Seri Sosiologi Hukum (3): Sosiologi, Masyarakat, Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
sOSIOLOGI, masyarakat, HUKUM
Ketika kita berbicara tentang “hukum,” “tatanan hukum,” atau “proposisi hukum,” (Rechtssatz), perhatian penuh harus diberikan pada distingsi antara sudut pandang hukum dan sosiologis.
~ Max Weber (1992c:1)
Dengan membicarakan hukum dan masyarakat, kita mungkin lupa bahwa hukum itu sendiri adalah bagian dari masyarakat.
~ Lon L. Fuller (1968:57)
MEMULIHKAN SOSIOLOGI HUKUM
Perkembangan sosiologi hukum tidak dapat diungkapkan dengan sederhana setelah sosiologi hukum berevolusi sejak masa klasik sosiologi, karena, dalam kasus spesialisasi sosiologis ini, tidak ada sejarah yang bersumber secara langsung dari fundasi awal disiplin sosiologi. Meskipun para ilmuwan sosiologi klasik membahas hukum secara terperinci berdasarkan perspektif teoretis masing-masing, karya-karya mereka tidak memulai lebih awal pembahasan sosiologi hukum seperti yang kita kenal sekarang. Dan meskipun ada ilmuwan ––terutama di Eropa–– yang berusaha mengembangkan distingsi pendekatan sosiologis terhadap hukum pada paruh awal abad ke-20, “gerakan sosiologis” dalam hukum yang muncul pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II —khususnya di Amerika Serikat–– merupakan produk profesi hukum melalui beberapa anggotanya yang cenderung kurang praktis dalam keilmuan hukum. Para ilmuwan ini berusaha menemukan tradisi ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) dan perspektif lain dari keilmuan hukum yang diinformasikan oleh ilmu sosial untuk mengartikulasikan minat pada efek hukum terhadap masyarakat dan, sebaliknya, pengaruh peristiwa sosial pada aspek substantif dan prosedural hukum. Kontribusi dari bentuk pemikiran hukum tersebut merupakan keprihatinan ilmiah pada konteks masyarakat hukum di luar batas-batas teknis pelatihan hukum, tetapi landasan sistematis dalam sosiologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya belum menonjol. Baru setelah munculnya generasi sosiolog berikutnya yang (kembali) beralih ke studi sosiologi hukum, sebagaimana telah dikembangkan oleh kaum klasik, ilmu hukum sosiologis dan jalur terkait keilmuan hukum telah membuka jalan bagi perkembangan spesialisasi yang dikhususkan untuk studi hukum dalam disiplin sosiologi. Khususnya sepanjang tahun 1960-an, sosiolog kembali mengambil dan secara serius mengembangkan studi hukum dari sudut pandang disiplin sosiologi yang unik. Sosiologi hukum modern tidak hanya memajukan penerapan pengetahuan sosiologis untuk mengungkap pola dan mekanisme hukum dalam berbagai latar-keadaan sosial (social setting), tetapi juga memberikan kontribusi yang membuat ilmu-ilmu sosial lainnya mengembangkan pendekatannya masing-masing terhadap studi hukum dan membawa berbagai perspektif ilmu-sosial (social-science) di bawah panji-panji hukum dan tradisi masyarakat, yang semakin populer di banyak belahan dunia.
Keberhasilan relatif gerakan hukum dan masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, terlepas dari pencapaian keilmuan dan kelembagaannya, memiliki beberapa konsekuensi yang tidak terduga. Yang paling terlihat adalah tidak adanya distingsi yang kadang-kadang diberikan pada studi sosiologi hukum, sebagaimana ilmuwan sosial lainnya mulai mempertaruhkan klaimnya masing-masing dalam studi hukum. Perkembangan ini tidak hanya membawa sosiologi hukum menjadi salah satu di antara perspektif ilmu-ilmu sosial hukum yang kiranya sejajar, tetapi secara luar biasa membawa sosiologi hukum pada arena-arena (fields) yang tidak secara organisatoris maupun intelektual berada dalam disiplin sosiologi. Selain itu, keberhasilan gerakan hukum dan masyarakat dan penggabungannya dengan sosiologi hukum juga menyebabkan marginalisasi dan pengucilan bidang khusus ini dari disiplinnya sendiri, menunjukkan Balkanisasi disiplin yang setelah diamati berkaitan dengan spesialisasi lainnya juga (Horowitz 1993). Situasi yang dihasilkan sedemikian rupa bahwa sosiologi hukum, meskipun ada beberapa pengecualian, kehilangan tempat masing-masing dalam studi sosio-legal maupun sosiologi. Namun, dalam memunculkan sifat-sifat khusus sosiologi hukum untuk merebut kembali kedudukan disipliner dan interdisiplinernya, buku ini tidak membela posisi sosiologi hukum lebih unggul daripada ilmu-ilmu sosial lain yang merupakan bagian dari domain yang lebih luas dari studi sosio-legal, atau bahwa sosiologi hukum merupakan arena khusus yang lebih unggul dalam disiplin sosiologi. Klaim yang ingin saya pertahankan dalam buku ini, sebaliknya adalah ada kontribusi unik pada studi hukum yang bersifat sosiologis dan bahwa, untuk alasan ini, spesialisasi tersebut layak mendapat tempat di antara spesialisasi lain dalam sosiologi dan juga di antara perspektif disiplin lain dalam studi sosio-legal.[1]
Untuk membingkai sosiologi hukum sebagai kekhususan disiplin sosiologi dan sekaligus mengamankan tempatnya dalam arena hukum dan masyarakat secara interdisiplin, sosiologi hukum harus dinilai pertama kali dan terutama oleh standar fundasinya dalam sosiologi. Sosiologi hukum selalu dan tentu merupakan disiplin sosiologi (sociology of law is always and necessarily sociology). Dari wawasan dasar inilah buku ini ditulis untuk mengeksplorasi fokus disiplin sosiologi hukum melalui diskusi tentang orientasi teoretis dan aplikasi substantifnya. Pluralisme teoretis dan tematisasi substantif diambil sebagai pedoman untuk memunculkan keunikan sosiologi hukum sebagai salah satu kekhususan di antara beberapa disiplin lain yang harus selalu berkaitan dengan sosiologi hukum, serta dalam kaitannya dengan pendekatan ilmu sosial lainnya untuk mempelajari hukum. Tujuan-tujuan ini jauh dari sepele karena setidaknya terdapat dua alasan.
