Seri Sosiologi Hukum (8): Dari Ilmu Hukum Sosiologis ke Sosiologi Hukum, Perkembangan dan Variasi Sosiologi Hukum
MediaVanua.com ~ Buku sosiologi hukum ini menyajikan visi ilmiah sosiologi hukum berdasarkan diskusi tentang pencapaian utama dari spesialisasi sosiologi hukum. Karya Mathieu Deflem ini mengungkapkan nilai-nilai studi sosiologi hukum dengan menyatukan tema-tema teoritis dan empiris.
This is a copy of an Indonesian translation of “Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition” (2008), Mathieu Deflem, University of South Carolina, Translated by Anom Surya Putra.
Source: Sociology of Law: Visions of a Scholarly Tradition, by Mathieu Deflem (Cambridge University Press, 2008) https://deflem.blogspot.com/2008/01/socoflaw.html
bagian ii perkembangan dan variasi sOSIOLOGI HUKUM
5. DARI ILMU HUKUM SOSIOLOGIS (SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE) KE SOSIOLOGI HUKUM (SOCIOLOGY OF LAW)
Perkembangan sosiologi hukum tidak dapat dibatasi pada sejarah sosiologi tetapi juga harus mempertimbangkan unsur-unsur dalam sejarah pemikiran hukum, terutama yang berasal dari keilmuan hukum yang mengklaim terinformasi secara sosiologis. Kondisi ini terutama berlaku untuk Amerika Serikat, karena ketika upaya pertama dilakukan dalam sosiologi Eropa untuk menggali ceruk untuk sosiologi hukum, pada saat itu tidak ada perkembangan serupa dalam sosiologi Amerika, yang mana studi hukum sangat jarang dilakukan dalam ilmu sosiologi (misalnya, Gillin 1929; Thomas 1931).[1] Sebaliknya, berkembang suatu perspektif yang dikenal sebagai ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) sebagai pelopor awal sosiologi hukum, Didirikan oleh profesor hukum Harvard Roscoe Pound, ilmu hukum sosiologis adalah perpanjangan dari pemikiran hukum ahli hukum terkenal Amerika Serikat Oliver Wendell Holmes, Jr., yang telah merumuskan konsepsi hukum sebagai cerminan pembangunan suatu bangsa. Terinspirasi oleh Holmes dan perubahan menuju ilmu hukum yang diinformasikan secara ilmiah, ilmu hukum sosiologis juga membuka jalan bagi aliran realisme hukum, yang paling diuntungkan dari sistematisasinya dalam karya Karl Llewellyn.
Tradisi ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum Amerika menggantikan karya Petrazycki di Eropa sebagai salah satu pelopor menuju sosiologi hukum. Namun, karena mazhab-mazhab awal di Amerika Serikat ini merupakan bagian dari ilmu hukum daripada ilmu sosiologi, diperlukan upaya tambahan dari dalam sosiologi untuk menetapkan sub-bidang sosiologi hukum. Dalam hal ini, sosiologi Amerika beruntung karena dapat mengandalkan karya sosiolog Harvard Talcott Parsons sebagai momen puncak sosiologi hukum modern. Parsons mengembangkan perspektif hukum yang sosiologis baik dengan diinformasikan oleh sistem-perspektif teoritis dan sejalan dengan tradisi besar sosiologi klasik, yang mana Parsons, lebih dari siapa pun, membantu untuk membuat aspek sentral dari diskursus teoretis sosiologi modern. Bab ini akan menganalisis perkembangan sosiologi hukum modern dari mazhab ilmu hukum sosiologis Amerika ke penerusnya yakni realisme hukum dan menuju sosiologi Parsons berikut karya-karya yang relevan dari beberapa pengikutnya.
GERAKAN SOSIOLOGIS DALAM HUKUM: TRADISI AMERIKA
Momen besar dalam transisi menuju pendekatan ilmiah dan sosiologis dalam keilmuan hukum di Amerika Serikat ditemukan dalam pemikiran Oliver Wendell Holmes, Jr. (1841–1935).[2] Setelah berjuang dalam Perang Saudara, Holmes menerima gelar sarjana hukum dari Harvard Law School. Dia memasuki praktik hukum dan kemudian menjadi profesor hukum di Harvard dan anggota Mahkamah Agung Massachusetts. Dari tahun 1902 dan seterusnya, ia bertugas di Mahkamah Agung AS, yang mana ia menyusun banyak pendapat hukum yang terkenal dan berpengaruh, sering ditulis dalam bentuk pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari mayoritas pendapat di Pengadilan.
Ide sentral Holmes tentang hukum didasarkan pada penolakan terhadap doktrin formalisme hukum yang mendominasi pemikiran hukum Amerika. Teori formalisme hukum berpandangan bahwa hukum adalah suatu tubuh aturan yang konsisten dan logis secara internal, yang independen dari berbagai bentuk institusi sosial yang melingkupinya. Dalam interpretasi dan penerapannya, hakim akan dipandu secara eksklusif oleh sistem deduktif dari prinsip-prinsip abstrak. Bereaksi terhadap perspektif ini, Holmes berpendapat bahwa hukum tidak dapat dibahas dalam istilahnya sendiri saja, karena kemudian hukum dikacaukan dengan moralitas dan nilai-nilai moral yang menurut pemahamannya sendiri, dimaksudkan untuk dikembangkan, terlepas dari apakah atau sejauhmana kasus sebenarnya. Holmes mengadvokasi pemahaman hukum seperti bisnis, yang bertujuan untuk membuka kedok pandangan bahwa perkembangan hukum hanya tunduk pada logika, ketika penilaian hukum sebenarnya dipengaruhi oleh asumsi dan prasangka di pihak hakim. “Kehidupan hukum belum logis; hukum itu pengalaman,” tulis Holmes (1881:5). Terhadap formalisme hukum, Holmes berpendapat bahwa hukum merupakan cerminan dari pembangunan suatu bangsa. Untuk menentukan apa sebenarnya hukum itu, harus dipelajari dari segi prediksi bahwa keputusan pengadilan akan atau tidak akan menghasilkan hasil tertentu.
Pemikiran Holmes mencerminkan keasyikan profesionalnya dengan hukum yang menekankan aspek peradilan dan berpendapat bahwa hakim tidak hanya menemukan hukum dalam kode hukum, yang mereka terapkan dalam kasus-kasus tertentu, tetapi dengan demikian, mereka juga berkontribusi untuk merumuskan hukum dengan memilih prinsip-prinsip hukum dan preseden yang relevan untuk memutuskan hasil dari suatu kasus. Preseden tidak hanya diberikan, karena mereka dipilih oleh hakim berdasarkan konsepsi mereka tentang benar dan salah. Konsepsi normatif ini seringkali tetap tidak ditentukan dan secara tidak sadar mempengaruhi pendapat hakim. Penilaian hukum yang dianggap logis seringkali merupakan prinsip-prinsip dogmatis belaka, yang asal-usul spesifiknya diabaikan. Untuk melawan bias subjektif-ideologis dalam hukum, Holmes berpendapat bahwa teori hukum dengan tujuan praktis harus didasarkan pada studi sejarah hukum dan skeptisisme yang tercerahkan tentang makna dan dampak hukum terhadap perilaku masyarakat. Yang dibutuhkan hukum adalah ilmu hukum (jurisprudence), yaitu suatu teori hukum yang sistematis, yang harus dirumuskan, bukan atas dasar asas yang abstrak, tetapi atas dasar keinginan-keinginan sosial yang terukur secara akurat. Tujuan yang ingin diwujudkan oleh hukum harus diungkapkan dengan baik oleh pembuat keputusan hukum. Oleh karena itu Holmes menentang formalisme dalam hukum dengan menyarankan agar hakim melihat fakta yang relevan dalam masyarakat yang berubah, termasuk sentimen dan perasaan anggota masyarakat dan wawasan yang berasal dari penelitian ilmiah.
