Seri Sosiologi Hukum (6): Emile Durkheim tentang Hukum dan Solidaritas Sosial, Fundasi Teoritis Sosiologi Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
BAGIAN I FUNDASI TEORITIS SOSIOLOGI HUKUM
3. EMILE DURKHEIM TENTANG HUKUM DAN SOLIDARITAS SOSIAL
Pencapaian yang paling menonjol dari Emile Durkheim adalah Emilie Durkheim bekerja secara konsisten dan berhasil menuju pelembagaan sosiologi sebagai disiplin akademis. Durkheim tidak ada bandingannya dalam hal ketajaman perumusan materi dan pokok bahasan formal sosiologi, inovasi metodologinya, dan kemampuan membangun aliran pemikiran sosiologis. Ini adalah keberuntungan bagi sosiologi hukum untuk dapat mengandalkan tidak hanya pada proyek sosiologis Durkheim secara umum, namun juga secara khusus kontribusinya terhadap studi sosiologi hukum.
Analisis hukum Durkheim dalam studi sosiologisnya tentang landasan moral pembagian kerja sangat dikenal di kalangan sosiolog. Untuk mengkaji secara empiris transformasi masyarakat dari tipe mekanis ke tipe organik, Durkheim beralih ke evolusi hukum sebagai indikator perubahan landasan moral masyarakat. Keprihatian utama Durkheim adalah menunjukkan bahwa masyarakat modern bercirikan solidaritas yang mempertahankan individualisme, dan hal ini tetap bernilai hingga sekarang. Nilai pendekatan ini tidak habis dengan mengacu pada kecukupan empiris tesis Durkheim tentang hukum, seperti tentang evolusi dari hukum represif ke hukum restitutif. Karena selain membuat sketsa model empiris hukum dalam masyarakat, sosiologi hukum Durkheim juga mencakup pendekatan inovatif untuk studi hukum. Pendekatan ini secara terpusat berkisar pada pengakuan (recognition) bahwa dimensi normatif masyarakat memungkinkan perspektif evaluatif maupun perspektif ilmiah. Ini adalah tugas dasar sosiologi untuk memikirkan masyarakat dalam istilah analitis yang tegas. Karena hukum selalu terkait erat dengan norma-norma sosial dan pemahaman moral masyarakat, juga, hanya sedikit wawasan yang lebih utama dalam sosiologi hukum daripada hubungan hukum dengan fungsi integrasi sosial. Meninjau kontribusi Durkheim terhadap sosiologi hukum, bab ini akan, mirip dengan bab sebelumnya tentang Weber, memperkenalkan elemen kunci pendekatan Durkheim terhadap sosiologi dan teorinya tentang masyarakat dan juga menggabungkan penilaian tambahan tentang nilai dan kesahihan perspektif Durkheimian tentang hukum.
ILMU PENGETAHUAN MASYARAKAT
Emile Durkheim (1858–1917) merupakan putra seorang rabi, mahasiswa yang luar biasa, dan menghadiri École normale supérieure yang bergengsi sebelum ia mulai mengajar filsafat pada tahun 1882. Lima tahun kemudian, Durkheim menjadi profesor pedagogi dan ilmu sosial di Bordeaux, tempat ia tinggal sampai tahun 1902 sembari mengemban jabatan guru besar di bidang pedagogi dan sosiologi di Sorbonne di Paris. Durkheim terlibat aktif dalam mengembangkan dan melembagakan sosiologi sebagai disiplin akademis, tetapi ia juga merefleksikan kondisi politik dan sosial masyarakatnya. Pada tahun 1898, Durkheim mendirikan Année sociologique, jurnal sosiologi pertama di Prancis. Durkheim mengalami kondisi kesehatan yang buruk, terlalu banyak bekerja dan, yang paling tragis, kematian putranya dalam Perang Dunia I, hingga Durkheim meninggal pada usia 59 tahun.
Durkheim menganggap sosiologi sebagai studi ilmiah tentang fakta-fakta sosial, dipengaruhi oleh karya Auguste Comte yang pada tahun 1830-an pertama kali menciptakan istilah sosiologi untuk menunjukkan ilmu positif masyarakat, tradisi statistik moral Jerman, dan ilmu sosial awal yang ditujukan untuk studi deskriptif tentang karakteristik negara.[1] Didefinisikan sebagai cara berada dalam masyarakat yang bersifat memaksa dan eksternal terhadap individu, fakta sosial mencakup representasi ideal, seperti budaya dan hukum, serta keadaan dan tindakan material, seperti kondisi demografis dan ekonomi. Fakta sosial bersifat memaksa terhadap individu karena kondisi fakta sosial tidak dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Dalam kasus representasi ideal, sanksi merupakan indikasi kekuatan pemaksaan fakta sosial, seperti ketika hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar hukum atau ketika ketidaksetujuan publik diungkapkan atas pelanggaran norma. Dalam hal kondisi material, fakta sosial memiliki kekuatan koersif yang relatif mekanistik karena fakta sosial menentukan peluang yang dimiliki oleh individu untuk terlibat dalam kegiatan tertentu. Kondisi ekonomi yang buruk, misalnya, akan memengaruhi kemungkinan pekerjaan dalam kasus-kasus individual.
Kekuatan koersif fakta sosial, menurut Durkheim, memungkinkan identifikasi dan studi tentang fakta sosial, terutama dalam kasus representasi ideal seperti norma sosial, karena suatu sanksi yang dapat diamati berfungsi sebagai indikator fakta sosial. Karena fakta sosial berada di luar individu, maka fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi manifestasi individualnya, yang mana fakta sosial sebagian bersifat sosial bagi individu dan sebagian lagi bersifat unik bagi individu. Fakta sosial juga tidak dimiliki oleh setiap anggota masyarakat dalam derajat yang sama. Jadi, Durkheim berpendapat, fakta sosial hanya dapat memiliki masyarakat sebagai substratumnya, dan masyarakat, sebagai realitas sui generis (dari jenisnya sendiri), yang juga merupakan objek sosiologi. Karena masyarakat tidak dapat direduksi menjadi cara bertindak tingkat individu, sosiologi tidak dapat direduksi menjadi psikologi.