Pertama, dalam sosiologi, sosiologi hukum dalam banyak hal masih merupakan bidang khusus yang belum berkembang, bukan dalam hal kualitas kontribusinya, tetapi dalam hal penerimaan dan statusnya. Relatif kurangnya perhatian terhadap hukum dalam sosiologi dapat dilihat, misalnya, pelembagaan sosiologi hukum yang belum lama berlangsung di American Sociological Association, yang mana bagian khusus Sosiologi Hukum didirikan pada 1993. Tentu saja, secara internasional terdapat kasus yang bervariasi. Misalnya, Bagian Sosiologi Hukum Polandia (Polish Section of the Sociology of Law) didirikan pada1962, tahun yang sama ketika Komite Penelitian Sosiologi Hukum (Research Committee on Sociology of Law) pada Asosiasi Sosiologi Internasional (International Sociological Association) didirikan.[2] Tetapi jelas bahwa sosiolog hukum masih harus secara aktif mencipta keadaan yang meyakinkan rekan sejawatnya bahwa spesialisasi sosiologi hukum juga bagian dari disiplin sosiologi pada umumnya.
Kedua, mundurnya sosiologi hukum dari disiplin sosiologi menuju arena hukum dan masyarakat, telah merusak pemahaman yang tepat tentang apakah yang dapat dicapai sosiologi dengan memperhatikan analisis hukum, apakah hubungan antara keilmuan (sosio-)legal dan perspektif sosiologis hukum, dan bagaimana seharusnya hubungan antara keilmuan (sosio-)legal dan perspektif sosiologis hukum (lihat Savelsberg 2002). Kesalahpahaman tentang tempat dan peran sosiologi hukum yang tepat secara tragis juga memengaruhi persepsi sosiolog di bidang penelitian lain. Alasan untuk perkembangan ini tidak diragukan lagi telah banyak dan juga berhubungan dengan ketidakmampuan atau keengganan relatif dari (sebagian) sosiolog hukum untuk melawan tarikan hukum dan gerakan masyarakat, yang dibawa, setidaknya sebagian, bukan oleh pertimbangan intelektual, tetapi dibawa oleh daya tarik relatif dari pekerjaan/karya di sekolah-sekolah hukum. Mengingat realitas ini, ambisi penelitian ini merupakan sesuatu yang tidak sopan, karena buku ini diarahkan pada tujuan bahwa sosiologi hukum harus sekali dan untuk selamanya merebut kembali posisinya sebagai pendekatan yang bermanfaat secara unik, serta secara relatif terhadap perspektif disiplin lainnya tentang hukum. Analisis pencapaian sosiologi hukum yang paling penting dalam hal teoretis dan empiris sebagaimana dibahas dalam buku ini dapat melayani tujuan tersebut.*
SOSIOLOGI HUKUM: KLASIFIKASI AWAL
Sebelum analisis mengenai pencapaian teoritis dan pencapaian substantif-utama dari sosiologi hukum dapat tersusun, maka kekhususan sosiologis dari sosiologi hukum perlu dibingkai dalam konteks intelektual dan kelembagaan. Kekhususan awal yang berguna untuk membahas hal ini dapat diberikan berdasar karya Max Weber, yang, dalam tradisi terbaik pemikiran sosiologis Jerman, Weber telah menjelaskan peran sosiologi diantara disiplin ilmu lain dan dengan demikian menentukan tempat sosiologi hukum secara relatif terhadap sistem pengetahuan lain tentang hukum. Secara khusus, mengikuti tipologi berdasarkan karya Weber (1907) seperti yang dijelaskan oleh Anthony Kronman (1983: 8-14), tiga pendekatan studi hukum dapat dibedakan. Pertama, perspektif internal hukum mempelajari hukum dalam istilahnya sendiri, sebagai bagian dari cara kerja hukum itu sendiri, untuk berkontribusi pada konsistensi internal hukum dengan menawarkan landasan intelektual dan pelatihan praktis dalam hukum. Perkembangan keilmuan hukum atau ilmu hukum (jurisprudence) berkesesuaian dengan pengetahuan yang berorientasi pada efisiensi tersebut.[3] Kedua, melampaui perspektif aturan tentang hukum (the legal perspective of law), perspektif moral atau filsafat tentang hukum terlibat dalam pencarian berorientasi normatif untuk mencari pembenaran akhir hukum berdasar prinsip moral dan mengkritik kondisi hukum yang ada agar memenuhi standar normatif. Filsafat hukum memberikan model-model yang berorientasi-evaluasi pemikiran hukum. Ketiga, perspektif eksternal tentang hukum terlibat dalam studi hukum empiris yang didorong secara teoritis untuk memeriksa karakteristik sistem hukum yang ada, termasuk negara dan pembangunan, sebab dan akibat, serta fungsi dan tujuan dari institusi dan praktik hukum. Dalam ambisi untuk mengkaji karakteristik hukum, perspektif eksternal berbagi orientasi pada analisis. Analisis semacam itu perlu dibingkai dalam kontur kegiatan disiplin sosiologi untuk menentukan jenis pertanyaan yang dapat diajukan. Dengan demikian orang dapat membedakan berbagai ilmu sosial yang mempelajari hukum dalam salah satu dimensi yang relevan, baik itu sejarah, budaya, politik, ekonomi, atau sosial.
