Seri Sosiologi Hukum (4): Hukum dan Kemunculan Ilmu-ilmu Sosial, Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
BAGIAN I FUNDASI TEORITIS SOSIOLOGI HUKUM
1. HUKUM DAN KEMUNCULAN ILMU-ILMU SOSIAL
Berpikir tentang hukum sama tuanya dengan hukum itu sendiri, karena diskursus hukum selalu merupakan bagian dari hukum. Meskipun melampaui batas-batas hukum, sulit untuk membuat suatu permulaan yang jernih tentang diskursus hukum. Berpikir tentang peran sosial hukum merupakan bagian dari diskursus ini juga, tetapi tidak semua pemikiran yang berhubungan dengan masyarakat bersifat sosiologis. Pada saat yang sama, sosiologi berasal dari evolusi filsafat, ilmu sosial-humaniora, dan perkembangan ilmu-ilmu sosial lainnya. Hal ini lebih dari sekadar masalah keingintahuan intelektual untuk meninjau ulang mazhab-mazhab intelektual hukum pada abad ke-19 yang berasal dari Pencerahan, untuk secara bertahap membuka jalan bagi pelembagaan berbagai ilmu sosial dan pembentukan sosiologi.
Dengan cara selektif, tinjauan ini pertama-tama akan membahas para pemikir pra-sosiologis yang pemikirannya menaruh perhatian khusus pada hukum dan karya-karyanya yang berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi hukum modern, dan pembahasan tersebut tidak selalu saling melengkapi kategori-kategori pemikirannya. Di antara perkembangan kategori terakhir yang paling distingtif adalah filsafat sosial Karl Marx, sedangkan kategori awal mencakup karya-karya pemikir klasik seperti Baron de Montesquieu, Cesare Beccaria, Jeremy Bentham, Alexis de Tocqueville, dan Henry Maine. Dalam Bab juga ditinjau karya-karya sosiolog awal yang mendiskusikan tentang hukum, meskipun berpengaruh moderat terhadap perkembangan terakhir pelembagaan spesialisasi sosiologi. Di antara kontribusi klasik yang selama ini relatif diabaikan adalah karya Herbert Spencer, William Graham Sumner, Georg Simmel, dan Ferdinand Tönnies.
FAJAR ILMU-ILMU SOSIAL
Terlalu banyak para ilmuwan di luar kontur keilmuan dan pendidikan hukum yang telah membahas peran hukum dalam masyarakat. Meskipun dibatasi pada para pendahulu asal-usul sosiologi abad ke-19, ikhtisar ini hanya dapat membuat sketsa beberapa episode dalam masa pemikiran sosial pra-sosiologi tentang hukum. Titik masuk yang sangat berguna ke dalam asal-usul pemikiran sosial awal tentang hukum memancar dari kritik mengenai konsepsi hukum alam, kebalikan paling ekstrim dari bentuk pemikiran sosial dan sosiologis yang paling dasar sekalipun. Hukum alam merupakan gagasan bahwa hukum tidak ada hubungannya dengan cara kerja aktual tentang masyarakat, tetapi sebaliknya merupakan refleksi konsep-konsep universal tentang kebenaran dan keadilan yang begitu mendalam dan mendasar bagi eksistensi hukum yang memancar dari alam itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori hukum alam menghalangi esensi pemikiran sosial tentang asal-usul, kondisi, dan efek hukum sebagai realitas sosial. Kembali pada konsepsi hukum Aristoteles dalam Yunani kuno dan dibawa ke masyarakat Barat melalui pemikiran abad pertengahan, seperti filsafat St. Thomas Aquinas, teori hukum alam mendominasi pemikiran hukum di Eropa dalam jangka waktu lama. Hanya berdasarkan analisis dan kritik terhadap prinsip-prinsip keadilan dan ketertiban yang konon terkandung dalam hukum alam, pemikiran sosial tentang hukum dapat berkembang.
Terobosan Pencerahan sejak abad ke-18 dan seterusnya akan membuka dunia hukum pada refleksi pemikiran kritis-analitis. Pencerahan mengacu pada periode dan gerakan dalam filsafat (Eropa), termasuk tapi tidak terbatas pada etika tetapi juga seni dan pengetahuan, yang menempatkan kemampuan manusia pada pemikiran dan kritik pada pusat kehidupan intelektual. Ringkasan terbaik dalam kata-kata filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant, Pencerahan didefinisikan sebagai penggunaan rasionalitas secara publik berbasis kemampuan pemikiran (Kant 1784). Pemikiran Pencerahan sangat penting berpotensi mengungkap kondisi sosial dan historis yang bergantung pada institusi sosial yang ada seperti politik dan hukum. Daripada hanya berasumsi bahwa hukum merefleksikan kondisi alam yang tidak dapat diubah, hukum dapat menjadi objek untuk dipelajari dalam hal pembentukan masyarakatnya dalam periode dan masyarakat tertentu. Dengan demikian, pemikiran Pencerahan tidak hanya menghilangkan asumsi stabilitas hukum, tetapi juga dapat mengarah pada suatu saran bahwa hukum dapat diorganisir untuk melayani tujuannya secara lebih baik dengan mengingat keadaan sosial yang berkaitan dengannya.
Terobosan penting pertama dengan pembahasan hukum alam disajikan dalam tulisan-tulisan filsuf politik Prancis Baron de Montesquieu (1689–1755).[1] De Montesquieu berpendapat bahwa hukum terkait dengan budaya masyarakat dan ditentukan oleh berbagai keadaan eksternal, termasuk kondisi sosial dan alam serta anteseden sejarah. Aturan hukum (laws) bukanlah baik atau buruk dalam arti absolut, tetapi dapat dievaluasi dari segi tingkat relatif keadilan dan moralitasnya. Dari konsepsi ini, de Montesquieu melangkah lebih jauh, dan sebagai seorang kritikus monarki absolut Prancis, de Montesqiueu merupakan salah satu filsuf pertama yang memperdebatkan konstitusi hukum yang demokratis. Untuk memastikan bahwa hukum akan mencerminkan kehendak rakyat, de Montesquieu secara khusus berpendapat bahwa dua prinsip penting perlu dijamin. Pertama, atas dasar prinsip pembagian kekuasaan, lokasi kekuasaan tidak boleh terlalu terpusat, tetapi harus tersebar di seluruh pusat kekuasaan (raja) dan badan-badan perwakilan perantara, seperti parlemen, kelompok-kelompok relawan, kelompok, dan gereja. Kedua, atas dasar prinsip pemisahan kekuasaan, pelaksanaan kekuasaan harus dikhususkan secara fungsional ke dalam tiga cabang pemerintahan: (1) cabang kekuasaan legislatif untuk mengesahkan undang-undang; (2) cabang kekuasaan eksekutif untuk menegakkan dan menjalankan hukum; dan (3) cabang kekuasaan yudisial untuk menafsirkan dan menerapkan hukum. Filsafat de Montesquieu secara historis berpengaruh bagi banyak bentuk pemerintahan demokratis, dan juga menjadi dasar prinsip otonomi hukum yang memandu banyak cara kerja hukum dan status profesi hukum (lihat Bab 9). Namun, dalam konteks ikhtisar sejarah ini, lebih penting untuk menekankan dalam pemikiran de Montesquieu bahwa hal itu membuka kemungkinan pemikiran yang tidak terkekang pada dimensi sosial hukum dan pada akhirnya akan membuka jalan bagi analisis nyata, dengan sarana ilmiah, hukum sebagai institusi sosial.