Dalam metodologinya, sosiologi Durkheim didasarkan pada maxim bahwa fakta sosial harus dianggap sebagai sesuatu. Prinsip dasar ini menyiratkan bahwa sosiolog harus membuang semua prasangka tentang masyarakat. Dibedakan dari orientasi normatif filsafat sosial, sosiologi harus dilakukan dari kerangka bebas-nilai untuk mempelajari masyarakat secara objektif sebagai tatanan moral. Selain itu, sosiolog harus mendefinisikan materi pembahasan dalam hal karakteristik eksternal umum dan tanpa mengesampingkan fenomena yang relevan. Aturan ini penting karena banyak materi pembahasan dalam sosiologi, seperti keluarga, agama, dan hukum, juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan lain di tingkat individu dan sosial, seperti moralitas, agama, dan politik, dan memiliki penggunaan terminologis dalam bahasa sehari-hari yang mungkin tidak sesuai secara sosiologis. Definisi sosiologis tentang fakta-fakta sosial diperoleh berdasarkan dimensi-dimensi yang dapat diamati dari fenomena yang sedang diselidiki. Kejahatan, misalnya, diklasifikasikan sebagai perilaku yang menerima hukuman. Akhirnya, sosiolog harus mengisolasi fakta-fakta sosial dari manifestasi individualnya sehingga fakta-fakta sosial dapat dipelajari secara objektif tanpa terlalu banyak variasi dari satu kasus individu ke kasus berikutnya.
Kajian empiris atas fakta-fakta sosial dalam model Durkheim berawal dari deskripsi tipe-tipe masyarakat dalam konteks derajat kompleksitas hingga penjelasannya dalam konteks sebab dan fungsi. Fungsi fakta sosial mengacu pada tujuan yang dipenuhinya, sedangkan penyebab fakta sosial harus ditempatkan secara historis pada faktor anteseden. Fungsi dan penyebab sosiologis selalu bersifat sosial dan tidak dapat diambil kembali dalam jiwa individu. Setelah penyebab dan fungsi diidentifikasi, metode pembuktian sosiologis secara komparatif dapat dilakukan. Dalam metode komparatif, suatu kasus dibandingkan yang mana dua fakta sosial secara bersamaan tidak ada atau tidak hadir, sehingga variasi yang ditampilkan dalam kombinasi ini dapat ditemukan untuk memberikan bukti bahwa suatu fakta (penyebab) menyebabkan fakta lain (akibat). Metode ini dipandu oleh aturan dasar bahwa suatu sebab mengarah pada suatu akibat. Durkheim menyadari bahwa metode seperti itu tidak dapat benar-benar membuktikan sebab dan akibat, tetapi dapat menyebabkan manipulasi. Dan juga, stabilitas temuan dari sejumlah besar kasus menambah nilai kesimpulan pada hubungan sebab akibat dan pola fungsional.
PEMBAGIAN KERJA SECARA SOSIAL (THE SOCIAL DIVISION OF LABOR)
Durkheim menerapkan metodologi sosiologisnya untuk mempelajari beberapa fakta sosial penting, yang paling terkenal di antaranya adalah studinya tentang bunuh diri, agama, dan pembagian kerja sosial. Karya Durkheim tentang pembagian kerja, pertama kali diterbitkan pada tahun 1893 dan awalnya ditulis sebagai disertasi doktoralnya, berisi teori dasarnya tentang evolusi dan sifat masyarakat, termasuk transformasi hukum. Tujuan utama dari karya Durkheim adalah untuk membangun ilmu pengetahuan masyarakat sebagai tatanan moral dan menemukan secara empiris solidaritas sosial dipertahankan dalam masyarakat modern meskipun otonomi individu tumbuh sebagai hasil pembagian kerja. Bagi Durkheim, yang penting, pembagian kerja bukan hanya dan bahkan bukan realitas ekonomi, melainkan fenomena sosial yang jauh lebih luas. Oleh karena itu Durkheim berbicara tentang pembagian kerja secara sosial daripada pembagian kerja secara ekonomi.
Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja adalah hasil dari evolusi yang lebih menyeluruh dari masyarakat mekanis ke masyarakat organik. Masyarakat mekanis terdiri dari bagian-bagian yang direplikasi serupa, seperti keluarga, gerombolan (hordes), dan klan. Dalam masyarakat seperti itu, kesadaran kolektif (conscience collective atau consciousness collective),[2] didefinisikan sebagai “totalitas kepercayaan dan sentimen yang dimiliki oleh rata-rata anggota masyarakat” (Durkheim 1893b: 38-39), yang mencerminkan jenis solidaritas yang dicapai melalui kesamaan, karena praktik kolektif dan keyakinan kelompok dalam masyarakat mekanis dimiliki oleh semua anggotanya. Karena sistem kepercayaan umum cenderung kuat dan hampir tidak ada diferensiasi individu, setiap pelanggaran apa pun terhadap kesadaran kolektif, bahkan bila itu hanya berkaitan dengan satu anggota kelompok, dianggap sebagai ancaman bagi seluruh tatanan sosial.
Sepanjang sejarah, Durkheim berpendapat bahwa masyarakat mekanis secara bertahap berkembang menjadi masyarakat organik yang terdiri dari organ-organ yang berbeda secara fungsional, yang masing-masing menjalankan peran khusus. Sementara ikatan tradisi dan keluarga dilonggarkan, individu memperoleh status khusus baik dalam hal hak dan tanggung jawab. Sifat kesadaran kolektif dalam masyarakat organik sedemikian rupa sehingga cengkeramannya atas individu didasarkan pada peran dan kontribusi mereka yang distingtif. Solidaritas sosial, dengan kata lain, dicapai melalui diferensiasi. Masyarakat organik ditandai oleh pluralitas nilai dan sistem kepercayaan yang berbeda. Pelanggaran kesadaran kolektif karenanya akan diperlakukan sebagai pelanggaran oleh individu terhadap individu. Durkheim dengan demikian menunjukkan, meskipun solidaritas saat ini berbeda dalam masyarakat modern, solidaritas itu tidak kalah sosial dan kuatnya daripada ikatan solidaritas di masa lalu.
Teori Durkheim tentang penyebab evolusi dari masyarakat mekanis ke organik, seperti perspektifnya tentang esensi pembagian kerja, menghadirkan alternatif radikal untuk materialisme historis. Durkheim berpendapat bahwa dua kondisi itu harus dipenuhi untuk memungkinkan transformasi dari masyarakat mekanis ke masyarakat organik. Pertama, perkembangan material tertentu harus terjadi pada tingkat demografis. Harus ada penyatuan individu-individu dan peningkatan pertukaran aktif di antara mereka. Durkheim menyebut ini sebagai peningkatan dalam dinamika masyarakat atau kepadatan moral. Volume sosial, yaitu jumlah penduduk suatu masyarakat, juga harus meningkat. Masyarakat yang lebih banyak (dense) dan lebih padat (populous) membutuhkan pembagian kerja karena perjuangan untuk eksistensi menjadi lebih berat. Tingkat persaingan di antara orang-orang yang disatukan meningkat, yang mengarah ke migrasi. Tetapi begitu batas-batas tertentu terpenuhi, migrasi tidak mungkin lagi dan masyarakat akan mulai berdiferensiasi secara internal sedemikian rupa sehingga para anggotanya menjadi saling bergantung. Perkembangan material ini diperlukan tetapi kondisi yang tidak mencukupi untuk transisi menuju masyarakat organik. Kedua, perkembangan ideal tertentu harus dipenuhi, termasuk melemahnya pengaruh tradisi dan meningkatnya individualisme dalam sistem kepercayaan. Hilangnya pengaruh tradisi secara relatif terjadi karena dalam masyarakat modern orang tidak lagi terikat pada tempat asalnya tetapi dapat menyebar ke wilayah yang relatif luas. Kemandirian individu yang lebih besar dalam hubungannya dengan kelompok ditunjukkan oleh fakta bahwa kesadaran kolektif menjadi semakin tidak pasti dan abstrak.