Teori yudisial Holmes memainkan peran utama dalam membentuk tradisi ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum Amerika. Perspektif ilmu hukum sosiologis dikembangkan secara sistematis oleh Roscoe Pound (1870-1964).[3] Pound telah lulus di bidang botani dan hanya memiliki pendidikan formal minimal di bidang hukum, namun ia akhirnya menikmati karir akademis yang panjang sebagai profesor hukum dan Dekan di fakultas hukum Universitas Nebraska dan Harvard. Pound menciptakan istilah ilmu hukum sosiologis untuk merujuk pada tahap baru dalam pengembangan perspektif ilmu hukum. Pound menganggap mazhab ilmu hukum baru ini masih formatif pada saat ia memperkenalkannya pada awal abad kedua puluh, karena sosiologi yang menjadi sandarannya masih merupakan ilmu yang relatif muda.
Secara umum, ilmu hukum sosiologis mengacu pada studi hukum yang memperhitungkan fakta-fakta sosial yang mana hukum berproses dan yang tersirat, dengan kata lain, kerja aktual, termasuk sebab dan akibat, dari hukum. Ilmu hukum sosiologis, menurut Pound, secara lebih khusus terdiri dari 6 (enam) pedoman program: (1) mempelajari efek sosial yang sebenarnya dari hukum; (2) berfokus pada efek hukum untuk mempersiapkan legislasi yang memadai; (3) berusaha untuk membuat aturan hukum lebih efektif mengingat fungsi penegakan hukum; (4) mempelajari efek sosial hukum secara historis; (5) berusaha untuk berkontribusi pada penerapan hukum yang adil dalam semua kasus; dan (6) bertujuan untuk memajukan tujuan akhir hukum dalam hal pengendalian sosial.
Penekanan dalam ilmu hukum sosiologis dengan demikian adalah pada cara kerja hukum yang sebenarnya, bukan hanya pada doktrin hukum dan teori internal hukum. Pound mengungkapkan perbedaan perspektif ini dalam perbedaan yang sekarang terkenal antara law in action dan law in the books. Pound berpendapat bahwa pembedaan antara hukum dalam tindakan dan hukum dalam kitab-aturan disebabkan oleh kelambatan umum dari hukum secara relatif terhadap kondisi sosial, kegagalan pemikiran hukum memperhitungkan kemajuan ilmu sosial, kekakuan undang-undang, dan kekurangan dalam administrasi hukum. Dari sudut pandang ilmu hukum sosiologis, keputusan hukum harus diselidiki terhadap efek yang ditimbulkannya dan kondisi keputusan hukum yang dilakukan dalam konteks perkembangan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Alih-alih mendirikan ilmu hukum mandiri yang tertutup atas dasar prinsip-prinsip hukum, ilmu hukum sosiologis berusaha mempelajari hukum harus disesuaikan secara memadai untuk menanggapi kondisi masyarakat yang berubah. Hukum dengan demikian dipahami sebagai sarana menuju tujuan.
Berkenaan dengan tujuan hukum, Pound berpendapat bahwa hukum adalah bentuk kontrol sosial, yang didefinisikan sebagai tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang terorganisir secara politik dalam hal pemenuhan klaim, permintaan, dan keinginan, yang dicari orang secara individu atau kolektif untuk pemuasan. Hukum bukan satu-satunya alat kontrol sosial ––Pound juga menyebutkan agama dan moralitas–– tetapi dalam konteks modern (awal abad kedua puluh) semua alat kontrol sosial lainnya berada di bawah hukum. ”Saat ini,” tulis Pound (1923: 356), ”aturan hukum adalah bentuk kontrol sosial yang paling mencolok dan paling efektif.” Pound memahami tujuan-tujuan hukum secara lebih spesifik dalam kerangka teori kepentingan sosial, yang mana ia membedakan enam kategori: (1) keamanan umum, seperti keamanan fisik dan kesehatan penduduk; (2) keamanan institusi, seperti di ranah politik, ekonomi, dan agama; (3) standar moral perilaku; (4) konservasi sumber daya sosial; (5) kemajuan ekonomi dan politik; dan (6) kehidupan dan hak individu. Sebagai alat kontrol sosial, hukum harus memberikan ekspresi konkret terhadap kepentingan sosial dan menawarkan rekonsiliasi ketika konflik kepentingan muncul. Keputusan yudisial dalam pengertian ini berkontribusi pada pemeliharaan tatanan sosial sebagai bentuk rekayasa sosial. Perlu dicatat bahwa hak individu, dalam pemahaman Pound, hanya membentuk satu elemen di antara kepentingan sosial yang harus dipenuhi oleh hukum, sehingga melampaui konsepsi individualis tentang hak dan kewajiban yang mendominasi hukum dan ilmu hukum (jurisprudence) Amerika.
Konsepsi Pound tentang hukum sebagai kontrol sosial mengkhianati kecenderungannya pada arus sosiologi Amerika pada zamannya. Berkenaan dengan perkembangan sejarah menuju pembentukan ilmu hukum sosiologis, Pound menganggap filsafat sosial positivis Auguste Comte paling esensial. Sosiolog awal lainnya yang kadang-kadang dirujuk oleh Pound dalam karyanya termasuk Spencer, Durkheim, dan Weber. Namun, dalam hal sistematika perspektif ilmu hukum sosiologis, ia mengandalkan sosiolog yang bekerja dalam tradisi khas Amerika, terutama Lester Ward, yang karyanya berpengaruh bagi Pound karena fokusnya pada masalah sosial dan pertanyaan sosiologis tentang keadilan, dan Edward Alsworth Ross, yang mengembangkan teori sosiologis sistematis tentang kontrol sosial. Penting untuk mencurahkan perhatian pada perspektif Ross tentang kontrol sosial, karena itu adalah salah satu wawasan sosiologis yang paling jelas yang memengaruhi karya Pound.
Edward A. Ross, yang selama beberapa tahun di awal abad kedua puluh adalah rekan Pound di Universitas Nebraska, paling terkenal dengan teorinya tentang kontrol sosial, yang ia kembangkan dalam serangkaian jurnal artikel yang kemudian diterbitkan. dalam bentuk buku (Ross 1901). Secara luas dipahami untuk merujuk pada kapasitas masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri tanpa sumber daya untuk memaksa, kontrol sosial didefinisikan bertentangan dengan kontrol koersif sebagai bentuk kekuasaan sosial atau dominasi masyarakat atas individu dimaksudkan untuk menyelaraskan kepentingan yang berbeda dan kegiatan yang ada di antara mereka. Sebagai fungsi konstan dalam masyarakat, kontrol sosial dijamin melalui pengoperasian berbagai lembaga sosial, seperti pendidikan, seni, kepercayaan, opini publik, agama, adat, dan hukum. Sehubungan dengan fungsi kontrol sosial hukum, Ross (1896) terutama membahas kapasitas penegakan hukum atas dasar sistem hukuman. Sanksi hukum berfungsi terhadap masyarakat secara keseluruhan dengan secara terbuka dan seremonial menunjukkan ketidaksetujuan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu sedemikian rupa sehingga semua anggota masyarakat menerima hukum sebagai kehendak masyarakat. Legalitas saja, bagaimanapun, tidak cukup untuk kontrol masyarakat dan harus dilengkapi dengan opini publik sebagai keseluruhan sanksi sosial terhadap perilaku yang tidak dapat diterima. Selaras dengan konsepsi Ross, perspektif kontrol sosial yang digunakan oleh Pound menyiratkan pandangan tentang fungsi hukum sebagai pengaman integrasi sosial atau, dalam kata-kata Pound, “seluruh skema tatanan sosial” (Pound 1927: 326). Dengan demikian, gagasan tentang kontrol sosial ini lebih luas daripada, dan jangan dibingungkan dengan, penggunaan istilah yang saat ini lebih umum dalam kaitannya dengan kejahatan dan penyimpangan (lihat Bab 11).