Sama halnya berdebat melawan ekses yang dibawa oleh pemerintahan absolut, Mazhab Hukum Klasik dan, khususnya, hukum pidana penting dibahas dalam konteks ini karena ide-idenya menunjukkan pembenaran atas hak dan hukum bergeser dari kekuasaan utama monarki dan aristokrasi ke pertumbuhan klas borjuasi yang semakin meningkat.[2] Dengan menunjukkan perkembangan pemikiran sosial itu sendiri yang telah dipengaruhi oleh kondisi-kondisi masyarakat yang menjadi keprihatinannya, Mazhab Klasik muncul bersamaan dengan kebangkitan kapitalisme.
Pengaruh kapitalisme paling baik diamati dalam gagasan fundamental Mazhab Klasik bahwa perilaku manusia dipandu oleh prinsip rasionalitas ekonomi yang dipahami sebagai hasil pertimbangan biaya dan manfaat alternatif-alternatif tindakan. Menyertai konsepsi ini adalah gagasan orang itu bebas dan karena itu harus bertanggungjawab atas tindakan mereka. Di bawah kondisi tersebut, hukum seharusnya menekankan persyaratan proses yang wajar untuk menetapkan kesalahan atau tidak, dengan campur tangan pemerintah yang minim dan fungsi pencegahan utama yang ditetapkan terhadap hukuman.
Di antara pendukung utama Mazhab Klasik adalah Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Meskipun saat ini sebagian besar dikenal di kalangan ilmuwan kriminologi tentang teori kejahatan dan peradilan pidananya, kedua pemikir mengembangkan teori hukum yang lebih komprehensif yang merupakan bagian dari kemajuan menuju pengembangan ilmu sosial hukum yang otentik. Filsuf politik Italia Cesare Beccaria (1738-1794) terkenal karena tulisannya (pamflet) tahun 1764, Dei Delitti e delle Pene, yang mengutuk hukuman mati.[3] Alasan di balik argumen ini adalah pendapat Beccaria bahwa hukuman mati tidak memiliki efek jera terhadap pelanggar lain, baik secara potensial maupun aktual, karena bukan beratnya hukuman tetapi kepastian hukuman yang menentukan efek jeranya.
Usulan reformasi hukum lain yang disarankan oleh Beccaria mengisyaratkan sistem yang lebih manusiawi ––seperti proporsionalitas hukuman relatif terhadap kejahatan yang dilakukan dan sifat publik dari proses hukum–– juga diilhami, bukan oleh cita-cita humanistik apa pun, tetapi oleh orientasi utilitarian yang merenungkan sifat perilaku manusia yang pada dasarnya berakar pada pengejaran kepentingan pribadi. Oleh karena itu, untuk menghindari kondisi kekerasan habis-habisan, warga negara terlibat dalam hubungan kontrak timbal-balik yang mana warga negara setuju untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya untuk menjamin hidup berdampingan secara damai. Dipengaruhi oleh gagasan tatanan sosial sebagai kontrak, Beccaria dengan demikian membela gagasan bahwa fungsi utama negara adalah menegakkan hukum yang membatasi pengejaran kepentingan pribadi tanpa batas. Agar undang-undang berlaku efektif, undang-undang tersebut perlu dipublikasikan sehingga diketahui secara luas dan melibatkan bentuk hukuman yang cepat dan khusus yang meningkatkan biaya secara relatif terkait dengan pelanggaran hukum yang dianggap sebagai pelanggaran ketentuan kontrak sosial.
Menawarkan formulasi kerangka utilitarian yang lebih sistematis, filsuf Inggris Jeremy Bentham (1748-1832) mengembangkan filsafat politik dan hukum berdasarkan prinsip rasionalitas ekonomi bahwa perilaku manusia dipandu oleh pencarian kesenangan dan penghindaran rasa sakit.[4] Bentham awalnya dilatih sebagai advokat dan diterima di kantor hukum (bar), tetapi ia menjadi kritikus terkemuka sistem hukum Inggris yang eksis pada waktu itu dan berusaha untuk mereformasi hukum berdasarkan filsafat utilitariannya. Dalam karyanya, Bentham menerapkan filsafat utilitariannya terhadap hukum untuk menyatakan bahwa sistem hukum harus didasarkan pada prinsip untuk memberikan kebahagiaan sebesar mungkin kepada sebanyak mungkin orang. Melengkapi teori perilaku manusia yang dipandu oleh perhitungan hedonis untuk memaksimalkan utilitas perspektif individual, maka berdasarkan perhitungan sosial, teori masyarakat memaksimalkan utilitas dari sudut pandang agregat. Untuk memastikan masyarakat yang egaliter, Bentham berpendapat, hukum harus diterapkan secara adil dan setara untuk semua orang, persyaratan proses hukum harus dipatuhi sebelum seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, dan bukti harus diselidiki. Selain itu, diskresi yudisial harus diminimalkan dengan membatasi kekuasaan hakim hanya pada penentuan seseorang yang bersalah dan tidak bersalah, sedangkan hukuman harus didasarkan pada perhitungan tentang kesenangan, rasa sakit, dan keadaan yang meringankan terkait dengan pelanggaran hukum dan hukumannya. Dalam kepeduliannya terhadap efek hukum, peran hukum yang benar-benar dimainkan dan dapat dimainkan dalam masyarakat, dan fungsi hukum sebagai aspek kebijakan dan instrumen rekayasa sosial, karya Bentham mengkhianati suatu perubahan menuju ilmu sosial hukum, atau disebut Bentham (1792), “hukum sebagaimana adanya”.
Kritik yang memuncak terhadap sistem politik absolutis Eropa akan terus diungkapkan oleh para filsuf dan pemikir sepanjang abad ke-19. Dalam mayoritas kasus, karya-karya mereka ditandai dengan orientasi normatif yang berbeda, namun juga mengandung arah yang lebih empiris dan teoretis. Dengan demikian, karya-karya ini membuka jalan bagi pengembangan filsafat politik dan penerapannya terhadap pengembangan sistem pemerintahan modern, di satu sisi, serta elaborasi ilmu-ilmu sosial, di sisi lain. Karya Alexis de Tocqueville dan Henry Maine penting untuk dibahas dalam konteks ini karena memberikan jembatan penting antara pemikiran klasik dan modern dan juga memberikan perhatian eksplisit pada peran hukum.
Sejarawan politik Prancis Alexis de Tocqueville (1805–1859) pernah menjadi mahasiswa hukum dan bekerja sebagai hakim pengganti sebelum ia menjadi wakil terpilih dan sempat menjabat sebagai menteri luar negeri Prancis.[5] Pada tahun 1831, ia mengunjungi Amerika Serikat atas nama pemerintah Prancis untuk mempelajari sistem penjara Amerika Serikat. Dari buku catatan yang disimpan de Tocqueville selama 9 (sembilan) bulan perjalanannya, dia menulis karyanya yang sekarang terkenal, Democracy in America (Tocqueville 1835/1840). Kekaguman de Tocqueville terhadap demokrasi berakar pada gagasan bahwa hanya demokrasi yang dapat memberikan keseimbangan antara kebebasan dan kesetaraan, suatu gagasan yang mirip dengan prinsip kontrak sosial. Beberapa perhatian khusus diberikan oleh de Tocqueville pada peran hukum dan, khususnya, tempat hakim dalam sistem demokrasi Amerika Serikat. Ketika meneliti otoritas yudisial di Amerika Serikat, de Tocqueville secara khusus mencatat kekuatan hakim untuk menolak menerapkan undang-undang yang mereka anggap inkonstitusional. Dengan demikian, hakim memiliki kekuatan politik dalam memengaruhi implikasi efektif proses legislasi. Hal ini dipastikan melalui partisipasi dalam (sistem yang relatif terbatas) proses pemilihan dan sistem juri, serta beberapa tingkat partisipasi rakyat dalam sistem legislatif dan yudisial. De Tocqueville secara khusus memuji kualitas sistem juri untuk mewujudkan pendidikan hukum dan menciptakan rasa tanggung jawab kewargaan (civil) dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat dan pemerintahnya.