Seiring dengan pembagian kerja, ada kecenderungan umum kehidupan sosial diatur sedemikian rupa sehingga menjamin variasi individu dan solidaritas sosial. Durkheim berpendapat, hanya dalam keadaan luar biasa pembagian kerja tidak menghasilkan solidaritas organik, baik karena itu terjadi di bawah kondisi tidak adanya aturan yang mengatur hubungan sosial (anomie) atau karena dipaksa dalam kondisi ketimpangan ekonomi-material. Hanya dalam keadaan luar biasa seperti itu, konsekuensi patologis, seperti tingkat bunuh diri yang sangat tinggi, dapat diperkirakan. Kehidupan ekonomi semacam itu tidak normal atau patologis, menurut Durkheim, itu adalah regulasi atau kekurangan yang menentukan konsekuensinya.
HUKUM DAN EVOLUSI MASYARAKAT
Sosiolog hukum beruntung dapat mengandalkan wawasan eksplisit tentang hukum yang dikembangkan oleh Durkheim dalam studinya tentang pembagian kerja dan sebagaimana pula pada beberapa studi berikutnya.[3] Alasan ketertarikan yang unik ini adalah karena Durkheim memahami hukum sebagai manifestasi paling penting yang dapat diamati perihal kesadaran kolektif dan transformasinya. Karena kesadaran kolektif adalah “fenomena moral sepenuhnya yang dengan sendirinya tidak dapat diamati secara eksak dan terutama tidak dapat diukur” (Durkheim 1893b: 24), Durkheim mempelajari hukum sebagai simbol solidaritas sosial yang terlihat. Ia mengklasifikasikan hukum bukan atas dasar konsepsi yuridis (seperti perbedaan antara hukum privat dan hukum publik), tetapi secara sosiologis berdasarkan tipe-tipe sanksi yang diterapkan terhadap pelanggaran aturan hukum. Perhatian Durkheim terhadap hukum dengan demikian terutama bersifat metodologis: hukum berfungsi sebagai indikator solidaritas sosial dan, khususnya, perkembangan solidaritas mekanis ke solidaritas organik, yang menurut Durkheim dapat diamati dalam evolusi hukum dari sistem represif ke sistem restitutif.
Karakteristik penting hukum represif dalam masyarakat mekanis adalah bahwa hal ini merepresentasikan kesatuan kuat yang ada dalam masyarakat di antara anggota unit yang sangat kohesif dan sederhana seperti klan atau gerombolan. Hukum represif biasanya bersifat religius. Keyakinan moral dan pembenaran yang menjadi dasar hukum dan hukuman represif seringkali tidak secara eksplisit ditentukan karena mereka dikenal luas di antara anggota masyarakat. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah sistem hukum yang represif segera dan seberat-beratnya dihukum karena mengancam eksistensi kolektivitas secara keseluruhan. Penghapusan dari masyarakat melalui pembuangan atau kematian adalah bentuk khas dari hukuman dalam masyarakat mekanis.
Dalam masyarakat organik, terdapat pembedaan antara hukum restitutif dan represif. Karena individu semakin terdiferensiasi satu sama lain, regulasi hukum lebih abstrak dan umum sehingga dapat berlaku secara universal terhadap semua individu dengan tidak menyamakan perbedaan yang ada di antara mereka. Elaborasi hukum kontrak, misalnya, memungkinkan adanya spesifikasi hubungan antar individu, yang mana negara hanya bertindak mengawasi kewajiban timbal-balik. Dalam masyarakat organik, hukum bersifat sekuler dan sangat terkodifikasi. Sanksi yang diterapkan terhadap pelanggaran hukum restitutif berorientasi pada pemulihan hubungan sosial antar individu, seperti dalam hal kompensasi uang, atau antara individu dan masyarakat, seperti dalam kasus hukuman penjara yang memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke masyarakat. Dalam masyarakat organik, hukum pidana masih menjalankan fungsi represif, tetapi pertumbuhan hukum perdata menunjukkan paling jelas munculnya hukum restitutif. Meningkatnya relevansi bentuk hukum restitutif yang menyertai perkembangan pembagian kerja, menurut Durkheim, memastikan bahwa pembagian kerja dalam kehidupan ekonomi dan di tempat lain, dalam kondisi normal, tidak mengarah pada masalah atau kekacauan sosial. Terhadap Marx, Durkheim berpendapat bahwa fungsi esensial tentang pembagian kerja justru untuk mengintegrasikan masyarakat. Namun, agar solidaritas sosial dalam masyarakat organik berhasil dicapai, pembagian kerja harus disertai dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur kerja sama di antara berbagai fungsi dan peran khusus. Durkheim berpendapat bahwa institusi-institusi perantara (intermediary institutions), khususnya kelompok-kelompok profesional, dapat membantu fungsi ini berdasarkan keutaman penempatannya (virtue of their placement) di antara negara dan individu.
HUKUM DAN HAK-HAK
Dalam serangkaian kuliah tentang moralitas dan hukum yang disampaikan pada dekade terakhir abad ke-19 dan beberapa kali setelahnya, Durkheim (1900a, 1900b) memberikan perhatian khusus pada peran negara dalam penciptaan hak. Terutama pada karya Durkheim tentang sosiologi politik, studi sosiologi politik mencakup diskusi tentang etika profesi, terutama peran kelompok profesional, fungsi dan bentuk negara, khususnya negara demokrasi, dan berbagai aturan dan hak yang dijamin oleh negara. Bagian terakhir berisi wawasan tambahan oleh Durkheim tentang hukum.
Seperti ditulis dalam De la Division du Travail Social (1893a), Durkheim beralih ke studi tentang fakta moral dan yuridis sebagai ekspresi moral dan hak yang dapat diamati. Durkheim memulainya dari sudut pandang bahwa pembunuhan dan pencurian adalah tindakan yang sangat tidak bermoral, lebih parah daripada pelanggaran moral profesional dan moral kewargaan (civil), karena aturan tentang kejahatan terhadap orang dan terhadap properti begitu umum sehingga melampaui batas-batas masyarakat tertentu. Secara historis, hal ini tidak selalu terjadi, karena kejahatan terhadap kelompok secara keseluruhan, seperti kejahatan agama, secara tradisional dihukum lebih berat. Namun, dalam masyarakat (organik) kontemporer, kejahatan terhadap pribadi dan terhadap harta pribadi menimbulkan kebencian terbesar dan menerima sanksi terberat karena melanggar moralitas yang menempatkan kualitas individu di atas segalanya.
