Seri Sosiologi Hukum (5): Max Weber dan Rasionalisasi Hukum, Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
Bagian i fundasi teoritis sOSIOLOGI HUKUM
2. MAX WEBER DAN RASIONALISASI HUKUM
Di antara Mazhab Klasik Sosiologis, Max Weber secara luas dianggap sebagai pendiri sosiologi hukum modern yang par excellence. Ketika Weber mengamati bahwa kehidupan sosial di era modern telah semakin dirasionalisasi dalam arti rasionalitas-bertujuan, ia tidak hanya merenungkan peran utama ekonomi, negara, dan birokrasi, tetapi bersamaan dengan itu juga membahas peran hukum sebagai dasar otoritas politik modern. Weber secara khusus menguraikan karakteristik sistem hukum yang dirasionalisasi secara formal yang terutama dipandu oleh penerapan prosedur. Namun karya Weber tidak hanya menawarkan suatu penyampaian terperinci tentang aspek unik hukum modern. Analisis hukumnya merupakan bagian intrinsik dari sosiologinya, baik dalam hal perspektifnya terhadap studi masyarakat dan proposisi teoretisnya tentang kondisi masyarakat modern.
Weber mengembangkan perspektifnya tentang hukum sebagai bagian dari sosiologi yang lebih umum, yang konturnya harus dijelaskan terlebih dahulu untuk sepenuhnya memahami teori hukumnya. Dalam sifat sistematis dan ruang lingkup komprehensif kontribusinya, analisis Weber hanya tersaingi oleh Emile Durkheim, yang sosiologi hukumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari perspektif sosiologis dan teori masyarakat yang lebih mendasar. Oleh karena itu bab ini menempatkan sosiologi hukum Weber dalam konteks pendekatan sosiologis dan teori masyarakatnya, tidak hanya untuk memahami secara utuh kontribusi Weber terhadap studi hukum, tetapi juga bermanfaat untuk membandingkannya dengan bab berikutnya tentang pemikiran Durkheim, sebagai dua kontribusi paling mendasar bagi sosiologi hukum.
SOSIOLOGI INTERPRETATIF
Max Weber merupakan putra dari seorang ayah yang otoriter dan ibu Calvinis yang taat, Max Weber (1864–1920) juga seorang mahasiswa yang pandai membaca, kuliah di Universitas Heidelberg dan, setelah memenuhi wajib militernya, kuliah di Universitas Berlin. Setelah menyelesaikan studinya di bidang hukum, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya, Weber dalam waktu yang singkat menjadi advokat dan kemudian mulai mengajar. Setelah mengajar hukum secara singkat, pada tahun 1894 ia melanjutkan untuk mengajar ekonomi di Universitas Freiburg dan, tiga tahun kemudian, di Universitas Heidelberg. Weber menderita penyakit saraf sehingga secara bertahap mengurangi kegiatan mengajarnya dan, pada tahun 1899, berhenti mengajar sama sekali. Setelah beberapa tahun beristirahat dan bepergian, ia melanjutkan kehidupan, aktif menulis dan terlibat dalam urusan politik dan sosial. Weber kembali mengambil posisi mengajar formal pada tahun 1918, ketika ia menjadi profesor di Wina dan Munich. Pada tahun 1920, ia meninggal pada usia 58 tahun.
Setiap orientasi sosiologis yang memiliki karakter sangat sistematis bersifat komprehensif dalam ruang lingkup yang bertumpu secara kritis pada pemahaman ontologis dasar tentang sifat masyarakat. Sosiologi Max Weber paling mendasar bertumpu pada perspektif masyarakat yang terdiri dari hubungan sosial atau interaksi manusia.[1] Interaksi terjadi antara dua atau lebih aktor dan dipandu oleh motivasi dan niat para aktor yang terlibat. Berbeda dengan perilaku, yang tidak bermakna tetapi ditentukan secara sebab-akibat, tindakan (antar-)manusia pada dasarnya adalah (inter-)subjektif dan mempunyai makna. Mengingat bahwa hubungan sosial melibatkan interaksi timbal-balik antara dua atau lebih individu, makna-makna semua aktor mungkin tidak identik atau terkait secara harmonis satu sama lain, tetapi semua interaksi dipandu oleh berbagai motif. Tugas sosiologi, menurut Weber, memahami perilaku manusia sejauh perilaku itu bermakna. Prosedur yang terkait dengan mengungkap motif tindakan disebut sebagai pemahaman (Verstehen).
Terlepas dari penekanan pada pemahaman tindakan manusia, Weber juga tertarik pada perumusan prinsip-prinsip umum tindakan sosial. Pemahaman subjektif tidak menghalangi penjelasan (eksplanasi), karena Weber berpendapat bahwa dengan mencapai pemahaman tentang tindakan manusia, sosiologi juga dapat menjelaskan jalan dan konsekuensi tindakan itu. Metode pemahaman tidak subjektif karena berkaitan dengan motivasi dan niat dari berbagai aktor yang terlibat. Sementara pemahaman tentang motif dan makna harus bermula dari sikap empati, teknik-teknik sosiologis untuk memahami makna dapat direplikasi dan diverifikasi berdasarkan standar metodologi yang ditetapkan. Teknik-teknik ini termasuk pengamatan langsung tindakan emosional dan pemahaman dengan cara mengidentifikasi hubungan motivasi antara makna dan tindakan. Perspektif sosiologis yang berorientasi pada pengungkapan motif interaksi manusia disebut sebagai sosiologi interpretatif.
Desakan Weber pada sifat objektif sosiologi interpretatif berkaitan dengan doktrinnya yang terkenal tentang kebebasan nilai. Fakta bahwa ada diferensiasi subjek (tindakan) dan objek (perilaku) dan, dengan demikian, distingsi antara ilmu sosial dan alam tidak berarti bahwa ilmu-ilmu sosial, yang berhubungan dengan fenomena inter-subjektif, tidak dapat objektif dalam analisisnya. Ilmu-ilmu sosial tidak dapat berupaya menetapkan cita-cita atau prinsip-prinsip normatif perilaku manusia, tetapi ilmu-ilmu sosial itu dapat, atas dasar diferensiasi sarana dan tujuan tindakan, membuat penilaian ilmiah tentang rasionalitas sarana yang diberikan tujuan tertentu. Oleh karena itu, sosiolog juga dapat menentukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sikap dan tindakan tertentu. Sosiologi, selanjutnya, bisa bebas-nilai (value-free). Tentu saja, karena sosiologi adalah aktivitas manusia yang berhubungan dengan interaksi subjektif, sosiologi menyuguhkan suatu hubungan khusus dengan nilai-nilai (Wertbeziehung). Weber berpendapat, semua kegiatan ilmiah bertumpu pada cita-cita atau sudut pandang tertentu yang tidak dapat dibenarkan secara ilmiah, seperti pemilihan fakta yang relevan dari kenyataan. Suatu identifikasi peristiwa dari aliran peristiwa, serta sebab dan akibatnya, tentu bertumpu pada asumsi tertentu. Namun, sementara identifikasi ini bersifat selektif, identifikasi itu juga harus dapat diverifikasi oleh orang lain dan oleh karena itu dilakukan berdasarkan metode sistematis. Dengan mencontohkan cita-cita kebebasan nilai (Wertfreiheit), Weber melanjutkan secara konsisten bahwa sosiolog tidak dapat membawa nilai-nilai pribadinya sendiri ke penemuan dan penilaian yang telah tercapai dalam pelaksanaan penelitiannya, meskipun pilihan awal mereka dari tema utama penelitian itu mungkin telah dipandu oleh nilai-nilai pribadi.