Karya De Tocqueville tentang sistem demokrasi Amerika Serikat terutama dimaksudkan untuk merumuskan pedoman normatif menuju reformasi rezim politik Prancis. Namun, karena orientasi komparatifnya, ia juga memberikan dasar penting bagi studi hukum di masyarakat. Dalam konteks orientasi komparatif, karya Henry Maine (1822-1888)[6] lebih menonjol memberikan manfaat ilmiah terhadap studi hukum dari sudut pandang sejarah komparatif. Maine awalnya terlatih sebagai advokat, praktik hukum profesional, dan mengajar tentang sistem hukum Inggris. Atas dasar kuliahnya, ia Ancient Law (1861) yang menelusuri hubungan antara ilmu hukum (jurisprudence) Romawi dan sistem hukum Inggris. Terhadap studi sejarah ini Maine menambahkan wawasan komparatif penting, didukung dengan pengalaman tinggal beberapa tahun di India, yang akan memungkinkan Maine untuk akhirnya mengajar ilmu hukum (jurisprudence) sejarah dan komparatif di Universitas Oxford. Meskipun tujuan dari karya sejarah dan komparatif Maine adalah untuk memperoleh wawasan tentang sistem hukum Inggris, implikasinya menawarkan jalan menuju studi hukum yang lebih sistematis. Karena dalam upaya memunculkan kualitas hukum yang berpotensi melakukan reformasi hukum sebagai instrumen perubahan sosial, Maine mempelajari hukum sebagaimana yang sebenarnya dipraktikkan oleh para profesional dan dialami oleh orang awam.
Dalam karya sejarahnya, Maine berpendapat bahwa masyarakat dari zaman sejarah yang berbeda akan berbagi karakteristik dalam sistem hukum masyarakat masing-masing bila masyarakat itu juga berbagi keadaan sosial lainnya. Jadi, misalnya, feodalisme Romawi dan, bertahun-tahun kemudian, feodalisme Inggris memiliki karakteristik dasar yang sama dalam sistem hukum masing-masing. Menurut Maine, pola yang stabil dapat diamati dalam evolusi hukum di seluruh masyarakat, khususnya dalam bentuk tiga tahap dari perkembangan primitif atas feodal ke masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif, hukum tidak diformalkan tetapi sepenuhnya didasarkan pada struktur kekerabatan, yang biasanya patrilineal dan dibenarkan atas dasar ilham dan hak ketuhanan. Dalam perkembangan tahap kedua, hak otokratis pemimpin patriarki tunduk pada tuntutan pemimpin lain agar didasarkan pada kebiasaan masyarakat yang berlaku. Tahap ketiga perkembangan hukum diantarkan ketika, di bawah pengaruh penyebaran literasi dan tulisan, hukum menjadi lebih permanen diwujudkan dalam kitab aturan (code) tertulis. Kodifikasi hukum memungkinkan keputusan hukum untuk dibandingkan, bersifat relatif satu sama lain dan relatif terhadap kitab aturan (code) yang diterapkan, dan secara rasional terstruktur ke dalam seperangkat hukum yang koheren untuk membangun kebijakan hukum yang efisien.
Ketika bentuk hukum berubah, pendapat Maine, demikian pula substansinya. Dalam perjalanan sejarah, ketergantungan keluarga secara bertahap berkurang demi tanggung jawab, hak, dan kewajiban individu, sebagaimana dimanifestasikan dalam meningkatnya relevansi praktik kontrak dan menurunnya regulasi sosial berdasarkan status. Sementara status dianggap berasal dan ditentukan oleh hubungan dengan keluarga seseorang dan, oleh karena itu, stabil sejak lahir dan seterusnya, kontrak mencontohkan hasil negosiasi di antara individu yang bebas dan mandiri berdasarkan posisi dan kualitas yang mereka capai. Kontrak, dalam pengertian yang dipergunakan oleh Maine, oleh karena itu, tidak harus merupakan dokumen tertulis tertentu yang menetapkan kewajiban tertentu di antara para pihak, tetapi gagasan yang lebih umum tentang kesepakatan di antara individu-individu bebas yang, dalam konteks masyarakat, terlibat dalam berbagai hubungan sosial.
Wawasan yang dibagikan oleh para utilitarian dan ilmuwan hukum sejarah-komparatif adalah perhatian pada studi hukum terhadap sebagian besar tujuan praktis reformasi, yang, bagaimanapun, dilakukan sedemikian rupa sehingga juga memicu asal-usul dan perkembangan studi sistematis hukum dari sudut pandang yang lebih analitis dan ilmiah. Oleh karena itu, utilitarianisme dan aliran sejarah menawarkan filsafat politik dan hukum yang memiliki kualitas normatif yang kuat, utilitarianisme dan aliran sejarah juga mengandung pengamatan empiris tentang cara kerja hukum yang sebenarnya, terutama dalam konteks sejarah-komparatif, pada masyarakat dan zaman yang berbeda. Benih-benih refleksi antropologis dan historis yang belum sempurna ini nantinya akan lebih matang sepenuhnya menjadi disiplin akademis khusus. Sosiologi masa awal juga akan mendapat manfaat dari akar ilmu sosial abad ke-19 dan terutama mewarisi perspektif evolusioner dari pendahulunya. Karakteristik ini mungkin paling baik tercermin dalam tulisan-tulisan Karl Marx, yang karyanya dapat dianggap sebagai momen puncak dari penggabungan aspirasi normatif dan sistematis-analitis. Secara historis, evolusi sosiologi modern juga telah berkembang sedemikian rupa sehingga perhatian terpisah harus dicurahkan pada karya Marx, meskipun nilai karya Marx tentang sosiologi tetap diperdebatkan dengan hangat dan, seperti akan lebih jelas di bagian berikutnya, kontribusi nyata Marx terhadap studi hukum sangatlah minim. Bagaimanapun, sifat komprehensif dari karya Karl Marx dan dampaknya terhadap pemikiran sosial kontemporer layak diperlakukan secara terpisah.