Dalam diskusi singkat tentang pembunuhan, Durkheim terutama terlibat dalam analisis kriminologis tentang tingkat pembunuhan, tetapi diskusinya tentang sifat hak milik membentuk dasar teori sosiologis tentang kontrak dan hukum. Menurut Durkheim, sifat properti secara historis telah berubah karena memiliki hak-hak yang melekat padanya. Secara hukum, hak atas harta benda dibagi menjadi tiga tipe: ius utendi, ius fruendi, dan ius abutendi. Ius utendi (hak untuk menggunakan) mengacu pada hak untuk menggunakan sesuatu, seperti hak untuk tinggal di properti sewaan dan hak untuk berjalan di taman umum, sedangkan ius fruendi (hak untuk menikmati) adalah hak produk properti, seperti hak atas sewa rumah dan bunga pinjaman. Tidak ada satu pun hak yang mencakup hak untuk mengubah properti tempat hak itu dilampirkan. Akan tetapi, dalam ius abutendi (hak pakai), barang yang dimiliki dapat diubah atau bahkan dimusnahkan, meskipun dalam kondisi tertentu. Tipologi hukum ini, menurut Durkheim, tidak dapat mengarah pada spesifikasi esensi properti, karena yang membedakan properti (pribadi) adalah kekuasaan yang melekat padanya, tidak peduli seberapa luas atau terbatas, selalu eksklusif bagi pemiliknya. Kepemilikan pribadi adalah hak untuk memiliki yang eksklusif, setidaknya terhadap individu lain, karena dalam beberapa keadaan negara masih dapat menuntut hak-hak tertentu.
Apakah dasar hak properti pribadi menurut Durkheim? Agar supaya eksis, properti pribadi harus dihormati. Mencerminkan teorinya tentang evolusi agama, Durkheim berpendapat bahwa tidaklah sesuatu dimiliki karena berkah suci atau ilahiah yang telah diterimanya, tetapi masyarakat yang memberikan hak eksklusif pada properti. Hal ini dapat diamati dari studi tentang kontrak sebagai sarana utama (selain warisan) melalui properti yang dapat ditransfer. Inovasi dalam hukum telah diperlukan karena kontrak berevolusi dari apa yang disebut kontrak nyata (real contracts), yang mana kontrak terjadi hanya ketika sesuatu benar-benar ditransfer, menuju kontrak konsensual (kontrak-berdasar-kerelaan; penerjemah) tentang perjanjian (consensual contract of agreement) yang di dalamnya sumpah atau do’a makhluk ilahiah dilampirkan. Dari kontrak konsensual dengan ritual-yang-khusyuk kemudian berkembang menuju kontrak konsensual murni yang mana deklarasi kehendak saja merupakan alasan yang cukup bagi sifat mengikatnya perjanjian. Kekuatan transfer kemudian sepenuhnya menjadi aktivitas-mental: “dengan fakta bahwa hal itu adalah konsensual, kontrak dilindungi oleh sanksi” (Durkheim 1900b: 203). Satu-satunya syarat yang melekat pada persetujuan (consent) adalah persetujuan itu harus diberikan secara bebas. Pada tahap akhir perkembangan, kontrak juga harus adil dalam konteks konsekuensi-konsekuensi kontrak secara objektif (the objective consequences of the contract). Agar adil, kontrak harus adil secara objektif.
HUKUM DAN HUKUMAN (PUNISHMENT)
Selain karya utamanya tentang hukum dalam pembagian kerja dan kuliahnya tentang hukum dan moralitas, Durkheim menyumbangkan sejumlah besar esai yang lebih singkat dan artikel ulasan di bidang hukum dan kejahatan dalam jurnal L’Année sociologique. Di antara artikel-artikel ini adalah studi tentang perubahan kuantitatif dan kualitatif tertentu dalam hukuman, yang menurut Durkheim terjadi selama transisi dari masyarakat primitif ke masyarakat modern (Durkheim 1901a, 1901b). Sesuai dengan ide-idenya tentang evolusi dari masyarakat mekanis ke masyarakat organik, Durkheim secara khusus mengajukan dua tesis tentang evolusi hukuman. Tesis pertama menyatakan bahwa hukuman kurang intens pada masyarakat yang lebih maju yang mana kekuasaan pusat (central power) tidak absolut. Hukum represif dalam masyarakat mekanis mengatur hubungan sosial secara sepihak dengan cara yang memberikan semua kekuasaan dan hak kepada satu pihak. Contoh atau model hubungan (prototypical) adalah hubungan tuan-budak (master-slave). Pembenaran hukum semacam itu biasanya tipe-agama (typically religious) dan pengaturan yang diberi muatan sanksi atas dasar supranatural. Hukuman yang sangat berat dan mencakup hukuman fisik, seperti cambuk terhadap budak, dan simbol kejahatan yang dilakukan, seperti potong tangan dalam kasus pencurian. Hukuman mati ada dalam bentuk praktik penyiksaan publik yang mana kematian pelaku adalah hasil akhir tetapi lebih mendekati pada hasil insidental.
Beralih ke masyarakat modern, Durkheim memperkenalkan kualifikasi yang tidak ia gunakan dalam karyanya tentang pembagian kerja. Durkheim mengakui bahwa masyarakat modern masih bisa menjadi absolutis, seperti dalam kasus monarki otokratis dan kediktatoran, sementara keberadaan masyarakat modern dimodernisasi dalam hal lain seperti di bidang ekonomi. Dalam kasus masyarakat absolutis kontemporer, hukuman bisa tetap keras dan melibatkan metode seperti eksekusi di depan umum. Durkheim menganggap kasus masyarakat modern absolutis tidak paradoks dengan teorinya tentang transisi dari masyarakat mekanis ke masyarakat organik, karena rezim absolutis di zaman modern dalam pandangan Durkheim adalah patologis, bukan perkembangan normal. Dengan demikian, tingkat represif hukuman yang tinggi dalam masyarakat jenis ini, dengan demikian, tidak mendasar pada sifatnya, tetapi lebih merupakan fungsi dari keadaan historis tertentu. Di bawah kondisi perkembangan sosio-historis yang normal, masyarakat modern bersifat demokratis, dan hukumannya kurang intens. Alasan bahwa hukum dalam masyarakat organik demokratis mengatur hubungan bilateral sebagai kontrak antara dua pihak atau lebih, yang kesemuanya dianggap setara di hadapan hukum. Aturan sistem hukum semacam itu juga sekuler dan disetujui dalam hal hubungan batin-duniawi. Setiap pelanggaran adalah pelanggaran terhadap manusia lain dan, karena orientasi duniawinya, tidak menimbulkan kemarahan yang sama seperti pelanggaran terhadap hukum agama.