Dalam konteks ilmu hukum sosiologis, perspektif realisme hukum Amerika layak didiskusikan secara terpisah, bukan hanya karena merupakan manifestasi penting lain dari reaksi terhadap formalisme hukum, tetapi terutama karena hal itu memicu perdebatan intelektual penting dalam studi hukum, banyak elemen yang tetap berpengaruh dalam pemikiran hukum dan sosiologi hukum sampai hari ini. Yang paling sentral dan, dalam hal sejarah ilmu hukum sosiologis, perwakilan paling menarik dari aliran realisme hukum adalah Karl Llewellyn (1893–1962).[4] Llewellyn lulus dari hukum di Yale dan mengajar sebagai profesor hukum di Columbia dan Chicago. Dipengaruhi oleh sosiologi Sumner, karya Llewellyn terlibat dalam kritik formalisme hukum atas dasar postulat bahwa hukum harus dianalisis sebagai institusi sosial. Lebih khusus lagi, Llewellyn tertarik untuk mempelajari bagaimana hukum beroperasi dalam situasi sehari-hari dan kasus-kasus konkret. Orientasi etnografi ini, menurut Llewellyn, akan sekali dan untuk selamanya memutuskan semua bentuk formalisme hukum dan diskusi abstrak tentang hukum dalam hal aturan, aturan hukum, dan hak.
Llewellyn menolak gagasan tentang kepentingan sebagai objek hukum dan asumsi bahwa hukum, dalam kaitannya dengan keputusan pengadilan, mengatur perilaku manusia. Bagi Llewellyn, pertanyaannya harus selalu apakah, kapan, dan sejauhmana hukum sebagai aturan yang dilarang dan hukum sebagai praktik aktual benar-benar menyatu atau tidak. Sikap umum Llewellyn dalam hal ini adalah salah satu skeptisisme karena ia berpendapat bahwa ada sedikit prediktabilitas dalam perilaku hukum daripada pandangan tradisional berdasarkan aturan (sebagai pengatur perilaku manusia) akan mengarah pada kesimpulan. Bagaimanapun, tanpa penyelidikan empiris, Llewellyn berpendapat, tidak ada generalisasi yang dapat dibuat tentang efek hukum.
Llewellyn mengusulkan pendekatan deskriptif faktual yang berfokus pada dimensi perilaku hukum. Oleh karena itu ia membedakan antara apa yang disebut “aturan dan hak kertas” dari seharusnya yang digunakan dalam doktrin hukum, dan “aturan dan hak nyata” yang dipahami dalam perilaku. Aturan nyata merupakan praktik pengadilan yang sebenarnya, dan hak nyata mengacu pada kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu jenis tindakan pengadilan tertentu akan diterapkan. Fokusnya tidak hanya pada perilaku hakim, tetapi juga pada perilaku pejabat negara mana pun serta semua orang awam yang terlibat dalam hukum. Berdasarkan studi kasus konkret yang dibatasi secara sempit, analisis hukum realis pada akhirnya juga akan berguna untuk berkontribusi pada reformasi hukum.
ASAL MUASAL HUKUM (LEGAL ORIGINS) SOSIOLOGI HUKUM
Meskipun ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum keduanya secara intelektual berhutang budi pada karya Holmes dan kebangkitan ilmu-ilmu sosial, ambisi dan orientasi teoretis dari kedua perspektif tersebut menjadi bahan perdebatan sengit antara kedua pemimpinnya masing-masing, Pound dan Llewellyn.[5] Pound (1931) memulai perdebatan ini dengan mengkritisi pendekatan legal-realis karena hanya melakukan studi deskriptif hukum yang tidak dapat menjadi dasar ilmu hukum. Tujuan dari realisme hukum, untuk mempelajari hukum secara akurat sebagaimana adanya daripada apa yang dibayangkan, Pound merasa berguna tetapi tidak cukup. “Penggambaran yang tepat tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan dan pembuat hukum dan ahli hukum bukanlah tugas seluruh ilmu hukum,” Pound (1931: 700) berpendapat, karena apa yang dilakukan hukum tidak dapat dipisahkan dari apa yang seharusnya dilakukan sebagai alat kontrol sosial. Kurangnya pemahaman hukum yang lebih luas dan, akibatnya, terlalu membatasi studinya, kaum realis terobsesi dengan angka-angka yang disediakan oleh studi deskriptif. Realisme hukum juga akan menjadi reduksionis dalam hal ketergantungan eksklusifnya pada psikologi perilaku peradilan dan keasyikannya dengan menganalisis kasus hukum tunggal daripada keseragaman di tingkat sosial.
Menanggapi Pound, Llewellyn (1931) mengklarifikasi prinsip gerakan realis. Dia berargumen bahwa realisme hukum memahami hukum sebagai sesuatu yang berubah dan harus diperiksa dalam kaitannya dengan tujuan yang dipenuhinya (dalam kasus-kasus konkret). Lebih jauh, realisme hukum terlibat dalam pemeriksaan konstan cara kerja hukum dan tidak berasumsi bahwa diskusi tentang aturan dapat menggantikan analisis konkret yang menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan hukum. Selain tidak mempercayai semua teori hukum yang berfokus pada aturan dan malah mengembangkan program studi hukum berdasarkan rangkaian kasus yang dibatasi secara sempit, studi hukum-realis untuk sementara memisahkan isu faktual (of is) dari isu normatif (of ought). Realisme hukum berfokus secara eksklusif pada hukum seperti dalam hal perilaku para peserta hukum dan menangguhkan penilaian apa pun tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum. Demikian pula, sikap peneliti tentang masalah hukum normatif dijauhkan dari analisis.
Perdebatan antara Pound dan Llewellyn mengungkapkan poin penting pertentangan yang telah menandai ilmu hukum serta sosiologi hukum hingga hari ini. Ini menyangkut peran nilai-nilai dan moralitas relatif terhadap hukum dan studinya. Realisme hukum Llewellyn benar-benar putus dengan konsepsi hukum sebagai keadilan dan sebaliknya terutama mengalihkan perhatian pada pengembangan metodologi untuk studi hukum yang akurat. Dalam pendekatan ini, lebih jauh lagi, realisme hukum secara tegas objektivis, mempelajari perilaku aktual para peserta hukum tanpa prasangka tentang fungsi hukum dan implikasi moral. Mengadopsi pendekatan behavioris, apalagi realisme hukum berorientasi pada analisis konteks hukum yang interaktif, yang melibatkan perilaku para aktor hukum. Sebaliknya, tradisi ilmu hukum sosiologis merupakan perspektif keilmuan hukum yang bertumpu pada wawasan ilmu-ilmu sosial untuk memajukan persoalan-persoalan kebijakan dari segi keadilan. Ilmu hukum sosiologis Pound terutama diinformasikan oleh upaya untuk memperbaiki sistem regulasi hukum. Penekanan Pound pada fungsi hukum dalam hal kontrol sosial, dengan demikian, bukan ekspresi kepentingan akademis belaka tetapi berasal dari filsafat hukum pragmatis yang berusaha mengembangkan perspektif informasi tentang bagaimana hukum harus dipahami mengingat kondisi masyarakat tertentu. Perbedaan antara law in the books dan law in action, yang menurut Pound sangat mendalam pada zamannya, dengan demikian dapat diatasi melalui penerapan dalam hukum dari wawasan-wawasan yang bersumber dari ilmu hukum sosiologis.
