lebih betah dalam dunia sosiologi hukum di Amerika Serikat, meskipun di Amerika Serikat kedudukan spesialisasi sosiologi hukum tidak selalu jelas diakui di antara sesama disiplin sosiologi. Secara lebih luas, sosiolog hukum seluruh dunia seringkali lebih mengenal satu sama lain daripada dengan sosiolog dari bidang spesialisasi sosiologi lainnya yang terorganisir secara nasional.
Sosiologi hukum di beberapa bangsa kurang dikenal dalam skala global meskipun terkadang sejarahnya sudah berlangsung lama. Di Jepang, misalnya, Asosiasi Sosiologi Hukum Jepang (Japanese Association of the Sociology of Law) dibentuk sejak tahun 1948. Peminggiran budaya nasional tertentu berkaitan dengan kekuatan budaya, politik, dan ekonomi yang lebih luas. Hambatan-hambatan linguistik tentu saja akan menghalangi beberapa karya yang relevan untuk diketahui secara luas. Selain itu, bangsa-bangsa yang berada di pinggiran pada konteks hubungan antar-bangsa dan/atau negara-negara mengalami kesulitan transisi menuju masyarakat yang terbuka dan demokratis sehingga cenderung menjadi pengimpor daripada pengekspor ide-ide sosiologis. Peminggiran relatif beberapa negara itu ironisnya dapat menghasilkan sosiologi hukum yang mampu memberikan kontribusi yang relevan, berbasis bukti dan penalaran yang tepat (well grounded) dari seluruh penjuru dunia.
BATAS-BATAS SOSIOLOGI HUKUM
Karakteristik sosiologi hukum yang paling menentukan adalah cara khusus sosiologi hukum mendekati hukum dalam term disiplin sosiologi. Bukanlah gagasan yang mengejutkan bahwa sosiologi hukum selalu merupakan bagian dari sosiologi, bila bukan karena fakta bahwa studi hukum terkait erat dengan salah satu ciri khas hukum itu sendiri. Hukum selalu melibatkan studinya dan dicirikan pula oleh upaya yang pada umumnya berhasil memonopoli pengamatannya sendiri. Resistensi keras-kepala tentang hukum yang tidak mudah mengizinkan pengamatan eksternal dari ilmu-sosial dan ilmu perilaku telah diakui oleh Max Weber, sehingga Weber membedakan pendekatan studi hukum secara internal, eksternal, dan moral. Jika bukan karena karakteristik khusus tertentu hukum itu sendiri, maka demarkasi yang dibawakan oleh Weber itu akan berlebihan.
Selain itu, secara historis, ilmu-sosial telah berkembang dalam penghormatan institusional dan intelektual dari tradisi-tradisi ilmiah yang telah secara tepat menempatkan masalah kebijakan dan normatifitas dalam ranah studi. Akibatnya, pembelajaran penting yang harus dipetik dari konseptualisasi Weber cenderung berjalan lambat di sepanjang sejarah studi hukum secara umum dan perkembangan sosiologi hukum secara khusus. Di Eropa, studi sosiologi hukum tidak hanya harus membebaskan diri dari akar yuridis tertentu, tetapi juga harus menentukan batas realitas sosial yang jelas daripada realitas psikologis tentang hukum sebagai arena studi yang tepat. Di Amerika Serikat, sosiologi hukum secara ironis ditempatkan dalam konfrontasi dengan perkembangan ilmu hukum (jurisprudence) yang telah meminjam wawasan dari disiplin sosiologi, namun hal itu telah menempatkan keduanya dalam konteks keilmuan hukum dan tunduk pada tujuan-tujuannya. Dibutuhkan pengembangan independen dari dalam disiplin sosiologi secara umum, ketimbang pengembangan dari dalam arena studi hukum yang diinformasikan secara sosiologis, guna menemukan tempat yang tepat bagi sosiologi hukum, dan dengan melakukan hal ini, pengembangan independen itu berhasil merebut kembali tempat yang tepat bagi sosiologi hukum dan lebih lanjut membangun kontribusi yang relevan dari cara pandang klasik sosiologis. Hanya beranjak dari hal ini, sosiologi hukum dapat memenuhi janji Weberian untuk memahat ceruk bagi sosiologi hukum dan mengartikulasikan programnya di sepanjang garis disiplin sosiologi.