PERSPEKTIF MATERIALISME HISTORIS
Filsuf kelahiran Jerman Karl Marx (1818-1883) meninggalkan warisan intelektual yang sangat luas dan kompleks. Untuk mencapai tujuan buku ini, akan berguna memperkenalkan ide-ide Marx tentang hukum dalam kerangka perspektif materialisme historis.[7] Evolusi pemikiran Marx, yang merupakan subjek kontroversi intelektual yang cukup besar, tidak akan dibahas dalam eksposisi ini supaya lebih mendukung penjelasan perspektif teoretis umum Marx tentang masyarakat dan hukum. Pada tingkat yang paling umum, materialisme historis mengacu pada studi tentang masyarakat dari sudut pandang yang menganggap sejarah sebagai hasil dari kekuatan yang berlawanan. Dengan demikian, Marx merusak gagasan linier yang lebih konvensional tentang sejarah yang melibatkan kemajuan yang stabil atas dasar variabel budaya, ekonomi, atau sosial, dan mendukung gagasan sejarah yang lebih konfliktual dalam hal kekuatan-kekuatan masyarakat yang saling berkaitan (invoke) justru karena mereka dalam posisi saling berhadapan (opposition). Marx meminjam konsepsi dialektika sejarah dari filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, namun, berbeda dengan perspektif idealis Hegel, Marx mentransplantasikan metode untuk diterapkan pada teori masyarakat materialis. Dengan demikian, kondisi politik, budaya, dan sosio-historis suatu masyarakat dijelaskan sebagai hasil (sintesis) dari kekuatan-kekuatan yang berlawanan (tesis dan antitesis) yang bersifat ekonomi. Selain menjelaskan kondisi material masyarakat secara historis, Marx membela pandangan bahwa, berdasarkan analisis dialektis, semua hal yang ada harus dikritik agar berkontribusi dalam mengungkap ketidakadilan yang ada dalam masyarakat dan bekerja untuk perbaikan masyarakat. Filsafat harus memiliki tujuan praktis dan dipandu oleh motif politik yang eksplisit. Teori dan praksis (praxis) harus bersatu untuk menjelaskan serta mengubah dunia.
Marx menerapkan perspektif materialisme historis untuk menyelidiki dan mengkritik masyarakat pada zamannya, yaitu masyarakat industri abad ke-19 yang sedang mengalami transformasi cepat di bawah pengaruh ekspansi kapitalisme. Marx berpendapat bahwa esensi masyarakat modern terletak pada transformasi ekonominya dari feodalisme ke kapitalisme. Sementara masyarakat feodal didominasi oleh pertanian dan berpusat di sekitar kekuasaan pemilik tanah atas budak, kapitalisme berkembang dari konsentrasi bertahap alat-alat produksi di pabrik-pabrik berteknologi maju. Pemilik alat-alat ini jumlahnya relatif sedikit tetapi sangat berkuasa karena mampu mengendalikan kerja sejumlah besar buruh dan menentukan upahnya. Klas pemilik, Marx berpendapat, dengan demikian dapat menciptakan kekayaan dalam jumlah besar, yang tidak harus dibagi dengan klas besar buruh yang tidak berdaya dan terasing. Keterasingan buruh di bawah kapitalisme mengambil setidaknya empat bentuk: (1) keterasingan dari produk kerja seseorang karena produk itu bukan milik buruh; (2) keterasingan dari kerja itu sendiri karena kerja, di bawah kondisi pembagian kerja, buruh hanya bagian dari proses produksi; (3) keterasingan dari hubungan sosial karena buruh hanya dinilai berdasarkan kondisi pasar; dan (4) keterasingan dari diri sendiri karena seluruh eksistensinya didominasi oleh tuntutan kapitalisme.
Teori Marx tidak harus dipahami hanya sebagai teori ekonomi, karena analisisnya tentang kapitalisme dimaksudkan untuk memberikan dasar bagi analisis masyarakat. Organisasi ekonomi masyarakat merupakan inti material dari semua perkembangan sosial lainnya dalam politik, budaya, dan hukum yang dapat dijelaskan. Ini diringkas dalam diktum terkenal Marx bahwa infrastruktur masyarakat menentukan suprastrukturnya. Dengan demikian, pembagian antara klas ekonomi pemilik dan non-pemilik muncul di tingkat masyarakat sebagai antagonisme klas antara borjuasi yang relatif kecil tetapi kuat dan proletariat yang relatif besar tetapi tidak berdaya. Borjuasi dapat mengartikulasikan kekuatan ekonominya di tingkat politik, budaya, dan hukum karena kontrolnya atas semua institusi penting masyarakat, seperti pemerintah, sistem hukum, seni, ilmu pengetahuan, dan pendidikan. Oleh karena itu, kepentingan ekonomi borjuasi diartikulasikan di tingkat masyarakat sebagai kepentingan dominan yang diperhitungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena konflik dasar suatu masyarakat selalu bersifat ekonomi, menurut Marx, hanya penghancuran kapitalisme yang mendukung cara produksi komunis, yang mana buruh secara kolektif memiliki dan mengendalikan alat-alat produksi, yang akan memastikan keberhasilan revolusi masyarakat ke dalam tatanan sosial yang lebih adil.
Marx tidak mengembangkan perspektif hukum yang komprehensif dan ide-idenya tentang hukum tersebar di seluruh tulisannya, terutama di beberapa karya sebelumnya. Teori negara Marx memberikan jalan masuk yang paling berguna ke dalam perspektifnya tentang hukum.[8] Sejalan dengan perspektif materialisnya, Marx menegaskan bahwa kondisi ekonomi masyarakat menentukan jenis negara apa yang akan berkembang, yang dalam masyarakat kapitalis menyiratkan bahwa negara akan dikendalikan oleh borjuasi sebagai instrumen untuk mengamankan hak-hak ekonomi dan untuk meredakan konflik klas. “Eksekutif negara modern,” tulis Marx (1848: 475), “tidak lain adalah komite untuk mengelola urusan bersama seluruh borjuasi.” Dengan demikian, negara kapitalis mewakili dan mengamankan kekuatan klas ekonomi dominan yang juga menjadi klas dominan secara politik. Menariknya, Marx berargumen bahwa republik demokratik, alih-alih menjadi bentuk pemerintahan yang lebih egaliter dibandingkan dengan rezim otokratis yang tersentralisasi, adalah bentuk negara kapitalis yang paling maju, karena republik demokratik mengabaikan sama sekali perbedaan kepemilikan yang telah muncul di bawah kapitalisme.
Serupa dengan pandangan Marx tentang negara, pandangan Marx tentang hukum bersifat instrumentalis dan memandang sistem hukum dalam menjalankan perannya sebagai instrumen kontrol yang melayani kepentingan borjuis. Alih-alih mematuhi prinsip aturan hukum yang menyatakan bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan merata kepada semua orang, Marx berpendapat bahwa hukum kapitalis sebenarnya meningkatkan kondisi ketimpangan yang menandai masyarakat kapitalis. Secara khusus, Marx berpendapat bahwa sistem hukum kapitalis berkontribusi, serta melegitimasi, ketimpangan yang ada sebagai akibat dari kondisi ekonomi kapitalis. Dalam praktik hukum, terungkap bahwa sistem hukum berkontribusi terhadap ketimpangan karena hukum kapitalis menetapkan dan menerapkan hak kebebasan individual, yang menguntungkan mereka yang memiliki properti dan merugikan mereka yang tidak memiliki properti. Kesetaraan formal yang dijamin dalam hukum dengan memperlakukan berbagai pihak dalam suatu kontrak antara satu sama lain atau memperlakukan berbagai pihak untuk berkontrak dengan negara secara setara, berkontribusi untuk mempertahankan dan mengembangkan ketimpangan ekonomi yang ada di antara subjek hukum. Doktrin hukum, apalagi, membenarkan praktik hukum kapitalis atas dasar gagasan keadilan yang diklaim berlaku secara universal tetapi pada kenyataannya hanya melayani kepentingan klas ekonomi yang dominan. Dengan demikian, hukum mengambil bentuk ideologi borjuis. Dalam kemenangan akhirnya, ideologi hukum kapitalis diterima secara luas, bahkan di antara anggota masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung dan dengan demikian tunduk pada ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem hukum.