Distingsi tipe-ideal antara perspektif internal (berorientasi efisiensi), moral (berorientasi evaluasi), dan eksternal (berorientasi analisis) dalam studi hukum tidak berarti tidak ada hubungan di antara satu sama lain. Perspektif eksternal yang berorientasi-analisis tentang hukum, misalnya, memberikan informasi bahwa perspektif moral dapat dan digunakan untuk mengembangkan refleksi tentang hukum, meskipun mungkin tidak sesering yang diharapkan oleh para ilmuwan sosial. Perspektif internal hukum juga dapat berguna untuk memberikan informasi yang dapat menjadi subjek untuk dianalisis pada perspektif eksternal, meskipun ada kasus bahwa pengetahuan teknis hukum tidak dapat menjadi pengganti analisis. Di antara berbagai disiplin ilmu yang menyelesaikan hukum secara eksternal, hubungan semacam itu dapat dan telah dikembangkan untuk saling memperkaya berbagai perspektif dari ilmu-ilmu sosial dan perilaku serta ilmu-ilmu humaniora. Terletak di dalam dimensi eksternal, pendekatan sosiologis selanjutnya harus diperjelas mengingat sifat pluralis dari teorisasi sosiologis.
Beralih ke pokok bahasan sosiologi hukum, apakah yang akan kita bicarakan ketika kita berbicara tentang hukum? Meskipun definisi hukum memberikan landasan perdebatan di antara berbagai tradisi teoretis dalam sosiologi, strategi minimalis dapat diikuti untuk memahami hukum secara sosiologis yakni hukum sebagai kategori aturan tertentu dan praktik sosial yang terkait dengannya. Definisi hukum dalam komunitas sosiologis selanjutnya akan bervariasi dan menyusut atau meluas karena hukum dipahami lebih tepat dalam kontur perspektif teoretis tertentu, tetapi suatu fokus pada aturan dan praktik akan selalu ada atau setidaknya tersirat. Konsepsi ganda hukum ini menggabungkan perspektif Emile Durkheim (1895) tentang fakta sosial yang melibatkan kondisi dan keadaan material dan non-material (ideal atau budaya), suatu distingsi analitis yang membuka analisis daripada membatasi analisis dan memungkinkan proposisi yang lebih tepat tentang cara komponen variabel berhubungan. Karya Durkheim juga mengarah pada penentuan status aturan dan praktik-praktik hukum berdasarkan teorinya tentang integrasi normatif (Durkheim 1893a, 1893b). Sebagai aturan, hukum mengacu pada kompleks terlembagakannya norma-norma, yang dimaksudkan untuk mengatur interaksi sosial dan mengintegrasikan masyarakat. Praktik hukum mengacu pada keseluruhan peran, posisi, interaksi, dan organisasi yang terlibat dengan norma-norma itu dengan cara yang bervariasi.
Dimensi normatif yang inheren dari hukum tidak boleh dikacaukan dengan evaluasi moralnya. Norma adalah resep tentang cara interaksi sosial harus diatur atau cara masyarakat harus diatur, sehingga norma selalu mengacu pada pernyataan ideal. Tetapi sebagai norma yang dilembagakan, aturan hukum memiliki keberadaan faktual yang melampaui cita-cita apa pun. Norma hukum ada dalam latar-keadaan (setting) konkret masyarakat sosio-historis dan tidak pernah hanya abstraksi. Demikian pula, praktik hukum juga akan mengandung elemen-elemen normatif, misalnya dengan mendefinisikan legitimasi hukum melalui perilaku pelanggaran-aturan atau dengan membenarkan hukum melalui penegakan aturan/ketentuannya. Dari sudut pandang analitis, studi hukum sebagai aturan (cita-cita atau budaya) dan praktik (materi) selalu berorientasi pada penyelidikan dimensi faktual hukum. Dualitas hukum ini menyiratkan bahwa hukum, seperti aspek masyarakat lainnya, merupakan masalah normatif dengan dimensi faktual. Karena dualitas hukum inilah organisasi dan fungsi hukum dapat dipelajari dari berbagai perspektif sebagaimana telah ditentukan oleh Weber. Bagi Durkheim, kemampuan untuk mendekati hukum sebagai elemen masyarakat yang ada secara faktual (hukum sebagai fakta sosial), terlepas dari tujuan normatif hukum dan pemahamannya sendiri secara moral, identik dengan sosiologi hukum.