TIPE-IDEAL DAN AFINITAS-ELEKTIF
Untuk memastikan bahwa sosiologi yang berorientasi pada pencapaian pemahaman tidak akan menjadi mangsa reduksionisme psikologis dan tidak menghasilkan apa-apa selain gangguan dari sejumlah besar temuan tingkat-individu (individual-level), Weber mengembangkan perspektif tipe-ideal (ideal-type). Sosiologi interpretatif berbeda dari interpretasi subjektif belaka dengan mengidentifikasi motif perilaku tertentu dalam kerangka normativitas yang lebih luas. Artinya, agar setiap tindakan manusia dapat ditafsirkan secara sosiologis, tindakan itu harus terbukti memiliki motif yang masuk akal bagi aktor sebagai anggota masyarakat atau sub-bagiannya, dalam distingsi budaya, struktur, norma, dan harapan-harapannya sendiri. Sebagai contoh, masuk akal secara sosiologis bahwa seseorang berdo’a pada saat tragedi pribadi, bukan karena psikologi orang itu, tetapi karena etika yang terkait dengan berdo’a dalam konteks latar belakang agama tertentu. Perbuatan berdo’a dengan demikian secara sosiologis dapat dijelaskan sebagai perilaku keagamaan dan dibedakan, terlebih lagi, dari tindakan manusia lainnya berdasarkan tatanan normatif yang berbeda, seperti ilmu pengetahuan dan hukum.
Tipe-ideal dibangun dengan mengabstraksikan dan menggabungkan sejumlah elemen terbatas dari realitas untuk membuka kekacauan (chaos) peristiwa empiris ke deskripsi dan pemahaman. Tujuan dari tipe-ideal sepenuhnya analitis, dan hanya melalui penerapan, tipe-ideal dapat ditemukan berguna atau tidak. Dalam bentuknya yang paling mendasar, tipe-ideal mengacu pada definisi fenomena yang dapat diamati, seperti hukum, budaya, dan masyarakat. Pada tingkat analisis yang lebih tinggi, tipe-ideal dibangun dari karakteristik khusus fenomena untuk menjelaskan kondisi historis dan kondisi kekinian (contemporary) yang menjelaskan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Sebagai contoh metodologi tipe-ideal, Weber membedakan empat tipe interaksi manusia: (1) tindakan tradisional dilakukan di bawah pengaruh adat atau kebiasaan; (2) tindakan afektif dipandu oleh emosi; (3) tindakan nilai-rasional dipandu oleh keyakinan pada nilai intrinsik dari cara perilaku tertentu terlepas dari konsekuensinya; dan (4) tindakan rasional-bertujuan didasarkan pada kalkulasi sadar tentang sarana menuju tujuan tertentu. Dalam menentukan konstruksi tipe-ideal tindakan manusia, Weber berusaha menunjukkan rasionalitas berbagai tipe perilaku, tidak ada yang berdiri di atas yang lain. Lebih penting lagi bagi perkembangan teori masyarakat Weber, konstruksi tindakan tipe-idealnya juga membentuk landasan pengamatan penting terhadap jalannya masyarakat modern, dengan menunjukkan bahwa masyarakat modern ditandai dengan meningkatnya pengaruh tindakan rasional-bertujuan dan kerugian relatif tindakan tradisional. Weber mengamati bahwa semakin banyak aspek masyarakat modern, baik aspek politik, ekonomi, atau budaya, ditandai oleh ketergantungan yang dominan pada pertimbangan yang dapat dikalkulasi untuk menggunakan cara yang paling efisien untuk tujuan tertentu.
Weber berpendapat bahwa pengaruh progresif pemikiran rasionalitas-bertujuan di seluruh institusi sosial menunjukkan kebutuhan teoretis untuk menerobos model penjelasan materialis dan idealis untuk menunjukkan afinitas elektif (Wahlverwandtschaft) yang ada di antara kondisi masyarakat. Teori stratifikasi sosial Weber, karenanya, tidak hanya membedakan antara klas berdasarkan kepemilikan ekonomi, tetapi antara klas, status, dan partai. Klas didefinisikan oleh Weber dalam hal kepentingan bersama (ekonomi) berdasarkan properti dan pendapatan, sementara kelompok status (secara budaya) ditentukan oleh perkiraan kehormatan dan prestise yang diakui, dan partai-partai bersatu dalam hal kekuasaan (politik) dan dominasi. Tidak seperti Marx, oleh karena itu, Weber tidak menganggap kondisi ekonomi lebih mendasar daripada kekuatan masyarakat lainnya, dia juga tidak setuju dengan teori kebalikan dari idealisme budaya bahwa nilai menentukan kekuatan material masyarakat. Weber sebaliknya berpendapat, berbagai proses dan kondisi masyarakat dapat berbagi karakteristik dan perkembangan yang sama dan saling memengaruhi dan memperkuat satu sama lain. Teori Weber dengan demikian dapat digambarkan sebagai multidimensi. Penjelasan terperinci (exposition) teori masyarakat Weber akan lebih menjelaskan makna dan nilai tentang perspektif Weber.
RASIONALISASI MASYARAKAT: EKONOMI, POLITIK, DAN BIROKRASI
Weber berpendapat bahwa masyarakat modern pada dasarnya ditandai oleh rasionalisasi-bertujuan (purposive rationalization) tingkat tinggi. Jenis rasionalisasi-bertujuan juga disebut sebagai rasionalisasi formal karena modus atau bentuk perilaku pada tingkat sarana lebih penting daripada substansi atau tujuan tindakan. Dengan kata lain, tidak penting apa yang dilakukan daripada bagaimana hal itu dilakukan. Pada semakin banyak bidang kehidupan sosial, kalkulasi yang efisien dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Teori Weber diterapkan untuk banyak institusi masyarakat yang penting, termasuk ilmu pengetahuan, politik, budaya, dan hukum, tetapi juga berguna untuk memperluas idenya dengan mengacu pada kapitalisme pasar bebas, yang dikembangkan Weber dalam studinya yang terkenal tentang Etika Protestan (Weber 1920). Menurut Weber, ada afinitas elektif antara etika Calvinisme dan cara perilaku kapitalis untuk menggunakan cara yang paling efisien untuk mengumpulkan kekayaan. Dalam kepercayaan Calvinis, hanya sejumlah terbatas orang yang dipilih atau ditakdirkan untuk menerima rahmat ilahiah. Untuk memastikan diri sendiri dan orang lain termasuk di antara yang terpilih, seseorang harus mengerahkan diri untuk memperoleh kekayaan sebanyak mungkin sekaligus menghindari kesenangan. Atas dasar doktrin Calvinis, bekerja di dunia material menjadi sikap etis positif setinggi mungkin. Begitu kapitalisme secara historis didirikan, menurut Weber, inti agamanya tidak lagi relevan dan perilaku hidup rasional ekonomi menjadi kekuatan yang mandiri. Gagasan Calvinis tentang panggilan tersebut merupakan dukungan bagi kapitalisme yang pada akhirnya tidak lagi dibutuhkan. Setelah menunjukkan pengaruh agama pada kapitalisme, Weber berpendapat bahwa penjelasan yang lebih lengkap tentang arah dan hasil kapitalisme juga harus “menyelidiki bagaimana Asketisme Protestan pada gilirannya dipengaruhi dalam perkembangannya dan karakternya oleh totalitas kondisi sosial, terutama ekonomi” (Weber 1920:183).