Inti dari teori materialisme historis menyiratkan bahwa Marx tidak mencurahkan banyak perhatian secara terpisah pada hukum sebagai salah satu elemen suprastruktur masyarakat kapitalis. “Tidak ada sejarah politik, hukum, sains, dan lain-lain,” tulis Marx dalam The German Ideology (Marx 1846). Namun, dalam beberapa kasus Marx memang menulis tentang aspek hukum, meskipun hanya secara singkat dan jelas dalam kerangka materialis yang mengutamakan kondisi ekonomi yang mendasari pembentukan (constitution) hukum. Misalnya, dalam serangkaian esai yang diterbitkan di Rheinische Zeitung, sebuah surat kabar yang diedit Marx selama beberapa tahun, Marx (1842) mengkritik undang-undang baru tentang pencurian kayu yang telah diundangkan di Prusia pada tahun 1842. Undang-undang itu melarang pengumpulan kayu di hutan Rhenish meskipun sudah menjadi praktik adat bagi para petani untuk mengambil dan menggunakan untuk keuntungan mereka sendiri kayu apapun yang jatuh di tanah. Dasar resmi dari undang-undang tersebut adalah bahwa undang-undang tersebut akan melindungi hutan dan memungkinkan regenerasi alami. Marx menyanggah cerita resmi ini dengan mendukung analisis materialis yang dimulai dari pengamatan bahwa kayu telah menjadi komoditas penting dalam perkembangan kapitalisme karena kayu digunakan untuk pembuatan kapal, untuk pengembangan rel kereta api, dan untuk konstruksi mesin. Dengan demikian berkembang kebutuhan untuk mengontrol produksi kayu dan pengumpulan kayu di hutan itu sekaligus dinyatakan sebagai perbuatan ilegal. Hukum menguntungkan klas borjuis secara langsung karena pemilik hutan menerima denda yang dikumpulkan secara khusus oleh polisi hutan yang bersumber dari orang-orang yang melanggar hukum.
Dalam esai singkat tentang hak waris, Marx (1869) juga beralih ke analisis kondisi ekonomi yang mengkritik reformasi yang telah diusulkan pada undang-undang pewarisan yang mana properti dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Beberapa reformis sosialis telah menyarankan untuk menghapuskan hak ini karena hal itu telah mengkonsentrasikan kekayaan, tetapi Marx berpendapat bahwa usulan seperti itu adalah utopis karena tidak mungkin mengubah kondisi ekonomi yang ada. Sebaliknya, Marx berpendapat, setiap usulan yang benar-benar revolusioner dalam konteks masyarakat kapitalis harus dimulai dengan perubahan kondisi ekonomi. “Yang harus kita perjuangkan,” tulis Marx, “adalah sebab dan bukan akibat ––basis ekonomi, bukan suprastruktur yuridis” (Marx 1869).
PARA SOSIOLOG AWAL
Karya Marx tidak langsung berpengaruh dalam perkembangan sosiologi hukum karena tidak ada jalur sejarah yang langsung mengarah dari pemikirannya ke aliran pemikiran sosiologis berikutnya. Karya Marx, bagaimanapun, selanjutnya diapropriasi oleh sosiolog kritis yang berusaha melepaskan diri dari pemikiran konsensual yang mereka rasa banyak dicirikan oleh sosiologi arus utama (mainstream) pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II (lihat Bab 6). Bahkan banyak ambivalensi ditunjukkan dalam sejarah sosiologi mengingat fakta bahwa apropriasi selektif para pemikir awal dalam sosiologi terkadang menyiratkan, beberapa ilmuwan sosial awal yang mengembangkan perspektif sosiologis secara eksplisit —dan yang menerapkannya pada studi hukum— telah dilupakan dalam sosiologi modern dan kontemporer, termasuk sosiologi hukum. Tinjauan beberapa klasik sosiologi yang terlupakan berikut ini, setidaknya menyoroti kontribusi klasik sosiologi terhadap sosiologi dan sosiologi hukum untuk alasan keingintahuan intelektual.
Pemikiran historis, seringkali dalam bentuk evolusioner, menjadi mode di sebagian besar sosiologi dan filsafat sosial sepanjang abad ke-19. Hal ini mungkin tidak diilustrasikan dengan lebih baik daripada karya sosiolog Inggris Herbert Spencer (1820–1903).[9] Sering digambarkan sebagai Darwinisme sosial, pemikiran evolusioner Spencer sebenarnya sebagian besar ditulis independen dari dan sebelum pemikiran temannya, Charles Darwin. Spencer juga yang menciptakan frasa “survival of the fittest” dan menerapkannya pada evolusi masyarakat. Spencer berpendapat, prinsip-prinsip seleksi alam dan survival of the fittest dapat menjelaskan bagaimana masyarakat manusia berkembang dari kesederhanaan dan homogenitas-yang-relatif menjadi kompleksitas dan heterogenitas-yang-semakin-meningkat. Berkembang dari masyarakat primitif atau militan yang dicirikan oleh perang dan status sebagai mekanisme pengaturan utama, masyarakat modern atau industri utamanya dipandu oleh negosiasi damai dan kewajiban kontraktual yang disepakati secara sukarela di antara warga negara yang bebas. Dalam fase modern perkembangan manusia, Spencer berpendapat, pengaruh kontrol pemerintah menurun demi kebebasan individu dan kewajiban kontrak yang dinegosiasikan, yang disepakati secara bebas di antara subjek individu.
Sebagai seorang utilitarian evolusioner, Spencer menentang pengaruh pemerintah dan program publik yang bertujuan meringankan masalah sosial, seperti kelaparan, kemiskinan, dan penyakit, demi aturan pemerintah minimalis, yang mana suatu kebijakan dan hukum, utamanya akan berfungsi mengamankan kebebasan subjek negara dan menegakkan hubungan formal yang mereka jalani. Satu-satunya batasan alamiah bagi kebebasan individu adalah pengakuan kebebasan terhadap orang lain. Atas dasar sudut pandang individualis liberal ini, Spencer menyatakan bahwa tindakan dan hukum pemerintah dalam masyarakat modern utamanya harus melindungi kebebasan manusia. Spencer merumuskan perspektif ini berdasarkan teori evolusi hukum dari masyarakat primitif ke masyarakat modern. Pada dasarnya, hukum berubah dari pengaturan ketimpangan status di antara orang-orang menuju perlakuan yang setara terhadap warga negara dalam kerja sama sukarela satu sama lain. Oleh karena itu, dalam masyarakat modern, Spencer menganjurkan kebijakan liberalisme laissez faire yang ekstrem, semua hukum harus dikutuk kecuali hukum itu merupakan ekspresi dari konsensus kepentingan individu dan dengan demikian dimaksudkan untuk mempromosikan dan melestarikan kebebasan individu. Spencer menentang upaya legislatif yang bertujuan memperbaiki kondisi orang miskin dan lemah dan, dengan demikian, juga mengutuk setiap gangguan hukum pada perdagangan bebas. Satu-satunya tujuan hukum yang sah (rightful) adalah administrasi peradilan yang berusaha menjaga dan melindungi hak-hak individu. Dalam pengertian ini, pemikiran Spencer bertentangan dengan pemikiran utilitarian abad ke-18 yang mengunggulkan konsepsi hukum sebagai rekayasa sosial.