Masalah normativitas hukum telah menjadi bagian dari sosiologi hukum sejak Durkheim, dan itu tetap menjadi bagian dari studi sosiologi hukum sejak itu, paling tajam muncul dalam perdebatan tentang kemungkinan sosiologi hukum ilmiah yang akan dikembangkan. dimulai segera setelah sosiologi hukum dilembagakan sebagai subspesialisasi yang diterima secara lebih luas (lihat Bab 6). Masalah ini juga diterjemahkan lebih cepat dalam hal fungsi hukum dan konsepsi hukum sebagai kontrol sosial, sebuah perspektif yang sangat penting bagi pandangan struktural-fungsionalis hukum. Dalam hal ini, adalah berguna untuk mengingat asal-usul spesifik dari masalah ini pada mazhab-mazhab ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum Amerika dan konteks kemunculannya. Secara intelektual, pengaruh filsafat pragmatis Amerika seperti yang telah dipopulerkan oleh orang-orang seperti William James dan John Dewey dapat dicatat. Dengan melawan deduktivisme dan formalisme dalam pemikiran, pragmatisme menolak gagasan bahwa istilah dapat memiliki makna yang stabil atau benar, sebaliknya pragmatisme menghubungkan makna dan kebenaran berdasarkan konsekuensi aktual dalam tindakan penerimaan istilah dalam konteks tertentu. Pragmatisme memengaruhi baik ilmu hukum sosiologis maupun realisme hukum yang mana masing-masing berpaling dari formalisme hukum menuju realitas bekerjanya hukum. Namun, sementara realisme hukum mengadopsi perspektif skeptisisme terhadap pernyataan yang dapat digeneralisasikan tentang tujuan hukum, ilmu hukum sosiologis mengambil giliran moralistik untuk merenungkan cara studi hukum dapat berkontribusi untuk meningkatkan efektivitas hukum. Orientasi terakhir secara intelektual juga berhutang budi pada bentuk dominan sosiologi Amerika pada saat itu. Sosiologi Amerika awal berasal dari orientasi praktis terhadap perbaikan penyakit sosial dan bukan semata-mata aktivitas intelektual yang telah berkembang di aula akademisi (seperti yang terjadi di Eropa, yang mana kepentingan sosiologis membentuk dasar untuk kegiatan reformasi sosial, bukan sebaliknya). Konsep kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Ross, misalnya, beroperasi secara eksplisit di latar belakang masalah sosial, seperti urbanisasi, kemiskinan, alkoholisme, dan prostitusi, yang dibawa oleh modernisasi masyarakat.
Komitmen moral yang berakar pada konsepsi Amerika tentang hukum sebagai kontrol sosial selaras dengan konsepsi Durkheim tentang integrasi sosial dan perhatian Petrazyck terhadap hukum sebagai sarana untuk mewujudkan tatanan sosial. Meskipun demikian, sosiologi Eropa dan keilmuan hukum jauh lebih teoretis dan akademis dalam fondasi mereka daripada rekan-rekan Amerika mereka, yang tumbuh terutama dari aspirasi praktis dan profesional. Sedangkan dalam kasus sosiologi, perbedaan-perbedaan ini berasal dari asal-usul disipliner yang berbeda, dalam akademisi Eropa dan gerakan Amerika menuju reformasi liberal, perbedaan dalam keilmuan hukum harus ditempatkan dalam konteks perbedaan antara sistem hukum Eropa dan Amerika itu sendiri, lebih khusus lagi tradisi pendidikan hukum akademik Eropa dan praktik pelatihan hukum profesional Amerika (lihat Bab 9). Oleh karena itu, perkembangan teoretis menuju sosiologi hukum, daripada ilmu hukum sosiologis, berlangsung jauh lebih cepat di Eropa daripada di Amerika Serikat. Tentu saja, pelembagaan sosiologi hukum di Eropa akan terhambat oleh gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi Bolshevik (dan bubarnya aliran Petrazycki) dan Perang Dunia II serta pergeseran keseimbangan internasional yang mengikutinya.
Di Amerika Serikat, hambatan-hambatan terhadap perkembangan sosiologi hukum sebagian besar bersifat ilmiah karena tradisi ilmu hukum sosiologis begitu kuat dalam keilmuan hukum sehingga pada awalnya menghambat perkembangan sosiologi hukum yang independen. Sosiologi hukum yang pada saat itu muncul di Eropa, apalagi, sebagian besar dirampas oleh para sarjana ilmu hukum sosiologis daripada dibahas oleh sosiolog lain. Namun, keberhasilan ilmu hukum sosiologis tidak dapat menyangkal fakta bahwa ilmu hukum bukanlah sosiologi, meskipun pembedaan tersebut tidak selalu secara hati-hati dipertahankan atau diakui dalam literatur sekunder (Cossio 1952; Cotterrell 1975; Zeigert 1999). Betapapun kontra-intuitifnya ide-ide ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum mungkin (dan terus berlanjut) dari sudut pandang profesional hukum, mereka tetap merupakan ide-ide teori hukum dan tidak dikembangkan secara sosiologis.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa perbedaan ilmiah antara ilmu hukum sosiologis dan sosiologi hukum jelas diakui dan dihormati oleh Pound. Dalam sebuah artikel menarik tentang “Sociology of Law and Sociological Jurisprudence,” Pound (1943) mengamati bahwa sosiologi hukum berproses dari dalam sosiologi ke hukum, sedangkan ilmu hukum sosiologis beroperasi dalam arah sebaliknya sebagai bentuk ilmu hukum yang, dari dalam hukum, khususnya atas dasar karya Holmes, memanfaatkan wawasan dari sosiologi. Pound mencatat bahwa perbedaan dalam perspektif ini berakar pada perbedaan mendasar antara masing-masing tujuan sosiologi dan ilmu hukum. Sedangkan sosiologi terutama berorientasi pada teori atau penelitian, ilmu hukum secara praktis berorientasi pada kontribusi terhadap penyelesaian masalah hukum. Pound berpendapat bahwa ilmu hukum sosiologis menghadapi kesulitan penerimaan dari ilmu hukum dan sosiologi, dari yang pertama (ilmu hukum) karena menyimpang dari sistem hukum formal dan doktrin hukum dan dari yang terakhir (sosiologi) karena memiliki orientasi praktis dan terlibat dalam perumusan penilaian nilai.
Untuk memungkinkan perkembangan sosiologi hukum di Amerika Serikat, yang diperlukan adalah salah satu atau kedua dari dua syarat: penerimaan mazhab-mazhab sosiologi hukum Eropa oleh disiplin sosiologi pada umumnya dan/atau beralih ke studi sosiologi hukum dari dalam sosiologi. Seperti yang akan ditunjukkan pada bagian selanjutnya dan Bab 6, kondisi kedua yang mendorong perkembangan sosiologi hukum dan pelembagaannya sebagai sub-spesialisasi disiplin ilmu.