Fokus sosiologis pada norma membutuhkan klarifikasi tambahan untuk mencegah kesalahpahaman. Ilmuwan hukum kritis Richard Abel (1995: 1) pernah menyindir bahwa karyanya (sosio-legal) tentang hukum berurusan dengan “segala sesuatu tentang hukum kecuali aturan.” Komentar Abel mungkin provokatif terhadap pemahaman internal hukum, tetapi tidak membantu dalam mengartikulasikan konsep hukum yang berguna untuk analisis sosiologis, karena hukum juga melibatkan aturan selain praktik. Namun, status aturan atau norma hukum tidak dapat dianggap habis sepenuhnya dengan mengacu pada aspirasi internalnya. Norma hukum dirumuskan secara eksplisit untuk mengatur perilaku dan mengintegrasikan masyarakat, tetapi fungsi utama hukum ini tidak serta merta sejalan dengan konsekuensi hukum yang sebenarnya. Keseluruhan norma hukum, sebagaimana norma pada umumnya, tidak dapat didefinisikan dalam kapasitas aktualnya untuk mengatur tindakan dan mengintegrasikan masyarakat, tetapi hanya dalam hal fungsi regulasi atau integrasinya yang eksplisit. Dengan demikian, konsep sosiologi hukum tidak menghilangkan studi tentang aturan, melainkan membedakan antara tujuan norma hukum yang diproklamirkan, di satu sisi, dan cara kerja dan konsekuensi hukum yang sebenarnya, di sisi lain. Orientasi sosiologis ini berhenti baik dengan pemahaman moral maupun pemahaman internal hukum untuk memungkinkan analisis sosiologis tentang hukum dalam berbagai dimensi yang relevan.
Lalu, apakah pokok bahasan formal sosiologi? Terlepas dari bidang spesialisasi sosiologi, sosiolog selalu terlibat dalam studi masyarakat. Hanya disiplin sosiologi yang mempertahankan fokus pada masyarakat secara keseluruhan tanpa membatasi pengetahuannya pada suatu dimensi institusional masyarakat (Habermas 1981a, 1981b). Dengan demikian, sosiolog hukum akan selalu menempatkan hukum dalam konteks masyarakat. Dalam hal ini, ungkapan “hukum dan masyarakat” secara sosiologis membingungkan karena menganggap bahwa hukum bukan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, sosiolog hukum berpihak pada ahli teori hukum Lon Fuller (1968) bahwa akan lebih tepat untuk berbicara tentang hukum dalam masyarakat dan mendekati hukum sebagai masalah sosial yang memerlukan penjelasan sosiologis, sama seperti halnya institusi-institusi sosial dan praktik sosial lainnya.
Berangkat dari konsepsi fungsi utama hukum (integrasi sosial), hukum dapat ditempatkan secara relatif terhadap institusi sosial lainnya seperti ekonomi, politik, dan budaya. Untuk memberikan klarifikasi awal sosiologi hukum, tidaklah relevan mengutamakan institusi-institusi sosial mana yang dapat dibedakan secara sosiologis atas dasar prinsip pembedaan tertentu.
Diferensiasi hukum sebagai institusi integrasi di samping ekonomi, politik, dan budaya terbukti berhutang budi pada teori sistem empat-fungsi dari Talcott Parsons (lihat Bab 5). Namun, model di sini digunakan, bukan dalam arti fungsionalis tertentu, tetapi sebagai orientasi pemandu yang dapat menempatkan hukum di dalam masyarakat dan menentukan hubungan hukum dengan institusi-institusi sosial lainnya. Hanya untuk tujuan analitis inilah, yang memungkinkan pembahasan berbagai perspektif teoretis, model ini memengaruhi pembagian bagian pembahasan (chapters) dalam diskusi tema-tema substantif tentang hukum di Bagian III buku ini. Terkait dengan itu, buku ini juga bertumpu pada konsep sistem hukum (dan masyarakat) untuk tujuan analisis yang secara ketat membedakan hukum dari institusi sosial lain dan fungsi-fungsi masyarakat, dan, selain itu untuk membedakan komponen hukum yang bervariasi. Dari sudut pandang ini, hukum dengan demikian dapat dianalisis dari sudut pandang bagian-bagian pembentuknya dan hubungan antar bagian-bagian tersebut. Sebagai tambahan, perspektif ini mencakup komponen statis dan dinamis untuk membedakan antara struktur dan proses hukum dan institusi sosial lainnya. Sebagai struktur, hukum dapat dianalisa dari segi komposisi bagian-bagian pembentuknya dan keterhubungannya satu sama lain. Sebagai proses, hukum dapat dianalisa sudut pandang proses-proses perubahan dan kesinambungan yang memengaruhi hukum baik secara internal, antar bagian-bagian pembentuknya, maupun secara eksternal, antara hukum dan institusi-institusi lainnya.