Terhadap tesis keduanya tentang evolusi hukuman, Durkheim kembali mengandalkan distingsi antara masyarakat mekanis dan masyarakat organik untuk menyatakan bahwa hukuman dalam masyarakat modern biasanya menjadi perampasan kebebasan. Dengan kata lain, dalam masyarakat organik, sistem penjara menjadi bentuk hukuman yang dominan. Alasannya adalah penjara tidak hanya memberikan bentuk hukuman individu tetapi juga berorientasi pada tujuan mengintegrasikan kembali individu ke dalam masyarakat dan memulihkan hubungan sosial. Dalam masyarakat mekanis, sebaliknya, pemenjaraan tidak dapat memenuhi kebutuhan seperti itu karena pelanggaran hukum dianggap mengancam kolektivitas secara keseluruhan dan oleh karena itu tidak dapat mentolerir reintegrasi apa pun.
WARISAN (LEGACY) EMILE DURKHEIM
Seperti dalam kasus Max Weber, pengaruh tulisan Durkheim dalam sosiologi modern begitu mendalam sehingga mustahil untuk memahami sosiologi tanpa kontribusinya. Desakan Durkheim tentang perlunya studi sistematis tentang masyarakat sebagai realitas, yang tidak dapat direduksi menjadi keadaan psikologis, termasuk di antara wawasan metodologisnya yang paling signifikan. Dalam hal teori masyarakat, karya Durkheim berkontribusi pada pengembangan perspektif sosiologis yang distingtif yang berfokus pada pembentukan sosial tentang kehidupan sosial dalam istilah non-materialis tentang tatanan moral yang berpusat di sekitar kekuatan integratif kesadaran kolektif. Mempelajari kapasitas integratif masyarakat dalam transisi dari masyarakat mekanis ke masyarakat organik, Durkheim beralih ke studi hukum sebagai indikator moralitas yang dapat diamati. Pilihan metodologis Durkheim jelas merupakan keberuntungan bagi sosiologi hukum karena telah memberikan pendekatan baru terhadap studi sosiologi hukum dan teori tentang evolusi hukum. Selain itu, dalam beberapa karya selanjutnya, Durkheim juga mempelajari transformasi historis negara, hak, dan hukuman.
Amatan-terbatas pada literatur sekunder yang secara eksplisit membahas manfaat dan batasan-batasan sosiologi hukum Durkheim, kritik empiris dan teoritis telah ditawarkan. Dari segi unsur empiris dalam sosiologi hukum Durkheim, beberapa penelitian telah dilakukan yang menimbulkan keraguan tentang perkembangan unilinear Durkheim yang digambarkan dari hukum represif ke hukum restitutif dan perubahan terkait dalam hukuman (Lukes dan Scull 1983). Kelemahan empiris dalam karya Durkheim tentang pembagian kerja pertama kali dikemukakan oleh Robert Merton (1934), yang berpendapat bahwa Durkheim mengandalkan data etnografis yang kurang dan tidak menawarkan dasar untuk asosiasi yang ia gambarkan antara tipe-tipe hukum dan solidaritas sosial. Merton menyarankan, penelitian dari berbagai studi lapangan telah menunjukkan bahwa masyarakat primitif, yang ditandai dengan tingkat pembagian kerja yang rendah, memiliki hukum restitutif, yang disediakan oleh Durkheim untuk masyarakat organik. Demikian pula, masyarakat maju juga mengungkapkan elemen-element penting tentang kepentingan komunal yang kuat.
Sejalan dengan kritik Merton, studi sistematis tentang evolusi hukum telah dilakukan oleh Richard Schwartz dan James Miller (1964) yang berimplikasi pada aspek sosiologi hukum Durkheim. Berdasarkan informasi dari lima puluh satu masyarakat, Schwarz dan Miller secara khusus berfokus pada tiga aspek perkembangan hukum: penasihat hukum, yang didefinisikan sebagai penggunaan advokat non-kerabat dalam penyelesaian perselisihan; mediasi, atau penggunaan pihak ketiga non-kerabat yang ikut campur dalam penyelesaian sengketa; dan polisi, dipahami sebagai angkatan bersenjata khusus yang diorganisir untuk menegakkan hukum. Temuan penelitian menunjukkan, fungsi polisi dikaitkan dengan pembangunan sosial, bertentangan dengan teori Durkheim. Alasan kekurangan pemikiran Durkheim, menurut Schwartz dan Miller, mungkin karena Durkheim menggunakan kriteria yang berbeda dalam mengukur sistem hukum pidana dan non-pidana. Untuk keberadaan hukum represif, Durkheim berpendapat bahwa organisasi yang relatif sedikit diperlukan, sedangkan hukum restitutif dikatakan hanya eksis pada sistem yang telah berkembang rumit pada hakim, pengacara dan pengadilan. Jadi, Schwartz dan Miller berpendapat, Durkheim memastikan bukti teorinya, bukan berdasarkan fakta, tetapi sebagai akibat dari ambiguitas konseptual. Evolusi dari hukum represif ke restitutif tampaknya tidak terkait dengan pembagian kerja.
Meskipun keprihatinan metodologis dapat dikemukakan mengenai dugaan kesimpulan historis (the inference of historical conclusions) terhadap data komparatif (Schwartz 1965; Turkel 1979; Udy 1965), implikasi terhadap teori-teori Durkheim tentang studi komparatif, yang mirip dengan Schwartz dan Miller, telah dibahas oleh sejumlah ilmuwan. Howard Wimberley (1973), misalnya, melakukan studi banding perkembangan hukum yang menunjukkan relevansi pengaruh kekuatan sistem otoritas masyarakat, variabel politik yang tidak dipertimbangkan Durkheim dalam karya aslinya tentang pembagian kerja. Berdasarkan temuan tersebut, Uprenda Baxi (1974) menyarankan agar karya Durkheim dapat disempurnakan. Misalnya, Baxi menyarankan bahwa tidak adanya polisi, seperti yang didefinisikan dan diukur dalam studi Schwartz dan Miller, mungkin masih menyiratkan bahwa sistem penegakan lain ada pada masyarakat yang dipertimbangkan Durkheim itu. Penciptaan, penerapan, dan sifat otoritatif dari proses pengambilan keputusan itu sendiri dapat memenuhi fungsi penegakan. Mengenai kehadiran hukum restitutif dalam masyarakat sederhana, Baxi berpendapat bahwa Durkheim tidak berargumen bahwa hukum restitutif tidak ada dalam masyarakat dengan tingkat pembagian kerja yang rendah, tetapi ia memiliki posisi yang lebih rendah.