Dalam konteks masyarakat modern di Barat, Weber menerapkan model rasionalisasi ke banyak dimensi masyarakat lainnya. Pembahasan Weber tentang rasionalisasi politik patut mendapat perhatian khusus dalam buku ini karena merupakan jembatan ke dalam sosiologi hukumnya. Pada tingkat yang paling umum, tipe-ideal Weber biasanya membedakan tiga jenis kekuasaan politik berdasarkan jenis legitimasi yang dinikmatinya: (1) otoritas tradisional didasarkan pada kepercayaan pada sumber kekuasaan tradisional; (2) otoritas karismatik didasarkan pada keyakinan akan kualitas luar biasa seorang pemimpin politik; dan (3) dominasi rasional-hukum didasarkan pada sistem hukum dan merupakan bentuk khas legitimasi dalam konteks negara modern. Weber mendefinisikan negara sebagai komunitas politik yang, dalam wilayah tertentu, berhasil mengklaim monopoli atas penggunaan legitimasi paksaan fisik. Definisi Weber dengan demikian merupakan salah satu definisi instrumental, mendefinisikan negara tidak dalam hal tujuan apa pun, tetapi semata-mata dengan mengacu pada sarananya. Selain monopoli penggunaan kekuatan fisik yang legitim (atau absah) sebagai alat dominasi, negara juga menjalankan otoritas politik dalam wilayah tertentu melalui organisasi perlindungan bersenjata terhadap serangan luar (oleh militer), perlindungan hak pribadi (administrasi peradilan; administration of justice), penanaman kepentingan budaya (dalam pemerintahan), penegakan hukum (melalui legislasi), dan perlindungan keselamatan pribadi dan ketertiban umum (polisi).
Menampilkan kembali relevansi rasionalisasi-bertujuan, Weber berpendapat bahwa administrasi berbagai fungsi negara diserahkan kepada institusi atau birokrasi khusus yang sengaja dirancang untuk pelaksanaan kebijakan negara yang relevan. Birokrasi bagi Weber adalah salah satu karakteristik paling penting dari masyarakat modern yang dirasionalisasi karena birokrasi menunjukkan sejauhmana dunia dapat dikalkulasi dalam hal pertimbangan efisiensi dan sejauhmana misteri dunia yang diwujudkan dalam kehidupan etis tradisionalistik telah menjadi demistifikasi demi kalkulasi rasional. Birokrasi melakukan tugas-tugas administratif untuk mengamankan fungsi negara yang efisien (dan ekonomi pasar, yang juga dikelola secara birokratis). Logika rasionalitas-bertujuan dari bentuk organisasi birokrasi dapat dilihat dari ciri-ciri utamanya: (1) birokrasi tunduk pada prinsip wilayah yurisdiksi yang tetap; (2) birokrasi diatur secara tegas dalam hierarki posisi; (3) kerja birokrasi didasarkan pada dokumen atau berkas (file) tertulis; (4) kantor eksekutif terpisah dari rumah tangga; (5) posisi birokrasi membutuhkan pelatihan khusus; (6) kegiatan birokrasi adalah pekerjaan penuh waktu; dan (7) pengelolaan perkantoran berpedoman pada kaidah-kaidah umum yang dapat dipelajari. Hanya dalam konteks masyarakat kapitalis modern, Weber berpendapat, birokrasi mengambil bentuk khusus ini karena, di bawah pengaruh pembagian kerja dalam masyarakat, mereka ditandai oleh spesialisasi tingkat tinggi dan konsentrasi yang menyertainya pada pertimbangan efisiensi.
Dalam pengembangan lebih lanjut dari bentuk birokrasi, Weber mengamati bahwa birokrasi biasanya stabil dan beroperasi secara eksklusif atas dasar “impersonalitas formalistik” dan disiplin metodis pelaksanaan perintah yang diterima yang dirasionalkan secara konsisten (Weber 1922a: 128). Dalam situasi birokratisasi yang semakin meningkat, para ahli birokrasi dapat mengontrol tidak hanya pelaksanaan tetapi juga arah agenda politik. Kemudian, Weber berpendapat, master politik mungkin menemukan dirinya dalam posisi “seorang ahli yang menentang profesional” (Weber 1922a: 572).
RASIONALITAS HUKUM MODERN
Teori Weber tentang negara terkait erat dengan sosiologi hukumnya, lebih jelas karena dominasi dalam negara modern yang dilegitimasi oleh legalitas. Politik dan hukum lebih terhubung satu sama lain karena legalitas tentang dominasi rasional menemukan ekspresi paling murni dalam birokrasi, yang diatur oleh prosedur formal dan sistem hukum. Namun, sosiologi hukum Weber juga berdiri sendiri dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya, baik karena karakter sistematisnya maupun karena pengaruhnya terhadap perkembangan lanjut sosiologi modern. Ketertarikan khusus Weber di bidang hukum tidak mengherankan mengingat ia pernah menjadi mahasiswa ilmu sosial hukum (legal science), menulis disertasi doktoralnya dan Habilitationsschrift —disertasi kedua yang ditulis untuk menerima posisi pengajar universitas— tentang aspek hukum abad pertengahan dan Romawi, dan pernah bekerja dalam waktu singkat sebagai advokat. Perlu selektif dalam mengingat berbagai tulisan Weber tentang hukum, sehingga tinjauan ini akan menyoroti kontur dasar sosiologi hukum Weber, terutama dalam perspektif penerimaan atas karya-karyanya dalam sosiologi kontemporer.[2]
Seperti halnya ilmuwan Jerman klasik lainnya, semisal Simmel dan Tönnies, perspektif Weber tentang hukum bertumpu pada tipologi konseptual dasar. Weber membedakan hukum dari adat dan konvensi. Adat diartikan sebagai kebiasaan yang sahih (valid) karena kemudahan praktis. Kesahihan (validitas) konvensi diperoleh melalui jaminan eksternal, tetapi jaminan ini hanya bersifat informal melalui ketidaksetujuan publik. Kesahihan (atau validitas) hukum, akhirnya, dijamin secara eksternal melalui staf yang khusus (specialized staff) yang secara tegas bertanggung jawab untuk mematuhi aturan hukum dan penegakan atas pelanggaran. “Suatu perintah akan disebut hukum,” tulis Weber, “bila perintah itu secara eksternal dijamin oleh kemungkinan bahwa paksaan (fisik atau psikologis), memunculkan konformitas atau pelanggaran balas dendam, akan diterapkan oleh staf dari orang-orang yang menganggap diri mereka siap secara khusus untuk tujuan itu” (Weber 1922c:5). Dengan demikian, definisi hukum Weber jelas bersifat sosiologis dalam menentukan kondisi hukum yang sebenarnya dalam masyarakat, tanpa secara normatif terlibat dalam perdebatan yuridis tentang kesahihan intrinsik hukum. Satu-satunya kesahihan hukum yang diminati sosiolog, menurut Weber, adalah yang berasal dari pertimbangan subjektif anggota komunitas. Namun, keyakinan akan kesahihan aturan hukum tidak perlu dimiliki bersama di antara semua atau bahkan banyak anggota masyarakat. Sebaliknya, agar ada hukum, harus ada jaminan eksternal paksaan hukum melalui aparat khusus penegak hukum.