TEMA DAN STRUKTUR: IKHTISAR
Dalam pembahasan sejarah dan sistematika sosiologi hukum, buku ini berisi 12 (dua belas) Bab (chapters) yang terbagi dalam 4 (empat) Bagian (parts). Dua Bagian (parts) pertama berorientasi teoretis sedangkan Bab (chapter) dalam 2 (dua) Bagian (parts) terakhir menyajikan diskusi tematik. Secara teoritis, buku ini diawali dari pemusatan pemikiran sosiologis tentang hukum dalam karya Max Weber dan Emile Durkheim. Karena karya klasik ini bersandar pada perspektif ilmu sosial dan pra-sosiologis lain tentang hukum yang eksis pada abad ke-19, aspek terpenting dari perkembangan teoretis hukum sebelum pelembagaan sosiologi akan dieksplorasi juga. Berdasarkan kontribusi klasik sosiologis, para pendahulu dan penerusnya, aspek tematik yang paling mendasar tentang tempat hukum dalam masyarakat juga akan dijelaskan.
Dalam pokok bahasan pertama, tradisi intelektual hukum yang akan dibahas berasal dari masa Pencerahan, hal ini membantu untuk membuka jalan bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Perhatian akan diberikan kepada para pemikir pra-sosiologis yang mengabdikan karyanya terhadap studi hukum atau yang selanjutnya berpengaruh pada studi hukum, termasuk Baron de Montesquieu, Cesare Beccaria, Jeremy Bentham, Alexis de Tocqueville, Henry Maine, dan Karl Marx. Juga dibahas dalam pokok bahasan ini adalah penulis sosiologi awal seperti Herbert Spencer, William Graham Sumner, Georg Simmel, dan Ferdinand Tönnies, yang karya-karyanya di bidang hukum tidak selalu diingat dengan baik atau kurang berpengaruh dalam perkembangan keilmuan sosiologi hukum selanjutnya.
Sementara beberapa pemikir sosiologi awal belum diterima secara tegas sebagai pemikiran-klasik, sosiologi Max Weber dan Emile Durkheim tidak dapat disangkal menjadi dasar sosiologi modern, termasuk sosiologi hukum. Oleh karena itu, dua Bab (chapters) berikutnya dari buku ini dikhususkan untuk membahas karya-karya dan pengaruh yang relevan dari kedua pakar pemikiran sosiologi itu. Mengingat diskusi Weber yang terkenal dan panjang tentang hukum dan penerimaan yang melimpah-ruah atas karyanya, sentralitas Weber dalam sosiologi hukum amat nyata. Meskipun mungkin kurang dibahas oleh sosiolog hukum kontemporer, karya Durkheim sama pentingnya dengan Weber dan dalam buku ini akan ditinjau kembali untuk menempatkan studi sosiologi hukum di sekitar aspek kunci masalah-masalah sosial, termasuk hukum, yang melibatkan dimensi faktual dan normatif. Diskusi terbaru tentang nilai dan validitas sosiologi hukum Weber dan Durkheim akan dimasukkan dalam Bagian (chapter) pembahasan ini.
Beralih ke perkembangan teoretis dalam sosiologi hukum modern, Bab 4 akan fokus pada gerakan intelektual menuju sosiologi hukum, terutama seperti di Eropa, yang terjadi di antara para pemikir hukum dan sosiolog hukum yang cenderung sosiologis, khususnya Leon Petrazycki dan para ilmuwan yang dipengaruhi ajarannya, termasuk Nicholas Timasheff, Georges Gurvitch, dan Pitirim Sorokin, serta sosiolog hukum Eropa awal lainnya, seperti Eugen Ehrlich dan Theodor Geiger. Perlu dicatat bahwa ilmuwan-ilmuwan ini berasal dari benua Eropa, meskipun beberapa dari mereka dalam perjalanan karirnya pindah ke bagian lain Eropa dan bahkan menyeberangi Atlantik. Meskipun terdapat migrasi para ilmuwan ini, bagaimanapun, dampaknya terhadap perkembangan sosiologi hukum relatif kecil.
Di Amerika Serikat, seperti yang dibahas dalam Bab 5, garis intelektual lainnya berkembang menuju sosiologi hukum modern, yang dibedakan secara distingtif karena lebih bersumber dari keilmuan hukum daripada sosiologi. Terutama karya sarjana hukum Amerika terkemuka Oliver Wendell Holmes memimpin jalan menuju pengembangan mazhab Ilmu Hukum (jurisprudence) berorientasi sosiologis yang memahami hukum sebagai cerminan dari kondisi masyarakat di sekitarnya. Karya Roscoe Pound memancar dari tradisi ini ke dalam gerakan baru Ilmu Hukum Sosiologis (sociological jurisprudence). Demikian pula, realisme hukum Karl Llewellyn dapat dipahami dalam gerak teoritis tersebut menuju analisis hukum yang semakin ilmiah. Momen yang menentukan dalam transisi menuju sosiologi hukum (sociology of law) di Amerika Serikat, bagaimanapun, tidak datang dari dalam Ilmu Hukum (jurisprudence) tetapi terletak tepat di sosiologi, khususnya fungsionalisme struktural Talcott Parsons. Sebagai ahli teori utama era sosiologi modern, Parsons mengarah pada kanonisasi klasik Eropa dan juga melibatkan perhatian otonom pada studi hukum. Pengaruh pancaran dari Parsons adalah mazhab berkualitas tinggi (bonafide) tentang sosiologi-legal (legal sociology), yang juga bermitra dengan Ilmu Hukum (jurisprudence), khususnya karya Lon Fuller.