Menanggapi kekhawatiran Baxi, Schwartz (1974) berpendapat bahwa studinya tentang evolusi hukum tidak terutama dimaksudkan untuk membuktikan atau menyangkal Durkheim. Pengujian sejati Durkheim harus bergantung pada formulasi teori Durkheim yang tidak ambigu menjadi hipotesis-yang-dapat-diuji untuk membandingkan tingkat relatif sanksi represif dan restitutif terhadap berbagai masyarakat yang berbeda dalam tingkat pembagian kerja. Analisis ulang yang dilakukan Schwartz atas dasar kritik Baxi atas konseptualisasi polisi dan penegakan hukum menghasilkan temuan yang bertentangan dengan teori Durkheim. Ilmuwan lain juga berpendapat bahwa perkembangan hukum yang sebenarnya adalah kebalikan dari teori Durkheim (Sheleff 1975). Kajian antropologi menunjukkan, masyarakat primitif membedakan antara hukum agama dan hukum sekuler dan juga menunjukkan sistem hukum yang mengandung kewajiban timbal-balik. Demikian pula, analisis komparatif dan historis mengungkapkan bahwa sistem hukum modern mengandung banyak aspek represif, tidak hanya di bidang hukum pidana tradisional, tetapi juga di bidang perilaku pribadi dan etika agama yang mana logika represif telah menyusup.
Karya Durkheim tentang evolusi hukuman juga telah diteliti. Dalam studi sistematis terhadap empat puluh delapan masyarakat, Steven Spitzer (1975) menemukan bahwa, bertentangan dengan teori Durkheim, intensitas hukuman berbanding terbalik dengan kompleksitas masyarakat, meskipun absolutisme politik terlihat berbeda dengan hukuman dalam arah yang ditentukan Durkheim. Definisi kolektif tentang penyimpangan tidak hilang ketika masyarakat menjadi lebih kompleks, tetapi, menegaskan pandangan Durkheim, pelanggaran terhadap objek-objek kolektif dihukum lebih berat. Asosiasi ini, bagaimanapun, berlaku untuk masyarakat mekanis dan masyarakat organik. Terhadap Durkheim, juga, masyarakat sederhana lebih mungkin untuk menghukum pelanggaran individu lebih berat, sementara masyarakat organik cenderung mencadangkan hukuman keras terhadap kejahatan yang melawan kolektivitas. Akhirnya, sementara Durkheim dengan tepat mengamati bahwa perampasan kebebasan dalam bentuk penjara telah menjadi bentuk hukuman yang paling banyak diterapkan dalam masyarakat modern, ia mengabaikan bahwa bentuk-bentuk pengucilan lain selain penjara, seperti pengusiran, adalah umum bagi masyarakat primitif.
Dalam hal implikasi teoretis mereka, studi empiris tentang evolusi aturan hukum (legal) dan pidana (penal) telah menyebabkan kritik bahwa Durkheim memandang hukum (law) dan hukuman (punishment) terlalu eksklusif sebagai refleksi dari sistem nilai kemasyarakatan dan dalam hal kebutuhan fungsional untuk integrasi normatif, sementara mengabaikan dimensi organisasi hukum sebagai sistem aturan yang dipaksakan oleh otoritas politik sebagai bagian dari aparatus instrumental sistem dominasi (Cartwright dan Schwartz 1973; Spitzer 1975). Hal ini kemudian menjadi penting untuk mempelajari dinamika kekuasaan yang ada dalam penciptaan dan administrasi sistem hukum (Calavita et al. 1991). Berkaitan dengan itu, penekanan Durkheimian pada fungsi hukuman untuk mengekspresikan dan memperkuat solidaritas sosial mungkin juga mendapat manfaat dari analisis yang lebih cermat tentang sebab-sebab yang ditentukan secara historis dan konsekuensi objektif maupun fungsi hukuman dalam berbagai bentuknya (lihat Bab 11).
Model-model teoretis hukum dan hukuman yang kritis terhadap beberapa argumen Durkheim masih dapat menghargai pendekatan Durkheimian karena kemampuannya menganalisis hukum dan hukuman, bukan sebagai sejarah abstrak ide, tetapi dalam hubungannya yang erat dengan karakteristik struktural masyarakat. Penafsiran yang lebih radikal, tentu saja, berpendapat bahwa masalah terkait dengan sketsa evolusi Durkheim harus memiliki “efek domino pada karyanya secara umum” (Sheleff 1975: 19), membenarkan pemberhentian sosiologi Durkheimian atau setidaknya mengarah pada reinterpretasi ekstrim darinya (Pearce 1989).(Pearce 1989). Dalam penerimaan kritis atas teori hukuman Durkheim, David Garland (1983) membuat observasi yang cerdik bahwa kritik terhadap Durkheim yang hanya didasarkan pada pemeriksaan empiris tentang hipotesis yang berasal dari karyanya (yang tidak selalu jelas terkait dengan Durkheim; lihat misalnya, Lanza-Kaduce et al 1979) harus tetap mengikuti implikasi teoretisnya untuk melakukan penilaian sosiologi Durkheim. Tidak hanya perbedaan antara konsep yang digunakan dalam karya Durkheim dan indikator yang digunakan dalam studi empiris (Baxi 1974; Cotterrell 1977), model teoritis yang berbeda dapat mendasari model proposisional yang dibangun untuk memenuhi kriteria kecukupan empiris (Gibbs 2003). Terlepas dari kritik terhadap tesis spesifik yang ditawarkan oleh Durkheim, oleh karena itu, dimungkinkan untuk menerapkan elemen pendekatan sosiologis Durkheim dalam penelitian kontemporer, misalnya dalam pengembangan sosiologi budaya hukuman (Garland 1991b, 2006; Smith 2003; lihat Bab 11).
Sejalan dengan penekanan pada teori sebagai pendekatan, berbagai interpretasi yang berbeda dari sosiologi hukum Durkheim telah ditawarkan bahwa, seperti dalam kasus penerimaan tulisan-tulisan Weber, mengantisipasi beberapa diferensiasi teoritis yang muncul dengan perkembangan sosiologi hukum modern. Bahkan lebih daripada dalam kasus Weber, karya Durkheim juga sering kali ditinjau secara selektif, biasanya berkonsentrasi pada bukunya tentang pembagian kerja, tetapi tidak memasukkan karya-karyanya selanjutnya tentang hukum, hak, dan hukuman (yang tidak tersedia secara luas, terutama tidak dalam terjemahan bahasa Inggris, hingga baru-baru ini). Juga yang diabaikan adalah kontribusi dari beberapa ahli hukum dan profesor hukum yang terhubung dengan L’Année sociologique dan pengaruh mereka terhadap dan dari Durkheim (Chazel 1991; Cochez 2004; Cotterrell 2005; Vogt 1983). Dengan mempertimbangkan kualifikasi ini, beberapa teka-teki teoretis telah diidentifikasi dalam karya Durkheim tentang hukum.