MODERNISASI SOSIOLOGI KLASIK: TALCOTT PARSONS
Akan menjadi penyangkalan terhadap realitas historis sosiologi modern bila mengabaikan kontribusi sosiolog Amerika Talcott Parsons. Pengaruh karya Parsons cukup penting untuk dipertimbangkan dalam setiap sejarah sosiologi, secara teoritis dan institusional, pertama-tama karena mendorong perkembangan aliran fungsionalis struktural, yang memperoleh dominasi selama beberapa dekade setelah Perang Dunia II. Selain itu, sama pentingnya jika tidak lebih penting untuk memperdebatkan sentralitas karya Parsons dalam pembentukan sosiologi modern karena sebagian besar karena upayanya bahwa usaha sosiologis kontemporer sekarang menempatkan dirinya dalam kaitannya dengan para sarjana klasik, terutama Weber dan Durkheim. Itu juga disebabkan oleh karya Parsons dan perwakilan fungsionalisme struktural lainnya sehingga generasi baru sosiolog dapat mulai merumuskan ide-ide alternatif yang akan menyimpang, kadang-kadang tajam, dari premis dan arah perspektif fungsionalis yang dominan. Untuk alasan ini, terobosan yang menentukan dalam perkembangan sosiologi modern, termasuk sosiologi hukum, ditemukan dalam karya Parsons. Signifikansi perkembangan ini bagi sosiologi hukum tidak hanya tidak langsung, melalui penerimaan klasik dan munculnya pluralisme teoritis dalam sosiologi, tetapi juga dapat mengandalkan secara langsung pada kontribusi sosiologi hukum yang dirumuskan oleh Parsons dan beberapa pengikut karyanya.
Talcott Parsons (1902–1979) memperoleh gelar sarjana dari Amherst College dan awalnya mempertimbangkan untuk berkarir di bidang kedokteran.[6] Selama studi di perguruan tinggi, perhatiannya beralih ke ilmu sosial dan ekonomi dan, pada tahun 1924, ia memulai studi pascasarjana di London School of Economics dan, setahun kemudian, di Universitas Heidelberg di Jerman. Parsons memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dari Heidelberg pada tahun 1927 selama tahun magang mengajar di Amherst. Setelah itu, Parsons menjadi dosen ekonomi di Harvard, yang mana, pada tahun 1931, ia pindah ke jurusan Sosiologi yang baru saja didirikan oleh Sorokin. Parsons awalnya hanya perlahan naik pangkat, tetapi begitu namanya dipastikan melalui publikasi karya teoretis utama, ia akan menjadi sosiolog tunggal paling dominan pada masanya.
Setidaknya ada tiga jalur perkembangan dalam sosiologi Parsons: perumusan perspektif teori-tindakan; penjabaran dari teori sistem masyarakat; dan fase akhir yang lebih berorientasi empiris dengan kecenderungan evolusionis yang kuat. Terutama periode pertengahan dalam pemikiran Parsons yang menghasilkan kontribusinya yang paling penting bagi sosiologi hukum. Secara singkat beralih ke fase pertama dalam karya Parsons, selama studinya di Eropa Parsons bertemu dengan sejumlah besar penulis Eropa terkemuka, seperti antropolog Bronislaw Malinowski, antropolog fungsionalis yang mengajar di London School of Economics, Max Weber, yang telah meninggal hanya beberapa tahun sebelum Parsons berada di Heidelberg, Emile Durkheim, pendiri mazhab sosiologi Prancis, Alfred Marshall, ekonom Inggris yang berpengaruh, dan Vilfredo Pareto, ekonom Italia yang teorinya juga mengilhami perkembangan sosiologi. Sementara beberapa dari cendekiawan ini tidak sepenuhnya tidak dikenal oleh sosiolog di Amerika Serikat, tidak satupun dari mereka telah mencapai status klasik dalam sosiologi kontemporer, terutama karena karya mereka tidak selalu tersedia dalam terjemahan dan, seperti yang dikemukakan sebelumnya, karena sosiologi Amerika Serikat memposisikan sosiologi itu sendiri secara relatif terhadap bidang penelitian masalah sosial daripada teori.
Pada tahun 1937, Parsons mengubah wajah sosiologi selamanya dengan diterbitkannya The Structure of Social Action (Parsons 1937). Pada tingkat teoretis, buku ini menyajikan teori tindakan voluntaristik berdasarkan premis (Weberian) bahwa tindakan manusia terdiri dari hubungan yang bermakna antara sarana dan tujuan. Parsons juga berpendapat bahwa perkembangan teori voluntaristik semacam itu dapat diamati dalam karya-karya para ahli teori sosial besar, seperti Weber, Durkheim, Marshall, dan Pareto. Terlepas dari tinjauan umum dari apa yang disebut tesis konvergensi ini, yang penting tentang karya Parsons dalam konteks sekarang adalah bahwa ia mengandalkan karya-karya berbagai ilmuwan klasik dengan tujuan yang jelas untuk mengembangkan perspektif teoretis. Pendekatan seperti itu dewasa ini dipraktekkan secara luas dan, dalam bentuk yang kurang lebih tepat, hampir identik dengan usaha teorisasi sosiologis. Secara substantif, teori voluntaristik Parsons menyatakan bahwa perilaku manusia bermakna dan harus didekati dari perspektif non-positivis dalam hal motivasi dari pihak aktor. Namun, bergerak melampaui psikologi sosial belaka, Parsons berpendapat bahwa pada tingkat masyarakat ada batasan untuk variabilitas tujuan karena tindakan manusia diatur di sekitar sistem umum tujuan atau nilai (ultimate). Menghindari keadaan Hobesian dari perang semua melawan semua, perilaku manusia diatur pada tingkat sistem nilai bersama melalui sosialisasi. Untuk mengamankan kepatuhan pada sistem nilai seperti itu, norma-norma sosial beroperasi untuk mengatur atau mengendalikan tindakan. Dalam perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Parsons, fokus pada tindakan bergerak tegas ke kerangka acuan sistem tentang bagaimana integrasi normatif diamankan.
Teori sistem Parsons menawarkan perspektif analitis masyarakat yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana masyarakat dapat mengamankan integrasi, terutama dalam terang individualisme yang berkembang. Secara umum, Parsons menerapkan gagasan sistem untuk merujuk pada keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian terkait yang melakukan fungsi-fungsi khusus dalam hubungannya satu sama lain dan pemeliharaan keseluruhan. Menentukan fungsi sistem sebagai adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi, Parsons berpendapat bahwa dalam masyarakat modern empat subsistem yang relatif otonom telah dibedakan untuk melakukan satu fungsi yang ditentukan: ekonomi, sistem politik, komunitas masyarakat, dan fidusia (atau nilai) sistem. Sistem sosial dan berbagai subsistemnya dipahami sebagai sistem terbuka yang terlibat dalam proses ganda pertukaran melalui berbagai medium simbolik. Dalam hal sistem sosial, medium tersebut adalah: uang dalam subsistem ekonomi, kekuasaan dalam politik, pengaruh normatif dalam komunitas masyarakat, dan komitmen nilai dalam subsistem fidusia.