Untuk menjelaskan bentuk rasionalisasi hukum dalam masyarakat modern, Weber membedakan berbagai jenis rasionalisasi yang dapat mempengaruhi hukum. Secara khusus, ia membedakan rasionalisasi substantif dan formal. Secara umum, rasionalisasi substantif didasarkan pada nilai-nilai dan konsepsi keadilan tertentu, sedangkan rasionalisasi formal bertumpu pada aturan dan prosedur umum. Di bidang politik, misalnya, rasionalisasi substantif membedakan otokrasi dari demokrasi dengan didasarkan pada kehendak ilahiah seorang penguasa daripada kehendak rakyat. Pada tingkat rasionalisasi formal, otokrasi dan demokrasi dibedakan berdasarkan kharisma dan legalitas masing-masing.
Weber menetapkan tipe-ideal rasionalitas formal dan rasionalitas substantif dalam pembuatan hukum (melalui legislasi) dan penemuan hukum (melalui ajudikasi) sebagai dua aspek utama hukum. Dari sudut pandang substantif, Weber berpendapat, pembuatan hukum dan penemuan hukum itu adalah rasional ketika keduanya mencerminkan norma-norma umum yang ada di luar kontur prinsip-prinsip hukum dan generalisasi logis hukum itu sendiri, seperti imperatif etis, keyakinan ideologis dan agama, dan maksim politik (hukum alam). Hukum secara substantif tidak rasional ketika keputusan hukum (legal decisions) dipengaruhi oleh faktor-faktor konkrit suatu kasus atas dasar pertimbangan etis, emosional, atau politik daripada oleh aturan-aturan umum (hukum adat). Sebagai contoh, Weber menyebutkan kasus hukum Cina tradisional, yang mana pejabat hukum dapat memutuskan secara bebas dari kasus ke kasus, hanya terikat oleh kepercayaan umum pada tradisi sakral. Demikian juga, Weber menganggap apa yang disebut “keadilan qadhi” (dinamai menurut sebutan hakim di pengadilan Muslim) sebagai contoh hukum irasional yang substantif karena ilmu hukumnya (jurisprudence) tidak memiliki pertimbangan aturan umum dan secara eksklusif didasarkan pada hukum yang unik, legal sebagaimana ekstra-legal, di berbagai keadaan pada setiap kasus individu. Sehubungan dengan rasionalitas formal, Weber berpendapat bahwa hukum tidak rasional ketika keputusan hukum didasarkan pada sarana yang tidak dapat dikontrol secara intelektual, seperti dalam kasus ramalan (oracles) dan siksaan (ordeals). Ramalan-ramalan (oracles) melibatkan pernyataan-terbuka hukum yang dinilai ilahiah atau sakral karena otoritas sumbernya, biasanya bersumber dari seorang pandita-tinggi (high priest). Dalam persidangan dengan siksaan (ordeals), terdakwa dikenai tugas yang menyakitkan, penyelesaiannya akan menentukan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Karena dalam kasus seperti itu tidak ada standar umum pengambilan-keputusan hukum, maka hukum irasional secara formal tidak dapat diprediksi (hukum karismatik). Sebaliknya, hukum merupakan rasional secara formal ketika semata-mata didasarkan pada karakteristik umum yang berkaitan dengan fakta-fakta kasus (hukum positif).
Menurut Weber, rasionalisasi hukum modern dalam masyarakat Barat mengambil bentuk spesifik rasionalisasi formal. Hukum yang dirasionalisasi adalah formal dan abstrak, yang menunjukkan kefrustasian dunia modern. Pada tingkat yang paling umum, kuantitas hukum meningkat ketika masyarakat tumbuh dan menjadi lebih kompleks, karena ada kebutuhan yang meningkat untuk memiliki aturan hukum tertentu dalam masyarakat yang lebih anonim dan beragam. Berbagai anggota masyarakat skala-besar tidak segera mengetahui apa yang diakui-hukum (lawful) dan tidak, sehingga hukum harus meningkat dalam hal aturan yang dianutnya dan tingkat penjelasan aturan tersebut.
Seiring dengan peningkatan kuantitas hukum, terdapat pula peningkatan kualitas hukum yang formal. Rasionalisasi formal hukum menyiratkan bahwa hukum dikodifikasi, tidak memihak (impartial), dan bersifat umum (impersonal). Kodifikasi hukum mengacu pada fakta bahwa hukum itu tertulis. Ketidakberpihakan hukum modern terungkap dalam aspirasinya untuk diterapkan secara setara dan adil kepada semua orang. Hukum modern bersifat umum (impersonal) yang diterapkan terlepas dari karakteristik pribadi dari mereka yang terlibat. Hanya karakteristik umum yang tidak ambigu dari fakta-fakta kasus yang diperhitungkan.
Dengan mencontohkan rasionalisasi formal hukum, Weber membahas pergerakan historis dari kontrak-berbasis-status ke kontrak-berbasis-tujuan (purposive contracts). Kontrak-berbasis-status memungkinkan perubahan posisi dari pihak-pihak yang terlibat, misalnya berubah menjadi kerabat seseorang atau memperoleh budak, biasanya dengan menggunakan kekuatan magis atau ilahiah. Kontrak-berbasis-bertujuan (purposive contracts) tidak memengaruhi status para pihak yang terlibat tetapi hanya bertujuan untuk mencapai beberapa hasil atau kinerja tertentu, seperti perolehan barang dengan imbalan uang. Rasionalisasi formal dalam kasus kontrak-berbasis-tujuan (purposive contracts), Weber berpendapat, meningkatkan kebebasan karena memungkinkan orang membuat kalkluasi untuk memprediksi konsekuensi hukum dari perilakunya. Akan tetapi, kebebasan yang diberikan oleh hukum rasional formal (formal rational law) itu sendiri juga tetap merupakan masalah formal, karena ketimpangan yang ada, misalnya dalam posisi ekonomi atau hak politik, tidak diperhitungkan. Kebebasan formal yang dijamin secara legal untuk semua dengan demikian menghambat kemungkinan aktual untuk memenuhi nilai-nilai dan kebutuhan banyak orang.