Di antara kontribusi paling menonjol yang ditawarkan sosiologi hukum adalah konseptualisasi hukum yang berbeda dari pemahaman yuridis dan melampaui pemahaman yuridisnya. Dimulai dengan definisi Weber tentang penegakan (enforcement) dan konsepsi Durkheim tentang hukum sebagai indikator solidaritas moral, sosiolog tidak membatasi hukum pada ranah aturan yang secara formal ditetapkan dalam konteks legislasi. Sebaliknya, hukum secara sosiologis diperluas ke institusi yang juga mencakup seluruh rentang praktik-praktik, aktor-aktor, dan agen-agen (agencies) di berbagai tingkat analisis pada arena-arena hukum (multiple arenas of law). Definisi sosiologis tentang hukum, yang penting, tidak hanya melibatkan perluasan bidang studi yang tepat, tetapi menyiratkan pemikiran ulang secara keseluruhan tentang hukum itu sendiri. Dalam hal ini, transformasi umum dapat diamati dari perspektif hukum yang lebih tradisional dalam hal fungsi utama integrasi (hukum sebagai kontrol sosial) ke konsepsi kritis tentang hukum dalam masyarakat yang ditandai dengan ketidaksetaraan secara fundamental (hukum sebagai kekuasaan) dan lebih banyak lagi posisi hukum baru-baru ini dalam bidang praktik regulasi yang luas (hukum sebagai tata kelola kepemerintahan; law as governance). Terlepas dari kualitas khusus konseptualisasi tersebut, hal ini merupakan konfrontasi cita-cita hukum terhadap beragam sisi realitasnya yang diperhitungkan di antara kontribusi-kontribusi sosiologi hukum yang amat distingtif. Sebagaimana dinyatakan dalam perbedaan konseptual, antara hukum intuitif dan hukum positif resmi, hukum yuristik dan hukum yang hidup di masyarakat (living law), hukum resmi (official) dan hukum tidak resmi, dan hukum dalam kitab-aturan (law in the books) dan hukum dalam tindakan (law in action), apa yang paling sering dicari sosiologi hukum adalah diskrepansi yang eksis di antara tujuan yang dinyatakan dan pemahaman-diri tentang hukum serta realitas hukum dalam hal asal-usul, dan tentu saja, dampaknya di tingkat sosial.
Upaya dasar dalam sosiologi hukum untuk mengungkap batas-batas cita-cita hukum yang diproklamirkan-sendiri tidak berarti kembali ke landasan normatif pendekatan pra-sosiologis dalam studi hukum, juga tidak berarti menyerah pada tujuan instrumental keilmuan hukum. Apa yang membedakan sosiologi hukum dari evaluasi hukum yang normatif atau evaluasi yang berpedoman pada ilmu hukum adalah bahwa berbagai pemahamannya tentang realitas sosial hukum didasarkan pada temuan penelitian yang diambil dari penyelidikan yang diinformasikan secara teoritis dan dipandu secara metodologis. Dalam hal ini, perkembangan sosiologi hukum menjadi bidang yang berbeda dan beragam, yang menyimpan banyak perspektif teoretis dan orientasi metodologis, membuktikan tidak hanya kematangan intelektual sosiologi hukum sebagai disiplin sosiologi yang terspesialisasi, tetapi juga memberikan sosiologi hukum suatu fundasi ilmiah yang kuat secara relatif terhadap perspektif-perspektif lain di arena studi sosio-legal dan area terspesialiasi lainnya dalam disiplin sosiologi. Kesatuan dan keragaman pemikiran dalam sosiologi hukum dengan demikian menunjukkan relevansi lanjutan klasik sosiologis dan pluralisme teoretis yang dibawa oleh pendekatan masing-masing, mulai dari perspektif konflik dan konsensus hingga variasi makro-sosiologis dan mikro-teoritis yang juga objektivis dan orientasi-orientasi yang membumi secara normatif. Kekayaan teoritis sosiologi hukum pada tingkat substantif cocok dengan menjamurnya penelitian di berbagai bidang penyelidikan, mulai dari pertanyaan tentang hubungan antara hukum, ekonomi, politik, integrasi sosial, dan budaya, hingga masalah kontrol dan sosial dan dimensi global hukum. Dalam berbagai bidang khusus ini pula, sosiologi hukum telah menyaksikan perkembangan banyak perspektif teoretis kontemporer baru yang meluas dari akar pemikiran klasik dan modern.