Dalam konteks buku ini, banyak kompleksitas teoritis (dan masalah) pemikiran Parsons tidak perlu dibahas dan dapat diganti dengan penjelasan teori Parsons yang kurang abstrak dalam hal analisisnya tentang sistem hukum. Memang, selain analisisnya tentang institusi sosial seperti keluarga, agama, perawatan kesehatan, profesi, dan pemerintahan, Parsons juga memberikan perhatian eksplisit yang cukup besar pada peran sistem hukum dalam masyarakat modern.[7] Pada dasarnya, Parsons memandang sistem hukum dalam hal fungsi integratifnya sebagai elemen sentral dari komunitas masyarakat masyarakat modern. Parsons (1959: 184) mendefinisikan hukum sebagai “setiap aturan yang relatif formal dan terintegrasi yang membebankan kewajiban pada orang-orang yang memainkan peran tertentu dalam kolektivitas tertentu.” Dengan mendemonstrasikan nilai analitis dari pendekatan sistem fungsionalis, Parsons menganalisis peran hukum dalam kaitannya dengan subsistem masyarakat yang berbeda dalam skema empat fungsi dan dalam hal fungsi integratif utama hukum.
Sehubungan dengan diferensiasi hukum dari sistem ekonomi, Parsons berpendapat bahwa sistem hukum tidak dapat dikonseptualisasikan secara memadai dengan mengacu pada kepentingan pribadi yang menyertai ekspansi kapitalisme. Terhadap interpretasi Marxis, Parsons berpendapat bahwa motif keuntungan tidak dapat diasumsikan untuk mengatur semua bidang masyarakat dan, selain itu, bahwa proses hukum tidak dapat dianalisis dalam istilah utilitarian dari maksimalisasi keuntungan. Sebaliknya, sistem hukum tetap relatif otonom dari sistem ekonomi karena hukum dimaksudkan untuk merundingkan kepentingan-kepentingan yang berbeda yang perlu diseimbangkan.
Parsons juga mempertahankan otonomi relatif hukum sehubungan dengan sistem politik. Fungsi pembuatan undang-undang didelegasikan kepada pemerintahan dalam bentuk fungsi legislatif pemerintah, tetapi fungsi hukum lainnya secara eksklusif diadili oleh sistem hukum. Secara khusus, interpretasi dan sanksi norma hukum ditangani oleh pengadilan dan lembaga penegak hukum. Pemerintah juga mengamati pemisahan kekuasaan secara fungsional serta pelestarian yang dijamin secara hukum atas hak-hak individu untuk menentukan nasib sendiri. Politisasi hukum, yaitu instrumentalisasi hukum oleh pemerintah untuk tujuan politik, merupakan kemungkinan empiris, terutama dalam masyarakat yang tidak terorganisir secara demokratis, tetapi bukan keharusan teoretis.
Parsons menganggap hukum, yang paling penting, sebagai mekanisme kontrol sosial dalam konteks komunitas masyarakat sistem sosial. Sistem hukum secara khusus memenuhi fungsi-fungsi berikut: interpretasi hukum di pengadilan; penerapan hukum melalui pengambilan keputusan administratif dan yuridis; sanksi hukum oleh institusi penegak hukum; dan spesifikasi yurisdiksi untuk menentukan kapan dan dimana aturan hukum berlaku. Fungsi integratif hukum memiliki dua dimensi, karena hukum tidak hanya mengatur interaksi antar anggota masyarakat (integrasi sosial) tetapi juga mengatur struktur kelembagaan masyarakat dan pertukaran antar subsistem (integrasi sosial). Sehubungan dengan fungsi integratif hukum, Parsons memberikan perhatian khusus pada profesi hukum. Profesi hukum memperoleh signifikansi khusus dari fakta bahwa profesional hukum mengoordinasikan tindakan dalam sistem hukum di bawah kondisi yang ditetapkan dalam proses legislatif melalui interpretasi norma-norma hukum dalam kasus-kasus tertentu.
Akhirnya, Parsons memposisikan hukum dalam kaitannya dengan sistem fidusia dalam arti bahwa ia menganggap nilai-nilai masyarakat untuk memberikan “lapisan sub-konstitusional dari sistem hukum” (Parsons 1978: 48). Dalam masyarakat modern, sangat relevan bagi Parsons bahwa hukum agama yang telah menjadi sekularisasi menjadi persyaratan hukum prosedural yang dirumuskan dalam kerangka prinsip-prinsip umum yang melegitimasi kesetaraan partisipasi melalui pelembagaan hak dan kewajiban. Di Amerika Serikat, khususnya, etika Protestan dan penekanan yang menyertainya pada penyelidikan bebas sebagian besar telah membentuk tradisi hukum umum Amerika, menekankan kekhasan setiap kasus pengadilan dan memperhitungkan sifat individualistis dari banyak undang-undang. “Pengaruh Puritan,” Parsons (1978: 49) menulis, “cukup penting untuk membenarkan suatu penempatan perkembangan hukum bersama-sama dengan pengabdian terhadap panggilan dalam usaha ekonomi dan ilmu pengetahuan.”
WARISAN (LEGACY) FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Selaras dengan pengaruh luas karya Parsons, pendekatan sosiologisnya terhadap hukum mampu menghasilkan mazhab sosiolog hukum yang bekerja dalam tradisi Parsonian, termasuk Harry Bredemeier, Leon Mayhew, dan William Evan. Karya-karya para ilmuwan ini secara teoritis bertujuan untuk mengonseptualisasikan peran hukum sebagai mekanisme kontrol sosial dan proses fungsional pertukaran antara hukum dan subsistem masyarakat lainnya, seringkali dengan perhatian yang lebih eksplisit terhadap masalah dan ketegangan yang terkait dengan hukum daripada yang dapat ditemukan dalam karya Parsons (Bredemeier 1962; Davis 1962; Davis dkk. 1962; Evan 1960, 1961, 1965; Mayhew 1968b, 1968c, 1971). Selain itu, sosiolog ini melakukan uji empiris terhadap berbagai proposisi yang berasal dari dalam kerangka struktural-fungsional dalam kasus hukum tertentu, seperti masalah seputar implementasi dan legitimasi hukum tertentu (Evan 1959, 1962b; Evan dan Levin 1966; Mayhew 1968a).
Meskipun ada sejumlah sarjana Parsonian yang terlibat dalam studi sosiologi hukum, pengaruh mereka terhadap perkembangan hukum lebih lanjut relatif minimal, bukan hanya karena menurunnya dominasi Parsons dari tahun 1960-an dan seterusnya, tetapi sebagian besar karena para sarjana Parsonian tidak cukup terlibat sebagai spesialis dalam sosiologi hukum untuk memiliki dampak yang langgeng di bidang khusus. Yang paling ambisius dalam cakupannya dan paling konsisten dalam bidang sosiologi hukum adalah karya William Evan. Namun, karya Evan menderita karena tidak disajikan secara lebih sistematis sampai tahun 1990, pada saat sosiologi hukum telah berkembang jauh melampaui paradigma fungsionalis (Evan 1990).