Weber mengamati bahwa hukum rasional secara formal adalah tipikal masyarakat kapitalis, tetapi ia berpendapat bahwa hubungan antara hukum modern dan kapitalisme adalah kompleks. Secara formal hukum rasional dan kapitalisme cenderung berjalan beriringan, namun hubungannya tidak satu arah. Dengan mencontohkan perspektifnya tentang afinitas elektif, Weber menunjukkan bahwa rasionalisasi formal hukum muncul di bawah pengaruh campuran kondisi ekonomi, budaya, politik, dan hukum. Secara ekonomi, penyebaran kapitalisme berkontribusi pada perkembangan rasionalisasi formal hukum. Misalnya, meningkatnya pemusatan hukum kontrak perdata (private contract law) merupakan fungsi dari pematangan kapitalisme. Pada saat yang sama, Weber berpendapat, hukum modern telah berkembang sedemikian rupa sehingga memengaruhi perilaku ekonomi. Sistem ajudikasi yang ketat, misalnya, menguntungkan perkembangan pasar ekonomi. Namun, kapitalisme modern juga dapat berkembang dalam sistem hukum yang kurang dirasionalisasi secara formal. Pada tataran kultural, sekularisasi hukum menyebabkan tersingkirnya irasionalitas substantif serta kharisma dan misteri agama dari hukum, sedangkan secara politis, perluasan birokrasi pemerintahan, karena kepentingannya pada kejelasan dan ketertiban, juga menguntungkan rasionalisasi hukum secara formal. Yang paling penting, Weber berpendapat, rasionalisasi formal hukum dipercepat karena orang awam profesional mulai memainkan peran yang semakin penting di pengadilan. Weber berpendapat terhadap pemusatan profesionalisasi dalam perkembangan ini karena ia menganggap pelatihan advokat profesional sebagai faktor yang paling penting menuju rasionalisasi formal hukum. Rasionalisasi formal terutama didorong oleh perkembangan pendidikan hukum dalam gaya (fashion) akademik hukum Eropa-kontinental, yang mana hukum diperlakukan sebagai ilmu pengetahuan untuk membangun dan mempelajari sistem norma-norma abstrak yang logis dan rasional. Penggerak utama hukum, terutama dalam hal arah formalisasi hukum yang lebih besar, dengan demikian adalah legal (intrayuristik; intrajuristic).
Pergeseran menuju rasionalisasi hukum formal tidak stabil dari waktu ke waktu atau merata di seluruh masyarakat modern. Dari sudut pandang komparatif, Weber mencatat bahwa rasionalisasi formal hukum lebih lengkap dicapai dalam sistem Eropa, yang sebagian besar didasarkan pada hukum yang terkodifikasi. Sebaliknya, sistem hukum Anglo-Amerika lebih mengandalkan keputusan pengadilan dan preseden, yang mana hakim masih mempertahankan unsur kharisma (lihat Bab 9). Secara historis, Weber mengamati, formalisme hukum telah ditantang oleh kebangkitan sesekali hukum sosial (social law), berdasarkan postulat etis yang diwarnai secara emosional seperti keadilan dan martabat manusia. Dengan demikian ada ketegangan antara rasionalisasi formal dan substantif. Mesin rasional hukum modern secara teknis meningkatkan irasionalitas substantif hukum modern karena keadilan formal melanggar cita-cita keadilan substantif. Namun, kebangkitan nilai-irasionalisme (value-irrationalism) seperti itu sama-sama ditentang, Weber mengamati, dengan upaya untuk membangun kembali standar hukum yang objektif dan memahami hukum sebagai alat teknis.
WARISAN (LEGACY) MAX WEBER
Relevansi dan pengaruh karya Weber dalam sosiologi modern tidak dapat dipisahkan dan diukur, karena tidak ada sosiologi modern yang setidaknya tidak menempatkan dirinya dalam kaitannya dengan teori-teorinya Weber dan, hampir sama seringnya, dipengaruhi oleh banyak ide kunci dalam karyanya. Dalam sosiologi hukum, lebih khusus lagi, tulisan-tulisannya Weber juga merupakan realitas yang ada di mana-mana, sebagai landasan teoretis, model analisis yang patut diteladani, atau, paling tidak, sumber kritik.[3] Di antara komponen pemikiran Weber yang memiliki dampak abadi dapat dimasukkan: gagasan afinitas elektif dan tipe-ideal dan konseptualisasi terkait otoritas, ekonomi, budaya, dan hukum; pemisahan pandangan sosiologis dan yuridis dalam studi hukum dan sikap terkait (dan ketidaksepakatan atas) kebebasan nilai dalam penyelidikan sosiologis; serta perhatian terhadap bentuk dan konsekuensi rasionalisasi modern. Pandangan yang lebih tajam tentang sifat dan ruang lingkup warisan karya Weber dalam sosiologi hukum dapat diperoleh dari pandangan-sekilas terhadap literatur sekunder yang secara eksplisit membahas kelebihan dan kekurangan pendekatan Weber terhadap hukum baik secara teoritis maupun empiris.
Dari sudut pandang penelitian empiris, tesis Weber tentang rasionalisasi formal hukum modern di Barat dan konsepsi hubungan antara (ir-)rasionalitas formal dan substantif telah mendapat banyak perhatian. Pertanyaan-pertanyaan yang saling terkait ini menyerang inti kesahihan empiris pencarian Weberian untuk mengungkap dan menjelaskan apa yang unik tentang rasionalisasi dan modernitas Barat. Teori-teori Weber dalam hal ini mengandung sekaligus komponen komparatif dan historis, yang menempatkan hukum Barat secara relatif terhadap sistem hukum lain dan menelusuri perkembangan sejarah menuju sistem hukum modern. Sehubungan dengan dimensi komparatif dalam sosiologi hukum Weber, perhatian telah dicurahkan pada interpretasi Weber tentang sistem hukum non-Barat. Robert Marsh (2000), misalnya, secara kritis menerima kategorisasi Weber tentang sistem hukum tradisional Tiongkok dari Dinasti Ch’ing, yang berlaku dari tahun 1644 hingga 1912, sebagai sistem yang secara substantif irasional yang melibatkan keputusan hukum yang bervariasi secara bebas dari kasus ke kasus. Marsh berargumen bahwa kekuasaan pengambilan-keputusan dari pejabat hukum Tiongkok sebenarnya jauh lebih terbatas, bukan karena pengaruh agama tradisional, tetapi karena kewajiban legal untuk mematuhi hukum tertulis, khususnya terhadap aturan yang berada di bawah statuta (sub-statutes) yang diilhami secara sekuler yang telah diumumkan sebagai tambahan dari statuta dasar hukum Tiongkok yang disakralkan.