Dalam Bab 6, aliran-aliran teoretis utama osiologi hukum modern dieksplorasi berdasarkan tiga garis pemisah utama. Pertama, bertentangan dengan pemikiran konsensual fungsionalisme struktural, muncul perspektif teori konflik dalam sosiologi yang juga berpengaruh dalam bidang khusus sosiologi hukum. Kedua, teori-teori modern dalam sosiologi hukum terbagi, karena hubungan khusus antara hukum dan moralitas, melampaui kemungkinan dan hasrat sosiologi hukum normatif (normative sociology of law) atau pendekatan ilmiah yang ketat. Kontroversi ini terutama tercermin dengan baik dalam pertentangan antara ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) Philip Selznick dan Philippe Nonet dan sosiologi hukum murni (sociology of law) yang dikembangkan oleh Donald Black. Dan, ketiga, menentang fokus teori makro fungsionalisme struktural adalah berbagai perspektif yang analisisnya terletak pada tingkat interaksi sosial. Di antara perspektif ini adalah sosiologi subjektivis yang berorientasi pada pemahaman tindakan, seperti interaksionisme simbolik, serta pendekatan objektivis yang berusaha menjelaskan perilaku, termasuk pertukaran sosial dan teori pilihan rasional. Mengkristal di sekitar tiga garis pemisah ini juga banyak perkembangan terbaru dalam sosiologi hukum kontemporer, yang akan dibahas pada berbagai pokok bahasan dalam Bab-bab selanjutnya.
Bagian III dan IV buku ini berkisar pada tema-tema substantif dan dalam pengertian ini lebih berorientasi empiris dan juga mencakup pembahasan penelitian dalam sosiologi hukum. Masing-masing Bab dalam Bagian ini, bagaimanapun, akan membahas masalah substantif yang dipilih dengan cara yang bermakna secara sosiologis dan dengan demikian juga akan memasukkan materi teoretis. Aspek-aspek pembahasan dalam Bagian I dan II akan muncul kembali dalam kerangka orientasi teoretis yang telah diperkenalkan sebelumnya, tetapi juga berkenaan dengan beberapa perkembangan teoretis yang lebih baru dalam sosiologi hukum kontemporer.
Pokok bahasan dalam Bagian III membahas cara sosiolog mempelajari hukum dalam kaitannya dengan institusi masyarakat lainnya, khususnya ekonomi, politik, dan budaya, serta fungsi hukum dalam integrasi sosial (atau hubungan hukum dengan dirinya sendiri). Dalam hubungan antara hukum dan ekonomi, perhatian akan diarahkan pada penelitian sosiologis tentang ketergantungan timbal-balik antara kehidupan hukum dan ekonomi, terutama dalam konteks masyarakat pasar. Di antara perspektif teoretis baru yang membahas hubungan timbal-balik ini, perspektif organisasi neo-institusionalis akan dibahas berdasarkan penelitian yang dilakukan dari pendekatan ini tentang adaptasi organisasi terhadap regulasi hukum (legal regulations). Secara teoritis kontras dengan institusionalisme baru adalah model yuridifikasi yang akan diterapkan pada evolusi negara kesejahteraan.
Hubungan antara hukum dan masyarakat-berpemerintahan (polity) merupakan hubungan yang erat dalam masyarakat modern karena fungsi legislasi. Bab 8 akan membahas hubungan ini secara khusus dalam hal perbedaan perspektif teoretis tentang hukum dan demokrasi, termasuk implikasinya terhadap kemungkinan sosiologi keilmuan hukum, berdasarkan konfrontasi teori Jürgen Habermas dan Niklas Luhmann. Karya-karya raksasa pemikiran sosial kontemporer ini akan dibandingkan dari segi teorinya masing-masing tentang hukum untuk memandu gambaran kerja empiris tentang hubungan antara demokrasi dan hukum, termasuk karya tentang pencabutan hak pemilih, defisit demokrasi yang disebabkan oleh kriminalisasi legislasi, dan keadilan prosedural dalam penyelesaian sengketa.
Bab terpisah tentang profesi hukum (lihat Bab 9) akan menjelaskan karya-karya sosiologis yang berhubungan dengan aspek penting fungsi integratif hukum. Sosiologi profesi hukum akan dibahas secara khusus dari sudut pandang klaim otonomi hukum. Setelah memberikan perspektif sosiologis tentang profesionalisasi, transformasi terpenting tentang profesi hukum akan ditinjau kembali, termasuk diversifikasi profesi. Meningkatnya keragaman di antara profesi hukum juga memungkinkan munculnya gerakan Studi Hukum Kritis dalam keilmuan hukum. Alih-alih pendekatan sosiologis atau sosio-legal, akan diperlihatkan, gerakan Studi Hukum Kritis merupakan manifestasi dari profesionalisasi hukum. Sebaliknya, penelitian dalam sosiologi hukum tentang ketimpangan dalam hukum, khususnya tentang ketimpangan gender di antara para profesional hukum, akan membahas kasus untuk pendekatan sosiologis secara distingtif.