Di antara elemen teoretis yang paling banyak dibahas dalam sosiologi hukum Durkheim adalah konseptualisasi hukum dan negara secara reflektif mengenai (indikasi) kesadaran kolektif, sebagai manifestasi terukur dari sistem nilai masyarakat. Durkheim mengakui bahwa negara (melalui fungsi legislatifnya) dan sistem hukum (dalam penyelenggaraan peradilan) juga turut membentuk kesadaran kolektif. Namun, konsepsi negara dan hukum ini —dalam peran gandanya, reflektif dan kreatif, vis-à-vis nilai-nilai sosial— tetap berada dalam ketegangan yang tidak jelas dalam karya Durkheim (Clarke 1976; Clifford-Vaughan dan Scotford-Morton 1967). Roger Cotterrell (1977) dalam hal ini mengatakan bahwa sifat hukum reflektif hanya berlaku untuk jenis hukum represif, yang dapat mengekspresikan sifat kolektif yang kuat dari masyarakat mekanis, tetapi tidak untuk jenis restitutif yang khas untuk masyarakat organik karena dalam masyarakat ini tidak ada nilai yang dipegang secara kolektif untuk diungkapkan. Interpretasi ini, bagaimanapun, mengabaikan konsepsi Durkheim tentang sifat reflektif hukum berlaku untuk struktur, bukan berlaku terhadap isi kesadaran kolektif. Dalam masyarakat mekanis, hukum mengungkapkan kesatuan, dan dalam masyarakat organik, hukum mengungkapkan keragaman. Dalam kondisi masyarakat organik, hukum tidak hanya menjadi lebih terorganisir, tetapi juga lebih membutuhkan pembenaran untuk mempertahankan legitimasi (Gould 1993).
Ketegangan konseptual dalam karya Durkheim menunjukkan dua kualitas bermasalah, yang relevansinya akan menjadi lebih menonjol ketika sosiologi hukum terungkap. Pertama, Durkheim tidak menarik distingsi yang cukup antara nilai dan norma dan untuk bagian yang terbaik mengasumsikan bahwa sistem nilai menghasilkan pola normatif yang berbeda dengan cara yang tidak bermasalah. Sehubungan dengan konsep moralitas yang tidak dapat dibedakan ini, Durkheim memahami hukum hanya berdasarkan tingkat organisasinya yang lebih tinggi, terutama melalui administrasi peradilan di pengadilan. Kedua, memahami negara dan hukum sebagai cerminan sistem nilai masyarakat atau kesadaran kolektif, Durkheim tidak selalu cukup membedakan dan menguraikan hubungan antara negara dan sistem hukum. Terutama dalam kaitannya dengan kritik ini, beberapa ahli berpendapat bahwa Durkheim mengabaikan dimensi kekuasaan dalam penciptaan sistem hukum, terutama dalam masyarakat yang dicirikan oleh perkembangan negara yang kuat (Lukes dan Scull 1983; Spitzer 1985). Namun, yang lain menentang penilaian negatif ini karena didasarkan pada teori yang bukan milik Durkheim, tetapi yang berasal dari tradisi teori konflik yang, seperti yang akan dibahas dalam Bab 6, merentang kembali ke Marx. Oleh karena itu, evaluasi ulang sosiologi hukum Durkheim perlu dilakukan, khususnya berdasarkan pandangannya tentang fungsi pengaturan kelompok profesional (Cotterrell 1999; Didry 2000). Maksud dasar dari karya Durkheim tentang pembagian kerja bukanlah konstruksi sosiologi hukum, melainkan teori integrasi yang lebih luas, yang menyiratkan, bertentangan dengan Marx, bahwa bukan tatanan ekonomi seperti itu tetapi kesadaran kolektif yang menyertai perkembangan ekonomi yang menentukan tingkat kohesi masyarakat. Dalam kasus masyarakat organik, menurut Durkheim, integrasi tidak selalu tercapai karena kondisi anomi regulasi yang lemah atau tidak memadai. Oleh karena itu, institusi-institusi perantara, khususnya kelompok profesi, harus ditempatkan di antara negara dan individu untuk mengamankan regulasi yang memadai. Durkheim sangat menyadari bahwa negara dapat menjadi regulator yang kurang efisien dan bahwa hukum yang dibuat oleh negara tidak selalu berfungsi untuk memelihara solidaritas sosial, oleh karena itu ia menyarankan untuk mengalihkan kekuasaan pengaturan yang diperlukan kepada kelompok profesional.
Pertanyaan apakah hukum harus dilihat dalam hubungan yang erat dengan sistem politik pada dasarnya bukanlah pertanyaan empiris, tetapi pertanyaan teoretis, yang telah menduduki sosiologi hukum sepanjang perkembangannya dalam proliferasi aliran pemikiran yang berbeda. Mencermati karya Durkheim dalam istilahnya sendiri, penting untuk dicatat bahwa tujuan utama sosiologi hukum Durkheim adalah untuk menunjukkan bahwa struktur masyarakat memiliki pengaruh terhadap bentuk dan substansi hukum. Kajian hukum Durkheim tidak terutama dimaksudkan untuk membangun perspektif evolusioner tentang perubahan hukum dari waktu ke waktu, tetapi untuk mengatur karakteristik empiris hukum dalam perspektif teoritis masyarakat (Cotterrell 1977, 1991). Tujuan teoretis dari karya Durkheim berfungsi untuk mengatur manifestasi empiris hukum. Dalam hal ini, dapat pula dikemukakan bahwa tujuan-tujuan teoretis Durkheim terutama berkaitan dengan kondisi-kondisi sosial dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat (organik) pada zamannya. Oleh karena itu, teorinya tidak dapat dipahami sebagai teori perkembangan hukum terhadap semua masyarakat (Turkel 1979). Akibatnya, mungkin lebih tepat untuk memahami konsep Durkheim tentang masyarakat mekanis dan organik dan gagasan pendamping mengenai hukum represif dan restitutif, bukan sebagai kategori tipologi masyarakat dan hukum, tetapi sebagai tipe-ideal yang dapat berfungsi sebagai perangkat penemuan-sejarah (heuristic devices) untuk membingkai perkembangan sejarah dan analisis komparatif (Merton 1934).
Akhirnya, perlu dicatat bahwa bahkan para ilmuwan yang sangat kritis terhadap beberapa kontribusi Durkheim pada sosiologi hukum mengakui bahwa karyanya memiliki nilai yang sangat berpengaruh (seminal value) dalam potensi analitisnya untuk menghubungkan hukum sebagai fakta sosial dengan dimensi-dimensi ekstra-legal dari organisasi masyarakat.