Keputusan yudisial, seperti dalam hal penetapan hukuman, juga harus disertai dengan kutipan (sub-)statuta yang relevan dari kitab aturan hukum (code) Ch’ing. Kitab aturan hukum ini, selanjutnya, didasarkan pada sistem ideologi ekstra-legal, khususnya nilai-nilai Konfusianisme tentang solidaritas sosial dan hierarki dan konsepsi legalis untuk mematuhi aturan. Marsh menyimpulkan bahwa sistem hukum Dinasti Ch’ing harus dikategorikan sebagai tipe rasional substantif hukum, yang dipandu oleh sistem ideologis daripada dipandu oleh hukum itu sendiri.
Paralel dengan pengamatan tentang interpretasi yang tepat dari hukum Tiongkok adalah diskusi tentang analisis Weber perihal hukum Muslim atau keadilan qadhi (baca: hakim). Telah dikemukakan bahwa keadilan qadhi harus ditafsirkan secara rasional substantif karena didasarkan pada prinsip-prinsip agama Islam yang mencakup segala-sesuatu (Marsh 2000). Namun, juga dikatakan bahwa al-Qur’an tidak berfungsi sepenuhnya sebagai dasar hukum qadhi (baca: hakim), tetapi para ahli hukum menggunakan penilaian dan spekulasi independennya sendiri untuk menafsirkan ajaran etis Islam dan kata-kata serta perbuatan Rasul (Turner, 1974). Sistem hukum qadhi tidak stabil dan cair karena konteks patrimonial yang mana hukum itu dijalankan. Dalam administrasi peradilan, hukum Islam lebih mengistimewakan klas dari populasi tertentu daripada yang lain, terutama mereka yang terlibat dalam perdagangan, tepatnya dengan menganggap semua orang, kecuali budak, sebagai subjek hukum yang setara. Pada saat yang sama, hukum Islam terikat oleh tradisi agama. Oleh karena itu Patricia Crone (1999) menyarankan, elemen teoritis kunci mungkin bukan rasionalisasi tetapi diferensiasi tujuan masyarakat dan institusi terkait, termasuk pemisahan tatanan politik (negara), dunia keagamaan (gereja), tatanan produksi dan konsumsi (ekonomi), dan organisasi ilmu pengetahuan (science). Di Eropa, sistem hukum berkembang seiring dengan kemajuan negara dan mengambil alih fungsi legislatif. Dengan mengambil negara sebagai motor utama dari bentuk khas perkembangan hukum di Eropa, hukum Islam sebaliknya ditarik dari kendali negara dan alih-alih mewujudkan nilai-nilai keagamaan Islam.
Sehubungan dengan tren historis menuju rasionalisasi hukum formal, diskusi tentang kesahihan dan nilai-nilai pada karya Weber secara khusus berkaitan dengan proses rasionalisasi di bidang hukum pidana. Joachim Savelsberg (1992), misalnya, telah menunjukkan bahwa tren historis dalam reformasi hukum pidana modern selama abad ke-20, terutama di Amerika Serikat, melibatkan proses pembuktian yang menyiratkan komitmen terhadap nilai-nilai yang terkait dengan reformasi sosial, terapi, dan rehabilitasi. Prinsip-prinsip non-legal yang terkait dengan keadilan membawa tren ke arah hukum sosial di bidang peradilan pidana. Baru-baru ini, bagaimanapun, proses pembuktian ini telah bertemu dengan oposisi, terutama karena perbedaan yang diamati dalam hasil hukuman dan kurangnya proses hukum, dan upaya telah dilakukan untuk memperkenalkan kembali prinsip-prinsip hukum formal-rasional dalam bentuk pedoman hukuman (lihat Bab 11). Sementara Weber menyadari bahwa seruan terhadap hukum sosial telah menentang rasionalitas formal dalam hukum, ia juga berasumsi bahwa seruan terhadap hukum sebagai teknik pada akhirnya akan menang. Savelsberg menunjukkan bahwa yang terakhir tidak selalu memungkinkan karena kondisi sosio-struktural yang telah membawa pembuktian hukum itu terus menerus eksis dan menghalangi kembalinya ke periode rasionalisasi formal (the days formal rationalization).
Ilmuwan lain bahkan telah melangkah lebih jauh untuk memodifikasi pandangan Weber dan menyarankan bahwa wilayah hukum pidana pada dasarnya ditandai oleh irasionalisasi (Anspach dan Monsen 1989; Stangl 1992). Sistem hukum pidana modern telah teramati, seperti di Jerman dan AS, memungkinkan sejumlah besar kebijakan atau, dalam istilah Weber, pengambilan-keputusan bebas dari kasus ke kasus. Meskipun jaksa dan hakim beroperasi dalam lingkungan hukum, mereka memiliki keleluasaan yang cukup besar untuk memilih tuntutan pidana mana yang akan diajukan terhadap seseorang dan memilih di antara hukuman yang tersedia. Perbedaan tersebut disebabkan oleh prinsip-prinsip dasar yang saling bertentangan yang menandai sistem hukum pidana modern, seperti penekanan klasik pada pencegahan, di satu sisi, dan gagasan intervensionis rehabilitasi, di sisi lain.
Masalah yang kurang lebih sama terkait dengan dasar empiris teori Weber adalah argumen Ronen Shamir (1993a) bahwa konsepsi Weber tentang evolusi menuju rasionalitas formal terlalu terbatas karena ketergantungannya pada kasus hukum Jerman (pada awal kemunculannya pada abad ke-20). Shamir mengkualifikasi teori Weber tentang dasar rasionalisasi formal dalam hukum tertulis-produk-legislasi (statutory law) untuk menunjukkan bahwa preseden dan keputusan hukum dalam kasus Amerika Serikat dipahami sebagai dasar untuk rasionalisasi yang bertentangan dengan hukum yang dikodifikasi, yang dipandang sebagai perwujudan hukum rasional-substantif. Pada awal 1800-an, misalnya, hakim dan advokat Amerika menentang upaya untuk secara kaku mengkodifikasi sistem hukum karena dianggap melemahkan kapasitas otonomi hukum untuk secara metodis memutuskan bentuk hukum yang sesuai. Pergeseran terjadi selama era New Deal tahun 1930-an ketika reformasi sosial memandu upaya legislasi baru di tingkat federal, berada dalam proses yang akan mengarah pada aspek pembuktian hukum pidana dan, sekali lagi kemudian, memperbaharui rasionalisasi formal. Apa yang disarankan dalam pola ini adalah nilai tentang perspektif siklus dari rasionalisasi formal dan rasionalisasi substantif.