Namun, relevansi Parsons dengan sosiologi hukum melampaui kontribusi para pengikut langsungnya. Di luar karya-karya sosiolog hukum fungsionalis, relevansi sosiologi hukum Parsons terasa lebih bertahan lama melalui penerimaan dan pengaruh karyanya dalam pengembangan disiplin sosiologi. Dalam hal ini, penting untuk mengamati dampak positif yang bertahan lama, jika sebagian besar tidak langsung, dari pemikiran Parsons pada banyak untaian teori sosiologi kontemporer seperti halnya banyak mazhab teoretis yang telah dirumuskan, seringkali dalam reaksi langsung terhadap Parsons, sebagai alternatif untuk pendekatan fungsionalis. Aspek-aspek warisan Parsons ini mau tidak mau mempengaruhi sosiologi hukum juga. Dalam hal ini, perkembangan perspektif interaksionis dan teori konflik dalam sosiologi hukum dapat dilihat sebagai tanggapan terhadap Parsons (lihat Bab 6), sedangkan diskusi-diskusi yang berlangsung lama dalam sosiologi hukum seperti Weber dan Durkheim juga berhutang pada Parsons.
Parsons mengembangkan sosiologi hukumnya sebagian besar berdasarkan sosiologinya dan ide-ide sentral dari klasik sosiologis yang ia gabungkan di sana. Yang paling mencolok adalah perhatian Durkheimian terhadap integrasi dan keasyikan Weberian dengan bentuk khusus hukum modern dan perannya dalam masyarakat yang dirasionalisasi. Tetapi Parsons juga dipengaruhi dalam pengembangan perspektif sosiologisnya tentang hukum dengan wawasan dari para sarjana hukum. Parsons mengetahui beberapa karya Roscoe Pound dan telah bertemu dengan ilmuwan hukum di Harvard ini, mengaudit salah satu seminarnya dalam filsafat hukum pada tahun 1930-an. Sementara secara umum menghargai karya Pound, Parsons (1968: 48) menemukan konsepsinya tentang ilmu hukum sosiologis “sedikit prematur.” Sementara Parsons mengakui bahwa Pound dipengaruhi oleh sosiolog Ross, orientasi sosiologis yang lebih jelas dalam studi hukum Parsons berpendapat pada waktu itu untuk menjadi “hampir seluruhnya Eropa-kontinental,” termasuk karya-karya Ehrlich, Petrazycki, Sorokin, Gurvitch, dan Weber (Parsons 1968: 50). Parsons menghubungkan relatif kurangnya pengaruh para sarjana Eropa di Amerika Serikat dengan perbedaan antara sistem hukum Eropa dan Amerika.
Sumber inspirasi yang lebih penting bagi pemikiran Parsons tentang hukum dari dalam keilmuan hukum adalah karya Lon Fuller, yang merupakan rekan Parsons di Harvard yang mana Fuller adalah seorang profesor di sekolah hukum. Tanpa berkutat pada teori Fuller secara lebih sistematis, cukuplah di sini untuk dicatat bahwa Fuller (1964) mempertahankan pandangan hukum sebagai cerminan dari nilai-nilai moral masyarakat, yang ia pahami secara prosedural dalam hal fungsi hukum untuk memandu perilaku. Sebagai seorang sarjana hukum, Fuller mencurahkan sebagian besar perhatiannya untuk melarang bagaimana hukum harus disusun agar lebih efektif, tetapi konsepsi dasar Fuller tentang tujuan hukum sangat mirip dengan gagasan fungsionalis tentang hukum sebagai kontrol sosial.
Ketertarikan Parsons pada hukum dan ketergantungannya pada karya Fuller membuat kedua ilmuwan Harvard itu mengorganisir serangkaian seminar pascasarjana tentang “Law and Sociology” pada akhir 1960-an (Parsons 1968: 51). Menariknya, Parsons tidak terlalu melihat kerjasama ini dalam hal kebutuhan sosiologi untuk belajar dari hukum seperti dalam hal peran sosiologi bisa bermain dalam pengembangan pendidikan hukum akademik. Fuller setuju dengan pandangan membawa sosiologi ke dalam hukum daripada sebaliknya. Fuller (1968) mengamati bahwa sosiologi hukum pada akhir 1960-an telah berbuat banyak untuk memunculkan dimensi sosial hukum dan dengan demikian telah melampaui perspektif, mendominasi hukum yang berkembang dan gerakan masyarakat, dalam memandang hukum kaitannya dengan masyarakat. Gerakan hukum dan masyarakat (dan sampai sekarang masih) merupakan domain penelitian interdisipliner yang menampung sosiolog, antropolog, ekonom, dan ilmuwan sosial dan perilaku lainnya yang tertarik pada studi hukum. Fuller (1968) mencatat bahwa konstruksi bidang yang sedemikian komprehensif dan pelembagaannya yang berhasil ––dalam pembentukan Asosiasi Hukum dan Masyarakat pada tahun 1964 dan pendirian Law and Society Review pada tahun 1966–– dapat membuat para ilmuwan mengabaikan bahwa hukum selalu bagian dari masyarakat dan dengan demikian hukum itu mengandung “dalam kerja internalnya sendiri dimensi sosial yang layak mendapat perhatian terbaik dari sosiolog” (hal. 57). Ilmu hukum Fuller, kemudian, memungkinkan peran sosiologi, tidak hanya sebagai mitra hukum yang dipahami sebagai akademi hukum, tetapi juga sebagai ilmu sosial istimewa yang melakukan studi hukum sebagai institusi.
KESIMPULAN
Perkembangan sejarah dan intelektual sosiologi hukum di Amerika Serikat adalah cerita yang unik dan masih sedikit diketahui yang seharusnya menarik bagi para ilmuwan hukum dan sosiolog hukum. Secara historis, studi ilmiah tentang dimensi sosial hukum di Amerika Serikat tumbuh dari sekolah hukum profesional, tidak langsung dari sosiologi klasik. Keilmuan Holmes, khususnya, memicu perubahan revolusioner dalam ilmu hukum menuju ilmu hukum sosiologis. Disistematisasikan oleh Roscoe Pound, ilmu hukum sosiologis mengandalkan kemajuan ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkan perspektif hukum sebagai kontrol sosial yang tetap berkomitmen pada orientasi normatif kebijakan hukum untuk mengembangkan wawasan yang dapat berkontribusi untuk membangun sistem hukum yang adil. Dalam hal ini patut dicatat bahwa Pound dengan jelas menyadari bahwa ilmu hukum dan sosiologi memiliki asal-usul dan tujuan yang berbeda. Perspektif realisme hukum meninggalkan hampir semua orientasi normatif ilmu hukum sosiologis yang melekat, namun pemahaman psikologis hukum mencegah pengaruh besar pada sosiologi hukum. Realisme hukum justru lebih berpengaruh terhadap antropologi hukum karena penekanannya pada metode etnografis. Karena orientasi empirisnya yang kuat, realisme hukum juga mempengaruhi gerakan hukum dan masyarakat awal (Garth dan Sterling 1998; Ingersoll 1981) dan belakangan ini mempengaruhi peluncuran gerakan yang disebut Studi Hukum Empiris (Suchman 2006). Sikap skeptisisme dalam realisme hukum mengenai tujuan hukum juga bergema dengan arus tertentu dalam Studi Hukum Kritis (Treviño 1994; Milovanovic 2003; lihat Bab 9).