Pemikiran evolusioner liberal Spencer memengaruhi beberapa sosiolog Amerika awal, terutama William Graham Sumner (1840-1910).[10] Sumner awalnya dididik dalam sejarah dan teologi dan selama beberapa tahun merupakan pendeta di gereja Episkopal. Dia tertarik pada sosiologi setelah membaca esai Spencer, yang mana Sumner mulai mengembangkan pemikiran sosiologisnya berdasarkan konsepsi evolusi sejarah manusia. Pada tahun 1872, Sumner menjadi profesor ilmu politik dan sosial di Universitas Yale dan di sana mulai mengajar kuliah sosiologi dari tahun 1875 dan seterusnya. Dalam tulisannya, Sumner menganjurkan perspektif evolusioner masyarakat, seperti Spencer nyatakan, membatasi fungsi yang tepat dari negara untuk mengelola kontrak individu yang disepakati bersama dan bebas. Sumner merupakan seorang pembela kapitalisme yang teguh, atau apa yang disebutnya “liberalisme perdagangan bebas,” sehingga Sumner menentang setiap dan semua upaya yang dilakukan melalui tindakan pemerintah dan kebijakan hukum untuk mempromosikan kesetaraan sosial, karena tindakan pemerintah dan kebijakan hukum itu bertentangan dengan kondisi evolusi masyarakat yang mendukung kelangsungan hidup elemen masyarakat yang paling kuat saja. Yang penting, pemikiran Sumner, dengan ambisinya sendiri, tidak didasarkan pada spekulasi filosofis tetapi pada orientasi ilmiah untuk mengungkap pola dan penyebab dasar yang mendasari sejarah manusia dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu Sumner mengalihkan upayanya ke penyelidikan sejarah-komparatif untuk mengungkap hukum masyarakat.
Sumner meninggal sebelum dia menyelesaikan buku yang direncanakan tentang sistematika sosiologi, tetapi bukunya tahun 1906 berjudul Folkways berisi wawasan yang signifikan tentang teori hukumnya. Dengan istilah “folkways” Sumner mengacu pada kebiasaan individu dan kebiasaan masyarakat, yang muncul dari upaya untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Folkways berubah menjadi adat istiadat ketika adat istiadat yang berkaitan dengan fungsi dan institusi masyarakat yang lebih penting, menjadi lebih bersifat memaksa dan diberkahi dengan sanksi. Tertanam dalam adat istiadat adalah hak-hak, yang dipahami sebagai konsepsi etis tentang keadilan. Dari adat-istiadat juga mengembang hukum, meskipun hukum itu tidak akan pernah sepenuhnya mengungkapkan hak. Seiring dengan transformasi masyarakat, sifat hukum juga berubah. Dalam masyarakat pra-modern, pengaturan kehidupan sosial tidak dipandu oleh hukum yang berlaku secara formal. Hukum pra-modern, oleh karena itu, merupakan adat dan biasanya tidak dikodifikasi. Dalam masyarakat modern, sebaliknya, hukum secara formal ditetapkan oleh pemerintah dan tertulis. Terlepas dari tahap perkembangan masyarakat, hukum harus, menurut Sumner, mencerminkan adat istiadat masyarakat untuk menjadi pengatur perilaku manusia yang efektif. Sebagai instrumen perubahan sosial, hukum dapat memenuhi perannya yang tepat hanya jika sesuai dengan adat istiadat masyarakat atau salah satu sub-kelompoknya yang mana hukum diterapkan.
Beralih ke beberapa praktisi sosiologi paling awal di Jerman, karakteristik tambahan studi hukum sejak mulai berdirinya disiplin tersebut akan diungkapkan. Sosiologi Georg Simmel (1858-1918) umumnya dikenal karena kontribusinya pada studi formal masyarakat dan pengamatannya terhadap perkembangan budaya modern.[11] Sebagai bagian dari sosiologi formalnya, Simmel mencurahkan perhatiannya pada peran hukum. Dalam studinya secara khusus tentang aspek kuantitatif kehidupan kelompok, dengan fokus pada pengaruh jumlah individu yang terkait satu sama lain pada bentuk-bentuk kehidupan sosial, Simmel memperkenalkan konseptualisasi hukum dalam kaitannya dengan adat dan moralitas. Adat dipahami sebagai tatanan normatif yang tidak dibedakan yang mencakup aturan-aturan spesifik, prinsip-prinsip agama, dan konvensi. Baik moralitas maupun hukum berbeda dari adat. Moralitas mengacu pada kapasitas individu untuk menghadapi diri mereka sendiri dengan prinsip-prinsip normatif. Ini adalah konfrontasi pribadi perilaku seseorang dengan kode (code) kebiasaan sosial. Hukum secara formal diberlakukan pada tingkat kelompok atau masyarakat melalui organ-organ khusus yang menentukan isi hukum dan mengawasi penegakan hukum. Hukum sepenuhnya ditujukan terhadap hal-hal yang dianggap sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk urusan pribadi. Hukum bersifat memaksa bagi seluruh masyarakat tempat hukum itu berlaku, sedangkan moralitas hanya berlaku bagi individu. Adat berdiri di antara moralitas dan hukum sebagai dua kutub kontinum mulai dari individu bebas hingga paksaan masyarakat. Pergerakan antara adat, hukum, dan moralitas berkaitan dengan aspek kuantitatif kelompok, menurut Simmel, karena masyarakat kecil atau kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar dipandu oleh adat, sementara perluasan kesatuan masyarakat (united society) mendukung transisi dari adat menjadi hukum.
Simmel tidak menyelidiki dimensi empiris konkret hukum dalam masyarakat, tetapi selain konseptualisasi hukumnya, ia terkadang menentukan peran hukum dalam beberapa perjalanan teoretisnya yang lain. Dalam karyanya tentang bentuk-bentuk sosial subordinasi dan superordinasi, misalnya, Simmel membahas berbagai macam subordinasi, seperti subordinasi di bawah individu, pluralitas, dan prinsip. Bentuk terakhir, menurut Simmel, adalah jenis subordinasi yang paling dominan dalam masyarakat modern, dan secara khusus terungkap dalam subordinasi terhadap hukum. Alih-alih tunduk pada pemimpin atau pluralitas, dalam masyarakat modern orang tunduk pada hukum objektif sebagai bentuk subordinasi yang didepersonifikasi (depersonified subordination). Ketundukan pada hukum diterjemahkan dalam kesadaran individu, tetapi kekuatan kewajiban berasal dari validitas super-personal hukum, yang kini muncul sebagai objek.