Terkait dengan beberapa tema empiris yang dibahas, sosiolog hukum juga secara teoritis terlibat dengan beberapa ide kunci dalam karya Weber. Ekskursi (baca: tamasya) teoritis ini berisi interpretasi dan komentar tentang nilai-nilai karya Weber terhadap studi sosiologi hukum dan dengan demikian mengantisipasi beberapa garis kesalahan teoretis yang muncul dalam perkembangan sosiologi hukum sejak klasik (lihat Bagian II). Di antara tema yang paling banyak dibahas adalah konsepsi Weberian tentang hubungan antara hukum yang dirasionalisasi secara formal dan perkembangan kapitalisme. Secara umum, Weber menentang interpretasi hukum Marxis (sebagai instrumen kapitalisme), tetapi alih-alih membela teori anti-Marxian idealis yang lugas itu, Weber menyarankan langkah yang sejalan dengan pendekatan multidimensi afinitas elektifnya, bahwa rasionalisasi formal hukum, karena ketergantungannya pada kalkulasi, merupakan faktor yang berkontribusi pada kebangkitan kapitalisme. Lebih rumit lagi, Weber harus mengakui berdasarkan bukti sejarah bahwa hubungan antara hukum yang dirasionalisasi secara formal dan kapitalisme itu tidak selalu ada. Secara khusus, dalam kasus perkembangan hukum dan ekonomi Inggris, Weber mengamati bahwa perkembangan kapitalis telah berlangsung tanpa suatu tingkatan tertinggi dari rasionalisasi formal hukum.
Beberapa literatur teoretis menyediakan cara yang berbeda dalam menjawab apa yang disebut “masalah Inggris” ini dalam karya Weber. David Trubek (1972) telah menunjukkan bahwa Weber sendiri tidak konsisten dalam membuat tiga argumen yang saling bertentangan: pertama, bahwa hukum Inggris, meskipun tidak memiliki rasionalitas formal, tetap mendorong perkembangan kapitalisme; kedua, hukum Inggris ditandai dengan tingkat prediktabilitas meskipun sifatnya bukan-statuta; dan, ketiga, bahwa kasus Inggris merupakan pengecualian dari aturan tersebut. Kronman (1983) juga menyarankan, kontradiksi dalam pemikiran Weber menyiratkan argumen perkembangan kapitalisme di Inggris, meskipun dan disebabkan oleh sifat hukum Inggris.
Ilmuwan lain telah berusaha menganalisis kasus Inggris dalam istilah yang lebih tepat untuk memungkinkan pemahaman yang lebih baik daripada penolakan teori Weber. Sally Ewing (1987), misalnya, berpendapat bahwa Weber tidak pernah menarik hubungan antara rasionalisasi ekonomi dan konsepsi formal-rasional tentang pemikiran hukum (tentang apa hukum itu), tetapi dengan mode formal-rasional tentang administrasi peradilan (tentang bagaimana hukum diterapkan). Dengan demikian, rasionalitas formal dapat diterapkan pada sistem aturan yang logis dan tanpa celah yang menjadi ciri negara-negara civil law (seperti Jerman) dan diterapkan pada jaminan hak-hak yang diamankan dan ditegakkan secara legal yang menandai negara-negara common law (seperti Inggris). Assaf Likhovski (1999) membela argumen serupa bahwa tidak ada masalah pada keberadaan hukum Inggris karena pengaruh Protestan pada hukum Inggris selama abad ke-17 mencakup tuntutan rasionalisasi hukum dan peningkatan ukuran prediktabilitas dalam hukum. Crone (1999) menafsirkan hubungan antara kapitalisme dan hukum lagi secara berbeda untuk menunjukkan bahwa hukum Inggris mengunggulkan kaum borjuis dan dengan demikian bersifat formalistik untuk orang kaya, tetapi secara substantif irasional bagi orang miskin, sehingga mendorong perkembangan kapitalisme meskipun secara formal tidak rasional.
Dalam karya Weber, sebagian besar perkembangan hukum diargumentasikan, disebabkan oleh kondisi-kondisi intra-legal, sedangkan pengaruh dari dan pada kondisi lain, terutama kondisi ekonomi dan politik, biasanya dipertahankan sebagai variabel tidak langsung atau empiris. Dengan demikian, pendekatan Weber mencontohkan “agnostisisme kausal” (Kronman 1983: 119) dalam hal “jaringan kompleks faktor-faktor penyebab” (Feldman 1991:222), “konvergensi faktor-faktor” (Walton 1976:7), atau hubungan timbal-balik yang konstan” (Merek 1982:96) yang ada di antara kekuatan ekonomi, politik, budaya, dan hukum (lihat juga Treiber 1985). Orientasi sebab-akibat yang tidak ditentukan dalam pemikiran Weber mencontohkan gagasannya tentang multidimensi (afinitas elektif), namun juga membiarkan karyanya terbuka terhadap tuduhan keraguan teoretis dan ambiguitas konseptual (Sterling dan Moore 1987). Bagaimanapun, perspektif Weber menegaskan ketegangan antara rasionalitas formal dan substantif dalam hukum dan, terkait dengan, hubungan yang berpotensi saling bertentangan antara rasionalitas hukum dan ekonomi, yang dapat meningkat seiring dengan kemajuan kapitalisme (Turkel 1981), yang memerlukan penyelidikan sosiologis untuk mengungkap secara tepat dimensi-dimensi penting dari hubungan kompleks antara hukum dan ekonomi (lihat Bab 7).
Diskusi tentang masalah Inggris dalam karya Weber lebih dari sekadar signifikansi historis, karena masalah itu berhubungan dengan pertimbangan teoretis yang penting mengenai kekuatan penjelas dan keterkaitan antara ekonomi, politik, hukum, dan komponen-komponen masyarakat lainnya yang terdiferensiasi. Perspektif Weber tentang multidimensi telah ditafsirkan secara bervariasi dalam perkembangan teori sosiologis. Meskipun para ilmuwan seperti Kronman (1983) berpendapat bahwa ada kesatuan tematik yang mendasari karya Weber karena kepadatannya dan tampaknya kurang homogen (Andrini 2004), sifat tulisan Weber tentang hukum yang terputus-putus (yang berasal dari koleksi anumerta) sebagaimana tulisan-tulisan itu tidak selalu dirumuskan secara tajam antara karya-karyanya tentang sosiologi hukum dan karya-karyanya yang lain, terutama sosiologi politik (Spencer 1970), tidak memperoleh manfaat dari interpretasi yang tidak ambigu. Mengantisipasi beberapa signifikansi perkembangan ini terhadap sosiologi hukum (Bab 6), karya Weber tentang hubungan sebab-akibat dalam masalah hukum dan masyarakat telah diterima dengan sangat berbeda, mulai dari apropriasi konflik-teoretis pemikiran Weber sebagai pelengkap karya Marx (Albrow 1975; Zeitlin 1985), kritik-kritik terhadap Marxis (Walton 1976) dan interpretasi anti-Marxis yang menekankan nilai konsepsi Weber tentang otonomi relatif hukum (Turner 1974).