Perkembangan ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum terutama bukan merupakan fungsi dari sejarah intelektual sosiologi dan ilmu sosial, tetapi merupakan perkembangan profesionalisasi hukum yang juga mempengaruhi sosiologi hukum dan studi sosio-legal. Dalam hal tujuannya masing-masing, ilmu hukum sosiologis dan sosiologi hukum berbeda dalam hal sikap yang berbeda terhadap hubungan antara hukum dan moralitas. Namun, secara historis, sosiologi hukum modern ditemukan dalam ilmu hukum sosiologis ––tidak seperti realisme hukum–– pendahulu yang membantu membentuk arahnya. Dalam pengertian ini, bagian dari perkembangan sosiologi hukum lebih erat kaitannya dengan realitas sosial hukum daripada kekuatan intelektual dari visi sosiologis. Bahkan, ilmuwan hukum di Amerika Serikat begitu terlibat dengan studi sosial hukum yang bahkan berhasil mengambil beberapa sosiologi hukum Eropa awal. Tulisan-tulisan Petrazycki, Timasheff, dan Gurvitch, dan bahkan sosiologi hukum Max Weber selama tahun-tahun sebelum naiknya fungsionalisme struktural lebih banyak dibahas oleh para ilmuwan hukum daripada oleh sosiolog.
Terobosan radikal terhadap sub-bidang sosiologi hukum ditawarkan oleh Talcott Parsons. Melalui penerapan dan perluasannya oleh rekan-rekan fungsionalis serta penerimaan kritisnya oleh penentang teoritis pemikiran Parsonian, sosiologi hukum Parsons memiliki dampak yang menguntungkan pada tingkat institusional, merangsang perkembangan sosiologi hukum dengan cara disaingi oleh pelembagaan hukum dan gerakan masyarakat. Sedangkan yang terakhir, bagaimanapun, dapat mengklaim keberhasilan dalam hal telah membangun tradisi yang bertahan lama dengan banyak pengikut, yang pertama lebih unggul dalam menetapkan landasan intelektual dari studi hukum sosiologis yang otentik. Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk menyangkal bahwa pendekatan Parsonian dalam sosiologi hukum secara historis dikalahkan popularitasnya oleh hukum dan gerakan masyarakat. Analisis rekonstruktif dalam bab ini telah berusaha untuk menangkap kembali status yang harus diberikan kepada mereka yang memfasilitasi sosiologi hukum dalam arti intelektual. Karena Parsons tidak hanya mengembangkan teori sosiologi sistematis atas dasar karya-karya pendiri seperti Weber dan Durkheim, yang dengan demikian menjadi klasik, ia juga meletakkan dasar untuk studi sosiologis hukum yang jelas independen dari ilmu hukum sosiologis. Sejak saat itu, subbidang sosiologi hukum dalam disiplin sosiologis yang lebih luas tidak perlu lagi menempatkan dirinya pada posisi “kepicikan defensif” relatif terhadap ilmu hukum sosiologis dan bentuk-bentuk keilmuan hukum lainnya (Cotterrell 1975: 388). Sebaliknya ia dapat bekerja sama dengan pendekatan-pendekatan lain untuk mempelajari hukum dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu hukum, dan ia dapat, sebagai tambahan, menghubungkan dirinya dengan sub-bidang sosiologis lainnya dan dengan sosiologi secara keseluruhan. Seperti yang akan ditunjukkan pada bab berikutnya, pematangan sosiologi hukum ini juga melibatkan proliferasi berbagai perspektif teoretis yang digunakan untuk mempelajari hukum secara sosiologis.
Catatan Kaki:
[1] Agak kontras dengan pengabaian relatif studi hukum dalam sosiologi Amerika pada awal berdiri, perhatian yang diberikan tertuju pada kejahatan dan perilaku menyimpang sebagaimana ditulis oleh sosiolog terkemuka seperti Edwin Sutherland, Thorsten Sellin, dan Robert K. Merton. Namun, perkembangan awal dalam sosiologi, kriminologi tidak mengutamakan pusat perhatiannya pada hukum dan juga biasanya tidak menonjol dalam perkembangan sosiologi hukum yang dilembagakan, kecuali dalam beberapa hal (lihat Bab 6). Sampai saat ini, hubungan antara kriminologi dan sosiologi hukum sebagai spesialisasi yang dilembagakan, bilamana bukan sebagai kontribusi ilmiah, tetaplah sulit dilakukan (Savelsberg 2002; Savelsberg dan Sampson 2002; Silbey 2002; lihat Bab 6 dan 11).
[2] Di antara karya-karya Holmes yang paling penting adalah bukunya The Common Law (Holmes 1881) dan beberapa makalah penting dalam Harvard Law Review (Holmes 1897, 1899, 1918). Karya Holmes telah menghasilkan literatur sekunder yang sangat luas, termasuk diskusi tentang hubungannya dengan ilmu hukum sosiologis dan realisme hukum (lihat, misalnya, Alschuler 2000; Burton 2000; Gordon 1992; Trevino 1994).
[3] Di antara buku-buku Pound yang paling penting adalah Law and Morals (Pound 1926), Social Control Through Law (Pound 1942), dan karya lima jilid, Jurisprudence (Pound 1959). Beberapa diskusi panjang artikelnya secara khusus membahas perspektif ilmu hukum sosiologis (Pound 1907, 1910, 1912, 1923, 1927, 1928, 1932), termasuk hubungannya dengan realisme hukum (Pound 1931) dan sosiologi hukum (Pound 1943, 1945). Untuk diskusi yang berguna tentang perspektif Pound tentang ilmu hukum sosiologis dan hubungannya dengan sosiologi, lihat Braybooke 1961; Cossio 1952; Cowan 1968; Hoogvelt 1984; N.E.H. Hull 1997; McLean 1992; Batu 1965; Putih 1972; Wigdor 1974.
[4] Llewellyn menulis beberapa artikel teoretis penting tentang realisme hukum (Llewellyn 1930, 1931, 1949), banyak diantaranya termasuk dalam koleksi yang diterbitkan secara anumerta, Jurisprudence (Llewellyn 1962). Lihat juga ikhtisar oleh N. E. H. Hull 1997; Twining 1985; White 1972. Studi empiris Llewellyn yang paling terkenal adalah The Cheyenne Way (Llewellyn dan Hoebel 1941), suatu karya penyelesaian perselisihan di antara karya Cheyenne tersebut yang berkontribusi pada perkembangan antropologi hukum (lihat Mehrotra 2001).
[5] Lihat kritik terhadap realisme hukum oleh Pound 1931 dan tanggapan oleh Llewellyn 1931. Lihat juga diskusi dalam N. E. H. Hull 1997; Ingersoll 1981; Putih 1972.
[6] Eksposisi gagasan teoritis utama Parsons ini bersandar pada beberapa buku utamanya, The Structure of Social Action (Parsons 1937) dan The Social System (Parsons 1951), serta dua koleksi yang amat bermanfaat (Parsons 1967, 1977a). Lihat Alexander 1983 untuk penjelasan yang bermanfaat tentang pemikiran Parsons.
[7] Gagasan Parsons tentang sistem hukum diklarifikasi dalam empat artikel (Parsons 1954, 1962a, 1968, 1978) dan dua ulasan buku terkait (Parsons 1962b, 1977b). Parsons juga mengerjakan buku dengan Winston White dan Leon Mayhew yang mencakup “perlakuan yang cukup luas tentang tempat sistem hukum dalam masyarakat Amerika” (Parsons 1962a: 56). Buku ini tidak pernah diterbitkan, namun meskipun demkian, memiliki sedikit kemiripan dengan buku tentang komunitas masyarakat Amerika yang akhirnya Parsons kerjakan sepanjang tahun 1970-an dan baru-baru ini diterbitkan berdasarkan rancangan buku tersebut (Parsons 2007). Lihat juga diskusi oleh Damm 1976; De Espinosa 1980; Deflem 1998a; Cotterrell 1992: 81–91; Rocher 1989; Wilkinson 1981.