Dalam seluruh Bab terakhir yang terdapat di dalam Bagian III, relasi antara hukum dan budaya akan berfungsi sebagai wahana utama bagi diskusi-diskusi sosiologis tentang relasi antara nilai dan norma. Setelah membuat sketsa perlakuan norma dan nilai dalam sosiologi Durkheim dan seterusnya, perhatian terpisah tertuju pada munculnya perspektif pascamodern dan teori dekonstruksi sebagai perspektif alternatif yang radikal. Pembahasan teoritis ini akan digunakan sebagai kerangka kerja untuk meninjau karya terbaru dalam sosiologi hukum tentang relevansi klas, gender, dan ras dan etnis. Setelah ikhtisar penelitian tentang peningkatan keragaman nilai budaya dalam masyarakat modern, pembahasan akan beralih ke individualisme budaya modern yang menjadi akarnya. Dalam konteks ini, perhatian akan diarahkan pada penelitian sosiologis tentang hukum dan kedokteran, pengaturan pernikahan sesama jenis, dan legalisasi aborsi. Dua Bab terakhir dalam buku ini (lihat Bab 11 dan Bab 12) menyinggung masalah khusus tertentu yang terkait dengan hukum, khususnya penegakan hukum dan globalisasinya. Meskipun tidak didorong oleh model teoritis tentang hukum tertentu, pilihan untuk fokus pada dua masalah hukum ini tidaklah berlangsung secara arbitrer. Suatu ikhtisar terhadap karya tentang kontrol sosial akan mengungkapkan bahwa studi tentang penegakan hukum menambahkan elemen penting secara teoritis pada analisis hukum yang melampaui legislasi dan administrasi hukum di pengadilan. Bab 11 akan memperluas perhatian sosiologis pada hukum agar memusatkan perhatian pada mekanisme kontrol sosial yang menyertai sistem hukum. Fokus pada kontrol sosial akan membuka secara teoritis suatu diskusi tentang pemikiran Michel Foucault dan relevansinya pada sosiologi hukum di bidang pemolisian (policing), pengawasan (surveillance), pemberian vonis atau pemidanaan (sentencing), dan hukuman (punishment).
Meskipun struktur dan proses kontrol sosial perlu dibahas dengan kebutuhan logis dalam kerangka sosiologi hukum (sociology of law), globalisasi hukum menghadirkan tantangan bagi studi hukum kontemporer karena relevansi empirisnya. Bab 12 akan membahas keilmuan sosiologis tentang hukum dan globalisasi dalam kaitannya dengan beberapa manifestasinya yang paling penting saat ini dan akibatnya bagi pemahaman sosiologis tentang hukum. Suatu ikhtisar dalam pembahasan ini akan menawarkan perspektif teoretis tentang hukum dan globalisasi, terutama relevansinya terhadap pengertian yurisdiksi, dan karya empiris yang relevan akan dikaji kembali dalam berbagai hal mulai dari pembentukan hukum, administrasi hukum, hingga penegakan hukum.
Dalam Penutup buku ini, pada akhirnya, masalah dan tema yang dibahas dalam berbagai Bagian dan Pokok Bahasan akan disorot dalam hal tujuan utamanya yakni memunculkan nilai sosiologi hukum berdasarkan tinjauan pencapaiannya. Bagian Kesimpulan akan menempatkan pembahasan isi buku dalam sudut pandang tradisi sosiologi hukum yang eksis di berbagai budaya bangsa-bangsa di seluruh dunia.
TUJUAN PENULISAN BUKU
Buku ini berusaha menyajikan visi sosiologi hukum berdasarkan ikhtisar terhadap perkembangan teoretis dan empiris terpenting dalam spesialisasi sosiologi ini.[4] Sebagian besar buku yang tersedia saat ini mengulas sosiologi hukum berupa buku teks, tinjauan teoretis, dan ringkasan.[5] Karya-karya lain tidak membahas sosiologis secara distingtif tetapi menawarkan kontribusi pada arena interdisipliner hukum dan studi masyarakat.[6] Dibandingkan dengan banyak arena keilmuan khusus lainnya, sosiologi hukum hanya menghasilkan sedikit buku yang menawarkan ikhtisar sistematis tentang perkembangan teoretis spesialisasi dan domain penelitian substantif. Sebagian besar buku tersebut disusun secara tematis atau berdasarkan secara eksklusif pada garis-garis besar perspektif teoretis.[7] Buku ini berusaha untuk mencapai lebih dari itu dengan menawarkan diskusi komprehensif tentang masalah teoritis dan substantif yang penting dan, dengan demikian, berkontribusi untuk membatasi kontur-kontur sosiologi hukum sebagai bidang khusus sosiologis yang berbeda dan distingtif.