Posisi analitis hukum dalam masyarakat adalah komponen paling mendasar dari setiap sosiologi hukum. Dengan mengadopsi perspektif analitis seperti itu, karya Durkheim juga menghasilkan banyak temuan yang dan tetap kontra-intuitif dalam terang pemahaman-diri yang dimiliki hukum (law’s self-understanding) dan kebijaksanaan akal-sehat (common-sense wisdoms) tentang sifat hukum. Dan meskipun jelas bahwa Durkheim memandang hukum sebagai ekspresi dari struktur moralitas dan pada umumnya mengabaikan potensi politisasi sebagai instrumen kekuasaan (Cotterrell 1999), hal itu juga akan menjadi pembacaan sepihak Durkheim untuk menyimpulkan bahwa Durkheim tidak memperhatikan kekuasaan dan konflik. Khususnya yang patut diperhatikan adalah konsepsi Durkheim tentang masyarakat-yang-kehilangan-pegangan-norma (anomie) dan perspektifnya tentang peran kelompok profesional, yang berhubungan erat dengan studinya tentang integrasi sosial dan hukum.
KESIMPULAN
Sosiologi Emile Durkheim adalah fundasi pada sosiologi dengan cara yang setara dengan karya Max Weber. Orientasi metodologis Durkheim membuka jalan bagi pengembangan sosiologi struktural yang terlibat dalam analisis kausal dan fungsional dan menyebabkan studi sosiologis masyarakat dibatasi sebagai kegiatan unik yang tidak dapat direduksi ke upaya akademis lainnya. Demikian pula, perspektifnya tentang masyarakat sebagai tatanan sosial moral dengan fungsi integratif telah menjadi sumber inspirasi (dan kritik) yang penting di kalangan sosiolog modern. Meskipun studi hukum dalam karya Durkheim sama pentingnya dengan karya Weber (Schluchter 2003), karya Durkheim secara umum kurang menonjol dalam sosiologi hukum modern daripada karya Weber. Penerimaan yang berbeda ini berkaitan dengan fakta bahwa Weber lebih konsisten dan ahli terlibat dalam studi hukum, paling tidak karena latar belakang teknisnya dalam hukum, daripada Durkheim yang mempunyai kontur yang tepat mengenai lebih pentingnya studi sosiologi masyarakat. Juga, penekanan Durkheimian pada kapasitas integratif hukum belum diterima dengan baik dalam sosiologi modern —terutama selama beberapa dekade ketika sosiologi hukum menjadi lebih terlembagakan sepenuhnya— seperti halnya perspektif rasionalisasi multidimensi Weber (lihat Bab 6). Namun, sangat mengejutkan bahwa program teoretis Durkheim tampaknya telah memengaruhi dan merangsang lebih banyak studi empiris daripada karya Weber.
Seperti yang akan ditunjukkan pada bab-bab berikutnya, Durkheim dan Weber adalah dua orang yang sangat berpengaruh secara mendasar terhadap berbagai aliran pemikiran yang berbeda. Untuk mengantisipasi teka-teki teoretis ini dan implikasi substantifnya, akan bermanfaat untuk menyimpulkan bagian ini dengan pandangan komparatif singkat terhadap kontribusi Weber dan Durkheim. Pada tingkat metodologis, Weber menganjurkan sosiologi interpretatif yang terlibat dalam penguraian motivasi yang mendorong tindakan sosial, sedangkan Durkheim menganjurkan analisis tingkat struktural fakta sosial dalam hal analisis kausal dan fungsional. Dengan menganalisis struktur dasar dan proses masyarakat, Weber mengembangkan teori multidimensi yang berfokus pada interaksi antara campuran kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan masyarakat lainnya, sedangkan Durkheim membela teori sosiologis secara distingtif yang memberi keunggulan pada pengaruh budaya dan memahami kondisi material sebagai faktor yang diperlukan tetapi tidak mencukupi. Model sosiologis yang menyimpang ini membuat Weber menekankan proses rasionalisasi berdasarkan standar efisiensi, sementara Durkheim mengutamakan sifat kesadaran kolektif yang semakin individualis. Akibatnya, Weber memahami hukum dalam proses rasionalisasinya, khususnya meningkatnya ketergantungan dalam hukum modern terhadap prosedur, sedangkan Durkheim terutama berfokus pada kapasitas integratif hukum dalam kaitannya dengan perubahan dalam sistem nilai masyarakat. Seperti yang akan diungkapkan dalam bab-bab mendatang, dalam menentukan tujuan dan metode penyelidikan sosiologis, Weber dan Durkheim telah memberikan wawasan teoretis, metodologis, dan penglihatan substantif tentang masyarakat yang tetap menjadi keprihatinan dalam sosiologi, termasuk sosiologi hukum, hingga saat ini. Hebatnya, bagaimanapun, garis perkembangan intelektual dari klasik ke sosiologi hukum modern tidak berlangsung satu arah, tetapi berjalan melalui perkembangan yang terjadi dari-dalam-hukum.
Catatan Kaki:
[1] Pendekatan sosiologi Durkheim diperjelas dalam The Rules of Sociological Method (Durkheim 1895) dan diterapkan dalam karya-karyanya tentang pembagian kerja (Durkheim 1893a diterjemahkan sebagai 1893b), bunuh diri (Durkheim 1897), dan agama (Durkheim 1912). Banyak buku Durkheim dan artikel terpenting tersedia dalam prosa Prancis asli mereka melalui situs “Les Classiques des Sciences Sociales”: http://classiques.uqac.ca/classiques/Durkheim_emile/ durkheim.html.
[2] Term conscience collective (kesadaran kolektif) Durkheim telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris baik sebagai “collective consciousness” dan “collective conscience.” Kedua ungkapan itu bisa mengundang kesalahpahaman dan, bagaimanapun, tidak boleh dipahami untuk menyiratkan pembacaan psikologis pikiran kelompok. Dengan mengingat kualifikasi ini, dalam buku ini saya berpegang pada istilah “kesadaran kolektif” (collective consciousness) karena istilah ini paling umum digunakan.
[3] Selain karyanya tentang pembagian kerja secara sosial (Durkheim 1893a diterjemahkan sebagai 1893b), tulisan-tulisan utama Durkheim lainnya adalah mengenai hukum termasuk kumpulan kuliah tentang politik dan hak (Durkheim 1900a diterjemahkan sebagai 1900b) dan studi tentang evolusi hukuman (Durkheim 1901a diterjemahkan sebagai 1901b). Yang sangat membantu di antara sumber-sumber sekunder adalah buku yang menyajikan studi lebih lengkap (book-length study) Roger Cotterrell (1999) tentang sosiologi hukum, moralitas, dan politik Durkheim. Lihat juga ikhtisar oleh Chazel 1991; Clarke 1976; Cotterrell 1977; Lukes dan Scull 1983; Tiryakian 1964; Vogt 1993.