Berkaitan erat dengan penerimaan ide-ide Weber tentang kausalitas adalah diskusi tentang seruan kebebasan-nilai dalam karyanya. Perspektif sosiologi yang diadvokasi oleh Weber berorientasi pada kenetralan (uncommitted), sedangkan ilmu hukum (jurisprudence) secara definisi dipandu oleh dogma hukum yang terkait dengan masalah praktis profesional hukum (Kronman 1983). Sosiolog tidak dipandu oleh nilai-nilai, melampaui nilai-nilai intrinsik pada penyelidikan akademis, tetapi pada saat yang sama mengambil nilai-nilai itu secara serius sejauh relevan dengan tindakan sosial dan institusi sosial. Telah dikemukakan bahwa ketegangan dalam perspektif ini menghasilkan kesulitan metodologis (Andreski 1981; Trubek 1986). Secara khusus, sementara Weber secara eksplisit menganjurkan perspektif pemahaman interpretatif, banyak karyanya melibatkan hal lain, terutama sejarah dan hal yang bersifat komparatif. Beberapa ilmuwan, lagi pula, telah menunjukkan bahwa sebenarnya ada prinsip-prinsip filosofis yang kuat hadir dalam karya Weber (Beirne 1979; Brand 1982; Cain 1980; Campbell 1986; Vandenberghe 2005). Weber mengakui implikasi ambivalen dari rasionalisasi hukum modern, yang mana peningkatan kalkulasi secara tersirat meningkatkan kekecewaan, tetapi dia juga menganjurkan kepemimpinan yang kuat dan kejelasan dalam bisnis politik dan hukum sebagai teknik.
KESIMPULAN
Sosiologi Max Weber termasuk di antara pencapaian besar dalam pemikiran sosial dan merupakan dasar sosiologi modern. Orientasi metodologis Weber memimpin jalan menuju pengembangan berbagai orientasi dalam sosiologi interpretatif, dan perspektif multidimensinya tentang masyarakat juga telah mengilhami banyak generasi sosiolog. Dalam berbagai bidang khusus pemikiran sosiologis, khususnya dalam sosiologi politik dan sosiologi ekonomi, pengaruh Weber tidak terukur. Perhatian yang agak kurang menonjol dalam sosiologi modern pada karya Weber tentang hukum, relatif terhadap kontribusinya yang lain pada studi modernitas, adalah fungsi dari tingkat relatif kurangnya perhatian umum yang diberikan oleh para sosiolog terhadap hukum dan, terkait, lambatnya perkembangan sosiologi hukum sebagai bidang spesialisasi akademik, tetapi bukan dari tempat hukum dalam karya Weber. Dalam pengungkapan pemikiran Weber secara intelektual maupun dalam konstruksi teori modernitas yang komprehensif, hukum mengambil peran utama yang sejajar dengan studinya tentang ekonomi dan politik.
Bagi sosiologi hukum, karya Weber sangat diperlukan. Teori-teorinya tentang rasionalisasi hukum dan fungsi hukum dalam kaitannya dengan pengaturan melalui prosedur telah menawarkan orientasi tematik yang penting bagi sosiologi hukum (tentang apa yang relevan untuk dipelajari). Signifikansi yang bertahan lama terutama menjadi fokus pada pengaturan interaksi dalam bentuk rasionalisasi melalui prosedur standar dan pengambilan keputusan dalam pembuatan hukum dan penemuan hukum berdasarkan prinsip-prinsip umum. Dari segi pendekatannya (bagaimana mempelajari hukum secara sosiologis), yang dicontohkan oleh karya Weber secara mencolok adalah relevansi waktu historis dalam kaitannya dengan konsepsi masyarakat yang multidimensi. Weber juga memperhatikan pola variabel dari perkembangan ini pada masyarakat yang berbeda, seperti dalam diskusinya tentang perbedaan antara tradisi hukum preseden Amerika Serikat dan penekanan Eropa-kontinental pada hukum tertulis. Dengan demikian, Weber menawarkan dasar-dasar sosiologi hukum komparatif-historis yang berpusat pada dualitas hukum di era modern. Dan meskipun telah dicatat bahwa sosiologi hukum Weber secara konseptual berhutang budi pada akademisi hukum (Turner dan Factor 1994), hal itu merupakan pencapaian luar biasa bahwa karya Weber telah mencontohkan transisi dari pemikiran hukum (legal) ke pemikiran sosiologis dalam rentang waktu seumur hidup, meskipun transisi ini membutuhkan waktu beberapa dekade untuk diselesaikan di tingkat institusional (lihat Bab 4 dan 5).
Munculnya hukum modern yang dirasionalkan Weber berkaitan dengan faktor ekonomi dan politik. Hukum yang dirasionalisasi dijalankan dalam aparatus birokrasi negara tetapi juga melayani ekonomi pasar-bebas. Di dalam ruang ekonomi (economic sphere), kebebasan kontraktual yang dijamin secara hukum ironisnya mengarah pada penggunaan sumber daya secara bebas tanpa batasan hukum. Hukum yang mengatur pasar sebagai zona bebas perdagangan dan industri dengan demikian menyiratkan pengurangan relatif dari paksaan yang datang dengan norma larangan. Ini merupakan tema khusus, bukan ekonomi-deterministik, kondisi-kondisi tentang hubungan antara hukum modern dan tatanan ekonomi kapitalis yang menerima perbedaan, tetapi juga perlakuan sosiologis yang distingtif dalam karya Durkheim.
Catatan Kaki:
[1] Tulisan-tulisan teoretis Weber yang paling penting tersedia dalam koleksi yang diterbitkan secara anumerta, Wirtschaft und Gesellschaft (Weber 1922a diterjemahkan sebagai 1922b).
[2] Gagasan utama Weber tentang hukum diungkapkan dalam bab Rechtssoziologie (Sosiologi Hukum) dalam Wirtschaft und Gesellschaft (Weber 1922a diterjemahkan sebagai 1922b). Bab tentang hukum dan bagian lain yang relevan tentang Economy and Society juga telah diterbitkan dalam bahasa Inggris dalam volume terpisah (Weber 1922c). Sumber yang sangat membantu di antara sumber-sumber sekunder adalah risalah lengkap-dan-panjang pada buku Anthony Kronman (1983) tentang dasar-dasar filosofis dan implikasi sosiologi hukum Weber. Lihat juga ikhtisar dan diskusi oleh Andreski 1981; Bucock 2000; Feldman 1991; Kettler 1984; Quensel 1997; Rehbinder 1963; Sahni 2006; Schluchter 1981: 82-138; Stangl 1992; Stoljar 1961; Swedia 2006; Trubek 1972, 1985.
[3] Tentang pengaruh Weber dalam sosiologi hukum di berbagai negara, lihat kontribusi dalam Lascoumes 1995. Lihat juga karya-karya eksegesis yang disebutkan dalam Catatan Kaki 2 dan tulisan-tulisan yang dikutip di bagian ini.