Hubungan yang sulit antara sosiologi hukum dan ilmu sosial hukum (legal sciences), yang dialami di banyak budaya bangsa, juga berkaitan dengan tempat dan peran sosiologi secara relatif terhadap kontribusi ilmu-sosial lainnya dalam studi hukum, dan terkait pula dengan pencarian interdisipliner. Pembelajaran terpenting yang dapat dipetik dari buku ini adalah sosiologi hukum menawarkan sesuatu yang unik dan berharga selain arena khusus lainnya dalam disiplin sosiologi, seperti di antara perspektif-perspektif ilmu-sosial tentang hukum lainnya. Namun terdapat masalah yang sama bahwa ambisi ini tidak menyiratkan pernyataan apapun yang menentang pendekatan non-sosiologis lainnya dalam studi hukum, baik yang berasal dari dalam hukum atau dari ilmu sosial dan ilmu perilaku lainnya.
Oleh karena itu, buku ini juga tidak dapat dipahami untuk menyiratkan posisi yang menentang interdisipliner. Dengan bersandar pada Weber, keilmuan hukum dapat terdiferensiasi dari keseluruhan ilmu-sosial dan ilmu-perilaku tentang hukum, dilihat dari perbedaan-perbedaan tajam yang eksis di antara tujuan masing-masing. Namun, berbagi perspektif ilmu-sosial dan ilmu-perilaku yang berorientasi pada analisis hukum, daripada berusaha mempertahankan efisiensi pencapaian tujuan masing-masing, ilmu-sosial dan ilmu-perilaku dibedakan satu sama lain hanya dalam hal pendekatan dan dimensi hukum yang relevan yang menjadi fokus perhatiannya. Dari perspektif ini, sosiologi yang interdisipliner selalu menyiratkan penguatan batas-batas dan fundasi disiplin sosiologi. Karena itu, saya berharap buku ini dapat berkontribusi untuk membangun pendekatan interdisipliner sejati terhadap analisis hukum dalam berbagai manifestasinya melalui cara klarifikasi, dan dengan demikian sekaligus mengungkap nilai-nilai dari kontur disiplin sosiologi hukum.*
~ THE END ~
Catatan Kaki:
[1] Sebagai contoh karya keilmuan globalisasi terdapat pada laporan sosiologi hukum yang diterbitkan di banyak bangsa, termasuk Polandia (Fuszara 1990; Kojder dan Kwasniewski 1985; Kurczewski 2001; Podgórecki 1999), Jerman (Machura 2001a, 2001b; Rasehorn 2001; Rueschemeyer 1970), Italia (Baronti dan Pitch 1978; Ferrari dan Ronfani 2001; Pitch 1983; Treves 1981), Prancis (Arnaud 1981; Noreau dan Arnaud 1998), Bulgaria (Naoumova 1990), Finlandia (Uusitalo 1989), Skandinavia (Blegvad 1966; Hyden 1986; Mathiesen 1990), Belanda (Hoekema 1985), Belgia (Van Houtte 1990), Brasil (Justo dan Singer 2001), Korea (Yang 1989, 2001), Jepang (Upham 1989), Cina (Wei-Dong 1989), Inggris (Campbell dan Wiles 1976; Cotterrell 1990; Travers 2001), dan Amerika Serikat (Baumgartner 2001). Lihat juga Rehbinder 1975; Treviño 2001; dan kontribusi dalam Ferrari 1990; Treves dan van Loon 1968; Van Houtte dan van Loon 1993.