Karya rekan senegaranya Simmel, Ferdinand Tönnies (1855–1936) layak disebutkan secara khusus dalam tinjauan klasik yang relatif terabaikan ini ––dan bukan hanya karena alasan historis. Tulisan-tulisan teoritis dan empiris Ferdinand Tönnies dalam sosiologi tidak hanya sangat luas dan sistematis sebagai bagian dari visi sosiologis yang komprehensif; Ferdinand Tönnies juga mengembangkan teori evolusi yang berbeda yang mana hukum memainkan peran sentral.[12]
Perspektif Ferdinand Tönnies tentang masyarakat terpusat berkisar pada konseptualisasi dari dua jenis masyarakat yang berbeda yaitu Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan). Yang penting, Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan) adalah konsep yang mewakili tipe-ideal dari karakter analitis yang ketat. Semua masyarakat, menurut Ferdinand Tönnies, muncul dari kehendak manusia, yang dapat bersifat esensial berdasarkan temperamen dan karakter, atau secara arbitrer karena mampu membedakan sarana dalam pandangan tujuan tertentu. Ferdinand Tönnies memahami masyarakat Gemeinschaft (paguyuban) sebagai ekspresi kehendak esensial, terorganisir secara organik di sekitar keluarga, Desa atau kota, sedangkan masyarakat Gesellschaft (patembayan) didasarkan pada orientasi kehendak arbitrer yang terstruktur secara mekanis yang diorganisir di kota besar dan negara. Dalam konteks pergeseran dari pertanian ke industri dan kebangkitan perdagangan bebas, negara modern, dan sains, Ferdinand Tönnies mempertimbangkan ciri-ciri penting transformasi bertahap dari Gemeinschaft ke Gesellschaft. Ferdinand Tönnies tidak memahami evolusi historis masyarakat dalam istilah garis perkembangan yang sama (unilinear) yang melibatkan pergeseran dari Gemeinschaft ke Gesellschaft, tetapi sebaliknya berpendapat bahwa setiap formasi sosial akan selalu namun dalam berbagai derajat mencerminkan karakteristik dari kedua tipe.
Sosiologi hukum Ferdinand Tönnies adalah komponen penting perspektif teoretisnya (juga membentuk jembatan untuk karya teoretis dan empirisnya yang rumit tentang kejahatan) dan dikembangkan atas dasar teori norma sosial yang lebih umum. Ferdinand Tönnies mendefinisikan norma sosial sebagai perintah dan larangan yang berlaku bagi individu-individu dari suatu entitas sosial dan dibedakan menjadi tiga klas: (1) tatanan: keseluruhan norma yang paling umum yang memberikan kesatuan kehidupan sosial; (2) hukum: totalitas aturan yang pernyataan dan penegakannya merupakan fungsi pengadilan formal; dan (3) moralitas: larangan dan perintah yang lebih tinggi yang muncul dari gagasan kehidupan yang indah dan mulia. Ketertiban, hukum, dan moralitas diekspresikan secara berbeda dalam kondisi Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesellschaft (patembayan). Dalam tipe Gemeinschaft (paguyuban), norma-norma sosial adalah: (a) pemahaman umum tentang kerukunan; (b) norma-norma adat yang memerintah dan wajib dan (c) tatanan agama yang supranatural. Dalam tipe Gesellschaft (patembayan), norma-norma sosial adalah: (a) norma-norma konvensional yang mengatur perniagaan (commerce), klas, perdagangan (trade), dan individualisme; (b) legislasi yang diundangkan oleh negara; dan (c) opini publik yang mengungkapkan perasaan rakyat. Mengingat sifat ideal-tipikal skema konseptual Tonnies, maka kategori ketertiban, hukum, dan moralitas selalu diekspresikan secara berbeda-beda dalam berbagai tingkatan berdasarkan kerukunan dan konvensi, adat dan peraturan perundang-undangan, serta agama dan opini publik.
Ferdinand Tönnies mengabdikan sebagian besar karyanya pada Gemeinschaft dan Gesellschaft terhadap hukum dan menyarankan transformasi hukum alam dari hukum kebiasaan (common law) atau hukum adat (customary law) ke hukum kontrak (contract law) atau hukum aturan (statutory law). Ferdinand Tönnies berpendapat, evolusi hukum mengungkapkan bahwa sementara semua hukum bersifat alami dan buatan, unsur buatan dalam hukum telah menjadi dominan dalam perjalanan sejarah, yang melibatkan evolusi bertahap dari hukum kebiasaan (common law) ke hukum aturan (statutory law). Elemen paling penting dari common law adalah bahwa common law telah melepaskan kapasitas untuk perdagangan (trade) dan membentuk hubungan-hubungan dalam kebebasan. Setelah itu, hukum berangsur-angsur diformalkan untuk dielaborasi, diuniversalkan, disistematisasi, dan dikodifikasi karena rasionalisasi ilmu hukum (jurisprudence) dalam hal efisiensi dan liberalisasi dan karena pewarisan organisasi dan kebiasaan keluarga yang menyertainya. Sementara hukum kebiasaan (Gewohnheitsrecht) adalah fungsi adat, hukum-legislasi modern (Gesetzesrecht) didukung oleh tujuannya di luar tradisi dan bahkan mungkin bertentangan dengan tradisi. Keadaan evolusi hukum yang dihasilkan dalam tipe-masyarakat Gesellschaft (patembayan) modern, menurut Ferdinand Tönnies, bukanlah bahwa hukum modern hanya akan mengambil bentuk seluruh hukum yang diproklamirkan dan ditegakkan oleh negara. Ferdinand Tönnies menekankan fakta bahwa legislasi telah dimonopoli oleh negara, tetapi juga berpendapat terhadap otonomi relatif hukum dalam kaitannya dengan sisa-sisa tipe-tipe hukum (adat) lainnya dan institusi-institusi sosial politik dan ekonomi. Bagian relatif dari Gesellschaft (patembayan) seperti legislasi negara yang dibandingkan dengan tipe-tipe lain dari hukum Gemeinschaft (paguyuban) dalam konstelasi hukum masyarakat, menurut Ferdinand Tönnies hal ini merupakan masalah empiris.
KESIMPULAN
Dengan menelaah sejarah pemikiran hukum pra-sosiologis, dapat dilihat perkembangan pemikiran mulai dari Mazhab Klasik dan kaum utilitarian yang melandasi ilmu hukum historis (historical jurisprudence) hingga materialisme historis Karl Marx. Dengan menyimpangi perjuangan atas isu-isu serupa yang penting secara sosial dan intelektual, maka aspirasi normatif dan niatan ilmiah bertautan dalam berbagai cara. Kaum utilitarian berorientasi pada perspektif rekayasa sosial yang berusaha mereformasi politik dan kebijakan hukum berdasarkan asumsi teoritis utilitas daripada analisis kondisi perilaku manusia, sedangkan orientasi historis lebih analitis dalam perspektifnya, dan rekomendasi kebijakan sosial lebih bersifat praktis yang dirumuskan atas dasar penyelidikan yang konkrit. Dalam pengertian ini saja, terdapat keadaan yang unik dalam perkembangan sosiologi modern selanjutnya bahwa karya Karl Marx, yang memperkenalkan kembali orientasi normatif dalam pemikiran sosial, akan menjadi perspektif yang paling berpengaruh dalam pembahasan ini. Karya Marx secara teoritis tidak terkait dengan aspirasi sosiologi, tetapi secara historis tulisan-tulisan Marx telah menginformasikan banyak tulisan sosiologis sampai hari ini.