Mengungkap perkembangan intelektual dan sejarah kelembagaan sosiologi hukum, buku ini berharap dapat menawarkan analisis yang bermakna tentang tradisi ilmiah sebagaimana telah dilakukan selama lebih dari satu abad. Oleh karena itu, berbagai Bab dalam buku ini tidak hanya menawarkan daftar teori dan tema dalam sosiologi hukum, tetapi juga menyajikan diskusi terpadu agar dapat merekonstruksi model untuk sosiologi hukum yang memperhitungkan jalan yang lebih dan jalan yang kurang bermanfaat yang telah diambil oleh para sosiolog sejak asal-usul disiplin tersebut. Buku ini tidak akan berpihak pada konflik teoretis yang eksis di antara para sosiolog hukum dan pilihan-pilihan tematik yang telah mengilhami mereka, melainkan akan menunjukkan isu-isu dan dilema-dilema tersebut telah berkontribusi pada perjalanan sosiologi hukum seperti yang kita kenal sekarang ini. Misalnya, intinya bukan untuk memperdebatkan atau menentang teori hukum Weber atau Durkheim pada beberapa poin tertentu, tetapi untuk menunjukkan masing-masing perspektif teoretis ini dan perspektif lainnya telah berkontribusi pada pembangunan dan pengembangan sosiologi hukum, jalur mana yang bisa ditempuh dari perkembangan sebelumnya, mana yang ada, dan mana yang tidak, memunculkan masing-masing gerakan teoretis dan tema empiris yang dibahas sesuai dengan kerangka kerja yang lebih luas tentang keilmuan sosiologi hukum. Kesimpulan terpenting yang saya harap dapat dicapai oleh pembaca buku ini adalah sosiologi hukum menawarkan sesuatu yang unik dan berharga di antara berbagai bidang spesialisasi dalam disiplin sosiologi dan selain perspektif-perspektif ilmu sosial lain tentang hukum. Keragaman perkembangan teoritis dan tema-tema substantif dalam sosiologi hukum hendaknya tidak dipandang terlalu-dalam dalam kerangka pendekatan-pendekatan yang saling bertentangan. Meskipun posisi-posisi tertentu harus diambil dalam perdebatan-perdebatan penting, dan meskipun buku ini pasti mewakili suatu perspektif, hal itu juga harus dimungkinkan atas dasar prinsip panduan yang oleh Robert Merton (1976: 169) sebut sebagai “eklektisisme disiplin,” untuk melihat sifat komplementer perkembangan teoretis dan perkembangan lain yang relevan dalam sosiologi hukum. Dengan melampaui masalah spesifik apa pun tentang perbedaan teoretis atau variasi substantif dalam penelitian, buku ini berharap dapat membuat kasus terhadap spesialisasi sosiologis seperti itu.
Catatan Kaki:
[1] Pemahaman sosiologi hukum sebagai bidang khusus, jauh dari suasana tidak saling berbantahan, seperti yang akan ditunjukkan oleh pengungkapan sejarah dan intelektual sosiologi hukum pada seluruh pembahasan dalam buku ini. Untuk pernyataan tandingan tentang hubungan yang nyata dan hubungan yang diinginkan antara sosiologi hukum dan keilmuan (sosio-)legal, lihat Bankar dan Travers 2002; Komak 2006; Cotterrell 1983, 1986, 1992; Dingwall 2007; Evan 1992; Ferrari 1989; Griffiths 2006; Guibentif 2002; Kazimirchuk 1980; MacDonald 2002b; Posner 1995; Rottleuthner 1994; Scheppele 1994; Schwartz 1978; Simon dan Lynch 1989; Travers 1993.
[2] Jalur perkembangan sosiologi hukum yang melintasi budaya bangsa dibahas lebih lanjut dalam bagian Kesimpulan.
[3] Istilah Ilmu Hukum (jurisprudence) mengacu pada studi internal hukum (atau keilmuan hukum; legal scholarship) serta aktivitas pengambilan-keputusan hukum di pengadilan dan badan hukum yang didirikan berdasarkan keputusan seperti itu. Kecuali ditentukan lain, istilah dalam buku ini digunakan dalam arti keilmuan hukum internal (in the meaning of legal or law-internal scholarship).
[4] Gagasan tentang mengartikulasikan visi dari dan untuk sosiologi hukum diilhami oleh studi komprehensif Donald Levine tentang perkembangan teori sosiologi dalam bukunya Visions of the Sociological Tradition (Levine 1995).
[5] Lihat, misalnya, buku teks dan tinjauan teoretis oleh Galligan 2007; Hunt 1978; Milovanovic 2003; Rich 1978; Roach Anleu 2000; Sutton 2001; Treviño 1996, Turkel 1996; dan volume yang diedit oleh Aubert 1969; Brantingham dan Kress 1979; Brickey dan Comack 1986; Carlen 1976; Evan 1962a, 1980; Freeman 2006; Johnson 1978; Larsen dan Burtch 1999; MacDonald 2002a; Mertz 2008; Podgórecki and Whelan 1981; Reasons and Rich 1978; Sawer 1961; Schwartz and Skolnick 1970; Seron 2006; Silbey 2008; Simon 1968; Treviño 2007.
[6] Lihat, misalnya, Bankowski and Mungham 1980; Cotterrell 1994,2006; Friedman 1976; Friedrichs 2001; Grana, Ollenburger, and Nicholas 2002; Kidder 1983; Lyman 2004; Rokumoto 1994; Sarat 2004; Vago 2005; Weinberg and Weinberg 1980.
[7] Di antara diskusi sosiologi hukum yang lebih sistematis adalah buku-buku karya Aubert (1983), Banakar (2003), Cotterrell (1992), Grace dan Wilkinson (1978), Henry (1983), Irwin (1986), McDonald (1976), McIntyre (1994), dan Tomasic (1985). Literatur Eropa non-Inggris dikembangkan dengan sangat baik dalam memberikan kesepakatan sistematis tentang evolusi dan status sosiologi hukum sebagai spesialisasi akademik (misalnya, Arnaud 1981; Gephart 1993; Lévy-Bruhl 1967; Rehbinder 2003; Röhl 1987; Schuyt 1971).