Unik bagi sejarah sosiologi, termasuk sosiologi hukum, beberapa penulis sosiologis yang lebih distingtif pada abad ke-19 –-dengan pengecualian Max Weber dan Emile Durkheim, tentu saja-– hanya sedikit memengaruhi perkembangan sosiologi selanjutnya dan beberapa penulis itu telah dilupakan oleh sosiolog saat ini, meskipun beberapa penulis sosiologis itu telah mengembangkan perspektif yang komprehensif dan terlibat dalam analisis substansial kondisi dan institusi masyarakat, termasuk hukum. Oleh karena itu, situasi unik dari sosiologi yang berkembang sedemikian rupa, meskipun karya-karya seperti Spencer, Sumner, Simmel, dan Ferdinand Tönnies secara eksplisit bersifat sosiologis ––tidak kurang dari karya Weber dan Durkheim, jika mungkin tidak begitu ahli–– dan diinformasikan secara teoritis dan berorientasi empiris, karya-karya mereka merupakan bagian dari sosiologi masa lalu tetapi bukan karena pertimbangan kesejarahan bahwa karya-karya itu menjadi salah satu blok bangunan perkembangan modern. Apa yang sebagian besar dibahas dalam karya sosiologis awal tentang hukum, yang berbagi satu sama lain, serta dengan para pemikir pra-sosiologis yang lebih cenderung secara historis, adalah fokusnya pada transformasi dari hukum pra-modern ke hukum modern (yang dipahami secara bervariasi tetapi biasanya diciptakan dalam skema evolusi) dan, terkait dengan, keprihatinan konseptual atas hubungan antara hukum sebagai keseluruhan aturan yang ditetapkan secara formal, di satu sisi, dan pandangan yang lebih komprehensif tentang hukum sebagai keseluruhan praktik sosial yang terkait dengan aturan tersebut, di sisi lain (Vandekerckhove 1996). Karakteristik pemikiran tentang hukum dalam satu atau lain bentuk —dan untuk lebih baik atau lebih buruk— merupakan fundasi penting sosiologi modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perkembangan awal sosiologi hukum dengan baik menggambarkan bahwa sejarah dan sistematika sosiologi hanya dapat dibedakan secara analitis (Alexander 1987). Ini berkaitan dengan gerakan prasosiologis menuju sosiologi hukum maupun perkembangan selanjutnya. Bahan awal filosofis pada sosiologi hukum berfungsi sebagai kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk sosiologi hukum yang asli. Merenungkan hukum dalam realitas eksistensi masyarakatnya atau bahkan mempertanyakan pembentukan sosial hukum, tidak dapat disamakan dengan kajian sosiologis hukum yang sistematis. Selain itu, tinjauan dalam bab ini menunjukkan bahwa beberapa penulis yang berkontribusi dalam karya mereka dengan cara sosiologis yang lebih distingtif daripada yang lain, bagaimanapun, secara historis memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perkembangan sosiologi hukum daripada beberapa ilmuwan yang kurang memperhatikan studi sosiologi hukum atau studi hukum dari sudut pandang apapun. Dalam kasus terakhir, karya Marx adalah yang paling patut dicontoh. Yang pasti, Marx memberikan kontribusi pada ilmu sosial dengan menyarankan teori hukum instrumentalis dalam memberikan kontribusi dan membenarkan ketimpangan sosial. Tetapi Marx tidak sendirian, para ilmuwan lain dengan komitmen sosiologis yang lebih menonjol telah mempelajari hukum secara lebih intens, meskipun para ilmuwan itu tidak berjalan dengan baik dalam ingatan kolektif kita. Sosiologi hukum Ferdinand Tönnies, misalnya, hampir tidak dikenal hingga saat ini meskipun ia telah menyajikan skema pemikiran yang rumit dan sistematis yang konsisten dengan orientasi sosiologisnya yang lebih luas.
Bab-bab selanjutnya akan beralih ke kontribusi Max Weber dan Emile Durkheim. Di antara tiga karya klasik yang sekarang dianggap sentral bagi sosiologi modern, jelas bahwa Marx tidak memusatkan perhatian pada hukum hingga tingkat kepuasan intelektual apa pun, sedangkan kontribusi sosiologis Weber dan Durkheim tidak hanya berpengaruh tetapi juga mendasar bagi sosiologi hukum. Mengingat diskusi panjang Weber tentang hukum dan penerimaan karyanya yang murah hati, sentralitas Weber dalam pengembangan sosiologi hukum membutuhkan sedikit argumen. Meskipun agak kurang dibahas di kalangan sosiolog hukum kontemporer, karya Durkheim, akan ditunjukkan, sama pentingnya dengan karya Weber, terutama dalam hal orientasi sosiologi hukum di sekitar dimensi kunci mengenai masalah-masalah sosial yang melibatkan dimensi-dimensi faktual dan normatif.
CATATAN KAKI:
[1] Karya de Montesquieu tentang hukum yang amat penting berjudul Spirit of Laws (Montesquieu 1748). Untuk diskusi dari titik-berdiri sosiologi hukum, lihat Ehrlich (1916).
[2] Tentang sejarah pemikiran kriminologi dan relevansi Mazhab Klasik, lihat Pasquino 1991 dan kontribusi-kontribusi dalam Becker dan Wetzell 2006.
[3] Karya Beccaria diterjemahkan dalam judul On Crimes and Punishments (Beccaria 1764). Lihat juga Beirne 1991.
[4] Karya utama Bentham yang berhubungan dengan hukum termasuk di antaranya adalah Introduction to the Principles of Morals (1789). Lihat juga diskusi yang relevan melalui Lyons 1991.
[5] Karya de Tocqueville yang sangat relevan tentang hukum dan kekuasaan adalah dua volume karyanya berjudul Democracy in America (Tocqueville 1835/1840). Lihat Goldberg 2001.
[6] Idea-idea utama Maine tentang hukum ditemukan dalam buku terobosannya, Ancient Law (Maine 1861). Lihat juga Cocks 1988; Hunt 2022.
[7] Karya-karya esensial Marx termasuk The Economic and Philosophical Manuscripts of 1844 (Marx 1844), The German Ideology (Marx 1846), dan Capital(Marx 1867), semuanya tersedia secara daring melalui Marx & Engels Internet Archive: www.marxists.org/archive/marx/index.htm.
[8] Idea-idea teoritis Marx tentang hukum dapat diambil dari beberapa karya utamanya (lihat catatan kaki 7) sebagaimana dalam tulisannya yang lain (Marx 1842, 1869, 1846). Ekstrak dari tulisan-tulisan utama Marx tentang hukum tersedia dalam koleksi yang diedit oleh Cain and Hunt (1979). Pembahasan tentang teori hukum Marx, lihat Cain 1974; Easton 2008; Fine 2002; Hirst 1972; Kelsen 1955; Pashukanis 1924; Phillips 1980; Stone 1985; Young 1979.
[9] Karya utama Spencer dalam sosiologi adalah The Study of Sociology (Spencer 1873) dan tiga jilid The Principles of Sociology (Spencer 1876/1882/1896), jilid kedua berisi bagian tentang “Laws” (hlm. 513–537 ). Lihat juga esai kritis Spencer tentang legislasi (Spencer 1853, 1884).
[10] Publikasi Sumner yang paling penting adalah Folkways (Sumner 1906). Lihat juga, Ball, Simpson, dan Ikeda 1962.
[11] Di antara tulisan-tulisan sosiologi utama Simmel adalah buku-bukunya berjudul Soziologie (1908a) dan Grundfragen der Soziologie (1917). Beberapa kontribusi panjang artikel Simmel muncul dalam bahasa Inggris selama hidupnya di American Journal of Sociology. Volume yang diedit oleh Kurt Wolff (1964) mengumpulkan banyak ide utama Simmel, termasuk kunjungannya yang paling penting tentang hukum dari Soziologie (Simmel 1908b).
[12] Karya pertama Tönnies, Gemeinschaft und Gesellschaft, aslinya diterbitkan pada tahun 1887, memberikan kerangka dasar untuk karya-karya selanjutnya (Tönnies 1887, 1935a, 1935b), termasuk perspektifnya tentang sosiologi dan teori norma dan hukum (Tönnies 1922, 1931). Tentang tinjauan umum pemikiran dan penelitian Tönnies di bidang hukum, hukum pidana, dan kriminologi, lihat Deflem 1999.